Dewa terkejut begitu membuka pintu apartemen, ternyata wanita yang paling ia rindukan tengah berdiri. Namun, kali ini ada yang berbeda, Tika tak sedikitpun menunjukkan sikap ramah. Bahkan begitu pintu terbuka lebar, Tika langsung menyerobot masuk sebelum sempat Dewa persilahkan. "Ada apa?" Dewa meringis ngilu melihat cara duduk Tika di sofa, dinilai terlalu kasar. "Aku tidak menyangka kau tega melakukan itu," sembur Tika tiba-tiba. Tidak paham dengan apa yang Tika bicarakan, Dewa segera mendekat. "Bicara yang jelas. Apa yang sudah kulakukan sampai kau bisa semarah ini?" Dewa ikut duduk di samping Tika, tapi justru lebih tertarik memperhatikan perut besar sang istri—khawatir terjadi sesuatu setelah cara duduk Tika yang bar bar yadi. "Oke. Aku minta maaf," kata Dewa meski sebenarnya belum tahu dimana letak kesalahannya. Dewa menganggap kemarahan Tika pengaruh hormon kehamilan. Namun, begitu mendapati mata Tika memancar penuh amarah, Dewa mengerutkan alis. Ada yang tidak beres. "
Terkejut bercampur takjub. Itulah alasan yang membuat Dewa sampai bisa tidak sadarkan diri. Sesuatu yang dinantikan akhirnya tiba, tapi begitu mengetahui nyawa baru muncul dari tempat yang selama ini paling digilai, nyatanya Dewa tak cukup mampu mengendalikan diri. Kendati mengetahui secara ilmiah memang seperti itu proses wanita melahirkan secara normal. Tetapi tetap saja, saat melihatnya langsung, terlebih itu wanita yang dicintai, tak disangka rasanya begitu mendebarkan. Setiap kali mendengar Tika mengejan, Dewa merasa tenaganya ikut tertarik habis. Tepatnya ketika mendengar suara tangis bayinya, Dewa merasa jiwanya seketika meloncat keluar, dan pergi entah berapa lama baru bisa kembali. Lantas sekarang, meski sudah dua jam lebih Dewa duduk di sana—sofa panjang yang ada di kamarnya, Dewa belum juga berpuas hati memandangi hasil mahakaryanya. Selain itu, Dewa juga belum sepenuhnya percaya, jika sosok kecil yang saat ini berada di samping istrinya terbaring dan terlelap, merupaka
"Periksa setiap sudut ruangan ini, jangan sampai ada yang terlewatkan satu benda pun," ujar Dewa memberi perintah. "Aku curiga pasti ada sesuatu disini yang tidak pernah Tika sadari." Sama seperti Gusti dan juga Sam, Dewa ikut memeriksa setiap sudut serta benda yang ada di ruang kerja Tika. "Kau yakin akan menemukan petunjuknya di sini, Wa?" tanya Gusti sambil bertolak pinggang—memperhatikan sekitar setelah memeriksa lemari yang ada di dekat pintu. "Bik Santi pernah memberitahuku. Sebelum aku datang, Roland sering berkunjung dan tidak ragu memasuki ruangan ini untuk mendiskusikan sesuatu dengan Tika. Siapa tahu saat Tika lengah, dia memanfaatkan kesempatan itu untuk memasang cctv, atau alat penyadap suara di tempat yang tidak mudah terlihat mata." Dewa tetap yakin dengan pemikirannya. Sebab, sangat mustahil Roland tidak menggunakan kesempatan itu untuk mendapat informasi apapun dari Tika. Termasuk kesepakatan nikah kontrak yang dulu pernah dirinya dan sang istri sepakati. "Cuku
"Akhiri kontrak kerjasama kita dengan keluarga Liem sekarang juga!" kata Dewa tegas. Dewa dibuat meradang setelah menemukan alat penyadap suara yang terpasang di sudut meja sofa. Bentuknya yang kecil menyerupai kancing baju pun berwarna hitam sama seperti cat meja, tak ayal keberadaanya tidak disadari siapapun—termasuk Dewa sendiri yang juga sering duduk di dekatnya. Kendati demikian, biarpun berukuran mini, tapi benda tersebut memiliki keunggulan tersendiri. Melalui alat tersebut, orang yang mengendalikannya bisa sangat jelas menangkap suara yang ada di ruangan tersebut. Roland sialan! "Baik Tuan, saya akan memutus kerjasama dengan mereka hari ini juga," balas Sam. "Tak kusangka dia bisa sepicik itu." Memperhatikan benda kecil di tangannya, Gusti ikut menyuarakan kekesalannya. Dewa yang masih belum bisa mengendalikan diri dari kemarahan, hanya menatap sebentar Gusti sebelum akhirnya keluar dari ruang kerja Tika. Sejak awal Dewa memang sudah tahu tujuan Roland mendekati Tika
Dewa kembali ke rumah sakit untuk menjemput Melati. Mengingat jarak yang ditempuh cukup jauh, Dewa memutuskan pergi lebih awal. Bahkan tanpa sepengetahuan Tika, serta kedua orang tuanya yang belum bangun setelah semalam bergantian begadang. Dewa memilih mengendarai kendaraan roda duanya, daripada harus mengganggu Sam yang pasti sedang quality time bersama keluarga di hari libur. Selain itu, Dewa juga sudah sangat rindu memacu kuda besinya setelah beberapa minggu hanya tersimpan di basement apartemen. Tidak ada yang lebih nyaman bagi Dewa, selain stylish casual, pun dengan sepatu sneakers hitam senada jaket kulit yang ia kenakan—membuatnya benar-benar menjadi diri sendiri. Tampilan seperti itulah yang Dewa sukai, dan berkali-kali lipat meningkatkan percaya dirinya. Dewa masih membelah jalanan yang di waktu matahari masih malu-malu menampakkan diri. Selain menjadi satu-satu jalan utama menuju kota A, jalur yang Dewa lalui memang mengarah pedesaan dengan sawah membentang luas, baik da
"Aku juga tahu kau tidak sengaja melakukannya?" Alih-alih menjawab, Melati justru melontarkan pernyataan yang sukses membuat Dewa terhenyak. Tapi memilih tetap diam. Karena tahu gadis itu masih ingin bicara lagi. "Walaupun kau tidak pernah menyukai saudariku, tapi aku tetap tidak mendukung nenek untuk membencimu." Baru Dewa bersuara, ingin tahu bagaimana tanggapan Melati mengenai kejadian tragis kala itu. "Kenapa? Kenapa kau tidak ikut membenciku? Kau sudah kehilangan saudara kembarmu karena aku, sudah sepantasnya kau menuruti permintaan nenekmu, bukan?" Seketika itu, Dewa berubah tertegun melihat respon Melati hanya menggeleng, meski dengan mata sendu saat menatap dalam dirinya. "Terkadang, kita tidak bisa mengikuti permintaan para orang tua jika itu bertentangan dengan hati. Bukan aku tidak sedih kehilangan Miranda, tapi aku lebih sedih ketika nenek memisahkan kami dan membiarkan saudariku tinggal di Panti Asuhan." Melati mulai bercerita. "Saat itu usia kami sudah sepuluh ta
"Lebih cepat Cel! Mereka sudah semakin dekat!!" Padahal pemuda itu sudah mengendarai motornya seperti orang kesetanan, tapi empat motor yang mengejarnya bisa melesat tak kalah kencang. Di jalan sepi nan gelap itu aksi kejar-kejar pun terjadi. Bahkan kerasnya mesin motor yang melintas seperti hembusan angin tornado bertegangan tinggi. "Lebih cepat lagi, Cel! Keparat! Mereka sengaja tidak mau menyerah!" Rainer yang duduk di belakang, memprovokasi Boncel agar menambahkan kecepatan lagi. Padahal gas sudah nyaris maksimal. "Ambil ponsel gue di saku jaket bawa," teriak Boncel. "Mustahil kita bisa lolos. Buruan lo telepon Bang Dewa atau Gusti. Kasih tau kita dikejar anak buah Firman." Rainer segera menuruti perintah Boncel. Tapi walaupun bisa mengambil benda pintar itu, untuk menemukan nama kedua pria yang Boncel sarankan, ternyata Rainer cukup kesulitan. Butuh beberapa menit Rainer baru bisa menghubungi Dewa, sayangnya setelah berhasil dan tersambung, malah tidak ada jawaban. Rainer la
"Keluar kalian semua, Pengecut!!" Dengan membawa tongkat baseball di tangan kanan, Dewa menantang semua orang yang ada dibalik pintu seng yang masih tertutup rapat di hadapannya. Kedatangan Dewa tidak sendiri, melainkan bersama Gusti serta puluhan pemuda lain yang juga membawa tongkat yang sama di tangan masing-masing. Jengah dengan semua sepak terjang Firman the geng yang sudah melukai dua temannya, Dewa merasa perlu menghentikan kebrutalan mereka. Pasalnya, tidak hanya masih melakukan balap liar di sembarang jalan raya, Firman the geng juga kerap kali sengaja membuat kerusuhan di berbagai tempat hiburan, tak terkecuali sirkuit Dewa yang baru dibuka beberapa bulan lalu. Selain itu, Firman juga kedapatan sering menghasut calon customer yang ingin menguji lintasan, pun para pengunjung yang sekedar ingin hangout menikmati pemandangan di area sirkuit. Berada di lahan yang sangat luas hingga ribuan kilometer, tempat yang berada tepat di bawah perbukitan tersebut tidak hanya menyedi