Selamat membaca, jangan lupa tinggalkan jejak. Karena satu jejak dari kalian sangat berarti untukku, terima kasih.
"Silahkan duduk, Nyonya."Setelah mengangguk singkat, Tika duduk di kursi yang telah disediakan untuknya. "Langsung saja, apa tujuan Anda mengajak saya bertemu di tempat ini." Tidak ingin berbasi-basi dengan perempuan yang sejatinya tidak dikenal, Tika langsung bertanya pada intinya. Senyum ramah yang semula ditunjukan perempuan muda itu pada Tika, perlahan memudar. Ia bukan perempuan yang mau merendahkan diri dihadapan perempuan lain, apalagi itu Tika. "Saya hamil," lugasnya menjawab.Sontak saja, Tika melebarkan mata. Memang ada kaitannya kehamilan perempuan itu dengan dirinya?"Saya hamil anak Dewa."Duar!!!Baru kalimat lanjutannya membuat mata Tika melotot tajam. Ingin menampik, tapi ketika perempuan itu membusungkan dada, seolah ingin menunjukkan bentuk perutnya yang ternyata benar buncit dibalik dress longgar yang dikenakan. Tika segera berpaling. Lebih tepatnya tengah berusaha menguasai diri atas keterkejutan yang terjadi. Tapi biar bagaimanapun Tika tidak bisa langsung meny
Menatap wajah tenang Dewa yang masih terlelap, tidak ada yang Tika inginkan selain tetap bersama lelakinya. Pesona Dewa benar-benar melumpuhkan akal, bahkan Tika tidak keberatan dianggap gila mengingat selama ini selalu mengutamakan reputasi dan nama baik. Sekarang Tika hanya ingin egois dengan memiliki Dewa seorang diri. Kalaupun harus berbagi, cukup dengan anak-anak mereka nanti. Tika juga memutuskan akan menutup mata atas apa yang pernah Dewa lakukan dimasa lalu. Bahkan seburuk apa Dewa, Tika tetap akan melihat kebaikannya, sekalipun itu hanya sebesar biji kacang.Cinta memang acapkali membuat orang berpikir tanpa logika. Tak jarang juga ada yang mengabaikan perbedaan kasta, rupa, dan usia. Rasa yang membuncah di hati mampu menyampingkan segalanya, termasuk perangai yang sering orang lain pandang sebelah mata. Sama halnya dengan Tika, siap menerima Dewa apa adanya. Tidak peduli dengan asal-usul, bibit, bebet ataupun bobot pemuda itu. Sejak mengetahui tujuan Maria menemui dirinya t
"Maaf Tuan, untuk saat ini Ibu Tika tidak bisa diganggu.""Kenapa? Apa dia sedang ada klien?" "Ada Tu—"Belum sempat sekretaris Tika menyelesaikan kalimatnya, Roland yang sudah sangat tidak sabar, langsung menerobos masuk ruangan Tika yang memang tidak dikunci. Akan tetapi begitu pintu terbuka, Roland berubah mematung di tempat, mendapati pemandangan yang seketika membuat darahnya berdesir panas.Dewa yang duduk di sofa panjang sedang memangku Tika dengan satu tangan mengusap perut Tika yang sekarang telah membuncit. Roland sangat marah, tidak menyangka kepergiannya selama lima bulan terakhir harus membuatnya benar-benar kehilangan Tika.Dan, yang lebih membuat Roland tidak terima, dikalahkan pemuda berandal yang jelas tidak sebanding dengannya.Dewa sungguh sangat berani mengambil apa yang seharusnya menjadi miliknya.'Jadi ini yang kalian lakukan selama aku tidak ada. Baiklah. Sepertinya aku juga harus menunjukkan diriku yang sebenarnya.'Roland lantas memutar badan dan melenggang p
Sebenarnya Tika malas harus menemui Roland yang sudah menunggunya di ruang tamu. Tapi mengingat masih terikat kerjasama dengan lelaki itu, akhirnya Tika hanya bisa mengatur nafas berulang kali setelah menutup pintu kamarnya."Bang Dewa masih di ruang gym, Bik?""Iya, Nyonya."Tika mengangguk sambil menunjukkan senyum singkat menanggapi jawaban Bik Santi, sebelum akhirnya berjalan melewati perempuan paruh baya itu menuju tangga. Saat hampir mencapai anak tangga pertama, pandangan Tika beralih pada ruang gym yang bersebelah dengan pintu beranda samping. Kendati tidak bisa melihat apa yang sedang dilakukan suami mudanya sekarang, tapi Tika cukup lega mengetahui pintu ruangan itu masih tertutup rapat. Tika berharap Dewa tidak mengetahui kedatangan Roland, begitu juga lelaki itu yang segera pergi setelah basa-basinya selesai.Sambil memegangi perut bagian bawah, Tika yang sudah sampai di anak tangga terakhir mengatur nafas sejenak sebelum kembali melanjutkan langkahnya. Di usia kandungan y
"Ternyata kalian bisa hidup sangat layak disini." Pandangan Dewa masih mengitari sekitar. Bibirnya bisa melengkungkan senyum, tapi hatinya terlalu sakit untuk melihat fakta yang ada. Dewa sedang menertawakan dirinya sendiri. Tepatnya merasa bodoh dengan pemikirannya selama ini. Nyatanya sekarang ia masih bisa berdiri di dalam ruangan luas yang dipenuhi interior elegan dan tentunya mewah. Menjadi bukti jika kondisi itu jauh dari kata mengenaskan seperti yang ia pikirkan selama ini."Bodohnya aku," ujar Dewa sekali lagi, seakan belum sepenuhnya percaya dengan apa yang terlihat di depan mata.Pria paruh baya yang berdiri tenang di depan Dewa, masih bergeming. Menatap datar Dewa yang tertawa tanpa suara."Atau aku saja yang terlalu lugu menganggap kalian mendapat kesulitan setelah hari itu? Nyatanya aku benar-benar tidak bisa menebak rencana kalian." Dewa menatap kecewa pria itu yang memiliki kemiripan wajah hampir sembilan puluh sembilan persen dengannya. Atau mungkin lebih tepatnya g
"Benarkah? Mama sudah punya menantu?"Kesedihan di wajah Fatma seketika berubah senyum haru. Sebagai seorang ibu yang selama ini berharap perubahan pada putranya, tentu saja pernikahan Dewa menjadi kabar yang sangat membahagiakan, tapi jika itu memang benar adanya. Sudah lama Fatma berpikir, dengan menikah mungkin Dewa bisa menghargai sebuah hubungan, dan bisa merencanakan masa depan yang lebih baik."Siapa dia, Sayang? Apakah mama mengenalnya?" Sebagai orang tua yang telah berjuang nyawa saat melahirkan, Fatma tidak bisa benar-benar marah. Sebrutal dan seberandal apapun Dewa tetaplah putranya—darah dagingnya. Ketika semua peringatan serta nasehat tidak lagi didengar, maka hanya doa dan harapan terbaiklah yang tetap mengalir selagi jiwa masih menjadi milik raga.Apa yang terjadi pada Dewa adalah bentuk kemarahan yang tidak bisa dilepaskan. Disaat mengetahui sosok yang begitu dikagumi ternyata memiliki wanita lain selain ibunya, bahkan sampai memiliki anak—-Dewa yang saat itu masih be
Senyum Dewa senantiasa merekah sempurna, seiring mobil yang membawanya sudah melewati pos satpam komplek. Kendati tidak mengiyakan atau pun menyetujui permintaan Fatma, tetapi dengan kesediaan Adiraksa ikut bersama Dewa menemui Tika, sudah menjadi bukti jika pria super dingin itu mulai luluh. Adiraksa lebih mengutamakan kebahagian sang istri dengan mengakui Tika sebagai menantu, meski sebenarnya apa yang terjadi sejak awal tak luput dari pengawasannya.Satu jam sebelumnya, ketika turun dari jet pribadi milik sang ayah, Dewa sudah memberitahu Tika bahwa ia akan kembali tidak lama lagi. Namun, karena Fatma bersikeras ingin memberikan sesuatu pada menantunya sebagai hadiah, Dewa pun harus menahan diri saat menunggu sang ibu memasuki sebuah pusat perbelanjaan."Kamu yakin, Sayang? Hadiah ini layak untuk istrimu?" Adiraksa melirik singkat istrinya—masih saja ragu pada hadiah yang dia pilihkan sendiri. Padahal hanya untuk membeli satu hadiah saja, hampir memakan waktu satu jam lamanya. Tap
"Apa yang kau pikirkan, hm?" Setelah sempat menghadiahi satu kecupan di pipi, Dewa memeluk Tika dari belakang. Tepatnya menopang perut sang istri dengan kedua telapak tangannya yang besar. Meski dengan tubuh harus merunduk—demi bisa meraih perut sang istri, Dewa tak keberatan. Ia sadar, apa yang dilakukannya tetap tak sebanding dengan apa yang Tika rasakan. Seiring dengan bertambahnya usia kandungan Tika, Dewa semakin tidak tega melihat istrinya itu sering sulit mencari posisi tidur yang nyaman. Tika juga sering dibuat terkejut ketika merasakan tendangan janinnya. Tidak ingin nikmat itu hanya Tika yang merasakan, Dewa bahkan rela tidak tidur semalaman demi memijat kaki ataupun mengusap perut sang istri. Momen yang selalu membuat Dewa kagum sekaligus takjub, hasil berkeringatnya tengah tubuh di dalam perut perempuan yang kini memenuhi hatinya. Terkadang Dewa juga berpikir, akan seperti apa anaknya nanti. "Ini masih terlalu mengejutkan untukku. Aku yang tadinya menganggap Abang ya
Begitu tahu siapa yang sedang menunggu mereka di ruang tamu, Tika beralih pandang pada Dewa yang juga akan menuju tempat yang sama. Mengetahui Dewa mengangguk samar—seolah mengatakan semua pasti baik-baik saja, Tika mengatur nafas terlebih dulu sebelum memutuskan memasuki ruangan tersebut. Melihat kemunculan pemilik rumah, Floren segara bangkit dari sofa. "Tika! Maaf. Aku baru bisa datang sekarang." Melihat sikap ramah Floren yang seakan tidak pernah terjadi ketegangan di antara mereka, Tika seketika berhenti, dan kembali menoleh Dewa yang juga ikut berhenti."Sebaiknya kita duduk," bisik Dewa menangkap kerutan di dahi sang istri. Mendapat anggukan setuju, Dewa membimbing Tika duduk di sofa yang sama. Meletakkan paper bag berukuran sedang ke atas meja, pun dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya—Floren kembali berkata, "ada hadiah tak seberapa untuk si kecil. Diterima ya. Sekali lagi aku ucapkan selamat atas kelahiran putra kalian." Namun, ternyata Floren tak cukup berani berad
Jagat media tengah dihebohkan dengan berita kematian Firman. Pemuda dua puluh delapan tahun itu ditemukan meringkuk tak bernyawa di dalam kamarnya. Diduga luka sayatan melintang di leher, hingga putusnya urat nadi yang menjadi penyebab nyawa pemuda itu tidak bisa diselamatkan. Dugaan sementara Firman nekat mengakhiri hidup, lantaran depresi.Pernyataan tersebut diperkuat oleh keterangan tahanan lain, yang mengatakan jika sejak kedatangan teman-temannya, Firman berubah murung, dan tidak banyak bicara. Sampai akhirnya selang beberapa hari, saat petugas datang mengantarkan sarapan, berulang kali memanggil tidak juga ada jawaban—Firman tetap meringkuk di atas karpet usang, dan begitu dipastikan ternyata ada genangan darah di dekat leher yang mulai mengering. Diperkirakan Firman melancarkan aksinya saat malam hari.Naasnya, keadaan tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di kediaman Liem. Ketegangan yang menurut keterangan terjadi saat pagi hari itu, menyisakan kekacauan hingga menjadi saks
"Sayang… apa ada yang serius?""Tidak. Semuanya baik-baik saja."Barulah Dewa bisa bernafas lega setelah mendengar langsung dari mulut Tika. Sebenarnya ekspresi tenang yang ia tunjukan di hadapan semua orang tadi, sangat bertentangan dengan hati ketika mengetahui Tika pergi ke rumah sakit, dan diantar supir. Pikiran sudah tak karuan. Hal buruk seketika silih berganti datang hingga memenuhi kepala. Pasalnya, Tika bukanlah perempuan cengeng yang akan rela bolak-balik rumah sakit, jika itu hanya keluhan yang tak seberapa.Karena itulah Dewa sangat cemas memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya. Tak ayal sampai menyusul ke rumah sakit, dan membiarkan Sam serta Gusti yang menggantikan dirinya rapat dengan klien. Melihat keraguan di wajah Dewa, Tika segara mendekatkan mulut di telinga suami muda itu, agar Dewa tidak semakin mencemaskan dirinya."Aku baru saja berkonsultasi alat kontrasepsi yang aman aku gunakan. Bukankah katamu kita harus menunda adik untuk Arkhan?" Kendati awa
"Aku hanya ingin kalian tetap hidup. Sekalipun aku harus membayar mahal untuk itu, karena tidak bisa lagi bersamamu, aku terima. Setidaknya bisa melihatmu tetap bernafas itu sudah lebih dari cukup."Pandangan Floren seketika terangkat, kemarahan semakin membumbung tinggi ia rasakan. Semudah itukah Roland memutus sesuatu yang sebenarnya sangat sulit ia lalui? Dimana empati lelaki itu yang justru mengalah dengan keadaan, dan membiarkan dirinya kesakitan seorang diri. Alih-alih bertindak selayaknya lelaki sejati."Aku memang tidak pernah tahu perjanjian apa yang kau sepakati dengan Tuan Liem, " lirih Floren disertai kemarahan yang terlihat jelas dari sorot matanya yang memerah. "Tapi tidak bisakah kau memberiku penjelasan? Atau setidaknya memintaku pergi menggunakan bahasa manusia? Bukan malah berlaku picik dengan merekayasa kecelakaan itu. Cih! Membuat statement rendahan hanya karena ingin menikahi perempuan lain. Memalukan!" Floren bersungut-sungut meluapkan amarah yang hampir meledakk
"Tetap tidak bisa, Nona. Anda harus membuat janji terlebih dahulu.""Kalian berisik sekali! Katakan saja aku teman bos kalian. Dia pasti paham!" ketus Clara.Semakin jengah dengan sikap Clara yang bersikeras ingin dipertemukan dengan atasan mereka, dua resepsionis wanita itu pun saling bertukar pandang dengan raut wajah menahan kesal."Kenapa masih diam saja? Cepat beritahu bos kalian jika aku, Clara sedang menunggu di sini," ujarnya lagi penuh percaya diri. "Sedikit cepat ya… aku tidak terbiasa menunggu." Sambil mengibaskan tangan ke depan wajah, Clara berpaling ke samping. Mengusir bosan dengan mengedarkan pandangan—memperhatikan interior yang ada di sekitarnya. Dalam hati Clara masih saja menggerutu akan kebodohannya yang gegabah memilih Alan—lelaki yang ternyata sangat perhitungan. Seandainya saja ia tahu sejak awal, jika Dewa merupakan pewaris tunggal Adiraksa, tentu saja ia akan bertahan dengan lelaki itu—meski sebenarnya hanya menginginkan tubuhnya. Tapi setidaknya sekarang,
"Ini untukku?" Melihat gadis kecil itu mengangguk antusias, Floren tersenyum senang. "Terima kasih. Bunganya sangat cantik. Siapa namamu, Sayang? Oh." Floren berubah tercenung, saat mengetahui gadis yang sejak tadi terus melukis wajahnya dengan senyum manis itu, rupanya penyandang disabilitas."Maafkan aku." Floren segera menjatuhkan lutut, dan memeluk gadis itu yang juga langsung melingkarkan tangan ke lehernya.'Kenapa rasanya begitu menenangkan. Melihat gadis ini, aku seperti melihat diriku sendiri versi kecil.'Sejenak menyelami rasa yang semakin menjalar hati—Floren ingin sebentar saja meminjam gadis itu untuk mengembalikan ketenangan yang nyaris tidak pernah ia dapatkan lagi—setelah kebahagiaannya direnggut paksa beberapa tahun lalu. Terlalu lama terombang-ambing di lautan lepas, Floren tidak tahu dermaga mana yang akan dituju. Hingga membuatnya berada dalam ketidakpastian. Ketika itu yang bisa dilakukan hanya bertahan, menjaga seimbangan agar tidak sampai terguling dan tenggel
Clara begitu terkejut setelah mendengar apa yang baru saja ibunya sampaikan. Bahkan karena terlalu terkejut, sampai-sampai perempuan yang masih menggulung rambutnya dengan handuk kecil itu, masih mematung meski ibunya telah berlalu."Tidak mungkin, tidak mungkin dia pewaris tunggal Adiraksa. Dia hanya berandal yang kebetulan bisa menikahi wanita konglomerat itu. Yah! Derajatnya tidak mungkin lebih tinggi dari Alan." Berulang kali Clara menyakinkan diri, apa yang ibunya sampaikan hanyalah rumor yang pasti tidak valid kebenarannya. Mustahil Dewa seorang milyader yang kekayaannya jangankan satu Alan, bahkan sepuluh Alan pun tidak bisa menandinginya. "Tapi jika itu benar, apa yang harus kulakukan agar bisa kembali padanya?""Clara!!"Namun, di selah-selah perempuan itu sedang menyusun rencana, tiba-tiba suara teriakan dari lantai dua—tepatnya kamar utama, terdengar menggema ke segala penjuru rumah Alan yang memang tidak terlalu luas. Seketika itu, Clara berdecak kesal saat melirik ke la
"Sialan! Dia benar-benar keras kepala," geram Dewa seraya menyadarkan punggung dan menyilangkan satu kaki di atas kaki yang lain. "Cih. Dia pikir aku akan tetap diam saja dan membiarkan dia semakin besar kepala? Jelas saja tidak!"Gusti yang masih serius membaca berkas di depannya, menoleh singkah. Rupanya gerutuan Dewa cukup membuatnya terusik. "Kasih dia paham, seberapa berharga Kak Tika untukmu. Dia hanya masa lalu, tidak berhak mencampuri masa depanmu. Apalagi yang terjadi pada kalian dulu bukanlah cinta, melainkan simbiosis mutualisme, dan seharusnya dia cukup sadar diri akan itu," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan."Kau tahu sendiri, aku tidak bisa berbuat banyak saat Tika bersamaku. Bahkan ketika dia mengklaim Tika juga tidak berhak denganku, jika aku tidak mau menerimanya. Hampir saja aku hilang kendali. Bagaimana bisa dia selancang itu pada ibu dari putraku!"Dewa semakin bersungut-sungut—-sangat kesal akan sikap Floren semalam yang masih bersikeras ingin memisahkan dirinya
Di bawah kucuran air shower, Roland masih betah merapatkan dahi ke dinding. Dengan kedua tangan mencengkram rambut belakang, ia masih saja menyesali tindakannya yang sudah menggoda Pratiwi. Sehingga memberi kesempatan perempuan itu untuk bisa menggagahi tubuhnya. Mungkin ia sudah benar-benar sinting karena berani menantang predator yang memang pecandu seks, hingga akhirnya menodai kesucian tubuhnya yang pernah ia dedikasikan hanya untuk satu perempuan saja.Floren memiliki berpengaruh penting sampai ia bisa menjadi sosok yang sekarang—-dingin nyaris tak tersentuh. Bahkan sering kali Pratiwi beranggapan, jika keegoisan Tuan Liem juga telah memangkas jiwa kelelakian Roland yang selalu tak acuh padanya.Padahal sekian tahun tinggal bersama dalam satu atap, mendapati Pratiwi mengenakan gaun seksi bahkan nyaris seperti tak berbusana hampir setiap hari Roland temui. Tetapi lelaki yang memiliki tahi lalat di dekat hidung itu, tak sekalipun menunjukan ketertarikannya. Meski sebenarnya Pratiwi