Dewa yang baru saja bisa terlelap beberapa jam, merasa ada beban menimpa lengannya. Namun, karena rasa kantuk lebih menguasai, ia berusaha mengabaikan. Tapi di menit berikutnya, Dewa melenguh kasar. Terbiasa tidur bertelanjang dada, Dewa risih ketika ada yang merambat perut dan berangsur turun hingga nyaris menyentuh pusar. Reflek, Dewa segera mengusap bagian itu—menganggap ada serangga yang hinggap, sampai akhirnya seketika ia terjaga saat tahu itu tak lain tangan manusia. Terkejut ada tangan di atas perutnya, Dewa ingin memastikan. Tapi baru akan menunduk, ingat ada beban berat di lengan—Dewa segera menoleh, dan saat itu ia tahu jika lengan kirinya tengah jadikan bantal oleh seseorang. Menemukan Floren tersenyum manis padanya, Dewa sontak terjingkat duduk setelah menghempaskan kasar tangan perempuan itu dari atas perutnya. "Floren! Kenapa kau ikut tidur di sini? Tidurlah di kamar!" sentak Dewa yang langsung memalingkan wajah. Saat tahu lagi, Floren hanya mengenakan kaos miliknya
"Kenapa kau masih mengurungnya di apartemenmu!" Setelah dua bulan berusaha menutup mata, dengan Dewa yang berani mengurung perempuan yang bahkan masih berstatus istri pria lain, Adiraksa yang geram lantas memanggil putranya. Mengingat Dewa memang sangat jarang pulang, jika tidak ada hal yang penting, atau mendesak. Dewa yang tahu dimana letak kesalahannya, siap menanggung semua konsekuensi yang ayahnya berikan. Paling tidak bersikap gentle dengan mengakui kesalahan, bukan malah berkelit dan menjadikan orang lain kambing hitam—itulah prinsip yang selama ini Dewa tanamkan di hati serta benaknya. "Sekeras apapun kami padamu, pernahkah kami mencampuri urusan pribadimu! Itu karena kami percaya kau tahu batasan!" Suara Adiraksa masih memenuhi ruangan. Pria itu sangat murka. "Dengan membiarkanmu tinggal sendiri, besar harapan kami kau bisa lebih dewasa, bisa berubah! Tapi sekarang apa yang terjadi?! Kau semakin hilang akal dengan tinggal bersama istri orang! Apa stok wanitamu sudah habis
Hari itu Dewa memang berhasil menenangkan Floren, sampai aksi nekatnya yang ingin mengakhiri hidup bisa Dewa gagalkan. Selain itu, setelah mendengar alasan-alasan perihal hubungan mereka yang tidak bisa lagi dilanjutkan, Floren mulai bisa menerima, dan meminta diantarkan pulang ke alamat yang katanya rumah bibinya. Dari sedikit cerita yang Dewa dengar, Floren sejak kecil dirawat oleh bibi dari ibunya, pasca kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Tetapi sayangnya, saat itu Dewa tidak diizinkan masuk ke rumah tersebut dengan alasan yang cukup masuk akal baginya. Namun, tanpa Dewa duga hari itu menjadi hari terakhir pertemuan mereka. Karena setelahnya Dewa benar-benar tidak lagi bisa melihat wajah Floren. Selain tidak ada alamat lain yang Dewa ketahui, ternyata rumah yang sempat Floren tunjukkan bukanlah rumah bibinya, melainkan milik orang lain. Bulan berganti tahun berlalu masih belum mendapat kabar tentang keberadaan Floren, meski diam-diam Dewa telah meminta bantu
Tidak ada yang tidak mungkin jika mau berusaha, dan jangan berpikir takut gagal jika belum pernah mencoba. Sebab, hanya manusia satu-satu makhluk bumi yang diberi kesempurnaan akal dan kemampuan untuk melakukan banyak hal. Tak ayal, ada banyak manusia memiliki kemampuan diatas rata-rata manusia pada umumnya, hingga bisa menciptakan sesuatu yang bahkan dianggap diluar nalar. Pun dengan perkembangan teknologi, tak lepas dari otak brilian anak manusia yang selalu ingin berkembang setiap tahunnya. Begitu juga dengan Dewa yang sekarang benar-benar sadar, dirinya harus berguna untuk orang lain. Sudah cukup masa mudanya terbuang sia-sia. Sekarang ia harus bisa membuktikan diri, bahwa darah Adiraksa dalam tubuhnya tidak akan mengalir tanpa ada perjuangan. Setelah hampir dua hari tidak beranjak dari sofa, hanya termenung—banyak berpikir, tiba-tiba secara mengejutkan Dewa mengutarakan niatnya akan menggantikan kepemimpinan sang ayah. Kendati Adiraksa sempat meragukan hal tersebut, tapi akhirn
"Mau sampai kapan kau bersembunyi di tempat ini? Membiarkan orang menganggapmu juga pasien." Usapan di perut Tika seketika terhenti, tetapi pandangan Olive belum juga berpaling dari sana—-menatap takjub bercampur haru perut besar Tika yang masih sering menonjol, ke kanan dan kiri kala bayinya terus bergerak aktif. "Dia semakin bersemangat saat disentuh seperti itu. Apalagi jika yang melakukan—" "---papanya," serobot Olive disertai senyum menggoda. Tidak ingin Olive melihat kesedihan yang mungkin tergambar jelas di wajahnya—Tika langsung menundukkan pandangan, dengan tangan kiri ikut menyentuh perut bagian bawah. Tika tidak menampik tebakan Olive yang memang benar adanya. Hanya saja, saat itu juga rasa rindu tiba-tiba singgah dan nyaris meruntuhkan pertahanan dirinya. Melupakan Dewa dalam waktu singkat, ternyata bukan hal yang mudah Tika lakukan. Terbukti, setelah sekian hari tidak ada komunikasi apapun karena ia sengaja menghindar—-mengabaikan rindu yang semakin berat dirasakan,
Tika merasa hangat, kala ada tangan besar melingkari pinggang dan mengusap perut besarnya. Tidak hanya itu, ia juga merasa nyaman ketika punggungnya yang tertutup kain linen menyentuh sesuatu yang keras tapi bukan beton. Siapa sangka, rangkulan yang dianggap halusinasi saat dirinya hampir tenggelam dalam mimpi, membuat Tika enggan membuka mata lagi. Lantaran dengan begitu, Tika tidak lagi gelisah. Banyaknya pikiran yang sebelumnya merangsang otak untuk tetap bekerja, akhirnya mereda begitu saja. Tika merasa seperti nyata, ada seseorang di belakangnya. Tetapi karena ketenangan sudah terlanjur membuatnya nyaman, ia tidak ingin memastikan, justru ingin tetap seperti itu sebentar saja. Setidaknya sampai ia benar-benar terlelap. Dewa sebenarnya ingin marah karena harus menunggu lama, baru ketika waktu menunjukkan pukul sebelas malam—Tika memasuki kamar. Kemarahan Dewa seketika sirna, melihat wanita yang sangat dirindukan sudah kembali. Tika yang memang langsung berbaring setelah berganti
"Bagaimana? Informasi apa yang sudah kau dapatkan?" Dewa segera duduk setelah mempersilahkan Rainer—orang kepercayaannya untuk ikut duduk bersama di sofa, mereka saling berhadapan. "Namanya Melati, Bang." Pemuda itu mulai menjelaskan informasi yang didapatkan. "Dia diasuh oleh nenek tua bernama Sekar, dan mereka tinggal di sebuah desa kecil yang letaknya tidak jauh dari lokasi terjadinya kecelakaan hari itu. Melati memiliki julukan Gadis Balap. Karena dia juga hobi menaklukan lintasan. Hanya bedanya di lebih suka menekuni motocross. Seharusnya jika hari itu dia tidak mengalami kecelakaan, dia bisa mengikuti ajang bergengsi di Kuala Lumpur." Dewa menyimak serius penjelasan Rainer, dengan sesekali menunjukkan kerutan di dahi. Dewa merasa heran sekaligus kagum, gadis itu sepertinya memiliki hobi yang juga mainstream sama seperti dirinya. "Mengesankan. Gadis yang menarik," ujar Dewa tulus. "Lalu apa kau tahu siapa Sekar? Dia kerabat atau orang lain? Selain itu, apa tidak ada keterangan
"Terima kasih. Anda sudah menyelamatkan saya dan mau menanggung semua pengobatan saya, Tuan." Dewa mengangguk pelan menanggapi ucapan terima kasih gadis di depannya. Melati balas tersenyum samar yang terlihat sangat dipaksakan, dan Dewa tetap bersikap seolah tidak tahu apapun mengenai gadis itu. Setelah berhasil lolos dari maut, dan harus berada di rumah sakit berbulan-bulan tapi tak ada satupun kerabat yang menemani, Dewa paham kesedihan yang sedang Melati rasakan. "Bagaimana keadaanmu sekarang?" Dewa coba mengalihkan kesedihan itu dengan kembali bertanya. "Sekarang aku sudah merasa jauh lebih baik, Tuan." Berada di ruang eksklusif dengan fasilitas lengkap layaknya kamar hotel, Dewa tahu Melati sebenarnya kurang nyaman, mengingat mereka hanya berdua. Hanya saja karena tidak ingin menyinggung dirinya yang sudah banyak membantu, gadis itu berusaha bersikap tenang. Walaupun tidak dipungkiri, dengan Melati yang terus menundukkan pandangan—tidak berani menatap matanya, Dewa sendiri