Dio. Bersamanya aku melupakan segala pahitnya hidup. Meski takdir mengirimnya menjadikanku pada posisi tak pernah terbayangkan. Berbagi suami. Namun aku bahagia. Tak ada sekat usia saat dia mencumbuku seperti saat ini. Tak peduli kata orang di luar sana, pun seseorang di luar kamar saat ini.
Banyak drama sebelum kuputuskan menerimanya. Semula, jelas kuragukan niat baik itu. Janda tak muda beranak tiga bersama brondong tampan? Apa kata dunia? Namun, siapa yang tahu rahasia jodoh, rezeki dan mati? Akupun tak bisa menolak takdir indah ini.
Syarat sulit yang kuajukan agar menikahi seorang gadis yang mau melakukan perjanjian pranikah, berisi siap dipoligami, tak membuatnya surut langkah. Tak menyangka dia akan dengan cepat mendapatkannya. Kami menikah setelah sebulan pernikahan pertamanya.
Aku merasa istimewa karena perlakuannya. Jiwaku bergejolak liar di dunia sempit kamar kami. Dia selalu tahu cara mengalihkan perhatianku hanya padanya saja. Seakan berbisik, lihatlah aku, hanya aku lupakan hal lain, tak ada apapun hal menyakitkan. Hanya ada bahagia.
“Mas … sudah cukup. Tidak enak sama Dian juga Syifa,” rengekku saat pelukannya tak mudah terlepas. Kami harus segera mandi besar dan keluar menemui mereka. Bagaimanapun tamu harus dihormati.
“Berjanjilah tak membahas yang lain. Hanya anak. Ok.” Aku mengangguk berulang kali.
Percayalah. Aku cukup mengikuti usia untuk berpikir dewasa. Memikirkan masa depan suami mudaku.
Tidak merusaknya dengan zina, memikirkan keturunannya, harapan orang tua, dan menjaga madu yang mungkin saja akan mendampinginya lebih lama.
Istri pertama yang muda dan ibu anak-anaknya.
Dio tetap memiliki kehidupan sempurna dan melengkapi takdirku pula.
“Kenapa?” Mas Dio menatapku heran ketika langkahku terhenti.
“Malu, Mas.”
Pria tampan berbusana santai dengan oblong dan celana selutut itu tampak bingung. Aku berdecak sebal.
“Lelaki memang gitu.”
“Lelaki yang mana?” Aku tahu ini tak akan mudah. Menahan perasaan lebih baik.
Menemui mantan dan istrinya serta kedua anakku dalam keadaan yang tak lazim membuatku sangat malu. Apalagi Mas Marwan terang terangan menatap lama rambut Mas Dio yang masih meneteskan air. Meskipun jilbab panjangku menutupi semuanya, aku yakin dia dan Dian tahu apa yang dilakukan suami mudaku disaat mereka menunggu diruang tamu kami.
“Dia harus tahu diri kalau Cuma seorang mantan. Tunjukkan kalau kamu bahagia tanpanya dan jangan mau diintimidasi keegoisannya.” Mataku membulan dengar bisikannya. Rupanya tadi dia sok polos?
“Mas….”
“Kisah kalian sudah usai! Mengerti?” Mas Dio tak memberiku kesempatan bicara. Ya, dia mendominasi dalam pernikahan kami tapi aku suka caranya. Tegas dan menjaga.Aku merasa aman, rasa yang tak pernah kudapat saat bersama Suami pertamaku.
“Sudah! “ Aku harus tegas takut mereka mendengar. Kucengirkan senyum lebar saat Dian berpaling padaku.
“Kalau suka ambil saja beberapa bonsainya, Dik! Masih ada banyak di belakang,” kataku demi mengurai gugup.
“Terima kasih, Mbak ndak usah,” jawabnya canggung. Meski sering ketemu sikap Dian padaku selalu kaku.
Mas Marwan pulang bersama istrinya setelah meninggalkan Syifa anak ketigaku. Anak kedua kami menempuh pendidikan di Pondok Pesantren dan jarang sekali pulang, kamilah yang rutin menjenguk setiap bulan. Bergantian aku bareng Mas Dio atau Mas Marwan dan Dian. Namun jika kangen aku juga kerap pergi sendiri izin jenguk di luar waktu kunjungan wali.
Soal Sisulung, karena sudah besar, kami merasa tidak perlu lagi mengatur kemana dia akan tinggal. Bersamaku ibunya atau ayahnya. Nyatanya Royyan lebih betah pulang ke rumahku saat liburan dengan sekali wakku juga mengunjungi ayahnya karena ada adik kesayangannya pula. Sementara banyak harinya berkegiatan di luar.
Syifalah yang kelihatan banyak bersama ayah dan ibu tirinya. Dian Nampak cukup baik hingga anakku nyaman bersamanya, ditambah lagi mereka tidak atau belum dikaruniai anak selain anakku dan Mas Marwan. Saat liburan sekolah mereka mengantarnya padaku.
“Berapa hari liburnya, Sayang?” tanyaku menghampiri Syifa yang sedang anteng menonton TV.
“Seminggu, Bund.” jawabnya tanpa mengalihkan fokus dari layar.
“Kakakmu balik ke kost?”
“Sudah. Tadi mau pamit Bundanya lama di kamar. Tolong Syifa pamitin katanya. Bunda ngapain sih lama banget?”
Deg
Aku bingung mau jawab apa. Putri cantikku ini tetiba sudah merangkulku memeluk erat. Aku terduduk karena kaget.
“Kenapa?”
“Bunda kenapa sih berantem melulu kalau sama Papa?”
“Bukan berantem, Sayang … cuma diskusi dan debat sedikit. Eh, bagaimana sekolah Syifa? Rajin belajarkan Princesnya bunda? Seru belajar di rumah sama Mama Dian?” Kuberondong gadis kecilku dengan banyak pertanyaan agar lupa akan sesuatu yang membuatnya sedih.
Berhasil! Matanya berbinar. Sesuatu yang membuat sisi hatiku berdenyut sebenarnya. Anak yang kulahirkan bertaruh nyawa mencintai ibu yang lain.
“Iya. Mama Dian pinter kayak Bu Guru,” ceritanya sambal tertawa.
Lebih baik begitu. Setidaknya aku lega Dian ibu tiri yang baik. Hanya akan kumanfaatkan waktu bersama ini sebaik mungkin agar kasihnya untukku tak berpindah utuh padanya.
Perpisahan bagaimanapun baiknya tetap meninggalkan luka, terutama pada anak. Mungkin tidak mudah, tapi berdamai menyatukan keluarga besar mantan suami atau mantan istri adalah lebih baik untuk mengurangi luka mereka.
“Maafkan bunda ya, Sayang … tidak bisa selalu nemenin Syifa.”
“Gak apa, Bund … kata Mama Dian, Syifa kan harus mandiri. Besok harus mondok separti kakak Habbil. Jadi sekarang belajar jauh dari Bunda, tapi kan ada Mama Dian. Syifa harus bersyukur punya banyak orang yang sayang sama Syifa.”
“Ma sya Allah Sayang … solehahnya bunda.” Kupeluk tubuh montoknya sambil menyembunyikan kristal yang hendak tumpah. Dian … terima kasih. Rasa ini tulus dalam hati.
Aku tahu keputusan Mas Marwan akhirnya menceraikanku bukanlah Dian penyebabnya tapi egonya yang merasa bahwa melepasku mudah baginya mendapat ganti yang lebih baik.
Namun kesadaran bahwa tuntutanku adalah wajar membuatnya menyesali keputusan. Kasihan Dian. Harapanku semoga mantan suamiku menjadikan pernikahan pertamanya sebagai pelajaran agar tidak gagal lagi. Tentu dengan bersikap lebih baik pada istrinya yang baru.
Alunan sholawat terdengar dari ponsel Syifa. “Bunda ini papa,” katanya sambal mengansurkannya padaku. Kebiasaan cari kesempatan, rutukku dalam hati.
“Assalamualaikum, Mas …,”
<…. ….>
“Syifa baik. Belum juga sehari. Aku itu ibunya lho, Mas… tenang saja. Kalau bisa tolong jangan diganggu selama bersamaku. Waktumu kan jauh lebih banyak bersamanya, lagi pula jagalah perasaan istrimu. Dian istri yang baik, menyayangi anak kita dengan tulus. Mas harus bisa berubah. Lebih baik padanya dari sikapmu padaku dulu.” Aku sengaja bicara tanpa jeda. Mas Marwan terdiam di ujung sana. Ponsel kumatikan. Tentu saja aku tidak menelphon di depan Syifa. Kubawa menjauh dari pendengarannya. Tak berapa lama nada pesan masuk terdengar. Aku buka ruang chat warna hijau, kutemukan pesan dari kontak ‘papa’ di ponsel Syifa.
‘Maafkan aku, Enjang. Tak seharusnya aku masih saja cemburu melihatmu bahagia dengan suami barumu. Aku marah pada diriku sendiri. Sifat burukku yang membuat banyak kehilangan. Melukaimu, kehilangan lalu melukai hati anak membuatku merasa kerdil. Bahkan istri sebaik Dian masih kurang bagiku. Setelah kalian, lalu sekarang Dian juga kuberi luka. entah harus bagaimana, tapi aku juga terluka dengan keputusanku sendiri.’
Aku mengabaikan pesannya. Belasan tahun bersama membuat diri ini sangat memahami keadaannya. Lebih paham dari dirinya sendiri. Hanya saja sekarang status kami bukanlah sesiapa. Akan jadi masalah jika terlalu dibawa perasaan. Lebih baik ambil posisi aman.
Mantan suamiku memang serapuh itu. Garangnya dia untuk menutupi kelemahannya. Tanpa disadari sikapnya melukai banyak orang bahkan dirinya sendiri. Terutama rasa bersalahnya memisahkan Syifa dari ibu kandung. Meski istri baru sungguh baik pada anaknya, tetap saja ada saatnya Syifa terpuruk mencari kasih ibu yang jauh berjarak. Bersyukur masa itu telah lewat tapi rasa bersalah rupanya menghantui dan menjadikanku sasaran kemarahan. Egois memang.
Dulu Mas Marwan seorang yang gila kerja. Tidak bisa menghargai istri apa lagi berterima kasih saat dibantu banting tulang mencukupi kebutuhan keluarga. Pantang minta maaf dan mengaku salah. Terlebih kikir hingga akhirnya bahtera kandas meski telah dibangun selama lebih dari 15 tahun. Tiga anak tak membuatnya mau menurunkan ego dan menyayangi seorang istri yang mendampinginya sejak susah.Aku mundur setelah mencoba bersabar, tapi justru mendapatkan tekanan berat saat diri berada di titik sangat lemah. Mengandung anaknya.“Tak perlu periksa kandungan segala buang duit!”“Mas! Ini anak ke tiga lho. Apa masih belum tahu cara merawat ibu hamil?” Sakit rasanya mendengar kalimat itu. Airmata sudah banjir di pipi.“Yang penting, kan tak ada keluhan,” katanya ngeyel.“Jadi tak mau mengurusku? Kembalikan aku ke orang tua saat bayi ini sudah lahir,&rd
"Pakai uangmu dulu ya,” kataku untuk menghindar dari memberikan uang nafkah.Bukan tanpa alasan. Sarah istriku itu punya tabungan banyak. Apapun di tangannya bisa jadi uang. Masakannya, barang yang dipakainya, kosmetiknya, semua dijadikan iklan. Bahkan saat dia main ke tetangga tangannya tak pernah kosong. Ada saja bawaan karena Sarah orang yang ringan tangannya untuk membantu siapa saja jika mampu.“Tapi, Mas ….” Aku sungguh sebal lihat mimik wajah yang selalu terlihat tak berdaya. Merasa terzolimi padahal makanan tak pernah kurang di meja makan. Ya meskipun bukan beli dari uangku kan sama saja sekeluarga tak pernah kekurangan. Itu saja intinya.Rumah kami cukup besar. Dua lantai dengan banyak kamar. Tak sedikit uang terkuras untuk membangunnya dulu. Seharusnya Sarah banyak bersyukur. Di lingkungan kami banyak orang masih mengontrak.“Kamu itu harusnya bersyukur,
“Istriku sangat boros. Uang berapa pun habis di tangannya. Kalau ada urusan dengan suaminya ini maka itu dipastikan hanya soal uang dan uang.” Begitu cerita Pak Marwan rekan kerjaku.Keprihatinanku bertambah tambah saat melihatnya berbusana lusuh. Pendapatannya bukan sedikit. Dirinya termasuk senior di kantor dengan bonus hampir sejumlah gaji bulananku. Jarang jajan, lebih senang makan siang di kaki lima ketimbang kantin kantor yang katanya lebih mahal. Padahal seharusnya Pak Marwan bisa makan setiap hari di resto favorite kalau memang ada niat.Rupanya masalah ada pada istrinya yang katanya boros. Mungkin tidak bisa mengatur keuangan. Menurut sang suami, Bu Enjang juga berpendidikan rendah. Aku mengenalnya saat ada family day di kantor.Penampilan Bu Enjang waktu itu tidak terlalu glamour tapi elegant menurutku. Busana muslim dengan jilbab panjang hingga ke bawah lutut yang lumaya
Bau tanah basah sisa hujan semalam kuhidu kuat demi mengisi penuh paruku dengan sebanyak mungkin hawa segar pagi ini. Aku harus terus berusaha waras menghadapi segala rasa yang berperang dalam batin. Karamnya mahligaiku bersama Mas Marwan meninggalkan luka dalam bagi buah hati kami terutama Syifa. Bagaimanapun tak akan pernah kukotori hati putihnya dengan rasaku pada sang ayah. Demi mereka harus kukesampingkan sejauh mungkin ego yang bercokol di hati. Membenci mantan suamiku.“Mas kita harus kerja sama untuk menjaga hati Syifa. Biarkan dia ikut dulu bersamaku biarpun hak asuh ada padamu, “ pintaku sambil menangkup tangan memohon.“Sampai kapan.”“Enjang tidak tahu. Mungkin baik kalau Syifa mendapatkan apa yang dia ingin saja,” kataku ragu.Mendengar ucapanku percikan amarah berpendar dari mata yang dulu sangat kusukai karena begitu teduh. Sayang sekarang keteduhan
“Begitu aja cantik apa lagi kalau ….” Dia menghentikan bualannya ketika kulirik tajam. Saat ini kami sedang berada di sebuah acara pelatihan UMKM bersama mereka yang muda dan antusias mengikuti jalannya acara. Apa lagi pembawa acaranya lucu dengan banyolan segar. “Sukses cari materi, akan mudah sukses juga cari pasangan ya, tidak …!!?” Gemuruh tepuk tangan membahana. Pemateri kali ini adalah seorang pemuda tampan lagi mapan bernama Dio. Pengusaha yang Berjaya di bidang kuliner di usia cenderung muda. Bersahajanya di podium berbanding terbalik saat dirinya berada di luar. Tengilnya luar biasa. Kami bertemu saat menawarkan produk minuman herbal yang coba kuproduksi belakangan ini. Karena dialah aku mengenal komunitas pelaku UMKM. “Datang ke gedung serba guna. Aku juga di sana. Nanti kukirimkan jadwal harinya,” katanya wa
Pagi masih basah sisa hujan semalam saat sebuah motor masuk pagar halaman.Aku yang tengah memberi makan ayam di pekarangan samping jadi bergegas takut ada sesuatu yang penting."Ada apa, Nak?" Tak sabar sampai duduk kucecar tanya.Sekarang bukan hari libur tapi putraku tiba-tiba datang ke rumah dengan penampilan dan gaya yang berbeda dari biasanya. Sungguh aku sangat khawatir dia terpengaruh pergaulan yang salah."Assalamualaikum, Bunda.""Waalaikumusalam warahmatullah."Royyan nyengir menyadari tatapan intensku pada motor vixion yang dikendarainya. Seakan tahu tanda tanya besar di kepala ibunya. Aku tak pernah membelikan kendaraan apa lagi yang model begitu. Kendaraan khas anak muda. Mungkinkah Mas Marwan yang membelikannya?"Nanti kujelasin, Bun ... masuk yuk. Pasti udah ada sarapan enak," katanya sambil merangkulku masuk ke dalam.
Aku seperti tak mengenal anak sendiri. Serasa lingluing sekejab aku terduduk di kursi kayu dekat ibu berada. Wajah tua itu tampak sama terkejutnya denganku. Sedikit banyak beliau tahu permasalahanku dengan lelaki bernama Dio yang disebutkan cucunya. "Tolong jangan diputus dulu ya, Bund ... Kami sudah kenal cukup lama. Om Dio Maha Santri di Pondok Royyan dulu. Jadi in sya Allah kenal baik dengan beliau. Motor itu hadiah karena Royyan mencapai target dari ustadz hanya Om Dio donaturnya." Aku hanya melongo mendengar penjelasan putraku. Kuteliti wajah itu untuk mencari ketidak jujurannya tapi nihil. Kemarahan entah lenyap kemana, sekarang. Perlahan kugeser kursi mendekat padanya. Aku mencoba bicara dengan suara yang rendah. "Tapi, Nak ... Om Dio itu terlalu muda buat bunda. Tak jauh lho selisih usia sama kamu," kataku sambil mengelus bahunya lembut. Cara ini biasanya jarang gagal u
Tinggal di kampung kecil segala berita cepat sekali tersebar. Kabar aku dilamar brondong kaya jadi topic hangat di setiap persimpangan."Kok ra isin wes tuek arep mbojo bujang." Begitu nyiyiran mereka mencibir.Aku cukup kebal menghadapi omongan tetangga. Sejak kepindahanku kembali ke rumah ini, rasanya tak ada yang lepas dari gunjingan. Status janda, anak-anak juga segala polahku dibahas. Punya banyak waktu mereka memantau hidup ini. Ma sya Allah, semoga tertempa sabarku.Hari ini dipastikan hidupku kembali viral di kampung penghasil ubi kayu ini. Pasalnya ketika matahari baru naik menghangatkan dinginnya cuaca, kampung Legok kedatangan tamu agung. Agung di sini identik dengan harta, ukuran derajat seseorang."Mobile apik." Bisik-bisik mereka yang mengikuti sampai halaman dengan dalih menunjukan jalan."Terima kasih ya, bapak-bapak sudah diantar," kata seorang ibu berbusana glam