"Mau apa lagi kalian datang!" tantang Dewa berkacak pinggang, menghadang kawanan geng motor yang berusaha mendobrak pintu proyek."Ck ck ck.. jadi seperti ini cara pemilik sirkuit menyambut teman lama, hm?" ujar seorang lelaki sengaja berbasa-basi di atas Harley Davidson jenis sportster miliknya, sambil melipat satu kaki. Firman pemuda pemilik wajah kebule-bulean itu sengaja menggoda Dewa agar semakin marah. Karena memang itu tujuannya datang. Melihat kemarahan Dewa merupakan peluang besar untuknya menghancurkan lelaki itu."Waktu satu tahun membuatmu banyak berubah, Dewa. Tapi itu tidak berarti apapun untukku. Bagiku, kau tetap saja Dewa si Dungu. Ini sangat mengesankan, bukan?" Firman melingkarkan tangan ke bahu pemuda lain yang berdiri di dekatnya. "Apa kau juga penasaran? Berapa si Dungu itu menjual spermanya pada para pelacur sampai bisa membangun sirkuit, hm?" Rocky yang berdiri di samping Firman, menyunggingkan tersenyum remeh. Suara tawa pun seketika menggelegar.Kendati sanga
"Kau yakin bisa masuk?" Gusti memperhatikan sekitar rumah Tika yang sebagian lampunya sudah dimatikan. "Aku membawa kunci cadangan," balas Dewa yang dibalas anggukan oleh Gusti.Sejak malam dimana Dewa berniat memanjat pagar, hingga aksi nekatnya menarik perhatian dua satpam komplek yang kebetulan lewat. Tika memutuskan memberi Dewa kunci cadangan pintu pagar dan juga pintu utama rumahnya. Agar saat Dewa pulang terlambat tidak perlu membangunkan orang rumah, apalagi sampai melakukan sesuatu yang bisa menarik perhatian orang lain lagi."Tunggu dulu!" cegah Gusti saat Dewa sudah akan membuka pintu mobil. "Itu! Siapa perempuan di sana?" Telunjuk Gusti mengarah ke atas—tepatnya sisi kanan lantai dua rumah Tika. "Astaga! Horor sekali. Kau lihat ini, bulu lenganku sampai merinding."Sempat mengikuti arah telunjuk Gusti, dan mengetahui memang benar ada perempuan yang sedang berdiri di dekat jendela lantai dua. Dewa beralih ke lengan Gusti yang ternyata benar-benar meremang. Sahabatnya itu me
Dewa masih memperhatikan wajah tenang Tika yang baru saja ia baringkan di ranjang. Sempat panik mengetahui istrinya sudah tergeletak di lantai, ia langsung membawanya kembali ke kamar. Sebelumnya Bik Santi menjelaskan, saat baru menginjakkan kaki di lantai dua karena ingin membantu menenangkan Bintang yang masih saja menangis. Namun, belum juga sampai di kamar Bintang, Bik Santi justru lebih dulu terkejut mendapati sang nyonya sudah tergeletak di lantai. Saat itulah Bik Santi langsung berteriak. Tetapi tidak ada yang datang. Semakin panik setelah berusaha membangunkan sang nyonya yang tak kunjung bangun. Akhirnya Bik Santi kembali berteriak memanggil Dewa. Hingga diteriakan ketiga, baru Dewa tiba dan mengetahui kepala sang istri sudah berada di pangkuan Bik Santi.Jarak kamar utama dan kamar Bintang memang lumayan jauh, apalagi desain kamar di lantai dua dibagi menjadi dua jalur, Timur dan Barat. Pantas saja Dewa yang baru keluar kamar tidak langsung mengetahui keadaan Tika, karena m
Di bawah kucuran air shower, Dewa membiarkan tubuhnya basah dengan pakaian yang sengaja tidak dilepas. Mimpi itu kembali datang. Mengusik tidur singkatnya yang membuat Dewa terpaksa bangun dan meninggalkan Tika sendiri di ranjang. Dewa selalu tak berdaya setiap kali mimpi itu mendatangi tidurnya. Terlebih begitu sadar, ada Tika di samping kirinya, ia harus segera menghindar. Jangan sampai wajah paniknya diketahui sang istri. Mungkinkah pengaruh Firman yang kembali mengungkit masa lalunya? Hingga akhirnya peristiwa itu singgah lagi mengusik pikiran serta tidurnya?'Dia pasti sudah hidup dengan layak. Karena memang itu yang seharus yang terjadi. Tidak Dewa, kamu tidak boleh terprovokasi dengan apa yang pecundang itu katakan. Dia tidak tahu apapun tentang Floren. Dia hanya membual. Sengaja ingin mencari masalah denganmu, atas apa yang kau lakukan padanya dulu.'Tidak ingin memikirkannya lagi, Dewa memupus cukup sampai disitu. Ia tidak ingin bertindak bodoh dengan memikirkan sesuatu yang
"Boleh aku ikut duduk di sini?"Begitu suara yang cukup familiar itu menyapa gendang telinga, Inez yang sebelumnya meluruskan pandangan—menoleh ke belakang, dan saat tahu siapa yang berdiri di sana, ia tertegun.Benarkah yang terlihat itu nyata? Atau hanya halusinasi di tengah proses penyembuhan dirinya yang hampir gila?Inez masih belum berkedip barang sekali saja setelah sekian detik berlalu. Khawatir jika hal tersebut dilakukan, maka sosok yang kini ia lihat tengah tersenyum indah itu akan sirna. Tidak. Ia ingin lebih lama memandangnya. Berharap bisa mengobati kerinduan yang sudah menggunung. 'Kali ini kau terlihat seperti nyata,' ujarnya dalam hati.Sementara Gusti berusaha keras menunjukkan senyum terbaik. Meski sebenarnya di dalam sana terenyuh—bisa kembali melihat gadis yang paling ia rindukan. "Bagaimana kabarmu?" Inez masih bergeming. Hanya bulir bening yang berlomba-lomba terjun bebas dari sudut matanya. "Aku baru tahu, gadis sepertimu ternyata juga menyukai bunga."'Gusti?
"Dia menolakmu?""Tidak. Kami sudah sempat berbincang tadi. Tapi dia pergi lebih dulu karena aku tidak ingin meninggalkan tempat ini"Mendesak nafas kasar, Dewa memilih duduk di sebelah Gusti. Inez memang sulit didekati sekarang. Bahkan Tika saja langsung di usir saat ingin memasuki kamarnya. Inez lebih suka menyendiri, dan di tempat inilah dia sering menghabiskan waktu."Apa yang menarik perhatianmu?""Apa itu bayi Inez?"Mengikuti arah pandang Gusti yang tertuju ke lorong dapur dan tidak ada siapapun di sana—alis Dewa terdesak naik. "Kau juga sudah melihatnya?""Tidak," balas Gusti disertai gelengan pelan. "Aku hanya mendengar suara tangisannya tadi.""Hah! Aku berpikir, bayi itu ikut merasakan kesedihan ibunya. Apalagi setelah malam itu, Tika sengaja menjauhkan Inez dari bayinya demi mengantisipasi sesuatu yang buruk kembali terjadi. Tapi ternyata, bayi itu jadi lebih banyak menangis sekarang."Mendengar itu hati Gusti semakin terenyuh, keinginan untuk mendekati bayi itu pun semakin
"Apa tidak sebaiknya Abang ke rumah sakit saja? Ini sudah sangat keterlaluan. Hampir dua minggu hanya sereal yang bisa Abang makan, dan lagi aku juga perhatikan. Setiap pagi Abang selalu muntah. Jelas ini ada yang tidak beres."Tika tidak lagi bisa menahan diri ketika hanya makanan berbahan utama gandum itu yang masuk perut Dewa, baik saat sarapan, makan siang, ataupun saat makan malam dan itu sudah terjadi selama dua minggu terakhir. Ini bukan sekedar selera makan yang menurun, apalagi masalah lambung seperti yang selalu Dewa jelaskan. Pasalnya, selama itu pula Dewa mengalami perubahan sikap yang signifikan. Sudah beberapa kali Tika juga mendapati Dewa tertidur di sembarang tempat—termasuk sofa dekat kolam renang."Mungkin aku akan memeriksakan diri besok," ujar Dewa seraya menegak sedikit air di gelasnya. Dewa sendiri sebenarnya merasa heran dengan kondisi tubuhnya akhir-akhir ini. Selain tidak bisa mencium aroma makanan, ia juga jadi lebih mudah tertidur. Tubuhnya terasa berat, de
"Hai… ." Alih-alih menjawab, Inez justru langsung mendelik tajam begitu tahu Gusti lagi-lagi sudah duduk di sampingnya. Namun, kendati kembali mendapat respon tidak menyenangkan, Gusti hanya menanggapi dengan senyum manis. Tekadnya sudah bulat, akan tetap disana meski tahu kedatangannya tidak pernah Inez harapan."Kenapa kau datang lagi?" ujar Inez ketus."Kau tidak suka?" Mendapati Inez dengan cepat berpaling darinya, Gusti memperbaiki dudukan agar lebih nyaman. Merentangkan satu tangan serta menyandarkan punggung di sandaran kursi. "Katakan saja jika kau juga merindukan aku."Inez enggan menjawab.Sebenarnya tidak hanya terkejut, tepatnya tidak menduga Gusti kembali menemuinya. Inez justru berharap pria itu tidak akan datang lagi. Apa saja yang diucapkan Gusti hari itu, Inez menganggapnya hanya angin lalu. Tidak ada yang perlu disesalkan. Begitu juga apa yang terjadi pada mereka. Pun dengan cinta yang dulu begitu ia agungkan, sirna bersama kehormatan yang telah terenggut paksa. "A
Begitu tahu siapa yang sedang menunggu mereka di ruang tamu, Tika beralih pandang pada Dewa yang juga akan menuju tempat yang sama. Mengetahui Dewa mengangguk samar—seolah mengatakan semua pasti baik-baik saja, Tika mengatur nafas terlebih dulu sebelum memutuskan memasuki ruangan tersebut. Melihat kemunculan pemilik rumah, Floren segara bangkit dari sofa. "Tika! Maaf. Aku baru bisa datang sekarang." Melihat sikap ramah Floren yang seakan tidak pernah terjadi ketegangan di antara mereka, Tika seketika berhenti, dan kembali menoleh Dewa yang juga ikut berhenti."Sebaiknya kita duduk," bisik Dewa menangkap kerutan di dahi sang istri. Mendapat anggukan setuju, Dewa membimbing Tika duduk di sofa yang sama. Meletakkan paper bag berukuran sedang ke atas meja, pun dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya—Floren kembali berkata, "ada hadiah tak seberapa untuk si kecil. Diterima ya. Sekali lagi aku ucapkan selamat atas kelahiran putra kalian." Namun, ternyata Floren tak cukup berani berad
Jagat media tengah dihebohkan dengan berita kematian Firman. Pemuda dua puluh delapan tahun itu ditemukan meringkuk tak bernyawa di dalam kamarnya. Diduga luka sayatan melintang di leher, hingga putusnya urat nadi yang menjadi penyebab nyawa pemuda itu tidak bisa diselamatkan. Dugaan sementara Firman nekat mengakhiri hidup, lantaran depresi.Pernyataan tersebut diperkuat oleh keterangan tahanan lain, yang mengatakan jika sejak kedatangan teman-temannya, Firman berubah murung, dan tidak banyak bicara. Sampai akhirnya selang beberapa hari, saat petugas datang mengantarkan sarapan, berulang kali memanggil tidak juga ada jawaban—Firman tetap meringkuk di atas karpet usang, dan begitu dipastikan ternyata ada genangan darah di dekat leher yang mulai mengering. Diperkirakan Firman melancarkan aksinya saat malam hari.Naasnya, keadaan tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di kediaman Liem. Ketegangan yang menurut keterangan terjadi saat pagi hari itu, menyisakan kekacauan hingga menjadi saks
"Sayang… apa ada yang serius?""Tidak. Semuanya baik-baik saja."Barulah Dewa bisa bernafas lega setelah mendengar langsung dari mulut Tika. Sebenarnya ekspresi tenang yang ia tunjukan di hadapan semua orang tadi, sangat bertentangan dengan hati ketika mengetahui Tika pergi ke rumah sakit, dan diantar supir. Pikiran sudah tak karuan. Hal buruk seketika silih berganti datang hingga memenuhi kepala. Pasalnya, Tika bukanlah perempuan cengeng yang akan rela bolak-balik rumah sakit, jika itu hanya keluhan yang tak seberapa.Karena itulah Dewa sangat cemas memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya. Tak ayal sampai menyusul ke rumah sakit, dan membiarkan Sam serta Gusti yang menggantikan dirinya rapat dengan klien. Melihat keraguan di wajah Dewa, Tika segara mendekatkan mulut di telinga suami muda itu, agar Dewa tidak semakin mencemaskan dirinya."Aku baru saja berkonsultasi alat kontrasepsi yang aman aku gunakan. Bukankah katamu kita harus menunda adik untuk Arkhan?" Kendati awa
"Aku hanya ingin kalian tetap hidup. Sekalipun aku harus membayar mahal untuk itu, karena tidak bisa lagi bersamamu, aku terima. Setidaknya bisa melihatmu tetap bernafas itu sudah lebih dari cukup."Pandangan Floren seketika terangkat, kemarahan semakin membumbung tinggi ia rasakan. Semudah itukah Roland memutus sesuatu yang sebenarnya sangat sulit ia lalui? Dimana empati lelaki itu yang justru mengalah dengan keadaan, dan membiarkan dirinya kesakitan seorang diri. Alih-alih bertindak selayaknya lelaki sejati."Aku memang tidak pernah tahu perjanjian apa yang kau sepakati dengan Tuan Liem, " lirih Floren disertai kemarahan yang terlihat jelas dari sorot matanya yang memerah. "Tapi tidak bisakah kau memberiku penjelasan? Atau setidaknya memintaku pergi menggunakan bahasa manusia? Bukan malah berlaku picik dengan merekayasa kecelakaan itu. Cih! Membuat statement rendahan hanya karena ingin menikahi perempuan lain. Memalukan!" Floren bersungut-sungut meluapkan amarah yang hampir meledakk
"Tetap tidak bisa, Nona. Anda harus membuat janji terlebih dahulu.""Kalian berisik sekali! Katakan saja aku teman bos kalian. Dia pasti paham!" ketus Clara.Semakin jengah dengan sikap Clara yang bersikeras ingin dipertemukan dengan atasan mereka, dua resepsionis wanita itu pun saling bertukar pandang dengan raut wajah menahan kesal."Kenapa masih diam saja? Cepat beritahu bos kalian jika aku, Clara sedang menunggu di sini," ujarnya lagi penuh percaya diri. "Sedikit cepat ya… aku tidak terbiasa menunggu." Sambil mengibaskan tangan ke depan wajah, Clara berpaling ke samping. Mengusir bosan dengan mengedarkan pandangan—memperhatikan interior yang ada di sekitarnya. Dalam hati Clara masih saja menggerutu akan kebodohannya yang gegabah memilih Alan—lelaki yang ternyata sangat perhitungan. Seandainya saja ia tahu sejak awal, jika Dewa merupakan pewaris tunggal Adiraksa, tentu saja ia akan bertahan dengan lelaki itu—meski sebenarnya hanya menginginkan tubuhnya. Tapi setidaknya sekarang,
"Ini untukku?" Melihat gadis kecil itu mengangguk antusias, Floren tersenyum senang. "Terima kasih. Bunganya sangat cantik. Siapa namamu, Sayang? Oh." Floren berubah tercenung, saat mengetahui gadis yang sejak tadi terus melukis wajahnya dengan senyum manis itu, rupanya penyandang disabilitas."Maafkan aku." Floren segera menjatuhkan lutut, dan memeluk gadis itu yang juga langsung melingkarkan tangan ke lehernya.'Kenapa rasanya begitu menenangkan. Melihat gadis ini, aku seperti melihat diriku sendiri versi kecil.'Sejenak menyelami rasa yang semakin menjalar hati—Floren ingin sebentar saja meminjam gadis itu untuk mengembalikan ketenangan yang nyaris tidak pernah ia dapatkan lagi—setelah kebahagiaannya direnggut paksa beberapa tahun lalu. Terlalu lama terombang-ambing di lautan lepas, Floren tidak tahu dermaga mana yang akan dituju. Hingga membuatnya berada dalam ketidakpastian. Ketika itu yang bisa dilakukan hanya bertahan, menjaga seimbangan agar tidak sampai terguling dan tenggel
Clara begitu terkejut setelah mendengar apa yang baru saja ibunya sampaikan. Bahkan karena terlalu terkejut, sampai-sampai perempuan yang masih menggulung rambutnya dengan handuk kecil itu, masih mematung meski ibunya telah berlalu."Tidak mungkin, tidak mungkin dia pewaris tunggal Adiraksa. Dia hanya berandal yang kebetulan bisa menikahi wanita konglomerat itu. Yah! Derajatnya tidak mungkin lebih tinggi dari Alan." Berulang kali Clara menyakinkan diri, apa yang ibunya sampaikan hanyalah rumor yang pasti tidak valid kebenarannya. Mustahil Dewa seorang milyader yang kekayaannya jangankan satu Alan, bahkan sepuluh Alan pun tidak bisa menandinginya. "Tapi jika itu benar, apa yang harus kulakukan agar bisa kembali padanya?""Clara!!"Namun, di selah-selah perempuan itu sedang menyusun rencana, tiba-tiba suara teriakan dari lantai dua—tepatnya kamar utama, terdengar menggema ke segala penjuru rumah Alan yang memang tidak terlalu luas. Seketika itu, Clara berdecak kesal saat melirik ke la
"Sialan! Dia benar-benar keras kepala," geram Dewa seraya menyadarkan punggung dan menyilangkan satu kaki di atas kaki yang lain. "Cih. Dia pikir aku akan tetap diam saja dan membiarkan dia semakin besar kepala? Jelas saja tidak!"Gusti yang masih serius membaca berkas di depannya, menoleh singkah. Rupanya gerutuan Dewa cukup membuatnya terusik. "Kasih dia paham, seberapa berharga Kak Tika untukmu. Dia hanya masa lalu, tidak berhak mencampuri masa depanmu. Apalagi yang terjadi pada kalian dulu bukanlah cinta, melainkan simbiosis mutualisme, dan seharusnya dia cukup sadar diri akan itu," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan."Kau tahu sendiri, aku tidak bisa berbuat banyak saat Tika bersamaku. Bahkan ketika dia mengklaim Tika juga tidak berhak denganku, jika aku tidak mau menerimanya. Hampir saja aku hilang kendali. Bagaimana bisa dia selancang itu pada ibu dari putraku!"Dewa semakin bersungut-sungut—-sangat kesal akan sikap Floren semalam yang masih bersikeras ingin memisahkan dirinya
Di bawah kucuran air shower, Roland masih betah merapatkan dahi ke dinding. Dengan kedua tangan mencengkram rambut belakang, ia masih saja menyesali tindakannya yang sudah menggoda Pratiwi. Sehingga memberi kesempatan perempuan itu untuk bisa menggagahi tubuhnya. Mungkin ia sudah benar-benar sinting karena berani menantang predator yang memang pecandu seks, hingga akhirnya menodai kesucian tubuhnya yang pernah ia dedikasikan hanya untuk satu perempuan saja.Floren memiliki berpengaruh penting sampai ia bisa menjadi sosok yang sekarang—-dingin nyaris tak tersentuh. Bahkan sering kali Pratiwi beranggapan, jika keegoisan Tuan Liem juga telah memangkas jiwa kelelakian Roland yang selalu tak acuh padanya.Padahal sekian tahun tinggal bersama dalam satu atap, mendapati Pratiwi mengenakan gaun seksi bahkan nyaris seperti tak berbusana hampir setiap hari Roland temui. Tetapi lelaki yang memiliki tahi lalat di dekat hidung itu, tak sekalipun menunjukan ketertarikannya. Meski sebenarnya Pratiwi