*Enjang*
“Masuklah duduk di sini,” kataku tulus.
Dia menghampiri dengan canggung. Penampilannya sudah banyak berubah. Tunik berbunga pink lembut dengan dasar warna gray dipadu celana panjang coklat agak lebar di bagian bawah membuatnya terlihat lebih dewasa dan anggun. Tas selempang kecil mempermanis tampilannya.
“Mbak datang bareng Mas Dio?” tanyaku.
Dia tertegun.
Ah, benar kan cara memanggilnya begitu? Statusku adalah adik madu meski usianya jauh di bawahku. Apa panggilan ini membuatnya tak nyaman?
“Tidak,” katanya sambil meraih tanganku dalam genggaman.
Aku sedikit kaget karena perubahan sikapnya. Terakhir kali kami bertemu dia sangat angkuh begitu juga pesannya yang membuat dada nyeri saat memamerkan Azka putra suami kami dengannya.
“Rindi titipkan Kak Dio sama Kak Enjang ya.
“Kenapa harus pergi kalau cinta?” tanyaku serak.Aku harus menyisihkan ego.Harus!“Tetaplah tinggal.Semua kisah yang ada adalah takdir yang harus kita jalani dengan sabar,” kataku mencoba membujuk.Jujur aku membujuk hatiku sendiri juga agar tetap berusaha ikhlas.“Tidak, Kak.Rindi datang ke sini untuk pamit lagi pula mencintai, Kak Dio itu mudah, kan? Seperti Kak Dio mudah mencintai Kak Enjang.Kalian orang-orang istimewa sementara Rindi hanya kebetulan terjebak di antara kalian.Rindi merasa buka apa-apa buat siapa pun.”“Kau ibunya Azka, ingat?”“Ya.Karena ibunya Azka, dia tak hanya butuh ibu seperti Rindi yang sekarang, Kak.Rindi akan belajar menjadi tangguh dan bisa mengandalkan diri agar kelak bisa membimbing Azka lebih baik agar Azka kelak tidak kecewa memilik
Bersama seorang pengasuh Dio membawa Azka ke rumah orang tuanya. Ada rasa gamang menyadari diri gagal sebagai seorang suami. Bagaimana nanti menjelaskannya? Apakah mereka akan sangat kecewa? Apakah keputusan yang kuambil sudah benar? Berbagai pertanyaan bertumpuk di kepalanya.“Assalamualaikum…,” ucapnya sambil memasuki rumah.“Waalaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh.Ma sya Allah, Dio! Azka!Sini-sini sama Eyang Ti,” sambut Sang Mama heboh.Seorang wanita berseragam pengasuh anak dengan nama Wanti tertera di bagian dada kiri seragamnya menenteng tas dan menyeret koper lumayan besar. Semua keperluan milik Azka ada di dalamnya. Bu Salma menatapnya dengan heran.“Memang rencananya kalian menginap berapa hari kok banyak banget bawaannya?” tanya Bu Salma.Mbak Wati melirik pada bosnya untuk mendapatkan bant
“Tidak, Yah.Memang Rindi memintanya tapi Dio lebih memilih memberinya waktu untuk meraih yang dia inginkan.Dia benar kalau masih muda dan berat menjalani pernikahan rumit ini ditambah beban kehadiran seorang anak. Sikap orang tua juga menambah beban yang tidak ringan baginya.”Pak Bayu menghela napas panjang lalu berkata,” Lalu apa rencanamu?”“Dio berharap sembuh dari amnesia dan mengambil keputusan yang tepat. Untuk saat ini biar kami saling memberi waktu saja, Yah.”“Sabar ya, Sayang,” kata Bu Salma dengan mata berkaca.“Ayah juga salah dalam hal ini.Kuasa Allah sungguh besar.Wanita yang kukira tak bakal bisa memberimu keturunan justru bertaruh nyawa dengan dua orang cucuku sekaligus.Ayah bersalah pada kalian.” Dio menatap ayahnya sejenak lalu mengalihkan pandangan pada ruang kosong.
“Bagaimana, Dok?”“Pak Dio terlalu lelah lahir batin.Apakah sedang menghadapi masalah berat?Sebaiknya jangan aktif di kantor dulu takutnya akan memperparah penyakit yang sudah ada.”“Baik, Dok.”“Satu lagi, Bu.Pak Dio sepertinya tidak meminum obat yang saya berikan dengan benar jadi ini saya resepkan kembali.Obat yang kemarin jangan dipakai lagi saja mengingat perkembangannya saya rasa lebih baik ganti obat,” kata Dokter Wiranata sambil mengangsurkan sehelai kertas pada Bu Salma.Dio masih tertidur di sofa ruang keluarga ketika dokter berpamitan. Obat penenang yang disuntikkan pada tubuhnya masih bereaksi sementara untuk memindahkan tubuh tinggi yang cukup besar itu sulit bagi ayah dan mamanya.“Biarkan sampai terbangun sendiri saja.” Begitu pesan dokter sebelum pergi.
Sejak beberapa tahun belakangan lelaki berusia hampir enam puluh tahun itu tak selalu terjun ke ladang sendiri. Perkebunan diserahkan pada pengelola yang sudah sangat terpercaya. Hanya sesekali saja memantau jika masa tanam untuk memastikan tanaman bagus dan jelang panen. Waktunya sering dihabiskan untuk menghadiri kajian dan juga menemani istri di rumah. Saat panen bapak yang terlihat sehat beraktifitas ini baru sibuk.Brruggg!!Pak Bayu dan Bu Salma dikejutkan dengan suara berdebam. Mereka serempak berlari menuju asal suara.“Dio!” Bu Salma berteriak histeris mendapati tubuh putranya tergeletak di lantai dengan darah mengalir di lantai yang putih.“Cepat panggil ambulans!” Dengan tangan bergetar Bu Salma meraih ponsel dan menekan nomot darurat.Mobil ambulans datang lima belas menit kemudian. Dio sama sekali tidak tersadar ketika team memeriksa dan segera memasukkan k
“En-Enjang …,” kata Dio lemah.Bu Salma yang tertidur di kursi samping ranjang sambil memegang tangan Sang Putra terbangun mendapati pergerakan di tangan. Matanya mengerjab mendapati Dio gelisah sambil memejamkan mata. Bibirnya terus memanggil nama Enjang, menantu yang terabaikan selama ini.“Dio, Sayang.Bangunlah, Nak … ini mama.Apa yang kamu rasakan hem?”Mata itu terbuka perlahan dengan lemah. Bibirnya yang kering bergerak-gerak mengucapkan sesuatu dengn lemah. Bu Salma mendekatkan wajah agar bisa mendengar apa yang dikatakan putranya.“Mama … Enjang mana?”Belum sempat menjawab pertanyaan Dio, Bu Salma melihat pergerakan suaminya yang ikut terbangun.“Dio sadar, ya Ma?Ayah panggil dokter dulu,” kata Pak Bayu sambil beranjak menuju pintu.Kantu
“Bagaimana keadaanmu?Tadi mertuamu juga datang tapi sudah pulang sore tadi.” Dio menatap ayahnya mengerut dahi dan Pak Bayu paham.“Pak Darmawan maksud ayah.Pak Agus sudah dibebaskan dan kembali ke rumah lamanya.Sepertinya sudah kapok lelaki itu.Istrinya juga sudah sembuh dan pulang bersamanya dan mereka dijaga agar tak selalu mencari tahu aktifitasmu jadi tak tahu kamu sakit lagi.”“Rindi sudah berangkat?”“Sudah.Istrimu itu juga jauh lebih baik setelah dipegang Bu Salamah.” Dio mengangguk membenarkan kata kata ayahnya.“Jadi tak ada yang perlu dirisaukan lagi.Sekarang tidurlah, Nak… besok kalau memungkinkan kita bisa pulang,” kata Bu Salma yang sejak tadi hanya diam memperhatikan interaksi ayah dan anak itu.“Tunggu diperiksa Dokter Wiranata, Ma. Kalau kondis
Aku merasa diperhatikan seseorang. Kulihat suster tengah sibuk membenarkan posisi si kembar. Mereka sekarang berada di stroller. Ibu tak ada lagi bersama mereka. Mungkin saja tengah menemani bapak sarapan sebab pahlawanku itu tak lagi duduk menikmati kopi di kursi serambi.“Sstt! Sayang ….” Sebuah suara teramat kukenal menggelitik telinga.Aku menoleh ke belakang dan menemukan sesosok tinggi tampan yang teramat kurindukan. Meski ketampanan itu tak sedikitpun berkurang tapi wajahnya yang terlihat lebih tirus dari terakhir kulihat sedikit mengganggu hatiku.“Mas Dio!Kapan datang?” senyumnya mengembang tanpa menjawab pertanyaanku.Setelah mendekat tangan Mas Dio melingkari badanku. Reflek aku memegangi perut. Suamiku itu langsung melepaskannya. Mungkin tahu aku takut luka jahitan ini tersentuh. Luka bekas Caesar saat melahirkan si kembar.&ldqu
Prosesi pemakaman papa berjalan lancar dihadiri segelintir tetangga yang mengenal keluarga mama. Rumah yang ditinggali sekarang memang rumah warisan nenek untuk anak perempuannya itu dan keluarga nenek dulu termasuk orang baik di lingkungan.Kak Dio dan keluarga besar Pratama juga hadir termasuk Azka dan … Enjang.Aku mengabari Kak Dio berharap mendapatkan simpatinya tak menyangka mereka datang rombongan termasuk wanita itu.Mama Salma memelukku dengan tangis lirih. Aku tahu beliaulah yang paling menerimaku dalam keluarga itu. Ayah mertua yang dulu juga sangat mendukung aku dan putranya menjadi keluarga utuh monogamy sekarang acuh tak acuh karena kepercayaannya telah ternodai oleh perbuatan jahat orang tuaku di masa lalu.“Mama … ayo pulang.”Mama masih bergeming menatap kosong pada gundukan tanah merah di mana jasad papa beristirahat untuk selamanya. Wanita itu seperti punya naluri bahwa keluarganya tengah berkabung. Meski tidak menangis tapi terus-terusn berwajag sendu. Sangat penu
Hari sudah malam ketika aku berjalan lunglai menuju pintu rumah. Lampu ruang tamu masih menyala seperti saat kutinggalkan mengikuti Kak Dio tadi. Dari balik kaca aku masih bisa melihat dengan jelas tubuh kurus Papa yang terduduk membisu di depan TV. Aku tahu beliau tidak sedang menonton karena layar datar di depannya terlihat gelap.Apakah yang sedang dipikirkannya?Kalah oleh tubuh ringkihnya pikiran papa masih normal untuk memahami banyak hal. Tentu itu penyiksaan tersendiri bagi beliau. Beda dengan mama yang sekarang bahkan tak mengingat aku sebagai putrinya.“Papa ….”Rupanya papa duduk sambil memejamkan mata. Mungkin tertidur saat menungguku pulang karena sejak aku datang lelaki yang dulu selalu lembut pada keluarga itu tak melepas pandangan dari putri kesayangannya ini. Bagaimanapun jahatnya papa di luar sana dia tetap seorang suami dan ayah terbaik.Aku tersentak mendapati tubuh papa yang sangat panas. Kuraba dahi untuk memastikan dan ternyata benar kalau papa demam tinggi. Su
Telah satu jam lebih lamanya kami tetap duduk berhadapan terhalang sebuah meja kecil dan saling membisu. Di meja itu terdapat dua gelas minuman dingin yang es batunya telah mencair juga sebuah map yang tergeletak begitu saja.Setelah ketegangan di rumah mama dan papa tadi kami sepakat untuk bicara berdua secara pribadi. Café inilah yang dipilih Kak Dio. Lelaki yang kulihat semakin tampan diusia matang itu setia menekuri lantai dibawahnya. Wajah cantic istrinya ini yang telah lima tahun berpisah pun bahkan tak menarik minatnya. Justru lembaran berkas perceraian yang disodorkan di depanku.Keterlaluan!“Sampai kapan kau akan bersikap begitu, Rindi?” tanya, Kak Dio menatapku lelah.Haruskah aku mengalah?“Pikirkan baik-baik. Uang dan waktumu bisa kau gunakan untuk mengurus keluargamu yang sekarang keadaannya memprihatinkan. Juga adik yang perlu perhatianmu. Aku tak mungkin terus mengurus mereka apalagi kau sudah kembali.” Uraian panjang itu justru membuat emosiku menanjak.“Semua itu ka
“Benar, Pak. Bu Rindi datang ke rumah lama Pak Amir lalu pergi lagi setelah mendapati rumah berpindah pemilik.” “Apa kau tahu ke mana lagi dia pergi setelahnya?” “Ya. Pak. Kami terus mengikutinya dan perkiraan kita tepat sekali. Bu Rindi kemudian mengunjungi rumah lama orang tuanya. Seperti perintah Pak Dio, pengurus rumah tidak bekerja di hari sebelumnya hingga keadaan mereka menjadi sangat menyedihkan.” “Baik. Terus awasi dia! Saya meluncur kesana,” kataku mengakhiri panggilan telephon orang suruhan yang bekerja mengikuti pergerakan Rindi. Aku tak boleh kembali kecolongan. Sikap polos istri pertamaku itu telah melenceng jauh dari harapan agar menjadi wanita yang pantas untuk Azka putra pertamaku bersamanya. Rindi merusak semuanya. Menyakiti anaknya sendiri demi ego, juga bertindak keterlaluan pada Enjang yang nota bene seseorang yang telah menolongnya bertahun-tahun mengasuh seorang anak dari suami dengan wanita lain meski itu adalah istri pertama suaminya. Aku memiliki anak-a
Rindi melesat membelah jalanan bersama limousine hitam yang kendarainya. Bentuknya yang panjang sebenarnya sedikit merepotkan mengingat di Indonesia begitu banyak daerah macet lalu lintas dan juga sangat repot ketika mendatangi wilayah padat penduduk dengan gang-gang sempit seperti kota J. “Aku harus segera ganti mobil,” gerutu Rindi sambil berjuang keras mengendalikan kendaraannya. Limousine itu dibelinya menghabiskan tabungan nafkah yang selalu dikirimkan oleh sang suami tetapi tidak terpakai. Dengan harapan menaikkan status social di depan Enjang ketika kembali dari luar negeri. Sayangnya mencari sopir pribadi untuk layaknya pemilik sebuah limousine tidaklah mudah apa lagi dulu Rindi selalu tergantung suami, mama atau papanya untuk segala urusan hidup. Bahkan ketika dirinya telah berstatus istri Dio, peran orang tuanya tetap besar menyetir hidup Rindi. Rindi kesulitan hidup mandiri di Negara ini yang memang armada umum tak sebaik kota terakhir dirinya tinggal di luar sana. Setel
Dio melajukan mobil dengan kecepatan sedang ke arah timur kota. Melewati pemukiman yang cukup padat kemudian lurus naik mengarah ke tanah luas berbukit. Suasana asri segera terpampang memanjakan penglihatan. Pepohonan rindang berjejer rapi di kanan kiri jalan. Hingga sampailah pada sebuah gerbang yang lengkap dengan post penjagaan.Bimm!!!Seorang lelaki berseragam biru tua dengan topi di kepala bergegas keluar memeriksa. Setelah dipastikan mengenal mobil dan pengendaranya, kemudian dia bergegas membuka gerbang.Dio melesat masuk bersama kendaraannya menyusuri taman yang cukup luas untuk mencapai rumahnya bersama Rindi.Tampak di kejauhan petugas yang membuka gerbang tengah bicara dengan seseorang.“Benar, Pak Amir. Pak Dio datang sendirian.”“....”“Baik, Pak.”🍀“Ada apa, Pak?” tanya Bu Amir melihat ketegangan di wajah suaminya.“ Den Dio datang sendirian tanpa memberi kabar terlebih dahulu.”“Kita tidak pernah membuat masalah, Pak ... Kenapa harus khawatir?” tanya istrinya lagi de
Denting sendok terdengar berirama di meja makan rumah Enjang dan Dio. Meja oval dengan enam kursi yang mengelilingi telah terisi lima dan menyisakan satu yang kosong. Biasanya kursi itu akan digunakan seorang pengasuh untuk membantu anak-anak. Hanya saja sejak si kembar tiga tahun Enjang memutuskan untuk mengasuh mereka dengan tangannya sendiri. Azka berusia menjelang empat tahun saat itu. Usia pra sekolah adalah masa penting anak banyak belajar dan meniru orang terdekat hingga dirinya rela bersusah payah karena tak ingin anak-anaknya salah didikan. Enjang sangat protektif akan perkembangan anaknya termasuk anak Sang Suami dengan wanita lain sekalipun. “Pergi ke kamar kalian dan kerjakan tugas seperti biasa. Jam sembilan bunda naik untuk memastikan kalian sudah bersiap untuk tidur. Besok sekolah,” kata Enjang begitu ketiga anak itu sudah menyelesaikan makan malam. Mereka bergegas beranjak meninggalkan ruang makan menuju lantai dua di mana kamar mereka berada. Sang ayah membuat sebu
“Bagaimana sebenarnya Ibu menyampaikan pesan Rindi sama perempuan itu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tampak dahi wanita berbusana serba hitam itu mengerenyit dalam. Aku tak peduli karena saat ini hati tidak sedang dalam mode baik-baik saja. Hatiku sakit karena ulah mereka semua. Bahkan guru mengaji pribadi yang selalu koar-koar padaku agar menjaga keutuhan keluarga demi surga ini tidak becus mengemban tugas kecil. Menyampaikan pada wanita itu bahwa aku pergi bukan karena tak mencintai suami. Aku dan Kak Dio saling mencintai. “Sepertinya Mak Rindi datang dengan rasa marah. Ada apa?” tanyanya dengan suara lembut. Tak pengaruh bagiku dengan kelembutannya karena hati sedang panas. “Ada apa? Ibu yang kenapa?” Aku menunjuk dengan jemari lentik berhena coklat ini tepat ke arah wajahnya. Dia mundur dengan secara reflek. Kerutan di dahinya semakin bertumpuk. “Rindi minta tolong untuk menyampaikan pesan bahwa kami saling mencintai agar wanita tua itu tidak songong, bukan suruh dia
Rindi tertegun menyaksikan ruang kerjanya sangat berantakan. Perlahan dirinya bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian penampilannya telah rapi dan segar dengan busana muslim simple melekat ditubuh langsingnya.Rindi melangkah anggun keluar dari ruangan pribadinya melewati para pegawai butik yang segera menyibukkan diri masing-masing.Tak tampak kekacauan yang baru saja terjadi pada dirinya.“Tolong bereskan ruangan atas, ya.Saya mau keluar jadi selesaikan segera sebelum saya kembali.” Perintahnya lugas layaknya bos.“Baik, Bu.”Rindi memang menjadikan lantai dua butiknya sebagai kantor dan tempat tinggal sementara. Dirinya belum kembali ke rumah kediamannya bersama Dio karena cukup jauh dari kantor Sang Suami.Niatnya sebelum kembali ke rumah itu, Rindi akan memantau kehidupan suami bersama madu dan juga anaknya yang dalam pengasuhan istri kedua suaminya itu.Sayang, se