“Dio sudah tahu kamu pulang?
Mereka berencana ke sini hari ini dan anak-anak sudah menginap dari semalam,” kata mertuaku menjelaskan.
Sepertinya kemunculanku menimbulkan gejolak di keluarga, Kak Dio dan keluarga besarnya. Apa Mama Salma sebenarnya sudah tahu kalau aku akan datang? Mungkin Kak Dio sengaja menitipkan mereka karena sedang bermasalah dengan adik maduku dan memberitahukan pada mamanya. Apa perlu juga orang tua ini berpura-pura? Tanpa sadar aku mengeraskan rahang tetapi segera memperbaiki ekspresi melihat wanita ini masih menatapku intens sehingga aku hanya bisa menutupi perasaan tak nyaman dengan mencoba tersenyum lebar.
“Iya, Ma, sudah.
Kami memang sengaja janjian di sini.
O, ya, Ayah kemana, Ma?” tanyaku mengalihkan perhatian sambil memandang berkeliling.
Ruangan ini belum berubah sejak aku terakhir datang ke sini. Ketika kembali mengarahkan pandangan pada Mama M
Kak Enjang menatapku lama. Kami saling memandang karena aku tak mau terintimidasi olehnya. Sekarang diri ini bukan Rindi yang lemah seperti dulu. Pendidikan, karier dan uang telah kumiliki melampauinya. Aku tahu adik madu yang lebih tua dariku itu hanyalah seorang ibu rumah tangga di tahun-tahun terakhir sejak kelahiran putra-putri kembarnya.Tiba-tiba dia berekspresi datar dan wajah itu tampak dingin. Tengkukku merinding seketika tapi sekuat tenaga menenangkan diri. Tak ada yang perlu kutakuti karena tak ada kesalahan yang kubuat. Kurasa dia terlalu percaya diri hanya karena Kak Dio teramat mencintainya dan berharap selalu menang dari siapapun. Dia salah menilaiku jika berharap aku juga akan menyanjungnya.Jangan harapAkhirnya dia kalah beradu pandang padaku dan berbalik pergi. Aku menghiraukan
"Azka, mau tambah ikan, Nak?Mama buangkan durinya, ya," kataku selembut mungkin sambil menggeser kursi mendekati putraku."Terima kasih, Mama.Sudah cukup ikannya." Bahasa formal Azka membuatku sakit hati."Ini enak lho, Nak … bagus juga buat pertumbuhan otak kamu."Aku ingin menunjukkan pada anak itu kalau dirinya memiliki ibu yang cerdas dan tahu banyak hal. Dia harus mengenalku lebih baik dari Kak Enjang yang hanya istri ayahnya yang lain. Tak kupedulikan banyak tatapan mata di ruangan ini. Tak ada yang salah dengan seorang ibu yang memberikan perhatian pada anak di meja makan."...."
Suasana rumah keluarga Pratama menjadi kacau. Azka yang ketakutan akan dibawa oleh ibu kandungnya memberontak dari pelukan neneknya."Tenang, sayang … ini Oma.Kamu mau ke mana?Ayo masuk," bujuk Bu Salma dengan suara serak karena tangis.Hati wanita itu sungguh sedih menyaksikan ketakutan cucunya. Kedatangan Rindi bukan membuat Azka bahagia tapi justru menimbulkan ketakutan dan trauma."Azka mau ke Bunda, Oma … mau Bunda!"Tangis Azka semakin keras dan memegang jeruji pagar dengan sangat erat. Kulit putih di tangannya menjadi memerah. Tengah hari yang terik membuat kepala Bu Salma mulai berkunang-kunang.
“Apa, Kak Azka akan dibawa tante itu pergi?” tanya Vina dengan mimik wajah sedih.“Namanya Rindi, Dek. Itu memang ibunya, Kak Azka,” kata Vino yang membuat Azka semakin mengkerut di kasur bersama guling yang dipeluk erat.Airmata sudah membasahi bantal tapi sekuat tenaga menahan isak. Orang dewasa yang selalu mengatakan anak lelaki tak boleh menangis membuat Azka menyembunyikan wajah hingga kulitnya yang putih menjadi merah bergesekan dengan sarung guling.“Tapi, Kak Azka tetap kakak kita soalnya ayahnya sama jadi Tante itu gak bisa bawa begitu saja!” pekik Vina.“Tapi ibunya lain sama kita, Dek! Dia bukan anak Bunda.”Azka tak tahan lagi. Segera dirinya menyingkirkan guling yang sedari tadi melindungi wajahnya agar tak tampak sedang menangis. Dirinya tak peduli lagi dengan mata yang mulai membengkak dan bangkit dengan nyalang menat
*EnjangPertemuan ini tak seperti yang kuharapkan akan berjalan damai. Rindi sangat tidak mendukung terjadinya dialog sehat dengan terus membuatku tak nyaman dengan kekesalannya. Apa maksudku sangat tidak jelas? Aku hanya ingin keterbukaan diantara keluarga kami. Ada banyak celah untuk kami bertengkar tapi apakah keinginanku begitu sulit? Aku bukan menuduh, lagi pula keadaannya saat itu memang seperti yang mungkin juga bisa orang lain berpikir sama denganku dan aku sudah minta maaf untuk itu.“Maaf, Kak, aku cari Azka dulu,” kata Rindi sambil bangkit meninggalkanku yang masih duduk kaku di sofa ruang keluarga ini.Rindi melarikan diri dengan alasan akan mencari putranya. Aku tak keberatan, biarlah Mas Dio sendiri yang akan mengatasi masalah dengan istri pertamanya itu nanti. Selama Rindi bersikap bermusuhan denganku hanya karena masalah salah paham itu aku juga tidak akan membuat jalan apapun baginya selain hanya menjalank
Di lantai dua butik Rindi, ibunya Azka itu menghabiskan berlembar-lembar tisu. Benda itu berserakan menjadi gumpalan-gumpalan menjijikan karena dilempar asal setelah digunakan.“Kurang ajar!Aku tak bisa menerima kalau perjuangan selama lima tahun ini sia-sia.Azka milikku bagaimanapun caranya harus kembali ke tanganku!”Rindi bicara sendiri dengan geram. Ingatan segala perlakuan orang-orang di rumah mertuanya benar-benar membuatnya sakit hati. Bukan hanya tak dianggap sebagai menantu tapi juga tak dianggap ibu oleh anak yang dilahirkan dengan bertaruh nyawa.“Dia ketakutan pada ibunya sendiri!A ha ha ha ha ha!”Rindi tertawa keras dengan airmata berderai di pipi. Seorang karyawannya yang berdiri di depan pintu siap mengetuk, mengurungkannya dengan tangan masih menggantung. Bulu kuduknya berdiri mendengar tawa dari dalam sana. Lembaran kertas berisi laporan yang akan di sampai
*Enjang*Kulangkahkan kaki dengan gontai setelah turun dari taksi online yang tadi membawaku kembali ke rumah ini.Mendekati pagar rumah dengan perasaan hampa menyadari kini aku sendirian.“Mereka pasti akan menginap,” gumamku tak ikhlas.Aku akan kesepian kali ini di rumah yang biasanya penuh hingar bingar suara anak-anak dan teriakanku juga tawa suamiku. Ah, suami Mudaku yang kemudian bahkan aku merasa sebaya dengannya kalau saja kehadiran istri pertama tak menyadarkan diri ini.Harus kuterima sebagai konsekuensi menikahi ‘berondong’ tampan. Kodrat sebagai wanita yang harus menerima masa di mana harus mengalah.“Apa aku sanggub Ya Rabb ....”Cinta ini sudah terlalu dalam. Kebersamaan kami sedikitnya telah membuat aku bergantung seutuhnya. Kembali mengokohkan diri menghadapi kehidupan yang terkad
“Hemmm, wanginya istriku,” kata Mas Dio mengendus tubuhku.Bayangan bahwa baru-baru ini suamiku itu juga dekat dengan istri pertamanya, reaksi tubuh mengikuti otak yang tak bisa berhenti memikirkan bagaimana pertemuan mereka. Desah kecewa lolos dari bibirnya menyadari penolakanku meski sehalus mungkin.“Enjang, ada apa?” tanyanya serak.Sebagai istri yang telah mendampingi lebih dari lima tahun terakhir, jelas aku paham sekali gelagatnya saat ini. Dirinya gelisah mengharapkan sambutan kasih dari wanita halalnya. Sayangnya hati ini tak bisa kompromi.“Kau menolakku dengan tujuan agar aku bisa secepatnya kembali menerima, Rindi?” tanya Mas Dio dengan wajah memerah karena marah.Aku membuka mulutku tapi tak mampu mengeluarkan sepatah katapun.“Sebenarnya apa kau benar-benar mencintaiku kalau selalu saja menyodorkan suamimu ini pada wanita lain?”Otakku memproses sesuatu.Dirinya belu