"Maaf Tuan, untuk saat ini Ibu Tika tidak bisa diganggu.""Kenapa? Apa dia sedang ada klien?" "Ada Tu—"Belum sempat sekretaris Tika menyelesaikan kalimatnya, Roland yang sudah sangat tidak sabar, langsung menerobos masuk ruangan Tika yang memang tidak dikunci. Akan tetapi begitu pintu terbuka, Roland berubah mematung di tempat, mendapati pemandangan yang seketika membuat darahnya berdesir panas.Dewa yang duduk di sofa panjang sedang memangku Tika dengan satu tangan mengusap perut Tika yang sekarang telah membuncit. Roland sangat marah, tidak menyangka kepergiannya selama lima bulan terakhir harus membuatnya benar-benar kehilangan Tika.Dan, yang lebih membuat Roland tidak terima, dikalahkan pemuda berandal yang jelas tidak sebanding dengannya.Dewa sungguh sangat berani mengambil apa yang seharusnya menjadi miliknya.'Jadi ini yang kalian lakukan selama aku tidak ada. Baiklah. Sepertinya aku juga harus menunjukkan diriku yang sebenarnya.'Roland lantas memutar badan dan melenggang p
Sebenarnya Tika malas harus menemui Roland yang sudah menunggunya di ruang tamu. Tapi mengingat masih terikat kerjasama dengan lelaki itu, akhirnya Tika hanya bisa mengatur nafas berulang kali setelah menutup pintu kamarnya."Bang Dewa masih di ruang gym, Bik?""Iya, Nyonya."Tika mengangguk sambil menunjukkan senyum singkat menanggapi jawaban Bik Santi, sebelum akhirnya berjalan melewati perempuan paruh baya itu menuju tangga. Saat hampir mencapai anak tangga pertama, pandangan Tika beralih pada ruang gym yang bersebelah dengan pintu beranda samping. Kendati tidak bisa melihat apa yang sedang dilakukan suami mudanya sekarang, tapi Tika cukup lega mengetahui pintu ruangan itu masih tertutup rapat. Tika berharap Dewa tidak mengetahui kedatangan Roland, begitu juga lelaki itu yang segera pergi setelah basa-basinya selesai.Sambil memegangi perut bagian bawah, Tika yang sudah sampai di anak tangga terakhir mengatur nafas sejenak sebelum kembali melanjutkan langkahnya. Di usia kandungan y
"Ternyata kalian bisa hidup sangat layak disini." Pandangan Dewa masih mengitari sekitar. Bibirnya bisa melengkungkan senyum, tapi hatinya terlalu sakit untuk melihat fakta yang ada. Dewa sedang menertawakan dirinya sendiri. Tepatnya merasa bodoh dengan pemikirannya selama ini. Nyatanya sekarang ia masih bisa berdiri di dalam ruangan luas yang dipenuhi interior elegan dan tentunya mewah. Menjadi bukti jika kondisi itu jauh dari kata mengenaskan seperti yang ia pikirkan selama ini."Bodohnya aku," ujar Dewa sekali lagi, seakan belum sepenuhnya percaya dengan apa yang terlihat di depan mata.Pria paruh baya yang berdiri tenang di depan Dewa, masih bergeming. Menatap datar Dewa yang tertawa tanpa suara."Atau aku saja yang terlalu lugu menganggap kalian mendapat kesulitan setelah hari itu? Nyatanya aku benar-benar tidak bisa menebak rencana kalian." Dewa menatap kecewa pria itu yang memiliki kemiripan wajah hampir sembilan puluh sembilan persen dengannya. Atau mungkin lebih tepatnya g
"Benarkah? Mama sudah punya menantu?"Kesedihan di wajah Fatma seketika berubah senyum haru. Sebagai seorang ibu yang selama ini berharap perubahan pada putranya, tentu saja pernikahan Dewa menjadi kabar yang sangat membahagiakan, tapi jika itu memang benar adanya. Sudah lama Fatma berpikir, dengan menikah mungkin Dewa bisa menghargai sebuah hubungan, dan bisa merencanakan masa depan yang lebih baik."Siapa dia, Sayang? Apakah mama mengenalnya?" Sebagai orang tua yang telah berjuang nyawa saat melahirkan, Fatma tidak bisa benar-benar marah. Sebrutal dan seberandal apapun Dewa tetaplah putranya—darah dagingnya. Ketika semua peringatan serta nasehat tidak lagi didengar, maka hanya doa dan harapan terbaiklah yang tetap mengalir selagi jiwa masih menjadi milik raga.Apa yang terjadi pada Dewa adalah bentuk kemarahan yang tidak bisa dilepaskan. Disaat mengetahui sosok yang begitu dikagumi ternyata memiliki wanita lain selain ibunya, bahkan sampai memiliki anak—-Dewa yang saat itu masih be
Senyum Dewa senantiasa merekah sempurna, seiring mobil yang membawanya sudah melewati pos satpam komplek. Kendati tidak mengiyakan atau pun menyetujui permintaan Fatma, tetapi dengan kesediaan Adiraksa ikut bersama Dewa menemui Tika, sudah menjadi bukti jika pria super dingin itu mulai luluh. Adiraksa lebih mengutamakan kebahagian sang istri dengan mengakui Tika sebagai menantu, meski sebenarnya apa yang terjadi sejak awal tak luput dari pengawasannya.Satu jam sebelumnya, ketika turun dari jet pribadi milik sang ayah, Dewa sudah memberitahu Tika bahwa ia akan kembali tidak lama lagi. Namun, karena Fatma bersikeras ingin memberikan sesuatu pada menantunya sebagai hadiah, Dewa pun harus menahan diri saat menunggu sang ibu memasuki sebuah pusat perbelanjaan."Kamu yakin, Sayang? Hadiah ini layak untuk istrimu?" Adiraksa melirik singkat istrinya—masih saja ragu pada hadiah yang dia pilihkan sendiri. Padahal hanya untuk membeli satu hadiah saja, hampir memakan waktu satu jam lamanya. Tap
"Apa yang kau pikirkan, hm?" Setelah sempat menghadiahi satu kecupan di pipi, Dewa memeluk Tika dari belakang. Tepatnya menopang perut sang istri dengan kedua telapak tangannya yang besar. Meski dengan tubuh harus merunduk—demi bisa meraih perut sang istri, Dewa tak keberatan. Ia sadar, apa yang dilakukannya tetap tak sebanding dengan apa yang Tika rasakan. Seiring dengan bertambahnya usia kandungan Tika, Dewa semakin tidak tega melihat istrinya itu sering sulit mencari posisi tidur yang nyaman. Tika juga sering dibuat terkejut ketika merasakan tendangan janinnya. Tidak ingin nikmat itu hanya Tika yang merasakan, Dewa bahkan rela tidak tidur semalaman demi memijat kaki ataupun mengusap perut sang istri. Momen yang selalu membuat Dewa kagum sekaligus takjub, hasil berkeringatnya tengah tubuh di dalam perut perempuan yang kini memenuhi hatinya. Terkadang Dewa juga berpikir, akan seperti apa anaknya nanti. "Ini masih terlalu mengejutkan untukku. Aku yang tadinya menganggap Abang ya
Pyaar!!! Hendak memutar knop pintu kamarnya, Dewa seketika menoleh lantaran terkejut ada yang melempar kaca jendela balkon sampai hancur berkeping, dan berserakan di lantai. Selain itu, Dewa juga mulai menyayangkan kinerja pihak keamanan, hingga kejadian tidak mengenakan itu bisa terjadi. Selama ini, Dewa percaya keamanan akan tetap menjadi prioritas utama di kawasan elit itu, bagaimana mereka—pihak keamanan selalu selektif menerima tamu dan tidak pernah membiarkan orang asing masuk tanpa tujuan yang pasti. Lantas, kenapa sekarang bisa kecolongan? Apakah keamanan mulai berkurang? Atau memang si pelaku yang terlalu pandai menyelinap? Berharap masih bisa melihat siapa pelakunya, Dewa segera melangkah lebar membuka pintu balkon dan memastikan keadaan di bawah. Namun, setelah mencari ke segala arah dan sejauh mata memandang—-tidak bisa menemukan siapapun. "Brengsek! Siapa yang berani menerorku," gumamnya menggeram kesal. "Ada apa ini?" Tika yang baru muncul dari tangga hendak
Dewa yang baru saja bisa terlelap beberapa jam, merasa ada beban menimpa lengannya. Namun, karena rasa kantuk lebih menguasai, ia berusaha mengabaikan. Tapi di menit berikutnya, Dewa melenguh kasar. Terbiasa tidur bertelanjang dada, Dewa risih ketika ada yang merambat perut dan berangsur turun hingga nyaris menyentuh pusar. Reflek, Dewa segera mengusap bagian itu—menganggap ada serangga yang hinggap, sampai akhirnya seketika ia terjaga saat tahu itu tak lain tangan manusia. Terkejut ada tangan di atas perutnya, Dewa ingin memastikan. Tapi baru akan menunduk, ingat ada beban berat di lengan—Dewa segera menoleh, dan saat itu ia tahu jika lengan kirinya tengah jadikan bantal oleh seseorang. Menemukan Floren tersenyum manis padanya, Dewa sontak terjingkat duduk setelah menghempaskan kasar tangan perempuan itu dari atas perutnya. "Floren! Kenapa kau ikut tidur di sini? Tidurlah di kamar!" sentak Dewa yang langsung memalingkan wajah. Saat tahu lagi, Floren hanya mengenakan kaos miliknya