"Boleh aku ikut duduk di sini?"Begitu suara yang cukup familiar itu menyapa gendang telinga, Inez yang sebelumnya meluruskan pandangan—menoleh ke belakang, dan saat tahu siapa yang berdiri di sana, ia tertegun.Benarkah yang terlihat itu nyata? Atau hanya halusinasi di tengah proses penyembuhan dirinya yang hampir gila?Inez masih belum berkedip barang sekali saja setelah sekian detik berlalu. Khawatir jika hal tersebut dilakukan, maka sosok yang kini ia lihat tengah tersenyum indah itu akan sirna. Tidak. Ia ingin lebih lama memandangnya. Berharap bisa mengobati kerinduan yang sudah menggunung. 'Kali ini kau terlihat seperti nyata,' ujarnya dalam hati.Sementara Gusti berusaha keras menunjukkan senyum terbaik. Meski sebenarnya di dalam sana terenyuh—bisa kembali melihat gadis yang paling ia rindukan. "Bagaimana kabarmu?" Inez masih bergeming. Hanya bulir bening yang berlomba-lomba terjun bebas dari sudut matanya. "Aku baru tahu, gadis sepertimu ternyata juga menyukai bunga."'Gusti?
"Dia menolakmu?""Tidak. Kami sudah sempat berbincang tadi. Tapi dia pergi lebih dulu karena aku tidak ingin meninggalkan tempat ini"Mendesak nafas kasar, Dewa memilih duduk di sebelah Gusti. Inez memang sulit didekati sekarang. Bahkan Tika saja langsung di usir saat ingin memasuki kamarnya. Inez lebih suka menyendiri, dan di tempat inilah dia sering menghabiskan waktu."Apa yang menarik perhatianmu?""Apa itu bayi Inez?"Mengikuti arah pandang Gusti yang tertuju ke lorong dapur dan tidak ada siapapun di sana—alis Dewa terdesak naik. "Kau juga sudah melihatnya?""Tidak," balas Gusti disertai gelengan pelan. "Aku hanya mendengar suara tangisannya tadi.""Hah! Aku berpikir, bayi itu ikut merasakan kesedihan ibunya. Apalagi setelah malam itu, Tika sengaja menjauhkan Inez dari bayinya demi mengantisipasi sesuatu yang buruk kembali terjadi. Tapi ternyata, bayi itu jadi lebih banyak menangis sekarang."Mendengar itu hati Gusti semakin terenyuh, keinginan untuk mendekati bayi itu pun semakin
"Apa tidak sebaiknya Abang ke rumah sakit saja? Ini sudah sangat keterlaluan. Hampir dua minggu hanya sereal yang bisa Abang makan, dan lagi aku juga perhatikan. Setiap pagi Abang selalu muntah. Jelas ini ada yang tidak beres."Tika tidak lagi bisa menahan diri ketika hanya makanan berbahan utama gandum itu yang masuk perut Dewa, baik saat sarapan, makan siang, ataupun saat makan malam dan itu sudah terjadi selama dua minggu terakhir. Ini bukan sekedar selera makan yang menurun, apalagi masalah lambung seperti yang selalu Dewa jelaskan. Pasalnya, selama itu pula Dewa mengalami perubahan sikap yang signifikan. Sudah beberapa kali Tika juga mendapati Dewa tertidur di sembarang tempat—termasuk sofa dekat kolam renang."Mungkin aku akan memeriksakan diri besok," ujar Dewa seraya menegak sedikit air di gelasnya. Dewa sendiri sebenarnya merasa heran dengan kondisi tubuhnya akhir-akhir ini. Selain tidak bisa mencium aroma makanan, ia juga jadi lebih mudah tertidur. Tubuhnya terasa berat, de
"Hai… ." Alih-alih menjawab, Inez justru langsung mendelik tajam begitu tahu Gusti lagi-lagi sudah duduk di sampingnya. Namun, kendati kembali mendapat respon tidak menyenangkan, Gusti hanya menanggapi dengan senyum manis. Tekadnya sudah bulat, akan tetap disana meski tahu kedatangannya tidak pernah Inez harapan."Kenapa kau datang lagi?" ujar Inez ketus."Kau tidak suka?" Mendapati Inez dengan cepat berpaling darinya, Gusti memperbaiki dudukan agar lebih nyaman. Merentangkan satu tangan serta menyandarkan punggung di sandaran kursi. "Katakan saja jika kau juga merindukan aku."Inez enggan menjawab.Sebenarnya tidak hanya terkejut, tepatnya tidak menduga Gusti kembali menemuinya. Inez justru berharap pria itu tidak akan datang lagi. Apa saja yang diucapkan Gusti hari itu, Inez menganggapnya hanya angin lalu. Tidak ada yang perlu disesalkan. Begitu juga apa yang terjadi pada mereka. Pun dengan cinta yang dulu begitu ia agungkan, sirna bersama kehormatan yang telah terenggut paksa. "A
"Ingat. Jangan lagi gegabah bertindak. Apalagi sampai harus berurusan dengan pihak berwajib. Jika itu terjadi, maka aku tidak akan membelamu lagi. Ini terakhir kalinya aku memperingatkanmu, dan aku rasa kau cukup tahu diri!""Aku bisa melakukan apapun padanya walaupun pernikahan kami sudah berakhir.""Bagus. Setidaknya bayi itu bisa kau jadikan alat."Jimmy mendesahkan tawa atas ketidaktahuan pria di depannya. "Jadi kau juga menganggapku sudi menidurinya? Aku tidak sebodoh itu Bragi. Kau bisa mengendalikanku, tapi aku juga tau apa yang harus kulakukan.""Brengsek!! Kau berani bermain-main denganku!" "Setidaknya aku sudah menikahinya, bukankah itu tujuanmu?"Bragi hanya bisa diam menatap marah Jimmy, pemuda bodoh itu memang sudah menuruti permintaannya—walaupun awalnya sempat menolak. Tapi Bragi tidak pernah menyangka, ia bisa kecolongan sejauh itu dan menganggap bayi yang baru dua bulan lalu Inez lahirnya adalah milik pemuda yang kini menatap remeh dirinya.'Menarik.' Bragi menyunggi
Nafas Gusti masih terengah-engah di selah perkelahiannya menghadapi lima lawan sekaligus. Karena ia bukan pendekar ataupun seorang ahli petarung, meski menguasai beberapa teknik bela diri, tak ayal Gusti tetap kewalahan saat kelima lawannya menyerang secara bersamaan. Sempat terjatuh, dan kembali bangkit dengan memegangi dada yang baru saja diterjang tendangan. Gusti masih terlihat mampu menghadapi mereka, walaupun ragu kemenangan akan ada dipihaknya."Kau baik baik saja?" Desahan lega lolos dari mulut Gusti, setidaknya ia tidak lagi sendiri sekarang. Pemuda yang tingginya hanya mencapai bahunya itu datang diwaktu yang tepat. "Apa aku terlihat baik-baik saja setelah melawan mereka sendiri?""Hehe.. maksudku kau tidak sampai terluka," celetuk Boncel seraya menggaruk kepala. Pemuda itu sigap menangkap tubuh Gusti yang terhuyung ke belakang, hampir jatuh. "Mereka benar-benar cari mati dengan masuk kandang singa," gerutu Gusti menatap marah kelima lawannya yang sedang mengulas senyum kem
"Silahkan duduk, Nyonya."Setelah mengangguk singkat, Tika duduk di kursi yang telah disediakan untuknya. "Langsung saja, apa tujuan Anda mengajak saya bertemu di tempat ini." Tidak ingin berbasi-basi dengan perempuan yang sejatinya tidak dikenal, Tika langsung bertanya pada intinya. Senyum ramah yang semula ditunjukan perempuan muda itu pada Tika, perlahan memudar. Ia bukan perempuan yang mau merendahkan diri dihadapan perempuan lain, apalagi itu Tika. "Saya hamil," lugasnya menjawab.Sontak saja, Tika melebarkan mata. Memang ada kaitannya kehamilan perempuan itu dengan dirinya?"Saya hamil anak Dewa."Duar!!!Baru kalimat lanjutannya membuat mata Tika melotot tajam. Ingin menampik, tapi ketika perempuan itu membusungkan dada, seolah ingin menunjukkan bentuk perutnya yang ternyata benar buncit dibalik dress longgar yang dikenakan. Tika segera berpaling. Lebih tepatnya tengah berusaha menguasai diri atas keterkejutan yang terjadi. Tapi biar bagaimanapun Tika tidak bisa langsung meny
Menatap wajah tenang Dewa yang masih terlelap, tidak ada yang Tika inginkan selain tetap bersama lelakinya. Pesona Dewa benar-benar melumpuhkan akal, bahkan Tika tidak keberatan dianggap gila mengingat selama ini selalu mengutamakan reputasi dan nama baik. Sekarang Tika hanya ingin egois dengan memiliki Dewa seorang diri. Kalaupun harus berbagi, cukup dengan anak-anak mereka nanti. Tika juga memutuskan akan menutup mata atas apa yang pernah Dewa lakukan dimasa lalu. Bahkan seburuk apa Dewa, Tika tetap akan melihat kebaikannya, sekalipun itu hanya sebesar biji kacang.Cinta memang acapkali membuat orang berpikir tanpa logika. Tak jarang juga ada yang mengabaikan perbedaan kasta, rupa, dan usia. Rasa yang membuncah di hati mampu menyampingkan segalanya, termasuk perangai yang sering orang lain pandang sebelah mata. Sama halnya dengan Tika, siap menerima Dewa apa adanya. Tidak peduli dengan asal-usul, bibit, bebet ataupun bobot pemuda itu. Sejak mengetahui tujuan Maria menemui dirinya t