Kandunganku telah berusia empat bulan. Berukuran lebih besar dari kehamilanku sebelumnya. Mual muntah sangat jarang kualami. Persis kehamilan pertama mengandung Royyan dulu. Ngebo kata orang jawa bilang kalau hamil tak banyak kendala. Hanya nafsu makanku yang luar biasa meningkat membuat bobot tubuh melesat drastic.
“Tidak apa, kau butuh tiga porsi sekarang,” kata Dokter Lita special kandungan yang kupilih di kotaku saat berkonsultasi.
Dokter yang name tagnya bertulis Maulita itu adalah teman SMAku dulu yang pindah ke luar negeri bersama ayahnya yang asli Singapura. Ibunya yang suku jawa adalah seorang koki sebuah hotel yang mempertemukannya dengan Sang Suami. Mereka pindah mukim di negara singa itu dan melanjutkan pendidikan di sana.
Seorang mahasiwa asal Indonesia bertemu dengannya di tempat perkuliahan yang sama dan mereka memutuskan menikah lalu pulang ke tanah air setelah gelar Doktor disandang dan membu
Pulang control kandungan aku bertemu Mas Marwan yang mengantar Syifa putriku di jadwal berkunjung. Mereka melewatkan beberapa bulan karena kesibukan sekolahnya. Tampak Syifa sedang bermanja dengan kakeknya. Bergelayut sambil tertawa renyah. Kutangkupkan tangan memberi salam pada mantan suamiku.Putriku berlari ingin memelukku tapi tertegun meneliti tubuh yang semakin membengkak. Aku merentangkan tangan lalu memeluknya erat.Memeluknya serasa sebagian beban pikiranku menyusut setengahnya, terima kasih ya Allah… kau hadirkan orang-orang terkasih di waktu yang selalu tepat. Monolog hatiku.“Bunda dari mana kok lama banget?” Belum lagi kujawab pertanyaan Syifa, Bapak menimpali dengan pertanyaan.“Bagaimana kandunganmu?” Semua memandangku termasuk Mas Marwan yang tampak kurang senang.“Bunda mau punya bayi lagi? Yeeeyy…!! Syifa
*Dio*“Minum obat dulu, Kak! Sini Azka sama Rindi,” katanya sambil menyambut putranya dari gendonganku.Sepulang dari rumah sakit aku tinggal bersamanya. Terkadang mama dan ayah datang menjenguk melihat kondisiku. Aku merasa baik-baik saja, juga tubuh yang setiap hari semakin segar. Hanya terasa aneh saja tib- tiba aku punya istri dan anak. Saking anehnya perasaan ini aku pun jarang memberi nafkah batin padanya.Ketika Rindi memancingku untuk menyentuh aku pun melakukan dengan awal kaku dan sekedarnya. Rasanya sulit saja untuk membangun rasa padanya, tapi mengingat kenyataan dia adalah seorang istri yang wajib kunafkahi lahir mau pun batin membawa naluri berjalan dengan sendirinya.Pada akhirnya aku tetap seorang lelaki normal yang dengan sentuhan sudah menghidupkan sisi lelakiku terdalam. Kalau sudah begitu bukan jadi masalah berlawan dengan siapa. Jiwa muda Rindi yang lepas dengan desahan agresif sud
“Dijodohkan?” tebakku. Dia mengangguk ragu.Sudah kuduga, ada sesuatu yang tak beres dengan pernikahanku dengannya. Aku menyukai wanita yang kalem, keibuan dan kuharap juga shalihah ditandai kerudung di kepala. Tak kutemukan semua itu pada Rindi selain cantic. Dia model wanita agak keras kepala dan berjiwa bebas tapi juga manja.“Aku akan berubah seperti yang Kakak mau,” katanya dengan mata sudah berkaca-kaca.Tumben sekali anak ini mudah menangis? Apa status ibu menjadikannya berubah kalem? Menarik. Aku akan terus menggali dan mengenali istri dadakan ini. Aku bisa gila kalau sampai tak dapat mengingat sebagian memoriku kembali. Banyak hal mengejutkan terjadi dan tak semua kuinginkan. Kenapa aku bisa begitu bertolak belakan antara keinginan dan yang kulakukan di masa sehat?“Memangnya aku minta Rindi berubah seperti apa?” Aku merasa dia terjebak kata-katanya sendir
*Marwan*Perasaanku mendidih melihat brondong tengik itu bersenang-senang dengan istrinya yang masih belia juga anak lelaki kebanggaannya. Bagaimanapun Enjang pernah ada dalam kehidupanku. Lebih dari lima belas tahun kami bersama. Rasaku padanya hampir tak berkurang. Kalau saja kebodohan tak kulakukan sekarang wanita lembut itu masih bersamaku.Cinta yang masih terpendam membuatku sangat ingin melindunginya. Sayang lelaki itu telah merampas kesempatan yang kumiliki. Harapanku besar untuk bisa merujuknya dengan pertimbangan anak sebagai pengikat. Bukan satu tapi tiga.Namun lelaki muda itu mengacaukan segalanya. Bahkan sekarang justru menanamkan benih kembar di rahim mantan istriku yang dulu bertekat berhenti mengandung karena resiko tinggi setelah usianya menginjak empat puluh tahun dengan riwayat tekanan darah tinggi.“Maaf, Syifa … ayah tak jadi beli mainan yang kau pesan. Besok saja belinya kalau s
“Amnesia!?Maaf aku tidak tahu dan kalian cuma bilang sakit dan akan menjalani operasi.Taka da yang bilang kalau sampai amnesia.” Aku tulus sangat menyesal kali ini. Sepertinya aku berbuat sesuatu yang fatal.“Bagaimanapun keluarga tetap harus ditunjukkan, Bu … jangan hanya sebagiannya saja atau hanya mengikuti memeori yang tertinggal saja. Peran keluarga juga biar penderita amnesia bisa sembuh meski perlu waktu,” kataku. Enjang tampak menunduk menyusut air mata.“Aku ke kamar dulu, Mas,” pungkasnya sambil bangkit dan tertatih berjalan ke arah dalam.Melihat keadaannya aku sangat ingin merengkuhnya seperti dulu. Ingatan bahwa aku juga telah menorehkan luka dalam saat kami bersama mebuatku kembali merasa buruk. Takdir selalu memberinya cobaan berat. Andai saja Allah memberiku kesempatan untuk mengulang dari awal, akan kubasuh luka lama maupun baru dalam hatin
*Dio*Aku mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Berusaha terus focus tapi kejadian tadi sungguh menguras emosi dan pikiran. Bagaimana bisa keluargaku tega membiarkan seorang istri menjalani masa sulit sendirian? Kalau terjadi sesuatu padanya dan juga bayi kami jelas aku akan sangat merasa berdosa.“Kenapa kamu tak mau cerita kalau aku punya istri yang lain?” tanyaku pada Rindi saat kami keluar dari mall di mana seseorang menegurku dan mengingatkan tentang Enjang.Wanita itu sudah kuduga punya hubungan tak biasa denganku. Sikap dan perilaku ganjilnya juga wajah yang kerap hadir di pelupuk mata tanpa kutahu kenapa, kini terjawab sudah. Mimpi buruk yang kerap kualami juga melibatkan wajahnya. Aku sangat merasa bersalah pada Rindi karena hati ini telah berselingkuh bahkan dalam mimpi. Ternyata itu firasat yang tak mampu kupecahkan.Sampai di kediaman orang tuaku mereka tampak terkejut. H
*Dio*Kuparkirkan mobil di halaman D’café agak ke dalam. Entahlah seperti tidak asing dengan tempat ini dan sudah seperti kebiasaan aku melakukannya. Sesosok wanita tergopoh menghampiri.“Bu Enjang di rumah utama, Pak. Silakan lewat samping sana saja!” instruksi wanita itu kutanggapi dengan anggukan sopan.Aku melangkah menyusuri paving blok bercat merah di sepanjang koridor samping café sampai kutemukan jalan kecil memasuki pekarangan samping rumah. Gasebo bamboo dengan tatanan unik membuatku penasaran. Seorang wanita berperut buncil duduk berselonjor sambil tangannya terus mengelus. Dari bibirnya bergerak-gerak melafaldkan sholawat. Ma Sya Allah … pemandangan yang indah.“Enjang….” Dia tampak terkejut.“Mas Dio.“ Air matanya lolos begitu saja.Tak seperti saat pertama bertemu Rindi yang kaku, naluriku
Mendung yang sekian lama menghantui Enjang telah berganti pelangi. Senyumnya merekah menyambut pagi dengan berjalan-jalan menghirup udara segar. Memenuhi parunya dengan O2 sebanyak mungkin.“Selamat pagi Bu Enjang,” sapa pegawaai D’café yang datang di awal waktu.“Selamat pagi,” sambutnya ramah. Enjang sangat menghargai para pegawai hingga D’café harmonis layaknya keluarga.Pagi kali ini Enjang bersama lelaki tampan yang setia mengekor ke manapun dirinya melangkah. Ikut pula tersenyum pada siapa saja yang Enjang sapa dan senyumi. Itu membuat para wanita muda penghuni D’café meleleh. Beberapa yang masih baru belum mengenal suami bos D’café.“Jangan senyumin sembarang orang, dong,” kata Enjang menegur Sang Suami.Bukan marah lelaki tampan di depannya justru memperhatikan setiap polah istrinya de