Aku berjalan keluar kamar. Membiarkan Mas Hilman yang masih mematung. Malam ini ku putuskan untuk tidak tidur satu ranjang dengan Mas Hilman. Aku ingin ketenangan agar hati dan pikiranku tetap waras selama masih berada di rumah tangga ini. *** Beberapa hari berlalu. Selama menikah dengan Mas Hilman ini kali pertama aku mendiamkannya untuk waktu yang cukup lama. Kami sama sekali tak terlibat dalam obrolan kecuali hal-hal yang memang dirasa penting bagiku. Dan tentang kabar bahagia yang ingin ku sampaikan pada Mas Hilman waktu itu, ku putuskan untuk tidak memberitahukannya. Bahkan termasuk pada ibu mertuaku sendiri. Biarlah, biar ku simpan kehamilanku ini untuk sementara waktu. Lagipula aku tak yakin jika Mas Hilman mengetahuinya ia akan melupakan Sarah dan bisa betul-betul mencintaiku sepenuhnya. Memang sakit dihadapkan disituasi seperti ini. Tapi, usiaku sudah hampir mendekati kepala tiga. Dan itu sudah seharusnya cukup membuatku bisa bersikap dewasa dalam menghadapi sebuah ma
Bab 67 Penyampaikan Sesuatu Air mataku pecah ketika tanpa respon apapun Mas Hilman pergi begitu saja keluar kamar. Entah, hatiku semakin sakit melihat kepergian suami mudaku itu.Dan dititik ini ketakutan akan perceraian pun muncul. Astaghfirullah ....***Waktu terus berjalan. Hingga suatu hari Mas Hilman menyampaikan permintaan maaf juga penyesalannya padaku. "Aku menyesal, Mbak. Tolong maafkan aku. Aku berjanji akan melupakan Sarah dan memperbaiki rumah tangga kita," kata Mas Hilman dengan wajah memelas. Dengan sekuat tenaga aku menahan air mataku supaya tidak tumpah. Sudah kesekian kalinya Mas Hilman meminta maaf padaku. Dan selama itu aku selalu mengabaikannya. Aku sadar apa yang ku perbuat itu salah. Sebab, bagaimana pun juga Mas Hilman masih suamiku. Dan sekecewa apapun diriku, tak seharusnya aku mendiamkannya hingga berlarut-larut seperti ini. "Tolong telfonkan Mas Aryo," pintaku. Mas Hilman tampak terkejut mendengar perkataanku barusan. Ia mengerutkan keningnya sembar
#SdmsBab 68 Teruntuk Suami MudakuKu lihat jam dinding yang sudah menujukkan waktu hampir jam sembilan malam. "Sekarang, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu, Mas," ucapku pada Mas Hilman usai kepergian Mas Aryo. Tak hanya itu, aku juga meminta Ibu mertuaku untuk tetap bersama kami. Karena tentu saja apa yang akan ku sampaikan ini berkaitan dengan beliau. "Kamu mau bilang apa?" tanya Mas Hilman penasaran. "Sebelumnya aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan padamu.""Pertanyaan? Pertanyaan apa?" Mas Hilman tampak kebingungan. Aku sengaja diam sejenak sebelum mengajukan pertanyaan kepada suami mudaku itu. Mengatur napas supaya aku lebih siap mendengar jawaban dari Mas Hilman nantinya. Sampai pada akhirnya tiba-tiba aku tersadar karena sentuhan lembut di tanganku dari Mas Hilman. Aku menoleh ke arah Mas Hilman dengan tatapan datar. Suami mudaku itu pun juga tak mengatakan apapun ketika melihat ekspresi wajahku yang demikian. "Aku ingin bertanya sesuatu." Ku ulangi lagi ucapank
#SdmsBab 69 Tangisan Bu WatikBulik Erni kembali menangis sambil memelukku. Seakan mengerti bagaimana sikap dari anak lelakinya selama ini terhadapku, beliu pun tak lagi membalas perkataanku barusan. "Kuat! Aku pasti kuat!" batinku disaat masih dalam pelukan Ibu mertuaku. ***"Bulik! Bulik Erni!"Waktu masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi tiba-tiba saja aku mendengar teriakan serta ketukan pintu yang cukup kencang dari Bu Watik. "Kenapa lagi dia?" gerutu Ibu mertuaku sambil berjalan menuju pintu depan. Aku yang juga penasaran dengan kehadiran Bu Watik yang rusuh itu pun akhirnya memilih untuk menghentikan aktivitas memasakku yang hampir selesai dan mengikuti langkah Bulik Erni. Bulik Erni membuka pintu. "Astaghfirullah, kenapa, sih, Mbak?" tanyanya dengan wajah heran. "Aryo! Aryo, Bul!" Mendapati kakak iparnya itu datang dengan wajah yang sangat panik juga gelisah, Bulik Erni lantas mengajaknya untuk duduk di sofa ruang tamu. Mencoba menenangkannya lebih dulu sebe
Bab 70 Perjalanan Jauh"Siapa yang ganteng?!" ketus Mas Hilman yang tiba-tiba muncul. Lalu duduk di bangku sebelahku. Raut wajahnya terlihat dingin. Ditambah lirikan tajam dari matanya yang ditujukan ke arahku. Aku dan Rahma dibuat membisu seketika manakala Mas Hilman mengambil nasi dan lauk pauk dengan sedikit kasar. Sikapnya betul-betul jauh berbeda dari biasanya yang ku lihat. Ah, entah kini apalagi alasan yang membuatnya bersikap dingin seperti itu padaku? "Kenapa, sih, Mas? Dateng-dateng ngegas!" omel Rahma pada kakaknya itu. Aku hanya tersenyum kecil melihat tingkah kakak adik di hadapanku ini. Lagipula aku lebih memilih untuk tidak mengomentari ucapan Mas Hilman barusan. "Abis sarapan kamu siap-siap, ikut aku pergi," kata Mas Hilman tanpa menoleh ke arahku. "Ya," jawabku singkat. Karena statusku masih istrinya, bagaimana pun juga aku harus menuruti perintahnya. Selama bukan dalam hal maksiat. ***Sebelum pergi Mas Hilman memintaku untuk memakai jaket. Katanya karena per
Bab 71 Pesan dari Sarah"Selamat, ya, Sarah. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawwadah wa rahmah," ucapku sambil tersenyum pada Sarah. Sarah pun tersenyum setelah mendapatkan ucapan selamat dariku. Lalu melakukan hal yang tak ku sangka-sangka sebelumnya. Bahkan sampai membuatku tertegun dengan hal yang ia lakukan tersebut. Tak hanya itu, sikap yang ditujukan Sarah padaku itu membuat hampir semua pasang mata tertuju pada kami. Antrian jabat tangan pun sampai terhenti gegara apa yang dilakukan Sarah terhadapku. ***"Sarah tadi bilang apa, Mbak?" tanya Mas Hilman disaat aku bersiap untuk tidur. Ya, sebuah kejadian yang tak ku sangka-sangka saat di acara pernikahan Sarah tadi siang adalah dimana ketika giliranku menjabat tangan Sarah tiba-tiba ia memelukku sembari mengatakan jila ia menitipkan Mas Hilman padaku. Sontak aku yang mendapatkan perlakuan demikian juga ucapannya itu membuatku tertegun. Sebab, itu kali pertama kami berpelukkan dan dalam situasi yang bagiku cukup menegang
Bab 72 BaikanDi suatu malam aku kembali dihadapkan pada situasi yang amat canggung bersama Mas Hilman. Ya, kesekian harinya aku dan suami mudaku itu masih terlibat dalam kondisi saling terdiam. Penyebabnya apalagi kalau bukan masalah tentang hati. Biarpun aku sudah menerima permintaan maaf dari Mas Hilman, akan tetapi rasa kecewa terhadapnya masih belum bisa ku hilangkan. Walaupun aku tahu Sarah sudah menikah. Namun, bukan berarti Mas Hilman akan langsung melupakannya begitu saja. Aku masih takut jika suami mudaku itu melakukan kebohongan yang sama perihal hatinya itu padaku. "Mbak ...." Suara Mas Hilman terdengar lembut di telingaku. Aku yang masih merasa kecewa pun menoleh dengan malas. "Ada apa?" "Sarah udah nikah, Mas Aryo juga udah pergi.""Terus?" potongku. "Tolong urungkan niatmu untuk berpisah denganku.""Kenapa harus ku urungkan?" aku kembali menatap layar hp ku. "Demi calon anak kita."Seketika aku dibuat mematung mendengar ucapan Mas Hilman barusan. Darimana ia tah
Bab 73 Kabar Baik dari SariBeberapa tahun pun berlalu. Kehidupan rumah tanggaku kini semakin baik. Ditambah adanya kehadiran sang buah hati yang Mas Hilman beri nama Abrisam. Dimana arti dari anak kami itu adalah orang yang lembut lagi tampan. Sebagai istri waktu itu aku hanya bisa mengiyakannya saja. Lagipula aku sendiri juga tak punya referensi untuk nama bayi laki-lakiku yang sekarang sudah menginjak usia dua tahun. Pagi itu tidak sengaja aku melihat Mas Hilman yang tampak sumringah usai menerima panggilan telepon dari seseorang. Karena penasaran aku pun menghampiri suami mudaku itu. Sebab, jarang sekali aku melihat Mas Hilman menunjukkan ekspresi wajah berseri seperti itu. "Abis terima telepon dari siapa, sih? Kok seneng banget keliatannya," godaku pada Mas Hilman. "Dari Mas Aryo. Katanya—""Mas Aryo? Kenapa?" potongku. "Makanya dengerin dulu. Mas Aryo mau pulang, terus–""Terus kenapa?" lagi-lagi saking semangatnya aku sampai ku potong lagi ucapan Mas Hillman. Mas Hilman t