Albert tersentak mendengar kalimat lantang yang dilontarkan oleh Han. Albert bahkan tak mampu menjawab Han. Seakan otaknya buntu seketika.Melihat wajah tegang Albert. Han segera meluruskan, dengan mengatakan jika Han sedang bercanda.“Sesuai dengan peraturan yang aku buat. Seseorang yang sudah menjadi anggota Black Ice. Tidak boleh meninggalkan Black Ice,” terang Han.“Mana mungkin aku mengusir Marci, karena alasan konyol. Kesetiaan Marci masih menjadi bahan pertimbangan utama,” lanjut Han membeberkan.Setelah Han menjelaskan, barulah Albert bisa bernapas lega. Satu hal yang Albert sadari. Guyonan Han sama sekali tidak lucu. Pria dingin itu tak pandai menghibur. Kecuali, “Sebentar lagi hari jadi pernikahanku dengan Cani. Aku ingin memberi Cani sebuah kejutan kecil. Kamu punya ide?” tanya Han tiba-tiba menyinggung soal pernikahan.“Huh? Kamu yakin menanyakan hal itu padaku?” Albert tak habis pikir.Han mengangguk, lalu menjawab, “Iya, di ruangan ini hanya ada kamu dan aku. Aku tanya
“Tidak ada kata jatuh miskin di kamus hidupku,” tukas Indra mengeluarkan kesombongannya.“Ucapanmu membuatku lega. Bisakah kita menyelesaikan kontrak kerja kita?” Marci kembali menyinggung tentang permintaannya tempo hari.“Tentu saja. Aku sudah tidak sabar,” jawab Indra kembali bersemangat.Indra meminta sekretarisnya untuk membeberkan semua berkas penting.“Kamu tidak akan menyesal. Karena menjadikanku sebagai satu-satunya rekan bisnismu. Aku pasti bakal kasih kamu banyak keuntungan,” tutur Marci sengaja ingin membuat Indra berangan-angan tinggi.Indra menggulung senyuman di wajahnya.“Aku sudah tidak sabar,” ucap Indra.Kesepakatan kerja pun terjalin. Kini, keduanya secara resmi menjadi rekan bisnis. Marci benar-benar senang. Karena berhasil menjebak, dan memasukkan Indra ke dalam kungkungan.Marci sudah tidak sabar, melihat orang yang sering merendahkan Bosnya hancur.***Di tempat berbeda. Seorang wanita cantik, dengan dandanan gotik, tengah asyik menikmati teh herbal kesukaanny
Haily gelagapan. Dia mengutuk dirinya sendiri, karena telah keceplosan.Sekarang, Haily jadi bingung menjawab. Terlebih, melihat Cani menatapnya penuh curiga. Makin membuat Haily panik. “Gimana ya? Waktu aku tanya-tanya ke temanku soal Han. Temanku juga sedikit ngasih tahu tentang kamu. Mangkanya aku tahu nama Victory,” kilah Haily setelah berpikir kritis. “Owalah, gitu ta?” Respons Cani menganggukkan kepala. Tanpa bertanya lebih banyak lagi. Cani percaya begitu saja.“Jadi, Victory itu siapa ya? Daripada aku menerka-nerka. Lebih enak kalau tanya langsung ke kamu. Siapa tahu, temanku salah. Manusia ‘kan tempatnya salah,” cerocos Haily menghilangkan kecanggungan. “Iya, Mbak. Victory itu adik kandungku. Cuma beda ibu. Tapi satu bapak,” terang Cani memberi tahu. “Kalau Bu Helena yang kamu sebut tadi. Siapa kamu?” tanya Haily. “Bu Helena ya ibu tiriku, Mbak. Ibu kandung Victory,” ucap Cani melempar senyum. “Kok kayak rumit gitu ya? Berarti, maaf ya sebelumnya. Ayahmu nikah dua kali
Melihat wajah Han yang seperti ingin membunuhnya. Haily kembali meresponsnya dengan santai. Haily yang sudah ada di atas ranjang. Sengaja memosisikan tubuhnya semenggoda mungkin. Sembari menggerakkan kakinya. Haily berucap, “Segitunya? Siapa juga yang mau ngajak kamu bermain?”Han menurunkan tangannya yang sempat bersandar di gagang pintu. Han pun mengurungkan niatnya untuk keluar kamar. Dia kembali memberikan atensinya kepada Haily. “Jika tidak ingin bermain. Kenapa kamu masih di sini? Seharusnya kamu kembali. Dan jalani kehidupanmu di tempat asalmu,” tandas Han penuh penekanan di setiap kata. Haily sama sekali tidak takut dengan Han. Haily justru bertingkah seakan Han bukan sebuah ancaman yang berarti. “Kamu tidak berhak atas hidupku. Mau aku kembali, atau tidak. Itu bukan urusanmu, ‘kan?” timpal Haily menghela napas. “Sama seperti kamu yang tidak peduli dengan Kartelku. Jadi, untuk apa aku mematuhimu? Aku tidak hidup di bawah kakimu,” kata Haily menerangkan. Han mengacak ram
Seiring berjalannya waktu. Beberapa hari telah berlalu. Tidak ada tanda-tanda yang memperlihatkan tingkah aneh Haily. Wanita itu benar-benar memerankan perannya dengan begitu baik.Bahkan, kini Haily dan Cani terlihat akur. Bak sepasang sahabat.Meskipun begitu, Han tetap memerintahkan anak buahnya, untuk selalu mengawasi gerak-gerik Haily.Entah itu anak buahnya akan menyamar sebagai asisten rumah tangga yang disewa harian oleh Han. Atau petugas PLN yang berkedok ingin membenarkan saluran listrik di rumah Cani. Pokoknya, apa pun akan Han lakukan. Demi memastikan jika Cani baik-baik saja. Selama Han tak berada di sisi Cani. Han tak mungkin absen dari pekerjaannya. Cani pasti akan bertanya. Dan Han tak ingin menambah kebohongannya. “Cani, kamu lagi program hamil ya?” tanya Haily ketika melihat buku panduan kehamilan yang berada di atas meja kamar Cani.“Eh? Mbak Haily ngagetin aja!” sahut Cani tersentak.Wajar saja Cani terkejut. Lawong Haily masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi. U
Haily sengaja mengeratkan pelukannya pada tubuh besar Han. Tingkah Haily tersebut, seakan tengah mengejek Cani yang berdiri di belakangnya. “Masa lalu apa? Dasar sinting,” lirih Han mendorong tubuh Haily hingga terjungkal ke belakang. Cani hanya melihat Haily yang terjatuh di atas lantai keramik. Tanpa berminat sedikit pun untuk membantu Haily berdiri. Entah mengapa, seperti ada kepuasan tersendiri di batin Cani. Ketika Han memperlakukan Haily dengan kasar.“Han? Sakit loh! Kamu tega sekali,” keluh Haily mendirikan tubuhnya sendiri.“Keluar dari kamarku, Haily. Aku ingin beristirahat,” usir Han menarik lengan sebelah kiri Haily.Han benar-benar mendepak Haily dari kamarnya. Han menutup pintu kamar, dan mulai memfokuskan dirinya pada Cani yang sedari tadi hanya diam.“Sayang, yang kamu lihat barusan. Hanya sebuah kecelakaan,” ucap Han meluruskan.“Aku udah tahu kok. Hubungan di antara, Mas Han dan Mbak Haily,” kata Cani.Cani memundurkan langkahnya, saat Han melangkah mendekati Cani
Selepas pulang dari acara pengajian di masjid. Mak Ti mengantarkan Cani untuk melihat-lihat rumah Mak Ti yang dikontrakkan. Selain punya toko sayuran terbesar di desa. Mak Ti juga memiliki beberapa properti. Seperti sawah, dan rumah-rumah untuk disewakan. “Kamu cari rumah kontrakan buat siapa toh?” tanya Mak Ti disela kegiatan mereka yang menyusuri salah satu rumah. “Buat ditinggali saudaranya suamiku, Mak,” jawab Cani melihat-lihat sekeliling. “Owalah ... Emangnya, kapan saudara suamimu datang?” “Sudah ada di rumahku, Mak. Mangkanya, aku carikan dia rumah kontrakan untuk ditinggali. Biar dia bisa leluasa melaksanakan kegiatan,” terang Cani sengaja menutupi perseteruannya dengan Haily. Meskipun Mak Ti dan Cani sangat akrab, bisa dibilang, sudah seperti ibu dan anak. Tapi tetap saja. Mak Ti adalah orang luar. Satu hal yang dipegang Cani erat. Jangan sampai, orang luar tahu permasalahan di dalam rumah tangga Cani. Makin sedikit yang tahu, dan ikut campur. Maka, makin cepat pula,
“Apaan sih? Enak aja nyuruh aku menyingkir! Aku nggak mau! Dan kalian nggak boleh dibiarkan berduaan!” tegas Cani tak mengindahkan permintaan Haily.“Cuma ngobrol berdua doang. Nggak dibolehin,” cela Haily memutar kedua bola matanya malas.“Nah itu. Kenapa, Mbak Haily minta ngobrolnya hanya berdua?” Cani mengernyitkan alis.“Oh ... Nggak boleh? Yaudah kalau gitu. Aku nggak bakal mau pergi dari rumah ini,” tantang Haily merajuk. Mendengar pernyataan Haily yang menyebalkan. Kepala Cani langsung berdenyut sakit.Sebagai istri yang takut suaminya dipengaruhi oleh Haily. Sebisa mungkin Cani menghalangi keinginan Haily. Tapi ...“Meskipun kamu minta aku pergi dari rumahmu ini. Sampai mulutmu berbusa pun, tak ‘kan aku hiraukan,” ketus Haily melotot.Cani melorotkan pundaknya lemas. Sedangkan Han hanya diam. Sambil terus menatap Haily penuh selidik. Han belum minat untuk mengeluarkan pendapatnya.“Emangnya, Mbak Haily mau ngomong apa, sih? Sama Mas Han? Kok aku harus pergi segala?” tanya Ca