Aku merasa bersalah sekali. Mas Dio sangat menerima anak-anakku. Kasih sayangnya tulus membuat jiwa polos mereka mudah menerima sampai dalam hati berdampingan dengan ayah kandung. Keresahan seorang ayah yang ketakutan anaknya tak akan diterima membuatku sungguh kerdil sebagai istri dan ibu. Hanya karena rasa cemburu.
“Maafkan aku.” Kupeluk suamiku erat.
“Berapa bulan kandungannya?” Mas Dio diam saja menatapku.
“Kenapa?”
“Namanya Rindi. Apa aku egois kalau berharap kalian saling menerima?”
”Hanya dengan legowo menerima, kalian bisa berhubungan baik dalam batasan yang kalian inginkan. Sikap kalian akan terlihat oleh anak-anak kita, Sayang.”
“Apa, dia ….”
“Rindi!”
“Iya! Iya, Rindi. Apa bisa juga menerimaku
Suasana rumah besar dengan halaman luas itu terlihat mewah. Cat putih bersih menandakan bahwa rumah ini masih baru di bangun. Ini istana Mas Dio bersama Rindi istri pertamanya.“Rumahmu sangat nyaman, Sayang …,” bisik Mama Rindi.“Rindi yang mint, Ma. Lagi pula aku sedang mengandung anaknya.Rumah dan tanah yang sangat luas, bukan apa-apa buat keluarga Kak Dio.Aku memberi keturunan yang suamiku inginkan bahkan jika kuminta apa saja yang lebih mahal kelak pasti dikabulkan kalau memang aku butuh.Sekarang ini sudah cukup.” Sang mama mengangguk-angguk mengerti.Sebenarnya aku tak bermaksud menguping. Suara mereka cukup keras dan jelas terdengar dari sini. Dari pintu samping, rencananya masuk dapur untuk mengambil keranjang sampah yang diminta Mas Dio tapi percakapan mereka menghentikan langkahku.“Siapa saja yang diundang?”
“Kalau mama Ratih mau merusak acara kami lebih baik Pak Maman biar mengantar mama pulang!” Suara rendah tapi tegas mengagetkan kami berdua terutama Bu Ratih.Wajah berdadan menor itu tak bisa menyembunyikan semburat ketakutan di wajahnya. Begitupun Sang Putri yang mematung di samping pintu sambil memegangi perut seolah menunjukkan itu adalah kekuatan terbesarnya saat ini.“Eh, nak Dio. Kami hanya ngobrol. Iya kan?” katanya sambil menggamit lenganku. Pandai sekali wanita ini.“Ayo!” Mas Dio merangkul tubuh ini sehingga terlepas dari pegangan. Aku mengikutinya sementara mertuanya melirik tak suka.“Mari ikut saya, Ma!” katanya kemudian. Mungkin dia menyadari lirikan itu.Dengan mengeraskan suara, Mas Dio mengumpulkan semua orang. Mau tak mau semua yang hadir berkumpul memutari sebuah meja oval besar di tengah area. Mata me
Berputar mematut diri di depan cermin sudah kulakukan berulang kali. Hari ini jatahku bersama Mas Dio. Aku ingin terlihat segar saat menyambutnya nanti. Beberapa waktu lalu saat jatahku tiba, suami mudaku tak bergairah seperti biasa. Aku takut sudah tak menarik lagi.‘Enjang, Rindi melahirkan. Maaf, aku tak jadi datang.’Aku mendesah kecewa. Pesan singkat yang masuk di aplikasi hijau dari Mas Dio membuat semangat yang tadi membara luruh. Aku hanya membalasnya singkat.‘Ya. Semoga lancar.’‘Aamiin.’Tanda online di ponsel mati. Aku mengerti hanya saja kenapa sekarang, saat hatiku sedang mellow? Kusibukkan diri bekerja lebih giat. Mangupdate menu baru, mengganti tata ruang, memangkas dan membentuk koleksi bonsai di halaman dan banyak lagi. Kelelahan akan membuatku cepat tidur dan tak sempat lagi melamunkan keberadaan suami yang sedang jauh
Selepas menunaikan kewajiban seorang hamba pagi ini aku segera bersiap ke luar kota. Beberapa memo kubuat untuk Mbak Rina asisten pribadiku. Menyerahkan tanggung jawab D’café sepenuhnya selama aku tidak ada.“Pagi begini sudah gendong tas mau kemana, Nduk?” Ibu menyambutku di ruang makan dengan pandangan heran.“Mau menyusul Mas Dio, Bu keluar kota. Ada yang harus kami kerjakan bersama.”Terpaksa aku kembali berbohong agar orang tua itu tak khawatir. Ibu hanya mengangguk ragu. Ini terlalu mendadak tak seperti kebiasaanku yang telah memberitahukan setiap rencana jauh-jauh hari. Kami sarapan bersama tanpa banyak suara. Selesaai sarapan aku kembali ke kamar mengingat akan melakukan sesuatu.Kamarku kedap suara. Sebelum ke rumah sakit, aku ingin memastikan apakah semua keluarganya tahu keadaan suamiku? Mengingat hal itu segera kugulir layar mencari kontak bertulis &ls
*Enjang Wuni Safitri*Sampai di depan sebuah ruang rawatan VIP yang ditunjukkan seorang perawat aku melihat seorang lelaki tengak duduk tepekur di sebuah kursi. Semakin dekat aku bisa mengenali sososknya. Dia adalah Pak Agus, Ayah Rindi.“Kenapa menunggu di luar, Pak?” sapaku.Reaksi bapak tiga anak yang tak beda jauh usianya denganku itu terperanjat kaget. Mungkin tadi dia sedang melamunkan sesuatu. Matanya merah menandakan kalau kurang tidur semalam. Mulutnya terbuka sedikit seperti mau mengatakan sesuatu tapi menutup kembali dengan terus melihat ke arahku.“Kenapa melihat saya begitu, Pak?” tanyaku sambil mendudukkan diri di sampingnya berjarak satu kursi.“Anu, siapa yang mengabari?” katanya gugup.“Kenapa kalian sengaja tak mengabari keluarga, bahkan orang tuanya? Kalau terjadi apa-apa bagaimana?”&l
“Kenapa papa izinkan dia masuk? Sakitnya Dio itu parah kalau sampai dia mati cepat dan sempat berwasiat sama istinya yang tua itu kita rugi, Pa!” Kata-kata ibunya Rindi benar-benar membuatku kaget.“Apa yang kalian rencanaka!” Mereka berbalik bersamaan.“Sebaiknya kamu pulang saja! Kau istri tak berguna yang suaminya sakit saja tak tahu saat bersamamu. Sekarang biarkan kami keluarga Rindi yang mengurus sampai sembuh,” kata wanita itu arogan.“Dokter! Dokter sebentar.” Bu Ratih mencegat dokter yang akan masuk ruangan memeriksa Mas Dio.“Ya, Bu.”“Ini, Dok. Sebaiknya dia dilarang saja bertemu menantu saya. Takutnya nanti malah membuat pasien tambah parah.”“Maaf ini siapanya pasien ya?”“Dia orang ketiga ….”
Semilir angin sore dari jendela kamar rawat ini membawa aroma melati dari taman. Aku lebih baik focus ke luar meski kuping terganggu oleh suara semacam radio rusak yang menyakiti telinga. Berdenging.“Minum susunya itu kuat sekali, Nak. ASI Rindi sampai kering kau tahu? Terpaksa mama kasih formula, kalau tidak ya, nangis terus. Itu harus tiap dua jam lho mama bangun buat bikin susu.” Bu Ratih terus berceloteh menceritakan setiap polah Sang Cucu.Semula Mas Dio antusias mendengarkan tetapi seperti halnya aku lama-lama jenuh juga. Matanya tampak sayu karena mengantuk. Mungkin obat dari dokter yang membuatnya agar bisa beristirahat. Pandangannya sesekali mengarah padaku sambil berusaha menaggapi cerita mertua sekedarnya.“Mama pulang saja. Bukannya Rindi perlu bantuan kasihan sendirian,” kata Mas Dio sopan.“Rindi sekarang sudah panggil pengasuh anak, jadi tak masalah, Nak?
Aku sedih melihat suami mudaku yang biasa gagah dan tegas terbaring tak berdaya. Matanya menutup sempurna dengan napas mengalir teratur. Mas Dio tertidur dengan tangan menggenggam ujung bajuku. Tampak seperti bayi besar takut kehilangan ibunya. Senyumku terbit menyadarinya.Teringat pesan dokter tadi aku menghentikan belaian di pucuk kepalanya dan mencoba melepaskan tangan Mas Dio dari bajuku. Membetulkan letak selimut dan melangkah keluar ruangan mencari ruang dokter yang menangani suamiku.Rasa tegang tib- tiba hadir begitu berhadapan dengan wanita berjas putih dengan nametag Dr. Marta di bagian dada.“Jadi begini, Bu Enjang. Dari pemeriksaan kami di kepala Pak Dio ada semacam sumbatan kecil di syaraf otaknya.Setelah melakukan serangkaian tes, baru akan diketahui apakah sumbatan itu berbahaya atau tidak. Kami harap itu bukan sejenis tumor.Gejolak perasaan terlalu senang atau ketegangan yang berula