"Pakai uangmu dulu ya,” kataku untuk menghindar dari memberikan uang nafkah.
Bukan tanpa alasan. Sarah istriku itu punya tabungan banyak. Apapun di tangannya bisa jadi uang. Masakannya, barang yang dipakainya, kosmetiknya, semua dijadikan iklan. Bahkan saat dia main ke tetangga tangannya tak pernah kosong. Ada saja bawaan karena Sarah orang yang ringan tangannya untuk membantu siapa saja jika mampu.
“Tapi, Mas ….” Aku sungguh sebal lihat mimik wajah yang selalu terlihat tak berdaya. Merasa terzolimi padahal makanan tak pernah kurang di meja makan. Ya meskipun bukan beli dari uangku kan sama saja sekeluarga tak pernah kekurangan. Itu saja intinya.
Rumah kami cukup besar. Dua lantai dengan banyak kamar. Tak sedikit uang terkuras untuk membangunnya dulu. Seharusnya Sarah banyak bersyukur. Di lingkungan kami banyak orang masih mengontrak.
“Kamu itu harusnya bersyukur, Sarah … jadi istriku tak pernah kan kekurangan? Tinggal juga nyaman.” Sarah malah melengos. Istri kurang akhlak memang.
Perabotan rumah penuh, lemari besar untuk pakaian, kasur berkwalitas baik, perabot dapur komplit juga pajangan. Mainan anak juga bertebaran ada di setiap ruang. Boneka dan segala tetek bengeknya. Jangan lupa meja rias di kamar. Berbagai botol berjejer berisi berbagai cream dan serum kecantikan. Mahal itu harganya, kudengar. Jadi tak heran Sarah selalu kelihatan cantik dan segar.
Istriku selain cantik memang cerdas meski hanya lulusan SMA. Yang namanya jualan dia jagonya. Tak perlu modal pula. Teman jual lemari dia tawarkan ke teman lain. Menjual sekian sudah dapat sekian untuk beli dipajang di rumah. Kasur, perabot dapur juga yang lain sama saja cara mendapatkannya.
Isi lemari bajunya jangan tanya, penuh baju dan tas mahal. Itu semua juga keuntungannya menjualkan produk toko fhasion sekitar rumah. Entahlah kenapa mereka begitu percaya pada Sarah. Toko kosmetik pun sama.
“Aku beli sendiri semua itu, Mas.” Sarah selalu berdalih setiap aku keberatan karena dia terlalu boros.
Memangnya kenapa kalau beli sendiri ya, kan? Kalau boros tetap saja uang cepat habis. Kan sayang mending ditabung. Suatu saat bisa buat beli sesuatu yang besar misalnya sawah di kampung atau tanah dan rumah untuk investasi jangka panjang.
Belakangan Sarah mulai berani membantah. Kadang berteriak atau membanting barang. Sebenarnya cukup kaget juga karena saat pertama kunikahi hingga anak pertama lahir dia wanita sholihah yang lembut dan penurut.
“Kurasa karena dia sekarang punya banyak uang sendiri jadi merasa kuat, Mas,” kata Dian teman kantorku saat kucurhati soal perubahan sikap istri.
“Apa bener kalau istri banyak duit jadi berani sama suami?”
“Biasanya begitu.” Aku manggut dengar penjelasan Dian. Jadi kepikir gimana biar Sarah tak terlalu getol cari uang. Mungkin hamil setidaknya mengurangi aktivitas keluarnya. Bahaya juga kan pengaruh dunia luar? Kurasa Sarah terlalu bebas selama ini.
Malam hari aku melancarkan aksi mendekati Sarah. Wanita mungil bermata agak sipit itu gampang banget meleleh kalau kubaiki sedikit saja.
“Sayang … anak sudah pada besar sepi ya?” kataku sambal memeluknya dari belakang. Sarah yang sedang asyik baca novel segera menarik batas menyelipkannya sebelum menutup novel lalu meletakkan di nakas.
Yang sangat kusuka dari wanita berambut lurus sebahu itu selalu penuh memberikan atensinya saat suami menginginkan. Baik ingin bicara maupun ingin pelayanan yang lain.
“Sudah dua, Mas … rasanya udah males ngurus bayi lagi. Kegiatanku sekarang ini banyak.”
“Kegiatan apa? Cari uang? Aku kan kerja, Bu … mumpung kamu masih cukup muda buat hamil. Kita belum punya anak perempuan.” Sarah mendesah dan melapaskan diri dari pelukanku.
“ Laki apa perempuan sama saja, Mas … Lagian banyak anak akan banyak biaya dan ….”
“Aku akan kerja lebih keras,” potongku cepat.
“Sekali lagi ya, Sayang … kalau nanti dapat cowok lagi ya sudah. Rezeki kita berarti jagoan. Kalau sudah sekali ini kita tidak penasaran lagi,” kataku meyakinkan.
Sarah mendesah. “Baiklah.”
Aku bersorak girang dalam hati. Yes berhasil! Hari kemudian adalah saat usaha malamku lebih giat. Menjaga pola makan lebih banyak sayur dan buah juga tentu saja mengusahakan istri lebih bahagia. Aku membantunya mengurus rumah, melarangnya banyak aktivitas luar, begitu juga diriku yang mengurangi kegiatan. Pekerjaan kantor sedang senggang. Banyak waktuku untuk istri.
"Mas, sini … filmnya bagus nih!” teriak Sarah dari ruang keluarga. Baru ingat kalau wanita yang kunikahi dengan mahar seadanya itu memang manja dari dulu. Hanya saja kesibukan kami membuat kemanjaannya tersimpan dalam.
Kami menonton drama romantic berdua sambal berpelukan yang kemudian jadi berlanjut intim. Tak ada sesiapa di rumah selain kami berdua. Pintu rumah selalu tertutup jika bukan ada tamu atau acara tertentu. Kami bebas bercinta di mana saja kami inginkan. Kali ini bersama suara film yang kami tonton aku menikmati desahan Sarah yang lebih bergairah dari biasanya.
“Jangan terlalu cepet, Mas… Sarah pingin main lamaa….” Suaranya yang serak basah membuatku menggelepar. Mengimbangi permainan Sarah yang luar biasa kali ini membuatku menahannya sekuat tenaga. Tak rela rasanya jika berakhir dan dia kecewa.
“Maas ….” Akhirnya Sarah memelukku sangat erat dengan jepitan keras yang meluruhkan kami berdua.
Memeluknya sambil merapikan anak rambut di dahi yang basah aku sungguh mengagumi istriku. Kecantikan alami tanpa polesan mekup memesona. Sepekan kemudian Sarah mengeluh pusing. Aku memberikan testpak yang lama kusiapkan. Garis dua. Alhamdulillah.
“Positif, Mas … Alhamdulillah." katanya girang. Aku memeluknya.
“Besok kita ke dokter ya, Mas… untuk memastikan sama minta vitamin,” kata Sarah dengan mata berbinar.
“Em tidak perlu, Bu. Kan sudah ditest pakai alat. Kamu tinggal jaga diri sama makan banyak. Tak perlu dokter buang uang kalau kamu sehat.” Tubuh istriku menegang dengan sorot mata aneh. Entah kemana binar tadi pergi.
“Anak mau tiga masih tak tahu cara merawat ibu hamil?” katanya sinis. Hilang sudah kelembutan yang baru saja kukagumi.
Masalah tak sampai di situ saja. Hanya karena aku menolak membawanya ke dokter karena dia sehat saja, bahkan Sarah mengancamku untuk bercerai. Apa salahku coba? Kehamilan pertama dan ke dua untung tak ada drama seperti ini.
Saat itu kebetulan kantor menugaskanku selalu terjun ke lapangan di awal pernikahanku. Itu bidang yang amat kukuasai dan karena itu karirku terangkat. Untung Sarah wanita mandiri hingga kehamilan pertama dan kedua tak perlu kutunggui. Aku hanya cuti saat istri mau melahirkan dan berangkat lagi setelah syukuran sepekan bayi kami. Uang kebutuhan kusisihkan dari uang makanku di lapangan. Beberapa ratus ribu seminggu sekali kukirim.
Sekarang aku tugas di pusat yang artinya tetap tinggal di rumah. Kupikir tak perlu lagi kuberikan uang kalau kebutuhan sudah tercukupi. Tabunganku juga untuk masa depan kami bukan kupakai berfoya.
Blam!! Suara pintu dibanting membuyarkan lamuanku. Sarah kembali menjadi istri yang acuh dan menyebalkan.
Tak menyangka kekerasan hati Sarah berlanjut hingga melahirkan. Lebih kaget lagi saat dia bilang akan dijemput orang tuanya. Aku kalang kabut. Kebahagiaan mendapatkan anak perempuan tertutup masalah pelik yang kini di depan mata.
“Marwan … Sarah kuserahkan padamu dulu untuk kau tanggung jawabi dengan baik sesuai ajaran Islam kita.
Menafkahi lahirnya yaitu sandang, papan dan pangan.
Menafkahi batin yaitu kebutuhan biologis, ketenangan batin dan kebaikan iman.
Apa sudah kau penuhi?” tanya bapak dengan wajah tenang.
Aku memilin jari gugup. Bapak Mertua yang cukup berada tapi tampil apa adanya dan sederhana membuatku kehilangan kata.
“Sa, Sarah tidak pernah kekurangan, Pak,” kataku lirih.
“Benar. Karena dia mau bergerak mencukupi kebutuhan diri beserta anaknya.
Bapak menyesal menyerahkannya padamu.
Kau bahkan tak tahu apa itu nafkan istri dan keluarga.
Aku akan mengambil tanggung jawab atasnya kembali jadi tolong lepaskan.” Aku mendongak kaget.
“Bapak ….”
“Kalau panggilan sidang datang tak usah kau hadiri biar semua jadi mudah, kalau kau tak mau dipermalukan di persidangan.” Ultimatum mertua membuat mulutku kelu.
“Istriku sangat boros. Uang berapa pun habis di tangannya. Kalau ada urusan dengan suaminya ini maka itu dipastikan hanya soal uang dan uang.” Begitu cerita Pak Marwan rekan kerjaku.Keprihatinanku bertambah tambah saat melihatnya berbusana lusuh. Pendapatannya bukan sedikit. Dirinya termasuk senior di kantor dengan bonus hampir sejumlah gaji bulananku. Jarang jajan, lebih senang makan siang di kaki lima ketimbang kantin kantor yang katanya lebih mahal. Padahal seharusnya Pak Marwan bisa makan setiap hari di resto favorite kalau memang ada niat.Rupanya masalah ada pada istrinya yang katanya boros. Mungkin tidak bisa mengatur keuangan. Menurut sang suami, Bu Enjang juga berpendidikan rendah. Aku mengenalnya saat ada family day di kantor.Penampilan Bu Enjang waktu itu tidak terlalu glamour tapi elegant menurutku. Busana muslim dengan jilbab panjang hingga ke bawah lutut yang lumaya
Bau tanah basah sisa hujan semalam kuhidu kuat demi mengisi penuh paruku dengan sebanyak mungkin hawa segar pagi ini. Aku harus terus berusaha waras menghadapi segala rasa yang berperang dalam batin. Karamnya mahligaiku bersama Mas Marwan meninggalkan luka dalam bagi buah hati kami terutama Syifa. Bagaimanapun tak akan pernah kukotori hati putihnya dengan rasaku pada sang ayah. Demi mereka harus kukesampingkan sejauh mungkin ego yang bercokol di hati. Membenci mantan suamiku.“Mas kita harus kerja sama untuk menjaga hati Syifa. Biarkan dia ikut dulu bersamaku biarpun hak asuh ada padamu, “ pintaku sambil menangkup tangan memohon.“Sampai kapan.”“Enjang tidak tahu. Mungkin baik kalau Syifa mendapatkan apa yang dia ingin saja,” kataku ragu.Mendengar ucapanku percikan amarah berpendar dari mata yang dulu sangat kusukai karena begitu teduh. Sayang sekarang keteduhan
“Begitu aja cantik apa lagi kalau ….” Dia menghentikan bualannya ketika kulirik tajam. Saat ini kami sedang berada di sebuah acara pelatihan UMKM bersama mereka yang muda dan antusias mengikuti jalannya acara. Apa lagi pembawa acaranya lucu dengan banyolan segar. “Sukses cari materi, akan mudah sukses juga cari pasangan ya, tidak …!!?” Gemuruh tepuk tangan membahana. Pemateri kali ini adalah seorang pemuda tampan lagi mapan bernama Dio. Pengusaha yang Berjaya di bidang kuliner di usia cenderung muda. Bersahajanya di podium berbanding terbalik saat dirinya berada di luar. Tengilnya luar biasa. Kami bertemu saat menawarkan produk minuman herbal yang coba kuproduksi belakangan ini. Karena dialah aku mengenal komunitas pelaku UMKM. “Datang ke gedung serba guna. Aku juga di sana. Nanti kukirimkan jadwal harinya,” katanya wa
Pagi masih basah sisa hujan semalam saat sebuah motor masuk pagar halaman.Aku yang tengah memberi makan ayam di pekarangan samping jadi bergegas takut ada sesuatu yang penting."Ada apa, Nak?" Tak sabar sampai duduk kucecar tanya.Sekarang bukan hari libur tapi putraku tiba-tiba datang ke rumah dengan penampilan dan gaya yang berbeda dari biasanya. Sungguh aku sangat khawatir dia terpengaruh pergaulan yang salah."Assalamualaikum, Bunda.""Waalaikumusalam warahmatullah."Royyan nyengir menyadari tatapan intensku pada motor vixion yang dikendarainya. Seakan tahu tanda tanya besar di kepala ibunya. Aku tak pernah membelikan kendaraan apa lagi yang model begitu. Kendaraan khas anak muda. Mungkinkah Mas Marwan yang membelikannya?"Nanti kujelasin, Bun ... masuk yuk. Pasti udah ada sarapan enak," katanya sambil merangkulku masuk ke dalam.
Aku seperti tak mengenal anak sendiri. Serasa lingluing sekejab aku terduduk di kursi kayu dekat ibu berada. Wajah tua itu tampak sama terkejutnya denganku. Sedikit banyak beliau tahu permasalahanku dengan lelaki bernama Dio yang disebutkan cucunya. "Tolong jangan diputus dulu ya, Bund ... Kami sudah kenal cukup lama. Om Dio Maha Santri di Pondok Royyan dulu. Jadi in sya Allah kenal baik dengan beliau. Motor itu hadiah karena Royyan mencapai target dari ustadz hanya Om Dio donaturnya." Aku hanya melongo mendengar penjelasan putraku. Kuteliti wajah itu untuk mencari ketidak jujurannya tapi nihil. Kemarahan entah lenyap kemana, sekarang. Perlahan kugeser kursi mendekat padanya. Aku mencoba bicara dengan suara yang rendah. "Tapi, Nak ... Om Dio itu terlalu muda buat bunda. Tak jauh lho selisih usia sama kamu," kataku sambil mengelus bahunya lembut. Cara ini biasanya jarang gagal u
Tinggal di kampung kecil segala berita cepat sekali tersebar. Kabar aku dilamar brondong kaya jadi topic hangat di setiap persimpangan."Kok ra isin wes tuek arep mbojo bujang." Begitu nyiyiran mereka mencibir.Aku cukup kebal menghadapi omongan tetangga. Sejak kepindahanku kembali ke rumah ini, rasanya tak ada yang lepas dari gunjingan. Status janda, anak-anak juga segala polahku dibahas. Punya banyak waktu mereka memantau hidup ini. Ma sya Allah, semoga tertempa sabarku.Hari ini dipastikan hidupku kembali viral di kampung penghasil ubi kayu ini. Pasalnya ketika matahari baru naik menghangatkan dinginnya cuaca, kampung Legok kedatangan tamu agung. Agung di sini identik dengan harta, ukuran derajat seseorang."Mobile apik." Bisik-bisik mereka yang mengikuti sampai halaman dengan dalih menunjukan jalan."Terima kasih ya, bapak-bapak sudah diantar," kata seorang ibu berbusana glam
Duduk berhadapan dengan suasana kaku, aku masih menunggu wanita kaya itu meneyelesaikan maksud kedatangannya. Entah mengapa dia tampak bingung dan ragu akan apa yang akan disampaikan. "Ya, sekalipun begitu, maksudnya biarpun memang penampilan bisa menipu, kamu tetap saja janda berumur yang sudah banyak anak. Apa pantas merayu Dio anakku!?" Deg! Syok dengan pernyataannya aku terdiam dan tanpa sadar pipiku sudah basah. Tatapannya tampak kaget tapi itu hanya sekejapan mata. Dia pandai mengendalikan diri dan perasaan. Namun aku sedikitnya tahu bahwa dia sebenarnya tetap seorang ibu yang berhati cukup lembut. Mungkin rasa khawatir Pada putranya membuatnya begitu garang dan menjunjung tinggi martabatnya tapi tanpa sengaja menurunkan gaya formilnya dengan menyebutku ‘kamu’ dari sebutan ‘ibu’. "Eh, kenapa nangis? Apa saya salah bicara? Setidaknya kamu kan juga seorang ibu pasti tahu bagaimana saya k
“Berita itu tidak benar, Bu … yang datang itu hanya bertanya soal hubungan kami.Putranya meminta agar melamarku pada bapak dan ibu .Sarah dan Dio tak menjalin hubungan selain hanya kenal saja.” Aku terus menceracau agar ibu percaya.“Ya, Allah, Nduk … sadar!”Aku semakin pusing karena segala hal di sekitarku berputar sangat kencang tapi ibu seperti tak terganggu sama sekali. Ini sangat berbahaya kenapa ibu hanya sibuk memelukku sambil berkata yang tak begitu jelas kudengar?“Ibu. Itu tak penting ayo sekarang kita keluar.Goncangannya makin kencang, Bu!” pekikku karena ibuku menghiraukan peringatanku.Ini gempa dan sangat berbahaya kalau tetap di dalam rumah. Aku mencoba terus menggapai tangan ibu meski putaran ini semakin hebat. Kupejamkan rapat-rapat mata agar mengurangi pusing yang melanda. Aku mulai merasa mual.
Prosesi pemakaman papa berjalan lancar dihadiri segelintir tetangga yang mengenal keluarga mama. Rumah yang ditinggali sekarang memang rumah warisan nenek untuk anak perempuannya itu dan keluarga nenek dulu termasuk orang baik di lingkungan.Kak Dio dan keluarga besar Pratama juga hadir termasuk Azka dan … Enjang.Aku mengabari Kak Dio berharap mendapatkan simpatinya tak menyangka mereka datang rombongan termasuk wanita itu.Mama Salma memelukku dengan tangis lirih. Aku tahu beliaulah yang paling menerimaku dalam keluarga itu. Ayah mertua yang dulu juga sangat mendukung aku dan putranya menjadi keluarga utuh monogamy sekarang acuh tak acuh karena kepercayaannya telah ternodai oleh perbuatan jahat orang tuaku di masa lalu.“Mama … ayo pulang.”Mama masih bergeming menatap kosong pada gundukan tanah merah di mana jasad papa beristirahat untuk selamanya. Wanita itu seperti punya naluri bahwa keluarganya tengah berkabung. Meski tidak menangis tapi terus-terusn berwajag sendu. Sangat penu
Hari sudah malam ketika aku berjalan lunglai menuju pintu rumah. Lampu ruang tamu masih menyala seperti saat kutinggalkan mengikuti Kak Dio tadi. Dari balik kaca aku masih bisa melihat dengan jelas tubuh kurus Papa yang terduduk membisu di depan TV. Aku tahu beliau tidak sedang menonton karena layar datar di depannya terlihat gelap.Apakah yang sedang dipikirkannya?Kalah oleh tubuh ringkihnya pikiran papa masih normal untuk memahami banyak hal. Tentu itu penyiksaan tersendiri bagi beliau. Beda dengan mama yang sekarang bahkan tak mengingat aku sebagai putrinya.“Papa ….”Rupanya papa duduk sambil memejamkan mata. Mungkin tertidur saat menungguku pulang karena sejak aku datang lelaki yang dulu selalu lembut pada keluarga itu tak melepas pandangan dari putri kesayangannya ini. Bagaimanapun jahatnya papa di luar sana dia tetap seorang suami dan ayah terbaik.Aku tersentak mendapati tubuh papa yang sangat panas. Kuraba dahi untuk memastikan dan ternyata benar kalau papa demam tinggi. Su
Telah satu jam lebih lamanya kami tetap duduk berhadapan terhalang sebuah meja kecil dan saling membisu. Di meja itu terdapat dua gelas minuman dingin yang es batunya telah mencair juga sebuah map yang tergeletak begitu saja.Setelah ketegangan di rumah mama dan papa tadi kami sepakat untuk bicara berdua secara pribadi. Café inilah yang dipilih Kak Dio. Lelaki yang kulihat semakin tampan diusia matang itu setia menekuri lantai dibawahnya. Wajah cantic istrinya ini yang telah lima tahun berpisah pun bahkan tak menarik minatnya. Justru lembaran berkas perceraian yang disodorkan di depanku.Keterlaluan!“Sampai kapan kau akan bersikap begitu, Rindi?” tanya, Kak Dio menatapku lelah.Haruskah aku mengalah?“Pikirkan baik-baik. Uang dan waktumu bisa kau gunakan untuk mengurus keluargamu yang sekarang keadaannya memprihatinkan. Juga adik yang perlu perhatianmu. Aku tak mungkin terus mengurus mereka apalagi kau sudah kembali.” Uraian panjang itu justru membuat emosiku menanjak.“Semua itu ka
“Benar, Pak. Bu Rindi datang ke rumah lama Pak Amir lalu pergi lagi setelah mendapati rumah berpindah pemilik.” “Apa kau tahu ke mana lagi dia pergi setelahnya?” “Ya. Pak. Kami terus mengikutinya dan perkiraan kita tepat sekali. Bu Rindi kemudian mengunjungi rumah lama orang tuanya. Seperti perintah Pak Dio, pengurus rumah tidak bekerja di hari sebelumnya hingga keadaan mereka menjadi sangat menyedihkan.” “Baik. Terus awasi dia! Saya meluncur kesana,” kataku mengakhiri panggilan telephon orang suruhan yang bekerja mengikuti pergerakan Rindi. Aku tak boleh kembali kecolongan. Sikap polos istri pertamaku itu telah melenceng jauh dari harapan agar menjadi wanita yang pantas untuk Azka putra pertamaku bersamanya. Rindi merusak semuanya. Menyakiti anaknya sendiri demi ego, juga bertindak keterlaluan pada Enjang yang nota bene seseorang yang telah menolongnya bertahun-tahun mengasuh seorang anak dari suami dengan wanita lain meski itu adalah istri pertama suaminya. Aku memiliki anak-a
Rindi melesat membelah jalanan bersama limousine hitam yang kendarainya. Bentuknya yang panjang sebenarnya sedikit merepotkan mengingat di Indonesia begitu banyak daerah macet lalu lintas dan juga sangat repot ketika mendatangi wilayah padat penduduk dengan gang-gang sempit seperti kota J. “Aku harus segera ganti mobil,” gerutu Rindi sambil berjuang keras mengendalikan kendaraannya. Limousine itu dibelinya menghabiskan tabungan nafkah yang selalu dikirimkan oleh sang suami tetapi tidak terpakai. Dengan harapan menaikkan status social di depan Enjang ketika kembali dari luar negeri. Sayangnya mencari sopir pribadi untuk layaknya pemilik sebuah limousine tidaklah mudah apa lagi dulu Rindi selalu tergantung suami, mama atau papanya untuk segala urusan hidup. Bahkan ketika dirinya telah berstatus istri Dio, peran orang tuanya tetap besar menyetir hidup Rindi. Rindi kesulitan hidup mandiri di Negara ini yang memang armada umum tak sebaik kota terakhir dirinya tinggal di luar sana. Setel
Dio melajukan mobil dengan kecepatan sedang ke arah timur kota. Melewati pemukiman yang cukup padat kemudian lurus naik mengarah ke tanah luas berbukit. Suasana asri segera terpampang memanjakan penglihatan. Pepohonan rindang berjejer rapi di kanan kiri jalan. Hingga sampailah pada sebuah gerbang yang lengkap dengan post penjagaan.Bimm!!!Seorang lelaki berseragam biru tua dengan topi di kepala bergegas keluar memeriksa. Setelah dipastikan mengenal mobil dan pengendaranya, kemudian dia bergegas membuka gerbang.Dio melesat masuk bersama kendaraannya menyusuri taman yang cukup luas untuk mencapai rumahnya bersama Rindi.Tampak di kejauhan petugas yang membuka gerbang tengah bicara dengan seseorang.“Benar, Pak Amir. Pak Dio datang sendirian.”“....”“Baik, Pak.”🍀“Ada apa, Pak?” tanya Bu Amir melihat ketegangan di wajah suaminya.“ Den Dio datang sendirian tanpa memberi kabar terlebih dahulu.”“Kita tidak pernah membuat masalah, Pak ... Kenapa harus khawatir?” tanya istrinya lagi de
Denting sendok terdengar berirama di meja makan rumah Enjang dan Dio. Meja oval dengan enam kursi yang mengelilingi telah terisi lima dan menyisakan satu yang kosong. Biasanya kursi itu akan digunakan seorang pengasuh untuk membantu anak-anak. Hanya saja sejak si kembar tiga tahun Enjang memutuskan untuk mengasuh mereka dengan tangannya sendiri. Azka berusia menjelang empat tahun saat itu. Usia pra sekolah adalah masa penting anak banyak belajar dan meniru orang terdekat hingga dirinya rela bersusah payah karena tak ingin anak-anaknya salah didikan. Enjang sangat protektif akan perkembangan anaknya termasuk anak Sang Suami dengan wanita lain sekalipun. “Pergi ke kamar kalian dan kerjakan tugas seperti biasa. Jam sembilan bunda naik untuk memastikan kalian sudah bersiap untuk tidur. Besok sekolah,” kata Enjang begitu ketiga anak itu sudah menyelesaikan makan malam. Mereka bergegas beranjak meninggalkan ruang makan menuju lantai dua di mana kamar mereka berada. Sang ayah membuat sebu
“Bagaimana sebenarnya Ibu menyampaikan pesan Rindi sama perempuan itu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tampak dahi wanita berbusana serba hitam itu mengerenyit dalam. Aku tak peduli karena saat ini hati tidak sedang dalam mode baik-baik saja. Hatiku sakit karena ulah mereka semua. Bahkan guru mengaji pribadi yang selalu koar-koar padaku agar menjaga keutuhan keluarga demi surga ini tidak becus mengemban tugas kecil. Menyampaikan pada wanita itu bahwa aku pergi bukan karena tak mencintai suami. Aku dan Kak Dio saling mencintai. “Sepertinya Mak Rindi datang dengan rasa marah. Ada apa?” tanyanya dengan suara lembut. Tak pengaruh bagiku dengan kelembutannya karena hati sedang panas. “Ada apa? Ibu yang kenapa?” Aku menunjuk dengan jemari lentik berhena coklat ini tepat ke arah wajahnya. Dia mundur dengan secara reflek. Kerutan di dahinya semakin bertumpuk. “Rindi minta tolong untuk menyampaikan pesan bahwa kami saling mencintai agar wanita tua itu tidak songong, bukan suruh dia
Rindi tertegun menyaksikan ruang kerjanya sangat berantakan. Perlahan dirinya bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian penampilannya telah rapi dan segar dengan busana muslim simple melekat ditubuh langsingnya.Rindi melangkah anggun keluar dari ruangan pribadinya melewati para pegawai butik yang segera menyibukkan diri masing-masing.Tak tampak kekacauan yang baru saja terjadi pada dirinya.“Tolong bereskan ruangan atas, ya.Saya mau keluar jadi selesaikan segera sebelum saya kembali.” Perintahnya lugas layaknya bos.“Baik, Bu.”Rindi memang menjadikan lantai dua butiknya sebagai kantor dan tempat tinggal sementara. Dirinya belum kembali ke rumah kediamannya bersama Dio karena cukup jauh dari kantor Sang Suami.Niatnya sebelum kembali ke rumah itu, Rindi akan memantau kehidupan suami bersama madu dan juga anaknya yang dalam pengasuhan istri kedua suaminya itu.Sayang, se