Selepas menunaikan kewajiban seorang hamba pagi ini aku segera bersiap ke luar kota. Beberapa memo kubuat untuk Mbak Rina asisten pribadiku. Menyerahkan tanggung jawab D’café sepenuhnya selama aku tidak ada.
“Pagi begini sudah gendong tas mau kemana, Nduk?” Ibu menyambutku di ruang makan dengan pandangan heran.
“Mau menyusul Mas Dio, Bu keluar kota. Ada yang harus kami kerjakan bersama.”
Terpaksa aku kembali berbohong agar orang tua itu tak khawatir. Ibu hanya mengangguk ragu. Ini terlalu mendadak tak seperti kebiasaanku yang telah memberitahukan setiap rencana jauh-jauh hari. Kami sarapan bersama tanpa banyak suara. Selesaai sarapan aku kembali ke kamar mengingat akan melakukan sesuatu.
Kamarku kedap suara. Sebelum ke rumah sakit, aku ingin memastikan apakah semua keluarganya tahu keadaan suamiku? Mengingat hal itu segera kugulir layar mencari kontak bertulis &ls
*Enjang Wuni Safitri*Sampai di depan sebuah ruang rawatan VIP yang ditunjukkan seorang perawat aku melihat seorang lelaki tengak duduk tepekur di sebuah kursi. Semakin dekat aku bisa mengenali sososknya. Dia adalah Pak Agus, Ayah Rindi.“Kenapa menunggu di luar, Pak?” sapaku.Reaksi bapak tiga anak yang tak beda jauh usianya denganku itu terperanjat kaget. Mungkin tadi dia sedang melamunkan sesuatu. Matanya merah menandakan kalau kurang tidur semalam. Mulutnya terbuka sedikit seperti mau mengatakan sesuatu tapi menutup kembali dengan terus melihat ke arahku.“Kenapa melihat saya begitu, Pak?” tanyaku sambil mendudukkan diri di sampingnya berjarak satu kursi.“Anu, siapa yang mengabari?” katanya gugup.“Kenapa kalian sengaja tak mengabari keluarga, bahkan orang tuanya? Kalau terjadi apa-apa bagaimana?”&l
“Kenapa papa izinkan dia masuk? Sakitnya Dio itu parah kalau sampai dia mati cepat dan sempat berwasiat sama istinya yang tua itu kita rugi, Pa!” Kata-kata ibunya Rindi benar-benar membuatku kaget.“Apa yang kalian rencanaka!” Mereka berbalik bersamaan.“Sebaiknya kamu pulang saja! Kau istri tak berguna yang suaminya sakit saja tak tahu saat bersamamu. Sekarang biarkan kami keluarga Rindi yang mengurus sampai sembuh,” kata wanita itu arogan.“Dokter! Dokter sebentar.” Bu Ratih mencegat dokter yang akan masuk ruangan memeriksa Mas Dio.“Ya, Bu.”“Ini, Dok. Sebaiknya dia dilarang saja bertemu menantu saya. Takutnya nanti malah membuat pasien tambah parah.”“Maaf ini siapanya pasien ya?”“Dia orang ketiga ….”
Semilir angin sore dari jendela kamar rawat ini membawa aroma melati dari taman. Aku lebih baik focus ke luar meski kuping terganggu oleh suara semacam radio rusak yang menyakiti telinga. Berdenging.“Minum susunya itu kuat sekali, Nak. ASI Rindi sampai kering kau tahu? Terpaksa mama kasih formula, kalau tidak ya, nangis terus. Itu harus tiap dua jam lho mama bangun buat bikin susu.” Bu Ratih terus berceloteh menceritakan setiap polah Sang Cucu.Semula Mas Dio antusias mendengarkan tetapi seperti halnya aku lama-lama jenuh juga. Matanya tampak sayu karena mengantuk. Mungkin obat dari dokter yang membuatnya agar bisa beristirahat. Pandangannya sesekali mengarah padaku sambil berusaha menaggapi cerita mertua sekedarnya.“Mama pulang saja. Bukannya Rindi perlu bantuan kasihan sendirian,” kata Mas Dio sopan.“Rindi sekarang sudah panggil pengasuh anak, jadi tak masalah, Nak?
Aku sedih melihat suami mudaku yang biasa gagah dan tegas terbaring tak berdaya. Matanya menutup sempurna dengan napas mengalir teratur. Mas Dio tertidur dengan tangan menggenggam ujung bajuku. Tampak seperti bayi besar takut kehilangan ibunya. Senyumku terbit menyadarinya.Teringat pesan dokter tadi aku menghentikan belaian di pucuk kepalanya dan mencoba melepaskan tangan Mas Dio dari bajuku. Membetulkan letak selimut dan melangkah keluar ruangan mencari ruang dokter yang menangani suamiku.Rasa tegang tib- tiba hadir begitu berhadapan dengan wanita berjas putih dengan nametag Dr. Marta di bagian dada.“Jadi begini, Bu Enjang. Dari pemeriksaan kami di kepala Pak Dio ada semacam sumbatan kecil di syaraf otaknya.Setelah melakukan serangkaian tes, baru akan diketahui apakah sumbatan itu berbahaya atau tidak. Kami harap itu bukan sejenis tumor.Gejolak perasaan terlalu senang atau ketegangan yang berula
Mobil yang membawa kami melaju perlahan menembus jalanan kota yang lumayan padat sore ini. Jam kantor usai beberapa menit yang lalu hingga jalanan ramai orang pulang dari bekerja.“Harusnya kita berangakat lebih cepat biar terhindar dari tumpahan orang kantor keluar,” gerutuku tak sabar. Mas Dio hanya tersenyum tenang.“Kau baik-baik saja?”“Iya jangan khawatir.”Kami memutuskan pulang untuk mempersiapkan diri melakukan pemeriksaan lanjutan seperti yang dijadwalkan dokter. Mas Dio kekeh minta diantar ke rumah Rindi. Mungkin kangen istrinya itu juga putra mereka. Sejak kejadian ribut di ruang rawat waktu itu kedua orang tua Rindi juga tak datang lagi ke rumah sakit.Rumah tampak sepi saat kami masuk. Pak Satpam membukakan pintu bagi kami dan mengangguk. Banyak yang berubah pada rumah ini terutama keamanannya. Kalau bukan wajah bos mereka yang mu
Selasai membersihkan diri di kamar mandi yang ada di dalam kamar ini aku merebahkan badan di pembaringan. Rasa penat langsung terasa begitu kepala menyentuh bantal. Pikirku biarlah terlelap sebentar sampai maghrib beberapa menit lagi, tapi gedoran di pintu membuatku terlonjak duduk.Pintu terbuka menampilkan sosok menyeramkan Bu Ratih yang sedang dilanda amarah yang memuncak. Ada apa? Hatiku bertanya-tanya tak mengerti.“Apa yang kau rencanakan hah!Ayo kesini!” Tanganku diseret keluar dan untungnya jilbab instan tetap terpasang di kepala.Di sebuah ruangan tampak Rindi bersimpuh di kaki suami kami yang sedang duduk di sebuah kursi dengan wajah frustasi.“Ada apa, Mas?” tanyaku bingung.Mas Dio menatapku dengan pandangan penuh kesedihan. Segera kukibaskan tangan gempal yang masih mencenggkeram pergelangan tangan dan segera menghampiri lelaki y
Kita mau kemana?”“Apartemenku.”Sepanjang perjalanan aku hanya banyak diam. Salah bicara justru akan membuat perasaanya bertambah buruk. Mas Dio membaringkan kepala di pangkuanku. Tubuhnya yang jangkung meringkuk di jok tengah mobil yang kami sewa melalui aplikasi.Turun dari mobil Mas Dio berjalan terhuyung tak stabil. Tubuh kecilku kewalahan menahan bobotnya. Beberapa orang yang mengenali menawarkan bantuan tapi ditolak. Mereka adalah tetangga kiri kanan yang kerap berjumpa saat sama-sama keluar atau masuk. Interaksi di lingkungan apartemen hanya sekedarnya saling sapa senyum saat bersitatapDengan tergesa kami mencapai pintu yang hanya beberapa blok dari lobi. Begitu mencapai ranjang Mas Dio menjatuhkan diri begitu saja dengan asal. Kaki panjangnya masih melambai di pinggir tempat tidur. Susah payah kutarik ke tengah agar lebih nyaman.“Istirahat
Saat sedang berbaring pada bantal yang sama, adalah waktu paling baik bagi suami istri untuk saling bicara. Begitupun kami sekarang. Menjadi diri yang jujur tanpa khawatir apa pun. Ceritanya mengalir tentang keluarga istrinya yang lain. Rindi.“Dia masih sangat muda, Sayang … bersabarlah,” kataku sambil membingkai wajahnya.“Justru karena dia masih muda. Cara didik yang salah membuatnya jadi buruk. Padahal masa pembentukan karakter anakku ada padanya,” ucapnya sedih.“Apa rencanamu?”“Yang pasti aku tak bisa mempercayakan anak keturunanku pada orang-orang yang tamak, rakus harta, dan enggan belajar hidup lebih baik.”“Sudah ada Azka.Jangan gegabah memutuskan, Mas … kurasa ancamanmu tadi sudah cukup.Kalian bisa menata ulang kehidupan lebih baik.Tinggallah terpisah dari orang tuanya.
Prosesi pemakaman papa berjalan lancar dihadiri segelintir tetangga yang mengenal keluarga mama. Rumah yang ditinggali sekarang memang rumah warisan nenek untuk anak perempuannya itu dan keluarga nenek dulu termasuk orang baik di lingkungan.Kak Dio dan keluarga besar Pratama juga hadir termasuk Azka dan … Enjang.Aku mengabari Kak Dio berharap mendapatkan simpatinya tak menyangka mereka datang rombongan termasuk wanita itu.Mama Salma memelukku dengan tangis lirih. Aku tahu beliaulah yang paling menerimaku dalam keluarga itu. Ayah mertua yang dulu juga sangat mendukung aku dan putranya menjadi keluarga utuh monogamy sekarang acuh tak acuh karena kepercayaannya telah ternodai oleh perbuatan jahat orang tuaku di masa lalu.“Mama … ayo pulang.”Mama masih bergeming menatap kosong pada gundukan tanah merah di mana jasad papa beristirahat untuk selamanya. Wanita itu seperti punya naluri bahwa keluarganya tengah berkabung. Meski tidak menangis tapi terus-terusn berwajag sendu. Sangat penu
Hari sudah malam ketika aku berjalan lunglai menuju pintu rumah. Lampu ruang tamu masih menyala seperti saat kutinggalkan mengikuti Kak Dio tadi. Dari balik kaca aku masih bisa melihat dengan jelas tubuh kurus Papa yang terduduk membisu di depan TV. Aku tahu beliau tidak sedang menonton karena layar datar di depannya terlihat gelap.Apakah yang sedang dipikirkannya?Kalah oleh tubuh ringkihnya pikiran papa masih normal untuk memahami banyak hal. Tentu itu penyiksaan tersendiri bagi beliau. Beda dengan mama yang sekarang bahkan tak mengingat aku sebagai putrinya.“Papa ….”Rupanya papa duduk sambil memejamkan mata. Mungkin tertidur saat menungguku pulang karena sejak aku datang lelaki yang dulu selalu lembut pada keluarga itu tak melepas pandangan dari putri kesayangannya ini. Bagaimanapun jahatnya papa di luar sana dia tetap seorang suami dan ayah terbaik.Aku tersentak mendapati tubuh papa yang sangat panas. Kuraba dahi untuk memastikan dan ternyata benar kalau papa demam tinggi. Su
Telah satu jam lebih lamanya kami tetap duduk berhadapan terhalang sebuah meja kecil dan saling membisu. Di meja itu terdapat dua gelas minuman dingin yang es batunya telah mencair juga sebuah map yang tergeletak begitu saja.Setelah ketegangan di rumah mama dan papa tadi kami sepakat untuk bicara berdua secara pribadi. Café inilah yang dipilih Kak Dio. Lelaki yang kulihat semakin tampan diusia matang itu setia menekuri lantai dibawahnya. Wajah cantic istrinya ini yang telah lima tahun berpisah pun bahkan tak menarik minatnya. Justru lembaran berkas perceraian yang disodorkan di depanku.Keterlaluan!“Sampai kapan kau akan bersikap begitu, Rindi?” tanya, Kak Dio menatapku lelah.Haruskah aku mengalah?“Pikirkan baik-baik. Uang dan waktumu bisa kau gunakan untuk mengurus keluargamu yang sekarang keadaannya memprihatinkan. Juga adik yang perlu perhatianmu. Aku tak mungkin terus mengurus mereka apalagi kau sudah kembali.” Uraian panjang itu justru membuat emosiku menanjak.“Semua itu ka
“Benar, Pak. Bu Rindi datang ke rumah lama Pak Amir lalu pergi lagi setelah mendapati rumah berpindah pemilik.” “Apa kau tahu ke mana lagi dia pergi setelahnya?” “Ya. Pak. Kami terus mengikutinya dan perkiraan kita tepat sekali. Bu Rindi kemudian mengunjungi rumah lama orang tuanya. Seperti perintah Pak Dio, pengurus rumah tidak bekerja di hari sebelumnya hingga keadaan mereka menjadi sangat menyedihkan.” “Baik. Terus awasi dia! Saya meluncur kesana,” kataku mengakhiri panggilan telephon orang suruhan yang bekerja mengikuti pergerakan Rindi. Aku tak boleh kembali kecolongan. Sikap polos istri pertamaku itu telah melenceng jauh dari harapan agar menjadi wanita yang pantas untuk Azka putra pertamaku bersamanya. Rindi merusak semuanya. Menyakiti anaknya sendiri demi ego, juga bertindak keterlaluan pada Enjang yang nota bene seseorang yang telah menolongnya bertahun-tahun mengasuh seorang anak dari suami dengan wanita lain meski itu adalah istri pertama suaminya. Aku memiliki anak-a
Rindi melesat membelah jalanan bersama limousine hitam yang kendarainya. Bentuknya yang panjang sebenarnya sedikit merepotkan mengingat di Indonesia begitu banyak daerah macet lalu lintas dan juga sangat repot ketika mendatangi wilayah padat penduduk dengan gang-gang sempit seperti kota J. “Aku harus segera ganti mobil,” gerutu Rindi sambil berjuang keras mengendalikan kendaraannya. Limousine itu dibelinya menghabiskan tabungan nafkah yang selalu dikirimkan oleh sang suami tetapi tidak terpakai. Dengan harapan menaikkan status social di depan Enjang ketika kembali dari luar negeri. Sayangnya mencari sopir pribadi untuk layaknya pemilik sebuah limousine tidaklah mudah apa lagi dulu Rindi selalu tergantung suami, mama atau papanya untuk segala urusan hidup. Bahkan ketika dirinya telah berstatus istri Dio, peran orang tuanya tetap besar menyetir hidup Rindi. Rindi kesulitan hidup mandiri di Negara ini yang memang armada umum tak sebaik kota terakhir dirinya tinggal di luar sana. Setel
Dio melajukan mobil dengan kecepatan sedang ke arah timur kota. Melewati pemukiman yang cukup padat kemudian lurus naik mengarah ke tanah luas berbukit. Suasana asri segera terpampang memanjakan penglihatan. Pepohonan rindang berjejer rapi di kanan kiri jalan. Hingga sampailah pada sebuah gerbang yang lengkap dengan post penjagaan.Bimm!!!Seorang lelaki berseragam biru tua dengan topi di kepala bergegas keluar memeriksa. Setelah dipastikan mengenal mobil dan pengendaranya, kemudian dia bergegas membuka gerbang.Dio melesat masuk bersama kendaraannya menyusuri taman yang cukup luas untuk mencapai rumahnya bersama Rindi.Tampak di kejauhan petugas yang membuka gerbang tengah bicara dengan seseorang.“Benar, Pak Amir. Pak Dio datang sendirian.”“....”“Baik, Pak.”🍀“Ada apa, Pak?” tanya Bu Amir melihat ketegangan di wajah suaminya.“ Den Dio datang sendirian tanpa memberi kabar terlebih dahulu.”“Kita tidak pernah membuat masalah, Pak ... Kenapa harus khawatir?” tanya istrinya lagi de
Denting sendok terdengar berirama di meja makan rumah Enjang dan Dio. Meja oval dengan enam kursi yang mengelilingi telah terisi lima dan menyisakan satu yang kosong. Biasanya kursi itu akan digunakan seorang pengasuh untuk membantu anak-anak. Hanya saja sejak si kembar tiga tahun Enjang memutuskan untuk mengasuh mereka dengan tangannya sendiri. Azka berusia menjelang empat tahun saat itu. Usia pra sekolah adalah masa penting anak banyak belajar dan meniru orang terdekat hingga dirinya rela bersusah payah karena tak ingin anak-anaknya salah didikan. Enjang sangat protektif akan perkembangan anaknya termasuk anak Sang Suami dengan wanita lain sekalipun. “Pergi ke kamar kalian dan kerjakan tugas seperti biasa. Jam sembilan bunda naik untuk memastikan kalian sudah bersiap untuk tidur. Besok sekolah,” kata Enjang begitu ketiga anak itu sudah menyelesaikan makan malam. Mereka bergegas beranjak meninggalkan ruang makan menuju lantai dua di mana kamar mereka berada. Sang ayah membuat sebu
“Bagaimana sebenarnya Ibu menyampaikan pesan Rindi sama perempuan itu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tampak dahi wanita berbusana serba hitam itu mengerenyit dalam. Aku tak peduli karena saat ini hati tidak sedang dalam mode baik-baik saja. Hatiku sakit karena ulah mereka semua. Bahkan guru mengaji pribadi yang selalu koar-koar padaku agar menjaga keutuhan keluarga demi surga ini tidak becus mengemban tugas kecil. Menyampaikan pada wanita itu bahwa aku pergi bukan karena tak mencintai suami. Aku dan Kak Dio saling mencintai. “Sepertinya Mak Rindi datang dengan rasa marah. Ada apa?” tanyanya dengan suara lembut. Tak pengaruh bagiku dengan kelembutannya karena hati sedang panas. “Ada apa? Ibu yang kenapa?” Aku menunjuk dengan jemari lentik berhena coklat ini tepat ke arah wajahnya. Dia mundur dengan secara reflek. Kerutan di dahinya semakin bertumpuk. “Rindi minta tolong untuk menyampaikan pesan bahwa kami saling mencintai agar wanita tua itu tidak songong, bukan suruh dia
Rindi tertegun menyaksikan ruang kerjanya sangat berantakan. Perlahan dirinya bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian penampilannya telah rapi dan segar dengan busana muslim simple melekat ditubuh langsingnya.Rindi melangkah anggun keluar dari ruangan pribadinya melewati para pegawai butik yang segera menyibukkan diri masing-masing.Tak tampak kekacauan yang baru saja terjadi pada dirinya.“Tolong bereskan ruangan atas, ya.Saya mau keluar jadi selesaikan segera sebelum saya kembali.” Perintahnya lugas layaknya bos.“Baik, Bu.”Rindi memang menjadikan lantai dua butiknya sebagai kantor dan tempat tinggal sementara. Dirinya belum kembali ke rumah kediamannya bersama Dio karena cukup jauh dari kantor Sang Suami.Niatnya sebelum kembali ke rumah itu, Rindi akan memantau kehidupan suami bersama madu dan juga anaknya yang dalam pengasuhan istri kedua suaminya itu.Sayang, se