“Istriku sangat boros. Uang berapa pun habis di tangannya. Kalau ada urusan dengan suaminya ini maka itu dipastikan hanya soal uang dan uang.” Begitu cerita Pak Marwan rekan kerjaku.
Keprihatinanku bertambah tambah saat melihatnya berbusana lusuh. Pendapatannya bukan sedikit. Dirinya termasuk senior di kantor dengan bonus hampir sejumlah gaji bulananku. Jarang jajan, lebih senang makan siang di kaki lima ketimbang kantin kantor yang katanya lebih mahal. Padahal seharusnya Pak Marwan bisa makan setiap hari di resto favorite kalau memang ada niat.
Rupanya masalah ada pada istrinya yang katanya boros. Mungkin tidak bisa mengatur keuangan. Menurut sang suami, Bu Enjang juga berpendidikan rendah. Aku mengenalnya saat ada family day di kantor.
Penampilan Bu Enjang waktu itu tidak terlalu glamour tapi elegant menurutku. Busana muslim dengan jilbab panjang hingga ke bawah lutut yang lumayan mahal. Mungkin sudah diingatkan suaminya agar tidak tampil berlebihan. Agar mengimbangi dirinya yang tetap apa adanya di moment tak biasa itu.
“Istriku ingin pisah dariku,” kata pak Marwan suatu kali. Entah sejak kapan kami memang agak dekat. Beberapa project kantor kami tangani bersama.
“Apa yang terjadi?” tanyaku prihatin. Dia lebih lusuh dari biasanya. Beda soal penampilan, soal profesionalisme jangan tanya. Seniorku itu sangat disiplin tapi kami tak bersekat saat di luar. Aku suka itu di mana banyak rekan kami yang lain jadi lebih arogan jika posisi ada di atas yang lain.
“Orang tuanya mencampuri urusan rumah tangga kami,” katanya dengan tatapan sendu sambal mengaduk makanan tanpa menyuapkannya ke mulut. Masalah ruamh tangga mungkin membuatnya kehilangan selera makan. Padahal saat itu kami berada di kantin kantor dengan menu yang katanya kesukaan tapi jarang dibeli karena mahal.
Aku tak mengerti masalah rumah tangga yang sepertinya pelik. Di usia hampir kepala tiga tapi jodohku belum menghampiri. Padahal menurul beberapa rekan aku bukan berwajah jelek. Manis kata Pak Marwan suatu kali saat aku tersenyum.
Pria matang yang supel itu selalu bisa menutupi penampilannya yang sangat biasa. Ditunjang dompet tebal bagi yang mengenalnya jelas pasangan yang dirindukan perempuan untuk sebuah kenyamanan sebagai pasangan. Bu Enjang istrinya seperti kurang bersyukur memilikinya.
Anganku jadi berkelana jika bisa menarik hati lelaki ini. Akan kuberikan pelayanan terbaik seperti ibuku melayani ayah. Baju pantas dan rapi untuk ke kantor, bekal makan siang jika suka makanan rumahan, juga perhatian agar tak mencarinya di luaran seperti saat ini.
“Bu Dian!” Aku terlonjak dari lamunan.
“Kenapa malah melamun?
Senyum sendiri lagi.
Seperti senang di atas deritaku,” kata Pak Marwaan sambal memanyunkan bibirnya yang agak tebal.
“Bukan begitu, Pak … maaf saya lagi melamun,”kataku sambal menunduk malu. Mungkin wajahku sudah memerah saat ini. Semoga dia tak tahu apa yang kulamunkan.
Kesibukan membuatku melupakan Mas Marwan. Kebetulan teamku kali ini bersama orang lain. Hingga kabar bahagia kudengar. Bu Enjang melahirkan bayi perempuan harapan sang suami. Aku turut senang meski ada sedikit kecewa. Jika mereka bisa melewati masalah keluarganya, kesempatanku menggaet calon duda tak ada lagi.
“Kita jenguk Bu Enjang lepas kantor nanti. Bu Dian ikut?” tanya rekan dari balik kubik sebelah.
“Insya Allah.”
Rumah bercat cream berpadu coklat tua itu tampak nyaman. Benar kata Pak Marwan kalau selera Bu Enjang lumayan tinggi. Perabot rumah, pajangan, lukisan bahkan buku yang berjajar rapi di rak bisa dikalkulasi nilainya.
Sepadan dengan pemiliknya yang memukau cantik terawat. Menunjukkan kwalitas skincare yang dia pakai. Cukup sepadan dengan suaminya kalau di rumah ternyata. Setelan celana pendek selutut berbahan katun dipadu kaus yang tampak nyaman menempel di badannya yang cukup proporsional. Mereka tampak bahagia berdampingan dengan bayi di pangkuan sang istri.
Namun malam itu ….
‘Sepertinya rumah tanggaku tak bisa lagi kupertahankan.’ Kata dari ujung telephon terdengar frustasi begitu sambungan terhubung. Aku tak mampu merespon selain bertanya, apa yang terjadi.
‘Aku tak tahu lagi, Dik Dian.’
Dik Dian? Aku cukup kaget mendengar panggilan non formalnya. Kami terdiam bersama dengan telephon yang masih tersambung dengan pikiran yang berbeda. Lalu sambungan tertutup.
Lama aku tak melihat atau bertemu lelaki itu. Seorang suami yang tengah dirundung masalah rumah tangga. Aku tak berani menghubunginya biarpun sekedar menanyakan kabar. Aku takut menjadi tertuduh penyebab keretakan mahligai mereka yang sebenarnya telah bermasalaah dari lama. Setidaknya itu yang kutahu dari curhatan sang pria.
Tak dipungkiri rasa iba berkembanmg jadi rasa simpati tapi sungguh tak ada harapan di hati sedikit pun untuk kehancuran sebuah ikatan suci apalagi ikut merecoki di dalamnya. Predikat pelakor tak menarik bagiku meski umur menjadikanku berstampel perawan tua.
~~
Minggu pagi kuputuskan olahraga dengan lari kecil di sebuah taman ketika seseorang menyapa dari kejauhan.
“Dik Dian!” Mas Marwan nampak berdiri dengan sepeda di sampingnya. Terlihat gagah dengan stelan olahraga lengkap dengan sepatu sport warna putih. Aku sendiri yang tengah berlari kecil di pinggir taman berhenti sejenak mendengar panggilannya.
“Jauh banget olahraganya, Pak?” Aku berbasa basi saat dirinya mendekat sambal mengayuh sepedanya pelan.
“Itu perum tempat tinggalku kelihatan,” katanya sambal memajukan dagu menunjuk arah. Aku gelagapan. Kenapa bisa lupa ya? Sebenarnya memang kami tinggal tidak terlalu berjauhan dan aku bahkan menyadarinya sejak lama. Kostanku ada di perkampungan sebelah perumahan Pak Marwan. Beberapa blok saja dari rumahnya ada jalan tembus menuju taman ini. Jalan yang juga kulalui dari arah yang berlawanan.
Kami berjalan beriringan menuju sebuah bangku taman. Dilihat mungkin nampak seperti pasangan. Berpikir begitu aku segera mengambil jarak.
“Kenapa?”
“Ah, tidak.” Aku tersenyum canggung.
“Bagaimana kabar Bu Enjang dan Si Kecil?” tanyaku saat kami sudah duduk berdua dengan jarak aman.
Pria yang kelihatan lebih kurus dari terakhir kami bertemu menarik napas panjang sebelum bicara. Lalu mengalirlah kisah tentang luka dalam sebuah kegagalan.
“Jadi kalian telah sah bercerai?”
“Dalam proses. Enjang tak pulang lagi saat dijemput mertuaku lepas empat puluh hari usia putri kami. Entah seperti apa Syifa sekarang. Mungkin lebih gemuk,” ujarnya sambil menerawang pandang dan tersenyum getir.
Ingin aku sekedar menepuk bahunya untuk menenangkan tapi … kami bukan mahram. Aku menahan diri dari yang tak seharusnya.
“Dik ….”
“Ya.”
“Maukah menemaniku melanjutkan umur? Aku nyaman bersamamu… bisakah kita berbagi?”
Aku menatapnya gamang. Sisi hatiku senang tapi apakah secepat itu? Pria memang tak memiliki masa iddah tapi apa bukan pelarian namanya jika kemungkinan istrinya masih bertahta di hatinya?”
“Tak usah jawab sekarang. Setidaknya kalau kamu tak keberatan setelah putusan pengadilan dan aku siap mengisi ruang kosong itu aku bisa melihatmu.”
Aku tersenyum. “Baiklah.”
Bau tanah basah sisa hujan semalam kuhidu kuat demi mengisi penuh paruku dengan sebanyak mungkin hawa segar pagi ini. Aku harus terus berusaha waras menghadapi segala rasa yang berperang dalam batin. Karamnya mahligaiku bersama Mas Marwan meninggalkan luka dalam bagi buah hati kami terutama Syifa. Bagaimanapun tak akan pernah kukotori hati putihnya dengan rasaku pada sang ayah. Demi mereka harus kukesampingkan sejauh mungkin ego yang bercokol di hati. Membenci mantan suamiku.“Mas kita harus kerja sama untuk menjaga hati Syifa. Biarkan dia ikut dulu bersamaku biarpun hak asuh ada padamu, “ pintaku sambil menangkup tangan memohon.“Sampai kapan.”“Enjang tidak tahu. Mungkin baik kalau Syifa mendapatkan apa yang dia ingin saja,” kataku ragu.Mendengar ucapanku percikan amarah berpendar dari mata yang dulu sangat kusukai karena begitu teduh. Sayang sekarang keteduhan
“Begitu aja cantik apa lagi kalau ….” Dia menghentikan bualannya ketika kulirik tajam. Saat ini kami sedang berada di sebuah acara pelatihan UMKM bersama mereka yang muda dan antusias mengikuti jalannya acara. Apa lagi pembawa acaranya lucu dengan banyolan segar. “Sukses cari materi, akan mudah sukses juga cari pasangan ya, tidak …!!?” Gemuruh tepuk tangan membahana. Pemateri kali ini adalah seorang pemuda tampan lagi mapan bernama Dio. Pengusaha yang Berjaya di bidang kuliner di usia cenderung muda. Bersahajanya di podium berbanding terbalik saat dirinya berada di luar. Tengilnya luar biasa. Kami bertemu saat menawarkan produk minuman herbal yang coba kuproduksi belakangan ini. Karena dialah aku mengenal komunitas pelaku UMKM. “Datang ke gedung serba guna. Aku juga di sana. Nanti kukirimkan jadwal harinya,” katanya wa
Pagi masih basah sisa hujan semalam saat sebuah motor masuk pagar halaman.Aku yang tengah memberi makan ayam di pekarangan samping jadi bergegas takut ada sesuatu yang penting."Ada apa, Nak?" Tak sabar sampai duduk kucecar tanya.Sekarang bukan hari libur tapi putraku tiba-tiba datang ke rumah dengan penampilan dan gaya yang berbeda dari biasanya. Sungguh aku sangat khawatir dia terpengaruh pergaulan yang salah."Assalamualaikum, Bunda.""Waalaikumusalam warahmatullah."Royyan nyengir menyadari tatapan intensku pada motor vixion yang dikendarainya. Seakan tahu tanda tanya besar di kepala ibunya. Aku tak pernah membelikan kendaraan apa lagi yang model begitu. Kendaraan khas anak muda. Mungkinkah Mas Marwan yang membelikannya?"Nanti kujelasin, Bun ... masuk yuk. Pasti udah ada sarapan enak," katanya sambil merangkulku masuk ke dalam.
Aku seperti tak mengenal anak sendiri. Serasa lingluing sekejab aku terduduk di kursi kayu dekat ibu berada. Wajah tua itu tampak sama terkejutnya denganku. Sedikit banyak beliau tahu permasalahanku dengan lelaki bernama Dio yang disebutkan cucunya. "Tolong jangan diputus dulu ya, Bund ... Kami sudah kenal cukup lama. Om Dio Maha Santri di Pondok Royyan dulu. Jadi in sya Allah kenal baik dengan beliau. Motor itu hadiah karena Royyan mencapai target dari ustadz hanya Om Dio donaturnya." Aku hanya melongo mendengar penjelasan putraku. Kuteliti wajah itu untuk mencari ketidak jujurannya tapi nihil. Kemarahan entah lenyap kemana, sekarang. Perlahan kugeser kursi mendekat padanya. Aku mencoba bicara dengan suara yang rendah. "Tapi, Nak ... Om Dio itu terlalu muda buat bunda. Tak jauh lho selisih usia sama kamu," kataku sambil mengelus bahunya lembut. Cara ini biasanya jarang gagal u
Tinggal di kampung kecil segala berita cepat sekali tersebar. Kabar aku dilamar brondong kaya jadi topic hangat di setiap persimpangan."Kok ra isin wes tuek arep mbojo bujang." Begitu nyiyiran mereka mencibir.Aku cukup kebal menghadapi omongan tetangga. Sejak kepindahanku kembali ke rumah ini, rasanya tak ada yang lepas dari gunjingan. Status janda, anak-anak juga segala polahku dibahas. Punya banyak waktu mereka memantau hidup ini. Ma sya Allah, semoga tertempa sabarku.Hari ini dipastikan hidupku kembali viral di kampung penghasil ubi kayu ini. Pasalnya ketika matahari baru naik menghangatkan dinginnya cuaca, kampung Legok kedatangan tamu agung. Agung di sini identik dengan harta, ukuran derajat seseorang."Mobile apik." Bisik-bisik mereka yang mengikuti sampai halaman dengan dalih menunjukan jalan."Terima kasih ya, bapak-bapak sudah diantar," kata seorang ibu berbusana glam
Duduk berhadapan dengan suasana kaku, aku masih menunggu wanita kaya itu meneyelesaikan maksud kedatangannya. Entah mengapa dia tampak bingung dan ragu akan apa yang akan disampaikan. "Ya, sekalipun begitu, maksudnya biarpun memang penampilan bisa menipu, kamu tetap saja janda berumur yang sudah banyak anak. Apa pantas merayu Dio anakku!?" Deg! Syok dengan pernyataannya aku terdiam dan tanpa sadar pipiku sudah basah. Tatapannya tampak kaget tapi itu hanya sekejapan mata. Dia pandai mengendalikan diri dan perasaan. Namun aku sedikitnya tahu bahwa dia sebenarnya tetap seorang ibu yang berhati cukup lembut. Mungkin rasa khawatir Pada putranya membuatnya begitu garang dan menjunjung tinggi martabatnya tapi tanpa sengaja menurunkan gaya formilnya dengan menyebutku ‘kamu’ dari sebutan ‘ibu’. "Eh, kenapa nangis? Apa saya salah bicara? Setidaknya kamu kan juga seorang ibu pasti tahu bagaimana saya k
“Berita itu tidak benar, Bu … yang datang itu hanya bertanya soal hubungan kami.Putranya meminta agar melamarku pada bapak dan ibu .Sarah dan Dio tak menjalin hubungan selain hanya kenal saja.” Aku terus menceracau agar ibu percaya.“Ya, Allah, Nduk … sadar!”Aku semakin pusing karena segala hal di sekitarku berputar sangat kencang tapi ibu seperti tak terganggu sama sekali. Ini sangat berbahaya kenapa ibu hanya sibuk memelukku sambil berkata yang tak begitu jelas kudengar?“Ibu. Itu tak penting ayo sekarang kita keluar.Goncangannya makin kencang, Bu!” pekikku karena ibuku menghiraukan peringatanku.Ini gempa dan sangat berbahaya kalau tetap di dalam rumah. Aku mencoba terus menggapai tangan ibu meski putaran ini semakin hebat. Kupejamkan rapat-rapat mata agar mengurangi pusing yang melanda. Aku mulai merasa mual.
Aku mendengarkan kepanikan dari seberang sana dengan rasa yang datar saja, tak ingin menanggapi apa lagi peduli tentang apa yang dia rasakan. Tidak juga merasa senang karena dikhawatirkan. Semua juga karena kegilaannya.‘Kemarin ibuku menemuimu?Apa yang beliau lakukan padamu?Kau baik baik saja kan?Aku minta maaf Enjang.’Suaranya beruntun seperti petasan.Aku hanya bisa mendengus sebal. Segera kuloudspeker dan meletakkannya di Kasur. Biarka dia puas bicara sendiri, aku tak mau ambil pusing.‘Aku pasti akan bisa mengatasinya. Tak perlu khawatir, putramu juga sudah memberi restu.Hallo Enjang! Kau masih di sana?Jangan bilang kau berubah pikiran karena kedatangan ibuku!Enjang!Enjang!Kau dengar aku?’“Iya,” kataku lemah.‘Apa, kau sakit?’ Suaranya terdengar mere