"Kenapa kau masih mengurungnya di apartemenmu!" Setelah dua bulan berusaha menutup mata, dengan Dewa yang berani mengurung perempuan yang bahkan masih berstatus istri pria lain, Adiraksa yang geram lantas memanggil putranya. Mengingat Dewa memang sangat jarang pulang, jika tidak ada hal yang penting, atau mendesak. Dewa yang tahu dimana letak kesalahannya, siap menanggung semua konsekuensi yang ayahnya berikan. Paling tidak bersikap gentle dengan mengakui kesalahan, bukan malah berkelit dan menjadikan orang lain kambing hitam—itulah prinsip yang selama ini Dewa tanamkan di hati serta benaknya. "Sekeras apapun kami padamu, pernahkah kami mencampuri urusan pribadimu! Itu karena kami percaya kau tahu batasan!" Suara Adiraksa masih memenuhi ruangan. Pria itu sangat murka. "Dengan membiarkanmu tinggal sendiri, besar harapan kami kau bisa lebih dewasa, bisa berubah! Tapi sekarang apa yang terjadi?! Kau semakin hilang akal dengan tinggal bersama istri orang! Apa stok wanitamu sudah habis
Hari itu Dewa memang berhasil menenangkan Floren, sampai aksi nekatnya yang ingin mengakhiri hidup bisa Dewa gagalkan. Selain itu, setelah mendengar alasan-alasan perihal hubungan mereka yang tidak bisa lagi dilanjutkan, Floren mulai bisa menerima, dan meminta diantarkan pulang ke alamat yang katanya rumah bibinya. Dari sedikit cerita yang Dewa dengar, Floren sejak kecil dirawat oleh bibi dari ibunya, pasca kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Tetapi sayangnya, saat itu Dewa tidak diizinkan masuk ke rumah tersebut dengan alasan yang cukup masuk akal baginya. Namun, tanpa Dewa duga hari itu menjadi hari terakhir pertemuan mereka. Karena setelahnya Dewa benar-benar tidak lagi bisa melihat wajah Floren. Selain tidak ada alamat lain yang Dewa ketahui, ternyata rumah yang sempat Floren tunjukkan bukanlah rumah bibinya, melainkan milik orang lain. Bulan berganti tahun berlalu masih belum mendapat kabar tentang keberadaan Floren, meski diam-diam Dewa telah meminta bantu
Tidak ada yang tidak mungkin jika mau berusaha, dan jangan berpikir takut gagal jika belum pernah mencoba. Sebab, hanya manusia satu-satu makhluk bumi yang diberi kesempurnaan akal dan kemampuan untuk melakukan banyak hal. Tak ayal, ada banyak manusia memiliki kemampuan diatas rata-rata manusia pada umumnya, hingga bisa menciptakan sesuatu yang bahkan dianggap diluar nalar. Pun dengan perkembangan teknologi, tak lepas dari otak brilian anak manusia yang selalu ingin berkembang setiap tahunnya. Begitu juga dengan Dewa yang sekarang benar-benar sadar, dirinya harus berguna untuk orang lain. Sudah cukup masa mudanya terbuang sia-sia. Sekarang ia harus bisa membuktikan diri, bahwa darah Adiraksa dalam tubuhnya tidak akan mengalir tanpa ada perjuangan. Setelah hampir dua hari tidak beranjak dari sofa, hanya termenung—banyak berpikir, tiba-tiba secara mengejutkan Dewa mengutarakan niatnya akan menggantikan kepemimpinan sang ayah. Kendati Adiraksa sempat meragukan hal tersebut, tapi akhirn
"Mau sampai kapan kau bersembunyi di tempat ini? Membiarkan orang menganggapmu juga pasien." Usapan di perut Tika seketika terhenti, tetapi pandangan Olive belum juga berpaling dari sana—-menatap takjub bercampur haru perut besar Tika yang masih sering menonjol, ke kanan dan kiri kala bayinya terus bergerak aktif. "Dia semakin bersemangat saat disentuh seperti itu. Apalagi jika yang melakukan—" "---papanya," serobot Olive disertai senyum menggoda. Tidak ingin Olive melihat kesedihan yang mungkin tergambar jelas di wajahnya—Tika langsung menundukkan pandangan, dengan tangan kiri ikut menyentuh perut bagian bawah. Tika tidak menampik tebakan Olive yang memang benar adanya. Hanya saja, saat itu juga rasa rindu tiba-tiba singgah dan nyaris meruntuhkan pertahanan dirinya. Melupakan Dewa dalam waktu singkat, ternyata bukan hal yang mudah Tika lakukan. Terbukti, setelah sekian hari tidak ada komunikasi apapun karena ia sengaja menghindar—-mengabaikan rindu yang semakin berat dirasakan,
Tika merasa hangat, kala ada tangan besar melingkari pinggang dan mengusap perut besarnya. Tidak hanya itu, ia juga merasa nyaman ketika punggungnya yang tertutup kain linen menyentuh sesuatu yang keras tapi bukan beton. Siapa sangka, rangkulan yang dianggap halusinasi saat dirinya hampir tenggelam dalam mimpi, membuat Tika enggan membuka mata lagi. Lantaran dengan begitu, Tika tidak lagi gelisah. Banyaknya pikiran yang sebelumnya merangsang otak untuk tetap bekerja, akhirnya mereda begitu saja. Tika merasa seperti nyata, ada seseorang di belakangnya. Tetapi karena ketenangan sudah terlanjur membuatnya nyaman, ia tidak ingin memastikan, justru ingin tetap seperti itu sebentar saja. Setidaknya sampai ia benar-benar terlelap. Dewa sebenarnya ingin marah karena harus menunggu lama, baru ketika waktu menunjukkan pukul sebelas malam—Tika memasuki kamar. Kemarahan Dewa seketika sirna, melihat wanita yang sangat dirindukan sudah kembali. Tika yang memang langsung berbaring setelah berganti
"Bagaimana? Informasi apa yang sudah kau dapatkan?" Dewa segera duduk setelah mempersilahkan Rainer—orang kepercayaannya untuk ikut duduk bersama di sofa, mereka saling berhadapan. "Namanya Melati, Bang." Pemuda itu mulai menjelaskan informasi yang didapatkan. "Dia diasuh oleh nenek tua bernama Sekar, dan mereka tinggal di sebuah desa kecil yang letaknya tidak jauh dari lokasi terjadinya kecelakaan hari itu. Melati memiliki julukan Gadis Balap. Karena dia juga hobi menaklukan lintasan. Hanya bedanya di lebih suka menekuni motocross. Seharusnya jika hari itu dia tidak mengalami kecelakaan, dia bisa mengikuti ajang bergengsi di Kuala Lumpur." Dewa menyimak serius penjelasan Rainer, dengan sesekali menunjukkan kerutan di dahi. Dewa merasa heran sekaligus kagum, gadis itu sepertinya memiliki hobi yang juga mainstream sama seperti dirinya. "Mengesankan. Gadis yang menarik," ujar Dewa tulus. "Lalu apa kau tahu siapa Sekar? Dia kerabat atau orang lain? Selain itu, apa tidak ada keterangan
"Terima kasih. Anda sudah menyelamatkan saya dan mau menanggung semua pengobatan saya, Tuan." Dewa mengangguk pelan menanggapi ucapan terima kasih gadis di depannya. Melati balas tersenyum samar yang terlihat sangat dipaksakan, dan Dewa tetap bersikap seolah tidak tahu apapun mengenai gadis itu. Setelah berhasil lolos dari maut, dan harus berada di rumah sakit berbulan-bulan tapi tak ada satupun kerabat yang menemani, Dewa paham kesedihan yang sedang Melati rasakan. "Bagaimana keadaanmu sekarang?" Dewa coba mengalihkan kesedihan itu dengan kembali bertanya. "Sekarang aku sudah merasa jauh lebih baik, Tuan." Berada di ruang eksklusif dengan fasilitas lengkap layaknya kamar hotel, Dewa tahu Melati sebenarnya kurang nyaman, mengingat mereka hanya berdua. Hanya saja karena tidak ingin menyinggung dirinya yang sudah banyak membantu, gadis itu berusaha bersikap tenang. Walaupun tidak dipungkiri, dengan Melati yang terus menundukkan pandangan—tidak berani menatap matanya, Dewa sendiri
Di ruang meeting perusahaan Laksamana group, tengah terjadi ketegangan. Tika tetap memperjuangkan haknya meski para pemegang saham kekeh ingin menggantikan dirinya dengan kandidat yang menurut mereka layak. Biarpun semakin tersudut saat semua peserta rapat menyalahkan dirinya atas kemunduran Mr. Logan, dan menganggap apa yang terjadi pada Laksmana group sepenuhnya atas tanggung jawabnya sebagai pemimpin—Tika tetap tak gentar. Dengan berani ia menatap semua orang yang ada di ruangan itu dengan mata sayu tapi menyiratkan ketegasan. Kendati merasa sudah sangat muak dengan situasi yang ada, pun rasa nyeri diperut bagian bawah yang sering muncul dan tiba-tiba menghilang—-dahi Tika bercucur keringat. Tapi Tika tetap berusaha tenang. Karena tidak ingin apa yang terjadi padanya saat itu dianggap dalih untuk menyelamatkan diri. "Bukankah kita sudah pernah membahas masalah ini di rapat sebelumnya? Beserta alasan kemunduran Mr. Logan. Lantas, apa kalian tidak bisa melihat kinerja saya selama
Begitu tahu siapa yang sedang menunggu mereka di ruang tamu, Tika beralih pandang pada Dewa yang juga akan menuju tempat yang sama. Mengetahui Dewa mengangguk samar—seolah mengatakan semua pasti baik-baik saja, Tika mengatur nafas terlebih dulu sebelum memutuskan memasuki ruangan tersebut. Melihat kemunculan pemilik rumah, Floren segara bangkit dari sofa. "Tika! Maaf. Aku baru bisa datang sekarang." Melihat sikap ramah Floren yang seakan tidak pernah terjadi ketegangan di antara mereka, Tika seketika berhenti, dan kembali menoleh Dewa yang juga ikut berhenti."Sebaiknya kita duduk," bisik Dewa menangkap kerutan di dahi sang istri. Mendapat anggukan setuju, Dewa membimbing Tika duduk di sofa yang sama. Meletakkan paper bag berukuran sedang ke atas meja, pun dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya—Floren kembali berkata, "ada hadiah tak seberapa untuk si kecil. Diterima ya. Sekali lagi aku ucapkan selamat atas kelahiran putra kalian." Namun, ternyata Floren tak cukup berani berad
Jagat media tengah dihebohkan dengan berita kematian Firman. Pemuda dua puluh delapan tahun itu ditemukan meringkuk tak bernyawa di dalam kamarnya. Diduga luka sayatan melintang di leher, hingga putusnya urat nadi yang menjadi penyebab nyawa pemuda itu tidak bisa diselamatkan. Dugaan sementara Firman nekat mengakhiri hidup, lantaran depresi.Pernyataan tersebut diperkuat oleh keterangan tahanan lain, yang mengatakan jika sejak kedatangan teman-temannya, Firman berubah murung, dan tidak banyak bicara. Sampai akhirnya selang beberapa hari, saat petugas datang mengantarkan sarapan, berulang kali memanggil tidak juga ada jawaban—Firman tetap meringkuk di atas karpet usang, dan begitu dipastikan ternyata ada genangan darah di dekat leher yang mulai mengering. Diperkirakan Firman melancarkan aksinya saat malam hari.Naasnya, keadaan tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di kediaman Liem. Ketegangan yang menurut keterangan terjadi saat pagi hari itu, menyisakan kekacauan hingga menjadi saks
"Sayang… apa ada yang serius?""Tidak. Semuanya baik-baik saja."Barulah Dewa bisa bernafas lega setelah mendengar langsung dari mulut Tika. Sebenarnya ekspresi tenang yang ia tunjukan di hadapan semua orang tadi, sangat bertentangan dengan hati ketika mengetahui Tika pergi ke rumah sakit, dan diantar supir. Pikiran sudah tak karuan. Hal buruk seketika silih berganti datang hingga memenuhi kepala. Pasalnya, Tika bukanlah perempuan cengeng yang akan rela bolak-balik rumah sakit, jika itu hanya keluhan yang tak seberapa.Karena itulah Dewa sangat cemas memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya. Tak ayal sampai menyusul ke rumah sakit, dan membiarkan Sam serta Gusti yang menggantikan dirinya rapat dengan klien. Melihat keraguan di wajah Dewa, Tika segara mendekatkan mulut di telinga suami muda itu, agar Dewa tidak semakin mencemaskan dirinya."Aku baru saja berkonsultasi alat kontrasepsi yang aman aku gunakan. Bukankah katamu kita harus menunda adik untuk Arkhan?" Kendati awa
"Aku hanya ingin kalian tetap hidup. Sekalipun aku harus membayar mahal untuk itu, karena tidak bisa lagi bersamamu, aku terima. Setidaknya bisa melihatmu tetap bernafas itu sudah lebih dari cukup."Pandangan Floren seketika terangkat, kemarahan semakin membumbung tinggi ia rasakan. Semudah itukah Roland memutus sesuatu yang sebenarnya sangat sulit ia lalui? Dimana empati lelaki itu yang justru mengalah dengan keadaan, dan membiarkan dirinya kesakitan seorang diri. Alih-alih bertindak selayaknya lelaki sejati."Aku memang tidak pernah tahu perjanjian apa yang kau sepakati dengan Tuan Liem, " lirih Floren disertai kemarahan yang terlihat jelas dari sorot matanya yang memerah. "Tapi tidak bisakah kau memberiku penjelasan? Atau setidaknya memintaku pergi menggunakan bahasa manusia? Bukan malah berlaku picik dengan merekayasa kecelakaan itu. Cih! Membuat statement rendahan hanya karena ingin menikahi perempuan lain. Memalukan!" Floren bersungut-sungut meluapkan amarah yang hampir meledakk
"Tetap tidak bisa, Nona. Anda harus membuat janji terlebih dahulu.""Kalian berisik sekali! Katakan saja aku teman bos kalian. Dia pasti paham!" ketus Clara.Semakin jengah dengan sikap Clara yang bersikeras ingin dipertemukan dengan atasan mereka, dua resepsionis wanita itu pun saling bertukar pandang dengan raut wajah menahan kesal."Kenapa masih diam saja? Cepat beritahu bos kalian jika aku, Clara sedang menunggu di sini," ujarnya lagi penuh percaya diri. "Sedikit cepat ya… aku tidak terbiasa menunggu." Sambil mengibaskan tangan ke depan wajah, Clara berpaling ke samping. Mengusir bosan dengan mengedarkan pandangan—memperhatikan interior yang ada di sekitarnya. Dalam hati Clara masih saja menggerutu akan kebodohannya yang gegabah memilih Alan—lelaki yang ternyata sangat perhitungan. Seandainya saja ia tahu sejak awal, jika Dewa merupakan pewaris tunggal Adiraksa, tentu saja ia akan bertahan dengan lelaki itu—meski sebenarnya hanya menginginkan tubuhnya. Tapi setidaknya sekarang,
"Ini untukku?" Melihat gadis kecil itu mengangguk antusias, Floren tersenyum senang. "Terima kasih. Bunganya sangat cantik. Siapa namamu, Sayang? Oh." Floren berubah tercenung, saat mengetahui gadis yang sejak tadi terus melukis wajahnya dengan senyum manis itu, rupanya penyandang disabilitas."Maafkan aku." Floren segera menjatuhkan lutut, dan memeluk gadis itu yang juga langsung melingkarkan tangan ke lehernya.'Kenapa rasanya begitu menenangkan. Melihat gadis ini, aku seperti melihat diriku sendiri versi kecil.'Sejenak menyelami rasa yang semakin menjalar hati—Floren ingin sebentar saja meminjam gadis itu untuk mengembalikan ketenangan yang nyaris tidak pernah ia dapatkan lagi—setelah kebahagiaannya direnggut paksa beberapa tahun lalu. Terlalu lama terombang-ambing di lautan lepas, Floren tidak tahu dermaga mana yang akan dituju. Hingga membuatnya berada dalam ketidakpastian. Ketika itu yang bisa dilakukan hanya bertahan, menjaga seimbangan agar tidak sampai terguling dan tenggel
Clara begitu terkejut setelah mendengar apa yang baru saja ibunya sampaikan. Bahkan karena terlalu terkejut, sampai-sampai perempuan yang masih menggulung rambutnya dengan handuk kecil itu, masih mematung meski ibunya telah berlalu."Tidak mungkin, tidak mungkin dia pewaris tunggal Adiraksa. Dia hanya berandal yang kebetulan bisa menikahi wanita konglomerat itu. Yah! Derajatnya tidak mungkin lebih tinggi dari Alan." Berulang kali Clara menyakinkan diri, apa yang ibunya sampaikan hanyalah rumor yang pasti tidak valid kebenarannya. Mustahil Dewa seorang milyader yang kekayaannya jangankan satu Alan, bahkan sepuluh Alan pun tidak bisa menandinginya. "Tapi jika itu benar, apa yang harus kulakukan agar bisa kembali padanya?""Clara!!"Namun, di selah-selah perempuan itu sedang menyusun rencana, tiba-tiba suara teriakan dari lantai dua—tepatnya kamar utama, terdengar menggema ke segala penjuru rumah Alan yang memang tidak terlalu luas. Seketika itu, Clara berdecak kesal saat melirik ke la
"Sialan! Dia benar-benar keras kepala," geram Dewa seraya menyadarkan punggung dan menyilangkan satu kaki di atas kaki yang lain. "Cih. Dia pikir aku akan tetap diam saja dan membiarkan dia semakin besar kepala? Jelas saja tidak!"Gusti yang masih serius membaca berkas di depannya, menoleh singkah. Rupanya gerutuan Dewa cukup membuatnya terusik. "Kasih dia paham, seberapa berharga Kak Tika untukmu. Dia hanya masa lalu, tidak berhak mencampuri masa depanmu. Apalagi yang terjadi pada kalian dulu bukanlah cinta, melainkan simbiosis mutualisme, dan seharusnya dia cukup sadar diri akan itu," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan."Kau tahu sendiri, aku tidak bisa berbuat banyak saat Tika bersamaku. Bahkan ketika dia mengklaim Tika juga tidak berhak denganku, jika aku tidak mau menerimanya. Hampir saja aku hilang kendali. Bagaimana bisa dia selancang itu pada ibu dari putraku!"Dewa semakin bersungut-sungut—-sangat kesal akan sikap Floren semalam yang masih bersikeras ingin memisahkan dirinya
Di bawah kucuran air shower, Roland masih betah merapatkan dahi ke dinding. Dengan kedua tangan mencengkram rambut belakang, ia masih saja menyesali tindakannya yang sudah menggoda Pratiwi. Sehingga memberi kesempatan perempuan itu untuk bisa menggagahi tubuhnya. Mungkin ia sudah benar-benar sinting karena berani menantang predator yang memang pecandu seks, hingga akhirnya menodai kesucian tubuhnya yang pernah ia dedikasikan hanya untuk satu perempuan saja.Floren memiliki berpengaruh penting sampai ia bisa menjadi sosok yang sekarang—-dingin nyaris tak tersentuh. Bahkan sering kali Pratiwi beranggapan, jika keegoisan Tuan Liem juga telah memangkas jiwa kelelakian Roland yang selalu tak acuh padanya.Padahal sekian tahun tinggal bersama dalam satu atap, mendapati Pratiwi mengenakan gaun seksi bahkan nyaris seperti tak berbusana hampir setiap hari Roland temui. Tetapi lelaki yang memiliki tahi lalat di dekat hidung itu, tak sekalipun menunjukan ketertarikannya. Meski sebenarnya Pratiwi