jangan lupa vote dan dukungannya ya, terima kasih kakak
"Terima kasih sudah berkenan datang, Nona Tika dan Tuan." Selesai menyantap hidangan yang tersaji di privat room restoran jepang, Nyonya Liem mulai berbasa-basi.Lantaran sedikit terlambat datang, Tika dan Dewa langsung dipersilahkan makan malam seperti yang tengah pemilik acara lakukan.Tika yang pada dasarnya selalu tersenyum ramah pada siapapun, tak kuasa membiarkan lengkungan di bibirnya menyusut sebentar saja. Kendati sebenarnya merasa risih mengetahui Roland terus menatap ke arahnya. Laki-laki itu benar-benar tidak tahu diri. Alih-alih melirik istrinya yang ada di sebelahnya dan tak kalah cantik. Roland justru enggan beralih dari Tika.Sementara Dewa, sengaja mempertahankan sikap dingin. Karena menurutnya bersikap ramah pada orang asing tidak harus dilakukan, terlebih itu pada keluarga Liem."Maaf. Seharusnya aku memang mendengarkan saran suamiku untuk tidak mengganggu waktu kalian dengan datang di acara kami yang sederhana ini," sambung Nyonya Liem merasa tidak enak hati."Janga
"Mau apa lagi kalian datang!" tantang Dewa berkacak pinggang, menghadang kawanan geng motor yang berusaha mendobrak pintu proyek."Ck ck ck.. jadi seperti ini cara pemilik sirkuit menyambut teman lama, hm?" ujar seorang lelaki sengaja berbasa-basi di atas Harley Davidson jenis sportster miliknya, sambil melipat satu kaki. Firman pemuda pemilik wajah kebule-bulean itu sengaja menggoda Dewa agar semakin marah. Karena memang itu tujuannya datang. Melihat kemarahan Dewa merupakan peluang besar untuknya menghancurkan lelaki itu."Waktu satu tahun membuatmu banyak berubah, Dewa. Tapi itu tidak berarti apapun untukku. Bagiku, kau tetap saja Dewa si Dungu. Ini sangat mengesankan, bukan?" Firman melingkarkan tangan ke bahu pemuda lain yang berdiri di dekatnya. "Apa kau juga penasaran? Berapa si Dungu itu menjual spermanya pada para pelacur sampai bisa membangun sirkuit, hm?" Rocky yang berdiri di samping Firman, menyunggingkan tersenyum remeh. Suara tawa pun seketika menggelegar.Kendati sanga
"Kau yakin bisa masuk?" Gusti memperhatikan sekitar rumah Tika yang sebagian lampunya sudah dimatikan. "Aku membawa kunci cadangan," balas Dewa yang dibalas anggukan oleh Gusti.Sejak malam dimana Dewa berniat memanjat pagar, hingga aksi nekatnya menarik perhatian dua satpam komplek yang kebetulan lewat. Tika memutuskan memberi Dewa kunci cadangan pintu pagar dan juga pintu utama rumahnya. Agar saat Dewa pulang terlambat tidak perlu membangunkan orang rumah, apalagi sampai melakukan sesuatu yang bisa menarik perhatian orang lain lagi."Tunggu dulu!" cegah Gusti saat Dewa sudah akan membuka pintu mobil. "Itu! Siapa perempuan di sana?" Telunjuk Gusti mengarah ke atas—tepatnya sisi kanan lantai dua rumah Tika. "Astaga! Horor sekali. Kau lihat ini, bulu lenganku sampai merinding."Sempat mengikuti arah telunjuk Gusti, dan mengetahui memang benar ada perempuan yang sedang berdiri di dekat jendela lantai dua. Dewa beralih ke lengan Gusti yang ternyata benar-benar meremang. Sahabatnya itu me
Dewa masih memperhatikan wajah tenang Tika yang baru saja ia baringkan di ranjang. Sempat panik mengetahui istrinya sudah tergeletak di lantai, ia langsung membawanya kembali ke kamar. Sebelumnya Bik Santi menjelaskan, saat baru menginjakkan kaki di lantai dua karena ingin membantu menenangkan Bintang yang masih saja menangis. Namun, belum juga sampai di kamar Bintang, Bik Santi justru lebih dulu terkejut mendapati sang nyonya sudah tergeletak di lantai. Saat itulah Bik Santi langsung berteriak. Tetapi tidak ada yang datang. Semakin panik setelah berusaha membangunkan sang nyonya yang tak kunjung bangun. Akhirnya Bik Santi kembali berteriak memanggil Dewa. Hingga diteriakan ketiga, baru Dewa tiba dan mengetahui kepala sang istri sudah berada di pangkuan Bik Santi.Jarak kamar utama dan kamar Bintang memang lumayan jauh, apalagi desain kamar di lantai dua dibagi menjadi dua jalur, Timur dan Barat. Pantas saja Dewa yang baru keluar kamar tidak langsung mengetahui keadaan Tika, karena m
Di bawah kucuran air shower, Dewa membiarkan tubuhnya basah dengan pakaian yang sengaja tidak dilepas. Mimpi itu kembali datang. Mengusik tidur singkatnya yang membuat Dewa terpaksa bangun dan meninggalkan Tika sendiri di ranjang. Dewa selalu tak berdaya setiap kali mimpi itu mendatangi tidurnya. Terlebih begitu sadar, ada Tika di samping kirinya, ia harus segera menghindar. Jangan sampai wajah paniknya diketahui sang istri. Mungkinkah pengaruh Firman yang kembali mengungkit masa lalunya? Hingga akhirnya peristiwa itu singgah lagi mengusik pikiran serta tidurnya?'Dia pasti sudah hidup dengan layak. Karena memang itu yang seharus yang terjadi. Tidak Dewa, kamu tidak boleh terprovokasi dengan apa yang pecundang itu katakan. Dia tidak tahu apapun tentang Floren. Dia hanya membual. Sengaja ingin mencari masalah denganmu, atas apa yang kau lakukan padanya dulu.'Tidak ingin memikirkannya lagi, Dewa memupus cukup sampai disitu. Ia tidak ingin bertindak bodoh dengan memikirkan sesuatu yang
"Boleh aku ikut duduk di sini?"Begitu suara yang cukup familiar itu menyapa gendang telinga, Inez yang sebelumnya meluruskan pandangan—menoleh ke belakang, dan saat tahu siapa yang berdiri di sana, ia tertegun.Benarkah yang terlihat itu nyata? Atau hanya halusinasi di tengah proses penyembuhan dirinya yang hampir gila?Inez masih belum berkedip barang sekali saja setelah sekian detik berlalu. Khawatir jika hal tersebut dilakukan, maka sosok yang kini ia lihat tengah tersenyum indah itu akan sirna. Tidak. Ia ingin lebih lama memandangnya. Berharap bisa mengobati kerinduan yang sudah menggunung. 'Kali ini kau terlihat seperti nyata,' ujarnya dalam hati.Sementara Gusti berusaha keras menunjukkan senyum terbaik. Meski sebenarnya di dalam sana terenyuh—bisa kembali melihat gadis yang paling ia rindukan. "Bagaimana kabarmu?" Inez masih bergeming. Hanya bulir bening yang berlomba-lomba terjun bebas dari sudut matanya. "Aku baru tahu, gadis sepertimu ternyata juga menyukai bunga."'Gusti?
"Dia menolakmu?""Tidak. Kami sudah sempat berbincang tadi. Tapi dia pergi lebih dulu karena aku tidak ingin meninggalkan tempat ini"Mendesak nafas kasar, Dewa memilih duduk di sebelah Gusti. Inez memang sulit didekati sekarang. Bahkan Tika saja langsung di usir saat ingin memasuki kamarnya. Inez lebih suka menyendiri, dan di tempat inilah dia sering menghabiskan waktu."Apa yang menarik perhatianmu?""Apa itu bayi Inez?"Mengikuti arah pandang Gusti yang tertuju ke lorong dapur dan tidak ada siapapun di sana—alis Dewa terdesak naik. "Kau juga sudah melihatnya?""Tidak," balas Gusti disertai gelengan pelan. "Aku hanya mendengar suara tangisannya tadi.""Hah! Aku berpikir, bayi itu ikut merasakan kesedihan ibunya. Apalagi setelah malam itu, Tika sengaja menjauhkan Inez dari bayinya demi mengantisipasi sesuatu yang buruk kembali terjadi. Tapi ternyata, bayi itu jadi lebih banyak menangis sekarang."Mendengar itu hati Gusti semakin terenyuh, keinginan untuk mendekati bayi itu pun semakin
"Apa tidak sebaiknya Abang ke rumah sakit saja? Ini sudah sangat keterlaluan. Hampir dua minggu hanya sereal yang bisa Abang makan, dan lagi aku juga perhatikan. Setiap pagi Abang selalu muntah. Jelas ini ada yang tidak beres."Tika tidak lagi bisa menahan diri ketika hanya makanan berbahan utama gandum itu yang masuk perut Dewa, baik saat sarapan, makan siang, ataupun saat makan malam dan itu sudah terjadi selama dua minggu terakhir. Ini bukan sekedar selera makan yang menurun, apalagi masalah lambung seperti yang selalu Dewa jelaskan. Pasalnya, selama itu pula Dewa mengalami perubahan sikap yang signifikan. Sudah beberapa kali Tika juga mendapati Dewa tertidur di sembarang tempat—termasuk sofa dekat kolam renang."Mungkin aku akan memeriksakan diri besok," ujar Dewa seraya menegak sedikit air di gelasnya. Dewa sendiri sebenarnya merasa heran dengan kondisi tubuhnya akhir-akhir ini. Selain tidak bisa mencium aroma makanan, ia juga jadi lebih mudah tertidur. Tubuhnya terasa berat, de