Di lantai dua butik Rindi, ibunya Azka itu menghabiskan berlembar-lembar tisu. Benda itu berserakan menjadi gumpalan-gumpalan menjijikan karena dilempar asal setelah digunakan.
“Kurang ajar!
Aku tak bisa menerima kalau perjuangan selama lima tahun ini sia-sia.
Azka milikku bagaimanapun caranya harus kembali ke tanganku!”
Rindi bicara sendiri dengan geram. Ingatan segala perlakuan orang-orang di rumah mertuanya benar-benar membuatnya sakit hati. Bukan hanya tak dianggap sebagai menantu tapi juga tak dianggap ibu oleh anak yang dilahirkan dengan bertaruh nyawa.
“Dia ketakutan pada ibunya sendiri!
A ha ha ha ha ha!”
Rindi tertawa keras dengan airmata berderai di pipi. Seorang karyawannya yang berdiri di depan pintu siap mengetuk, mengurungkannya dengan tangan masih menggantung. Bulu kuduknya berdiri mendengar tawa dari dalam sana. Lembaran kertas berisi laporan yang akan di sampai
*Enjang*Kulangkahkan kaki dengan gontai setelah turun dari taksi online yang tadi membawaku kembali ke rumah ini.Mendekati pagar rumah dengan perasaan hampa menyadari kini aku sendirian.“Mereka pasti akan menginap,” gumamku tak ikhlas.Aku akan kesepian kali ini di rumah yang biasanya penuh hingar bingar suara anak-anak dan teriakanku juga tawa suamiku. Ah, suami Mudaku yang kemudian bahkan aku merasa sebaya dengannya kalau saja kehadiran istri pertama tak menyadarkan diri ini.Harus kuterima sebagai konsekuensi menikahi ‘berondong’ tampan. Kodrat sebagai wanita yang harus menerima masa di mana harus mengalah.“Apa aku sanggub Ya Rabb ....”Cinta ini sudah terlalu dalam. Kebersamaan kami sedikitnya telah membuat aku bergantung seutuhnya. Kembali mengokohkan diri menghadapi kehidupan yang terkad
“Hemmm, wanginya istriku,” kata Mas Dio mengendus tubuhku.Bayangan bahwa baru-baru ini suamiku itu juga dekat dengan istri pertamanya, reaksi tubuh mengikuti otak yang tak bisa berhenti memikirkan bagaimana pertemuan mereka. Desah kecewa lolos dari bibirnya menyadari penolakanku meski sehalus mungkin.“Enjang, ada apa?” tanyanya serak.Sebagai istri yang telah mendampingi lebih dari lima tahun terakhir, jelas aku paham sekali gelagatnya saat ini. Dirinya gelisah mengharapkan sambutan kasih dari wanita halalnya. Sayangnya hati ini tak bisa kompromi.“Kau menolakku dengan tujuan agar aku bisa secepatnya kembali menerima, Rindi?” tanya Mas Dio dengan wajah memerah karena marah.Aku membuka mulutku tapi tak mampu mengeluarkan sepatah katapun.“Sebenarnya apa kau benar-benar mencintaiku kalau selalu saja menyodorkan suamimu ini pada wanita lain?”Otakku memproses sesuatu.Dirinya belu
“Mas!” Aku mendorong dada Mas Dio sambil memekik.“Apa sih, Bund?Dipeluk suami sendiri juga.” Suamiku mengerucutkan bibir.“Lihat bajuku basah!”Kami sama-sama melihat dirinya dengan handuk menempel dipinggang. Air menetes deras dari rambut yang sedikit gondrong. Belum lagi di dada dan punggungnya yang sama sekali belum tersentuh handuk. Tatapannya mengikuti arah pandangku ke lantai kamar yang sekarang telah becek. Seketika kunaikkan pandangan dengan gigi terkatup. Belum lagi semburan kemarahankubkeluar dia lebih dulu mengangkat tangan dan memamerkan cengiran.“Akan kupel segera.”Kutarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Bangkit dari meja rias aku menarik tangan besarnya menyuruh duduk di tempat dudukku semula.Depan meja rias.Kuambil handuk kecil dari lemari dan menghampirinya. Menutupkan handuk di kepala dan mulai mengeringkan rambutnya tanpa kata-kata. Aku tahu
Rindi tertegun menyaksikan ruang kerjanya sangat berantakan. Perlahan dirinya bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian penampilannya telah rapi dan segar dengan busana muslim simple melekat ditubuh langsingnya.Rindi melangkah anggun keluar dari ruangan pribadinya melewati para pegawai butik yang segera menyibukkan diri masing-masing.Tak tampak kekacauan yang baru saja terjadi pada dirinya.“Tolong bereskan ruangan atas, ya.Saya mau keluar jadi selesaikan segera sebelum saya kembali.” Perintahnya lugas layaknya bos.“Baik, Bu.”Rindi memang menjadikan lantai dua butiknya sebagai kantor dan tempat tinggal sementara. Dirinya belum kembali ke rumah kediamannya bersama Dio karena cukup jauh dari kantor Sang Suami.Niatnya sebelum kembali ke rumah itu, Rindi akan memantau kehidupan suami bersama madu dan juga anaknya yang dalam pengasuhan istri kedua suaminya itu.Sayang, se
“Bagaimana sebenarnya Ibu menyampaikan pesan Rindi sama perempuan itu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tampak dahi wanita berbusana serba hitam itu mengerenyit dalam. Aku tak peduli karena saat ini hati tidak sedang dalam mode baik-baik saja. Hatiku sakit karena ulah mereka semua. Bahkan guru mengaji pribadi yang selalu koar-koar padaku agar menjaga keutuhan keluarga demi surga ini tidak becus mengemban tugas kecil. Menyampaikan pada wanita itu bahwa aku pergi bukan karena tak mencintai suami. Aku dan Kak Dio saling mencintai. “Sepertinya Mak Rindi datang dengan rasa marah. Ada apa?” tanyanya dengan suara lembut. Tak pengaruh bagiku dengan kelembutannya karena hati sedang panas. “Ada apa? Ibu yang kenapa?” Aku menunjuk dengan jemari lentik berhena coklat ini tepat ke arah wajahnya. Dia mundur dengan secara reflek. Kerutan di dahinya semakin bertumpuk. “Rindi minta tolong untuk menyampaikan pesan bahwa kami saling mencintai agar wanita tua itu tidak songong, bukan suruh dia
Denting sendok terdengar berirama di meja makan rumah Enjang dan Dio. Meja oval dengan enam kursi yang mengelilingi telah terisi lima dan menyisakan satu yang kosong. Biasanya kursi itu akan digunakan seorang pengasuh untuk membantu anak-anak. Hanya saja sejak si kembar tiga tahun Enjang memutuskan untuk mengasuh mereka dengan tangannya sendiri. Azka berusia menjelang empat tahun saat itu. Usia pra sekolah adalah masa penting anak banyak belajar dan meniru orang terdekat hingga dirinya rela bersusah payah karena tak ingin anak-anaknya salah didikan. Enjang sangat protektif akan perkembangan anaknya termasuk anak Sang Suami dengan wanita lain sekalipun. “Pergi ke kamar kalian dan kerjakan tugas seperti biasa. Jam sembilan bunda naik untuk memastikan kalian sudah bersiap untuk tidur. Besok sekolah,” kata Enjang begitu ketiga anak itu sudah menyelesaikan makan malam. Mereka bergegas beranjak meninggalkan ruang makan menuju lantai dua di mana kamar mereka berada. Sang ayah membuat sebu
Dio melajukan mobil dengan kecepatan sedang ke arah timur kota. Melewati pemukiman yang cukup padat kemudian lurus naik mengarah ke tanah luas berbukit. Suasana asri segera terpampang memanjakan penglihatan. Pepohonan rindang berjejer rapi di kanan kiri jalan. Hingga sampailah pada sebuah gerbang yang lengkap dengan post penjagaan.Bimm!!!Seorang lelaki berseragam biru tua dengan topi di kepala bergegas keluar memeriksa. Setelah dipastikan mengenal mobil dan pengendaranya, kemudian dia bergegas membuka gerbang.Dio melesat masuk bersama kendaraannya menyusuri taman yang cukup luas untuk mencapai rumahnya bersama Rindi.Tampak di kejauhan petugas yang membuka gerbang tengah bicara dengan seseorang.“Benar, Pak Amir. Pak Dio datang sendirian.”“....”“Baik, Pak.”🍀“Ada apa, Pak?” tanya Bu Amir melihat ketegangan di wajah suaminya.“ Den Dio datang sendirian tanpa memberi kabar terlebih dahulu.”“Kita tidak pernah membuat masalah, Pak ... Kenapa harus khawatir?” tanya istrinya lagi de
Rindi melesat membelah jalanan bersama limousine hitam yang kendarainya. Bentuknya yang panjang sebenarnya sedikit merepotkan mengingat di Indonesia begitu banyak daerah macet lalu lintas dan juga sangat repot ketika mendatangi wilayah padat penduduk dengan gang-gang sempit seperti kota J. “Aku harus segera ganti mobil,” gerutu Rindi sambil berjuang keras mengendalikan kendaraannya. Limousine itu dibelinya menghabiskan tabungan nafkah yang selalu dikirimkan oleh sang suami tetapi tidak terpakai. Dengan harapan menaikkan status social di depan Enjang ketika kembali dari luar negeri. Sayangnya mencari sopir pribadi untuk layaknya pemilik sebuah limousine tidaklah mudah apa lagi dulu Rindi selalu tergantung suami, mama atau papanya untuk segala urusan hidup. Bahkan ketika dirinya telah berstatus istri Dio, peran orang tuanya tetap besar menyetir hidup Rindi. Rindi kesulitan hidup mandiri di Negara ini yang memang armada umum tak sebaik kota terakhir dirinya tinggal di luar sana. Setel