"Mau sampai kapan kau bersembunyi di tempat ini? Membiarkan orang menganggapmu juga pasien." Usapan di perut Tika seketika terhenti, tetapi pandangan Olive belum juga berpaling dari sana—-menatap takjub bercampur haru perut besar Tika yang masih sering menonjol, ke kanan dan kiri kala bayinya terus bergerak aktif. "Dia semakin bersemangat saat disentuh seperti itu. Apalagi jika yang melakukan—" "---papanya," serobot Olive disertai senyum menggoda. Tidak ingin Olive melihat kesedihan yang mungkin tergambar jelas di wajahnya—Tika langsung menundukkan pandangan, dengan tangan kiri ikut menyentuh perut bagian bawah. Tika tidak menampik tebakan Olive yang memang benar adanya. Hanya saja, saat itu juga rasa rindu tiba-tiba singgah dan nyaris meruntuhkan pertahanan dirinya. Melupakan Dewa dalam waktu singkat, ternyata bukan hal yang mudah Tika lakukan. Terbukti, setelah sekian hari tidak ada komunikasi apapun karena ia sengaja menghindar—-mengabaikan rindu yang semakin berat dirasakan,
Tika merasa hangat, kala ada tangan besar melingkari pinggang dan mengusap perut besarnya. Tidak hanya itu, ia juga merasa nyaman ketika punggungnya yang tertutup kain linen menyentuh sesuatu yang keras tapi bukan beton. Siapa sangka, rangkulan yang dianggap halusinasi saat dirinya hampir tenggelam dalam mimpi, membuat Tika enggan membuka mata lagi. Lantaran dengan begitu, Tika tidak lagi gelisah. Banyaknya pikiran yang sebelumnya merangsang otak untuk tetap bekerja, akhirnya mereda begitu saja. Tika merasa seperti nyata, ada seseorang di belakangnya. Tetapi karena ketenangan sudah terlanjur membuatnya nyaman, ia tidak ingin memastikan, justru ingin tetap seperti itu sebentar saja. Setidaknya sampai ia benar-benar terlelap. Dewa sebenarnya ingin marah karena harus menunggu lama, baru ketika waktu menunjukkan pukul sebelas malam—Tika memasuki kamar. Kemarahan Dewa seketika sirna, melihat wanita yang sangat dirindukan sudah kembali. Tika yang memang langsung berbaring setelah berganti
"Bagaimana? Informasi apa yang sudah kau dapatkan?" Dewa segera duduk setelah mempersilahkan Rainer—orang kepercayaannya untuk ikut duduk bersama di sofa, mereka saling berhadapan. "Namanya Melati, Bang." Pemuda itu mulai menjelaskan informasi yang didapatkan. "Dia diasuh oleh nenek tua bernama Sekar, dan mereka tinggal di sebuah desa kecil yang letaknya tidak jauh dari lokasi terjadinya kecelakaan hari itu. Melati memiliki julukan Gadis Balap. Karena dia juga hobi menaklukan lintasan. Hanya bedanya di lebih suka menekuni motocross. Seharusnya jika hari itu dia tidak mengalami kecelakaan, dia bisa mengikuti ajang bergengsi di Kuala Lumpur." Dewa menyimak serius penjelasan Rainer, dengan sesekali menunjukkan kerutan di dahi. Dewa merasa heran sekaligus kagum, gadis itu sepertinya memiliki hobi yang juga mainstream sama seperti dirinya. "Mengesankan. Gadis yang menarik," ujar Dewa tulus. "Lalu apa kau tahu siapa Sekar? Dia kerabat atau orang lain? Selain itu, apa tidak ada keterangan
"Terima kasih. Anda sudah menyelamatkan saya dan mau menanggung semua pengobatan saya, Tuan." Dewa mengangguk pelan menanggapi ucapan terima kasih gadis di depannya. Melati balas tersenyum samar yang terlihat sangat dipaksakan, dan Dewa tetap bersikap seolah tidak tahu apapun mengenai gadis itu. Setelah berhasil lolos dari maut, dan harus berada di rumah sakit berbulan-bulan tapi tak ada satupun kerabat yang menemani, Dewa paham kesedihan yang sedang Melati rasakan. "Bagaimana keadaanmu sekarang?" Dewa coba mengalihkan kesedihan itu dengan kembali bertanya. "Sekarang aku sudah merasa jauh lebih baik, Tuan." Berada di ruang eksklusif dengan fasilitas lengkap layaknya kamar hotel, Dewa tahu Melati sebenarnya kurang nyaman, mengingat mereka hanya berdua. Hanya saja karena tidak ingin menyinggung dirinya yang sudah banyak membantu, gadis itu berusaha bersikap tenang. Walaupun tidak dipungkiri, dengan Melati yang terus menundukkan pandangan—tidak berani menatap matanya, Dewa sendiri
Di ruang meeting perusahaan Laksamana group, tengah terjadi ketegangan. Tika tetap memperjuangkan haknya meski para pemegang saham kekeh ingin menggantikan dirinya dengan kandidat yang menurut mereka layak. Biarpun semakin tersudut saat semua peserta rapat menyalahkan dirinya atas kemunduran Mr. Logan, dan menganggap apa yang terjadi pada Laksmana group sepenuhnya atas tanggung jawabnya sebagai pemimpin—Tika tetap tak gentar. Dengan berani ia menatap semua orang yang ada di ruangan itu dengan mata sayu tapi menyiratkan ketegasan. Kendati merasa sudah sangat muak dengan situasi yang ada, pun rasa nyeri diperut bagian bawah yang sering muncul dan tiba-tiba menghilang—-dahi Tika bercucur keringat. Tapi Tika tetap berusaha tenang. Karena tidak ingin apa yang terjadi padanya saat itu dianggap dalih untuk menyelamatkan diri. "Bukankah kita sudah pernah membahas masalah ini di rapat sebelumnya? Beserta alasan kemunduran Mr. Logan. Lantas, apa kalian tidak bisa melihat kinerja saya selama
Dewa terkejut begitu membuka pintu apartemen, ternyata wanita yang paling ia rindukan tengah berdiri. Namun, kali ini ada yang berbeda, Tika tak sedikitpun menunjukkan sikap ramah. Bahkan begitu pintu terbuka lebar, Tika langsung menyerobot masuk sebelum sempat Dewa persilahkan. "Ada apa?" Dewa meringis ngilu melihat cara duduk Tika di sofa, dinilai terlalu kasar. "Aku tidak menyangka kau tega melakukan itu," sembur Tika tiba-tiba. Tidak paham dengan apa yang Tika bicarakan, Dewa segera mendekat. "Bicara yang jelas. Apa yang sudah kulakukan sampai kau bisa semarah ini?" Dewa ikut duduk di samping Tika, tapi justru lebih tertarik memperhatikan perut besar sang istri—khawatir terjadi sesuatu setelah cara duduk Tika yang bar bar yadi. "Oke. Aku minta maaf," kata Dewa meski sebenarnya belum tahu dimana letak kesalahannya. Dewa menganggap kemarahan Tika pengaruh hormon kehamilan. Namun, begitu mendapati mata Tika memancar penuh amarah, Dewa mengerutkan alis. Ada yang tidak beres. "
Terkejut bercampur takjub. Itulah alasan yang membuat Dewa sampai bisa tidak sadarkan diri. Sesuatu yang dinantikan akhirnya tiba, tapi begitu mengetahui nyawa baru muncul dari tempat yang selama ini paling digilai, nyatanya Dewa tak cukup mampu mengendalikan diri. Kendati mengetahui secara ilmiah memang seperti itu proses wanita melahirkan secara normal. Tetapi tetap saja, saat melihatnya langsung, terlebih itu wanita yang dicintai, tak disangka rasanya begitu mendebarkan. Setiap kali mendengar Tika mengejan, Dewa merasa tenaganya ikut tertarik habis. Tepatnya ketika mendengar suara tangis bayinya, Dewa merasa jiwanya seketika meloncat keluar, dan pergi entah berapa lama baru bisa kembali. Lantas sekarang, meski sudah dua jam lebih Dewa duduk di sana—sofa panjang yang ada di kamarnya, Dewa belum juga berpuas hati memandangi hasil mahakaryanya. Selain itu, Dewa juga belum sepenuhnya percaya, jika sosok kecil yang saat ini berada di samping istrinya terbaring dan terlelap, merupaka
"Periksa setiap sudut ruangan ini, jangan sampai ada yang terlewatkan satu benda pun," ujar Dewa memberi perintah. "Aku curiga pasti ada sesuatu disini yang tidak pernah Tika sadari." Sama seperti Gusti dan juga Sam, Dewa ikut memeriksa setiap sudut serta benda yang ada di ruang kerja Tika. "Kau yakin akan menemukan petunjuknya di sini, Wa?" tanya Gusti sambil bertolak pinggang—memperhatikan sekitar setelah memeriksa lemari yang ada di dekat pintu. "Bik Santi pernah memberitahuku. Sebelum aku datang, Roland sering berkunjung dan tidak ragu memasuki ruangan ini untuk mendiskusikan sesuatu dengan Tika. Siapa tahu saat Tika lengah, dia memanfaatkan kesempatan itu untuk memasang cctv, atau alat penyadap suara di tempat yang tidak mudah terlihat mata." Dewa tetap yakin dengan pemikirannya. Sebab, sangat mustahil Roland tidak menggunakan kesempatan itu untuk mendapat informasi apapun dari Tika. Termasuk kesepakatan nikah kontrak yang dulu pernah dirinya dan sang istri sepakati. "Cuku