Hari itu Dewa memang berhasil menenangkan Floren, sampai aksi nekatnya yang ingin mengakhiri hidup bisa Dewa gagalkan. Selain itu, setelah mendengar alasan-alasan perihal hubungan mereka yang tidak bisa lagi dilanjutkan, Floren mulai bisa menerima, dan meminta diantarkan pulang ke alamat yang katanya rumah bibinya. Dari sedikit cerita yang Dewa dengar, Floren sejak kecil dirawat oleh bibi dari ibunya, pasca kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Tetapi sayangnya, saat itu Dewa tidak diizinkan masuk ke rumah tersebut dengan alasan yang cukup masuk akal baginya. Namun, tanpa Dewa duga hari itu menjadi hari terakhir pertemuan mereka. Karena setelahnya Dewa benar-benar tidak lagi bisa melihat wajah Floren. Selain tidak ada alamat lain yang Dewa ketahui, ternyata rumah yang sempat Floren tunjukkan bukanlah rumah bibinya, melainkan milik orang lain. Bulan berganti tahun berlalu masih belum mendapat kabar tentang keberadaan Floren, meski diam-diam Dewa telah meminta bantu
Tidak ada yang tidak mungkin jika mau berusaha, dan jangan berpikir takut gagal jika belum pernah mencoba. Sebab, hanya manusia satu-satu makhluk bumi yang diberi kesempurnaan akal dan kemampuan untuk melakukan banyak hal. Tak ayal, ada banyak manusia memiliki kemampuan diatas rata-rata manusia pada umumnya, hingga bisa menciptakan sesuatu yang bahkan dianggap diluar nalar. Pun dengan perkembangan teknologi, tak lepas dari otak brilian anak manusia yang selalu ingin berkembang setiap tahunnya. Begitu juga dengan Dewa yang sekarang benar-benar sadar, dirinya harus berguna untuk orang lain. Sudah cukup masa mudanya terbuang sia-sia. Sekarang ia harus bisa membuktikan diri, bahwa darah Adiraksa dalam tubuhnya tidak akan mengalir tanpa ada perjuangan. Setelah hampir dua hari tidak beranjak dari sofa, hanya termenung—banyak berpikir, tiba-tiba secara mengejutkan Dewa mengutarakan niatnya akan menggantikan kepemimpinan sang ayah. Kendati Adiraksa sempat meragukan hal tersebut, tapi akhirn
"Mau sampai kapan kau bersembunyi di tempat ini? Membiarkan orang menganggapmu juga pasien." Usapan di perut Tika seketika terhenti, tetapi pandangan Olive belum juga berpaling dari sana—-menatap takjub bercampur haru perut besar Tika yang masih sering menonjol, ke kanan dan kiri kala bayinya terus bergerak aktif. "Dia semakin bersemangat saat disentuh seperti itu. Apalagi jika yang melakukan—" "---papanya," serobot Olive disertai senyum menggoda. Tidak ingin Olive melihat kesedihan yang mungkin tergambar jelas di wajahnya—Tika langsung menundukkan pandangan, dengan tangan kiri ikut menyentuh perut bagian bawah. Tika tidak menampik tebakan Olive yang memang benar adanya. Hanya saja, saat itu juga rasa rindu tiba-tiba singgah dan nyaris meruntuhkan pertahanan dirinya. Melupakan Dewa dalam waktu singkat, ternyata bukan hal yang mudah Tika lakukan. Terbukti, setelah sekian hari tidak ada komunikasi apapun karena ia sengaja menghindar—-mengabaikan rindu yang semakin berat dirasakan,
Tika merasa hangat, kala ada tangan besar melingkari pinggang dan mengusap perut besarnya. Tidak hanya itu, ia juga merasa nyaman ketika punggungnya yang tertutup kain linen menyentuh sesuatu yang keras tapi bukan beton. Siapa sangka, rangkulan yang dianggap halusinasi saat dirinya hampir tenggelam dalam mimpi, membuat Tika enggan membuka mata lagi. Lantaran dengan begitu, Tika tidak lagi gelisah. Banyaknya pikiran yang sebelumnya merangsang otak untuk tetap bekerja, akhirnya mereda begitu saja. Tika merasa seperti nyata, ada seseorang di belakangnya. Tetapi karena ketenangan sudah terlanjur membuatnya nyaman, ia tidak ingin memastikan, justru ingin tetap seperti itu sebentar saja. Setidaknya sampai ia benar-benar terlelap. Dewa sebenarnya ingin marah karena harus menunggu lama, baru ketika waktu menunjukkan pukul sebelas malam—Tika memasuki kamar. Kemarahan Dewa seketika sirna, melihat wanita yang sangat dirindukan sudah kembali. Tika yang memang langsung berbaring setelah berganti
"Bagaimana? Informasi apa yang sudah kau dapatkan?" Dewa segera duduk setelah mempersilahkan Rainer—orang kepercayaannya untuk ikut duduk bersama di sofa, mereka saling berhadapan. "Namanya Melati, Bang." Pemuda itu mulai menjelaskan informasi yang didapatkan. "Dia diasuh oleh nenek tua bernama Sekar, dan mereka tinggal di sebuah desa kecil yang letaknya tidak jauh dari lokasi terjadinya kecelakaan hari itu. Melati memiliki julukan Gadis Balap. Karena dia juga hobi menaklukan lintasan. Hanya bedanya di lebih suka menekuni motocross. Seharusnya jika hari itu dia tidak mengalami kecelakaan, dia bisa mengikuti ajang bergengsi di Kuala Lumpur." Dewa menyimak serius penjelasan Rainer, dengan sesekali menunjukkan kerutan di dahi. Dewa merasa heran sekaligus kagum, gadis itu sepertinya memiliki hobi yang juga mainstream sama seperti dirinya. "Mengesankan. Gadis yang menarik," ujar Dewa tulus. "Lalu apa kau tahu siapa Sekar? Dia kerabat atau orang lain? Selain itu, apa tidak ada keterangan
"Terima kasih. Anda sudah menyelamatkan saya dan mau menanggung semua pengobatan saya, Tuan." Dewa mengangguk pelan menanggapi ucapan terima kasih gadis di depannya. Melati balas tersenyum samar yang terlihat sangat dipaksakan, dan Dewa tetap bersikap seolah tidak tahu apapun mengenai gadis itu. Setelah berhasil lolos dari maut, dan harus berada di rumah sakit berbulan-bulan tapi tak ada satupun kerabat yang menemani, Dewa paham kesedihan yang sedang Melati rasakan. "Bagaimana keadaanmu sekarang?" Dewa coba mengalihkan kesedihan itu dengan kembali bertanya. "Sekarang aku sudah merasa jauh lebih baik, Tuan." Berada di ruang eksklusif dengan fasilitas lengkap layaknya kamar hotel, Dewa tahu Melati sebenarnya kurang nyaman, mengingat mereka hanya berdua. Hanya saja karena tidak ingin menyinggung dirinya yang sudah banyak membantu, gadis itu berusaha bersikap tenang. Walaupun tidak dipungkiri, dengan Melati yang terus menundukkan pandangan—tidak berani menatap matanya, Dewa sendiri
Di ruang meeting perusahaan Laksamana group, tengah terjadi ketegangan. Tika tetap memperjuangkan haknya meski para pemegang saham kekeh ingin menggantikan dirinya dengan kandidat yang menurut mereka layak. Biarpun semakin tersudut saat semua peserta rapat menyalahkan dirinya atas kemunduran Mr. Logan, dan menganggap apa yang terjadi pada Laksmana group sepenuhnya atas tanggung jawabnya sebagai pemimpin—Tika tetap tak gentar. Dengan berani ia menatap semua orang yang ada di ruangan itu dengan mata sayu tapi menyiratkan ketegasan. Kendati merasa sudah sangat muak dengan situasi yang ada, pun rasa nyeri diperut bagian bawah yang sering muncul dan tiba-tiba menghilang—-dahi Tika bercucur keringat. Tapi Tika tetap berusaha tenang. Karena tidak ingin apa yang terjadi padanya saat itu dianggap dalih untuk menyelamatkan diri. "Bukankah kita sudah pernah membahas masalah ini di rapat sebelumnya? Beserta alasan kemunduran Mr. Logan. Lantas, apa kalian tidak bisa melihat kinerja saya selama
Dewa terkejut begitu membuka pintu apartemen, ternyata wanita yang paling ia rindukan tengah berdiri. Namun, kali ini ada yang berbeda, Tika tak sedikitpun menunjukkan sikap ramah. Bahkan begitu pintu terbuka lebar, Tika langsung menyerobot masuk sebelum sempat Dewa persilahkan. "Ada apa?" Dewa meringis ngilu melihat cara duduk Tika di sofa, dinilai terlalu kasar. "Aku tidak menyangka kau tega melakukan itu," sembur Tika tiba-tiba. Tidak paham dengan apa yang Tika bicarakan, Dewa segera mendekat. "Bicara yang jelas. Apa yang sudah kulakukan sampai kau bisa semarah ini?" Dewa ikut duduk di samping Tika, tapi justru lebih tertarik memperhatikan perut besar sang istri—khawatir terjadi sesuatu setelah cara duduk Tika yang bar bar yadi. "Oke. Aku minta maaf," kata Dewa meski sebenarnya belum tahu dimana letak kesalahannya. Dewa menganggap kemarahan Tika pengaruh hormon kehamilan. Namun, begitu mendapati mata Tika memancar penuh amarah, Dewa mengerutkan alis. Ada yang tidak beres. "