Nafas Gusti masih terengah-engah di selah perkelahiannya menghadapi lima lawan sekaligus. Karena ia bukan pendekar ataupun seorang ahli petarung, meski menguasai beberapa teknik bela diri, tak ayal Gusti tetap kewalahan saat kelima lawannya menyerang secara bersamaan. Sempat terjatuh, dan kembali bangkit dengan memegangi dada yang baru saja diterjang tendangan. Gusti masih terlihat mampu menghadapi mereka, walaupun ragu kemenangan akan ada dipihaknya."Kau baik baik saja?" Desahan lega lolos dari mulut Gusti, setidaknya ia tidak lagi sendiri sekarang. Pemuda yang tingginya hanya mencapai bahunya itu datang diwaktu yang tepat. "Apa aku terlihat baik-baik saja setelah melawan mereka sendiri?""Hehe.. maksudku kau tidak sampai terluka," celetuk Boncel seraya menggaruk kepala. Pemuda itu sigap menangkap tubuh Gusti yang terhuyung ke belakang, hampir jatuh. "Mereka benar-benar cari mati dengan masuk kandang singa," gerutu Gusti menatap marah kelima lawannya yang sedang mengulas senyum kem
"Silahkan duduk, Nyonya."Setelah mengangguk singkat, Tika duduk di kursi yang telah disediakan untuknya. "Langsung saja, apa tujuan Anda mengajak saya bertemu di tempat ini." Tidak ingin berbasi-basi dengan perempuan yang sejatinya tidak dikenal, Tika langsung bertanya pada intinya. Senyum ramah yang semula ditunjukan perempuan muda itu pada Tika, perlahan memudar. Ia bukan perempuan yang mau merendahkan diri dihadapan perempuan lain, apalagi itu Tika. "Saya hamil," lugasnya menjawab.Sontak saja, Tika melebarkan mata. Memang ada kaitannya kehamilan perempuan itu dengan dirinya?"Saya hamil anak Dewa."Duar!!!Baru kalimat lanjutannya membuat mata Tika melotot tajam. Ingin menampik, tapi ketika perempuan itu membusungkan dada, seolah ingin menunjukkan bentuk perutnya yang ternyata benar buncit dibalik dress longgar yang dikenakan. Tika segera berpaling. Lebih tepatnya tengah berusaha menguasai diri atas keterkejutan yang terjadi. Tapi biar bagaimanapun Tika tidak bisa langsung meny
Menatap wajah tenang Dewa yang masih terlelap, tidak ada yang Tika inginkan selain tetap bersama lelakinya. Pesona Dewa benar-benar melumpuhkan akal, bahkan Tika tidak keberatan dianggap gila mengingat selama ini selalu mengutamakan reputasi dan nama baik. Sekarang Tika hanya ingin egois dengan memiliki Dewa seorang diri. Kalaupun harus berbagi, cukup dengan anak-anak mereka nanti. Tika juga memutuskan akan menutup mata atas apa yang pernah Dewa lakukan dimasa lalu. Bahkan seburuk apa Dewa, Tika tetap akan melihat kebaikannya, sekalipun itu hanya sebesar biji kacang.Cinta memang acapkali membuat orang berpikir tanpa logika. Tak jarang juga ada yang mengabaikan perbedaan kasta, rupa, dan usia. Rasa yang membuncah di hati mampu menyampingkan segalanya, termasuk perangai yang sering orang lain pandang sebelah mata. Sama halnya dengan Tika, siap menerima Dewa apa adanya. Tidak peduli dengan asal-usul, bibit, bebet ataupun bobot pemuda itu. Sejak mengetahui tujuan Maria menemui dirinya t
"Maaf Tuan, untuk saat ini Ibu Tika tidak bisa diganggu.""Kenapa? Apa dia sedang ada klien?" "Ada Tu—"Belum sempat sekretaris Tika menyelesaikan kalimatnya, Roland yang sudah sangat tidak sabar, langsung menerobos masuk ruangan Tika yang memang tidak dikunci. Akan tetapi begitu pintu terbuka, Roland berubah mematung di tempat, mendapati pemandangan yang seketika membuat darahnya berdesir panas.Dewa yang duduk di sofa panjang sedang memangku Tika dengan satu tangan mengusap perut Tika yang sekarang telah membuncit. Roland sangat marah, tidak menyangka kepergiannya selama lima bulan terakhir harus membuatnya benar-benar kehilangan Tika.Dan, yang lebih membuat Roland tidak terima, dikalahkan pemuda berandal yang jelas tidak sebanding dengannya.Dewa sungguh sangat berani mengambil apa yang seharusnya menjadi miliknya.'Jadi ini yang kalian lakukan selama aku tidak ada. Baiklah. Sepertinya aku juga harus menunjukkan diriku yang sebenarnya.'Roland lantas memutar badan dan melenggang p
Sebenarnya Tika malas harus menemui Roland yang sudah menunggunya di ruang tamu. Tapi mengingat masih terikat kerjasama dengan lelaki itu, akhirnya Tika hanya bisa mengatur nafas berulang kali setelah menutup pintu kamarnya."Bang Dewa masih di ruang gym, Bik?""Iya, Nyonya."Tika mengangguk sambil menunjukkan senyum singkat menanggapi jawaban Bik Santi, sebelum akhirnya berjalan melewati perempuan paruh baya itu menuju tangga. Saat hampir mencapai anak tangga pertama, pandangan Tika beralih pada ruang gym yang bersebelah dengan pintu beranda samping. Kendati tidak bisa melihat apa yang sedang dilakukan suami mudanya sekarang, tapi Tika cukup lega mengetahui pintu ruangan itu masih tertutup rapat. Tika berharap Dewa tidak mengetahui kedatangan Roland, begitu juga lelaki itu yang segera pergi setelah basa-basinya selesai.Sambil memegangi perut bagian bawah, Tika yang sudah sampai di anak tangga terakhir mengatur nafas sejenak sebelum kembali melanjutkan langkahnya. Di usia kandungan y
"Ternyata kalian bisa hidup sangat layak disini." Pandangan Dewa masih mengitari sekitar. Bibirnya bisa melengkungkan senyum, tapi hatinya terlalu sakit untuk melihat fakta yang ada. Dewa sedang menertawakan dirinya sendiri. Tepatnya merasa bodoh dengan pemikirannya selama ini. Nyatanya sekarang ia masih bisa berdiri di dalam ruangan luas yang dipenuhi interior elegan dan tentunya mewah. Menjadi bukti jika kondisi itu jauh dari kata mengenaskan seperti yang ia pikirkan selama ini."Bodohnya aku," ujar Dewa sekali lagi, seakan belum sepenuhnya percaya dengan apa yang terlihat di depan mata.Pria paruh baya yang berdiri tenang di depan Dewa, masih bergeming. Menatap datar Dewa yang tertawa tanpa suara."Atau aku saja yang terlalu lugu menganggap kalian mendapat kesulitan setelah hari itu? Nyatanya aku benar-benar tidak bisa menebak rencana kalian." Dewa menatap kecewa pria itu yang memiliki kemiripan wajah hampir sembilan puluh sembilan persen dengannya. Atau mungkin lebih tepatnya g
"Benarkah? Mama sudah punya menantu?"Kesedihan di wajah Fatma seketika berubah senyum haru. Sebagai seorang ibu yang selama ini berharap perubahan pada putranya, tentu saja pernikahan Dewa menjadi kabar yang sangat membahagiakan, tapi jika itu memang benar adanya. Sudah lama Fatma berpikir, dengan menikah mungkin Dewa bisa menghargai sebuah hubungan, dan bisa merencanakan masa depan yang lebih baik."Siapa dia, Sayang? Apakah mama mengenalnya?" Sebagai orang tua yang telah berjuang nyawa saat melahirkan, Fatma tidak bisa benar-benar marah. Sebrutal dan seberandal apapun Dewa tetaplah putranya—darah dagingnya. Ketika semua peringatan serta nasehat tidak lagi didengar, maka hanya doa dan harapan terbaiklah yang tetap mengalir selagi jiwa masih menjadi milik raga.Apa yang terjadi pada Dewa adalah bentuk kemarahan yang tidak bisa dilepaskan. Disaat mengetahui sosok yang begitu dikagumi ternyata memiliki wanita lain selain ibunya, bahkan sampai memiliki anak—-Dewa yang saat itu masih be
Senyum Dewa senantiasa merekah sempurna, seiring mobil yang membawanya sudah melewati pos satpam komplek. Kendati tidak mengiyakan atau pun menyetujui permintaan Fatma, tetapi dengan kesediaan Adiraksa ikut bersama Dewa menemui Tika, sudah menjadi bukti jika pria super dingin itu mulai luluh. Adiraksa lebih mengutamakan kebahagian sang istri dengan mengakui Tika sebagai menantu, meski sebenarnya apa yang terjadi sejak awal tak luput dari pengawasannya.Satu jam sebelumnya, ketika turun dari jet pribadi milik sang ayah, Dewa sudah memberitahu Tika bahwa ia akan kembali tidak lama lagi. Namun, karena Fatma bersikeras ingin memberikan sesuatu pada menantunya sebagai hadiah, Dewa pun harus menahan diri saat menunggu sang ibu memasuki sebuah pusat perbelanjaan."Kamu yakin, Sayang? Hadiah ini layak untuk istrimu?" Adiraksa melirik singkat istrinya—masih saja ragu pada hadiah yang dia pilihkan sendiri. Padahal hanya untuk membeli satu hadiah saja, hampir memakan waktu satu jam lamanya. Tap