“Kalian memang luar biasa.
Maafkan, ayah, Enjang,” kata Ayah mertua tulus.
“Tak ada yang perlu dimaafkan, Yah.
Sekarang semua baik-baik saja dan semoga mereka selalu sehat.”
Senyum terkembang pada wajah-wajah yang mulai bertumbuhan keriput. Senyum mereka semakin terkembang ketika sepasang putra-putriku datang bersama pengasuh mereka dalam keadaan telah rapi dan wangi.
“Sini berikan padaku, Sus.” Mama Salma antusias menggendong bayi mungil itu sambil terus diciumnya.
“Jangan dicium terus, Ma …nanti lecet!” seru Mas Dio membuat semua tergelak.
Urat ketegangan yang beberapa hari ini dirasakan oleh para orang tua itu sepertinya telah terurai sempurna. Aku turut lega melihatnya.
“Akhir pecan ini kita akan mengadakan syukuran dan memberi nama si kembar.
Mas sudah hubungi kakak Royyan
LIMA TAHUN KEMUDIAN“Vino! Jangan iseng, kembalikan buku adiknya!” teriak Enjang sambil memukulkan sendok pada meja makan.“Bunda ….” Suara datar Dio mengingatkan Sang Istri.“Yah, lihat anakmu itu tiap hari bikin tensi bunda naik. Hari ini buku, kemarin sepatu, besok apa lagi? Vina nangis saja dibuatnya tiap hari,” urai Enjang pada suaminya dengan wajah kesal.“Cengeng sih.”“Ya ampun, Vino!” pekik wanita berdaster bunga-bunga biru itu lagi“Ayo, Dek berangkat. Kakak masih punya satu buku belum dipakai nanti bisa buat, Dek Vina,” bujuk Azka lembut.“Tapi buku Vina ada PR yang sudah dikerjakan, Kak,” kata Vina sedih.“Nanti minta lagi soalnya sama temanmu dan kakak bantu kerjain ulang.” Azka masih
Enjang duduk termenung setelah semua orang pergi beraktifitas. Pertemuan dengan Bu Salamah kemarin membuatnya banyak berpikir. Obrolan mereka masih saja terngiang di telinga.“Mbak Rindi meninggalkan putranya demi menghindarkan Azka dari kakek dan neneknya. Mereka menjadikan cucu sebagai alat untuk memeras keluarga Pratama.”“Bagaimana Ibu tahu?”Wajah Enjang menegang. Dirinya tidak pernah tahu jika dalam keluarga suaminya bersama istri pertama adamengalami hal seperti itu. Dio tidak pernah sedikitpun membukanya dalam rumah Enjang.“Mbak Rindi yang cerita karena kalut bingung mau bertindak bagaiman jadi meminta saran pada saya.Maaf seharusnya saya tidak boleh lancang membuka hal ini, hanya saja saya tidak tega jika pernikahan mereka kandas karena kepergiannya itu,” kata wanita berusia sekitar empat puluh tahun itu dengan wajah menyesal.
Butik itu ada di jajaran toko cukup elit di tengah kota. Bangunan berlantai dua dengan tatanan minimalis yang anggun. Persis jiwa Rindi yang praktis dan enerjik.“Kau berada begitu dekat dengan kantor Mas Dio hanya dari arah yang lain dari rute perjalan antara kantor danrumah kami.Apa benar kalian tak pernah saling bertemu?” Hati Enjang kembali tercubit.Sebuah prasangka tak nyaman hadir. Kalau benar mereka saling bertemu di belakang tanpa sepengetahuannya, jelas itu sama saja sebuah penghianatan. Tanpa sadar Enjang mengepalkan tangan dengan rahang mengeras.Mereka suami istri yang masih sah baik dalam agama maupun negara. Namun secara etika jelas dirinya merasa dilecehkan jika suami istri itu saling bertemu di belakang sementara selama ini Enjang mencemaskan kakak madunya itu juga sangat mencintai anak mereka.Suami dan madu.“Kenapa aku marah pada hal yang sama seka
“Kak Enjang!“Sayang!Mereka memanggil bersamaan. Tampak rasa kikuk seperti seorang pencuri tertangkap basah jelas melanda. Enjang tak peduli. Dadanya terasa sesak dengan napas tersengal karena ingin menangis yang ditahan sekuat tenaga. Enjang hanya ingin segera pergi dari hadapan mereka berdua dengan terus beristighfar agar amarahnya mereda.“Aku mau pulang silakan ambil saja waktu kalian. Hanya saja aku tak suka cara kalian.” Suara wanita itu datar saja.Dio tampak ingin mengatakan sesuatu mungkin sejenis penjelasan tapi mengingat sifat tegas istrinya dia tahu ucapan apa pun sia-sia untuk sekarang. Hanya waktu sendiri yang istri ke duanya itu inginkan untuk saat ini.Mendinginkan kepala.Sampai di rumah Enjang membersihkan diri lalu memasuki kamar dan menguncinya. Terdengar seseorang melangkah mendekat dan mengetuk sebentar. Dia merasa itu adalah
*Dio Pratama*Lima tahun telah berlalu sejak Rindi pergi dari hidupku dan Azka. Mengingat Azka, anak itu menyadarku bahwa telah berhutang banyak pada Enjang, istriku yang lain. Wanita yang begitu aku cintai melebihi segala kepentinganku. Pengorbanannya melahirkan anak kembar kami, rela bertaruh nyawa membuatku semakin mencintainya. Rasanya aku sanggup menukar apa saja untuk kebahagiaannya.Sementara Rindi, aku menyayanginya karena Allah. Wanita yang menjadi jodohku bagaimanapun caranya itu pasti karena takdir yang harus kuterima dengan lapang dada. Terlebih ada Azka sebagai pengikat kami. Perasaanku padanya tak akan membatalkan kewajiban sebagai suami atas seorang istri. Seperti perjanjian suci saat akhad.“Taka da sesuatu apa pun yang terjadi tanpa ijin Allah, sedang daun yang jatuh dari dahan adalah ketentuanNya apa lagi hal besar seperti jodoh.” Nasihat seorang sahabat yang terus kuingat.
Memasuki ruang kantor yang sejuk dengan tatanan cantic berselera tinggi aku berdecak kagum. Sesuai karakter Sang Pemilik ruangan itu sungguh nyaman untuk mencari inspirasi. Ruangan ini ada di lantai tiga bangunan ini. Digunakan hanya sebagian dan bagian lainnya didesain dengan ruang agak terbuka menampilkan pemandangan di luar sana.Kuedarkan pandangan tampak di ujung ruang seperti meja panjang dengan box berbahan acrilik tebal di sepanjang pinggiran menampilkan berbagai koleksi model yang mungkin akan atau baru louncing.“Kau tampak sudah berhasil. Kenapa tidak pulang?” tanyaku untuk mengurai kebisuan di antara kami.Bagaimanapun kami adalah dua orang yang lama tidak bertemu dan status kami adalah suami istri dengan kisah yang tidak biasa sehingga kecanggungan mendominasi pertemuan ini. Aku baik Rindi sama-sama berhati-hati dalam interaksi. Entahlah aku sendiri bingung harus bersikap bagaimana?
*Rindi*Punggung Kak Dio menghilang di balik pintu butik. Tanpa menengok lagi dia lebih memilih mengejar Kak Enjang yang tampak marah. Kenapa harus marah? Aku juga istri sah dan pertama pula. Lalu apa yang salah? Sepertinya tak perlu kupertahankan pernikahan ini jika suamiku saja tak peduli perasaanku.“Bu.” Aku tergagap.“Sedang apa kalian berkumpul di sini?” tanyaku melihat karyawanku mematung memperhatikanku sementara sebagian dari mereka tampak berbisik-bisik.“Dengar semua!Jangan pernah berpikir bahwa saya perebut suami orang hanya karena kalian melihat insident tadi.Kalian salah!Meski terlihat jauh lebih muda, sayalah istri pertamanya dan sekarang masih kusandang sah secara hukum dan agama karena suami kami tak pernah menalakku.Ini hanyalah salah paham jadi jika kalian sampai menyebar gossip murahan, maka saya tak segan memutuskan ke
Wajah Kak Enjang tampak sedih. Tulus atau sandiwara?Biarlah apapun yang dia simpan dalam hatinya aku tak peduli. Sikap Kak Dio yang cenderung membelanya sudah cukup untukku mengambil keputusan untuk menyerah saja. Kata adil dalam pernikahan poligami kami tak kurasakan.“Kak Enjang tenang saja karena sebentar lagi akan kuserahkan, Kak Dio seutuhnya untukmu secara resmi.Kepergianku selama lima tahun ini mungkin telah menumbuhkan harapan, Kakak untuk memiliki suami seutuhnya.Sekarang aku kabulkan harapan itu.”Wajah wanita yang tetap cantic meski telah melahirkan lima anak ini menegang dan mematung di hadapanku. Aku terkejut ketika pipinya telah basah oleh air mata tanpa isak yang kudengar.“Aku memang salah, Rindi tapi bisakah kau dengarkan aku dulu sebelum menuduhku begitu hina? Aku minta maaf karena terburu emosi melihat kalian bersama.Aku hanya berharap kita baik-baik sa