Aku mendelik. Pria itu sengaja membuatku malu di depan kakek. Sebenarnya apa yang dia inginkan dari berkata seperti itu, semalam tidak terjadi apa-apa. Hanya kejadian memalukan yang membuatku berteriak.
“Kamu mau, Kakek mencari daun muda lagi? Kegiatan olahraga malam itu hanya para pengantin baru yang bisa melakukannya. Kakek saat ini fokus dengan keberlangsungan kasta Wicaksono. Jadi, cepatlah kasih Kakek cicit,” pintanya. “Kakek!” ucapku sedikit meninggi dengan wajah merah muda, saat ini perasaanku malu sekali. Kejadian semalam itu di luar dugaan. Aku kira, dia akan memaksa malam pertama denganku. Ternyata, dia memastikan bahwa aku benar-benar datang bulan. Hanya saja, hal itu membuatku sangat malu. “Tenang saja kakek, ini pasti tokcer. Apalagi semalam aku sudah melihatnya,” ucapnya sambil melirikku penuh ejekan. Suamiku ini ternyata suka menggoda dan membuatku sedikit malu di depan umum. “Tapi, apa cucu kakek siap hidup dengan pria tanpa pekerjaan jelas seperti aku? Pekerjaan aku hanya kuli serabutan di mal Srikandi.” Aku baru sadar, hal itu belum sempat kutanyakan. Tubuhku lemas seketika, tidak sanggup menghadapi keluargaku. ‘Sudah pasti Ibuku akan murka. Kemarin saja saat di pernikahan hampir gagal dan berantakan.’ Dengan lesu aku menikmati makanan, bahkan rasanya tidak bisa tertelan setelah mendengar ucapan mas Andi. Aku harus mempersiapkan berbagai cara, untuk menjaga pernikahan kami. Aku takut kalau ibu akan memintaku bercerai darinya. “Huff!” Tanpa sadar aku mendengkus. Mata mereka berdua serempak menatapku penuh tanda tanya, apakah aku menyesal menikah dengannya? Itu pasti pertanyaan yang ada di benak Kakek dan Mas Andi. Mendapat tatapan dua pria yang bersekutu, aku merasa seperti berada di kandang lawan. Aku hanya bisa tersenyum. “Kalian jangan menatap seperti itu! Aku merasa seperti berada di ruang penyidik,” jawabku ketus, menutupi rasa bersalah. “Kenapa Inggit mendengkus? Inggit menyesal, dengan pilihan kakek?” tanya kakek Wicaksono. ‘Sumpah demi apapun, saat ini aku bingung. Mau jujur, tapi takut mereka akan tersinggung. Kalau nggak jujur, aku pasti akan mengalami masalah dari mereka berdua,’ batinku. Aku mengatur napas, lalu mulai menjawab. “Saat Kakek dan Mas Andi lagi ngobrol tadi, aku hanya fokus sama pikiranku sendiri. Kakek tau, kan? Ibu nggak menyukai Andi sejak dulu. Terlebih lagi, pekerjaan dia yang serabutan." Aku berkata jujur sambil menatap Andi dengan bibir sedikit manyun. “Kakek tau. Ana pasti menolak dan nggak mengakui Andi sebagai menantu. Tapi, Kakek mau tanya ....” Perasaan lega ini tiba-tiba membuatku lebih rileks. Kakek jauh lebih pengertian. “Apa kamu bisa menerima Andi apa adanya?” tanya kakek, spontan aku mengangguk yang setelahnya diikuti suara Andi. “Aku akan berusaha sampai kedua orang tua Inggit bisa menerimaku. Karena tanpa pertolongan Kakek, mungkin malam itu aku udah mati." Andi mejelaskan tentang masa lalunya. Aku pikir, dia akan marah. Ternyata dia masih tetap tenang menyikapi semua yang aku resahkan. Mungkin aku saja yang terlalu banyak berpikir. Aku harap, Mas Andi bisa meluluhkan hati kedua orang tuaku. "Jadi, apa rencana kalian selanjutnya? Apa kalian mau tinggal di mansion ini atau mungkin menyewa rumah?” tanya Kakek. Kakek Wicaksono tidak seperti pria pada umumnya yang ingin cucu atau keturunannya tetap hidup sesuai keinginan dia. Kakek memberikan kami pilihan untuk menentukan hidup kami sendiri. Selain itu, Kakek juga memberikan kebebasan dan kesempatan kami untuk mengembangkan usaha masing-masing. Aku menatap Mas Andi, berharap dia menjawab dengan benar. Karena sampai sekarang, kami belum berbicara sejauh itu. “Kami akan sewa rumah, Kek,” jawab Mas Andi membuatku kesal. “Sebentar Kek! Aku mau ngomong sama Mas Andi,” pintaku memohon izin. Ingin protes, tapi aku tidak bisa membantah Mas Andi di depan Kakek. Aku menarik Mas Andi ke sudut ruangan saat itu juga. Mata kakek memberi isyarat. Dia tetap duduk dengan tenang. Sekarang, hanya ada aku dan Mas Andi di sudut ruangan. “Kamu serius? Kita baru kenal dan pekerjaanmu aja enggak jelas. Kamu belum menghitung biaya sewa di Serayan, semuanya mahal-mahal, kan?” tanyaku dengan alis sedikit naik dari normal. Dia hanya tersenyum mendengar semua ucapanku. Dia memegang pundakku dengan santai. “Tenang aja! Masih ada rumah murah. Tapi lokasinya di pinggiran dekat mal Srikandi. Di sana tetangganya dari kaum rendah, seperti pemulung, dan tukang parkir." Kedua mataku membelalak. Tapi, aku terus mendengarkan penjelasannya. "Kira-kira, kamu mau nggak tinggal di tempat kumuh seperti itu?” tanya Mas Andi. Sedetik pun, aku tidak pernah membayangkan akan tinggal di tempat seperti itu. Tempat kumuh yang rawan kejahatan dan sebagainya. Aku pasti harus beradaptasi cukup lama. Aku tidak sanggup. “Nggak. Aku nggak mau,” tolak ku, membuat Mas Andi sedikit kecewa. Aku meninggalkan dia kembali duduk dengan diam. Suasana menjadi sunyi sampai akhirnya, aku membuat kepustakaan. “Oke, aku ikut Mas Andi,” jawabku yang dibalas senyuman Kakek. Tiba-tiba, Mas Andi memelukku dari belakang. Dari kejauhan, aku melihat mata kakek tersenyum ke arah kami. Aku merasa sudah membuat keputusan baik.Malam ini, aku menempatkan rumah sewa. Rumah sederhana dengan perabotan yang tidak banyak. Aku sedang berada di kamar berbicara dengan seseorang yang mengajakku bisnis di saluran telepon. “Kamu harus balikin uangku sesuai perjanjian!” “Namanya bisnis, kalo udah bangkrut di tanggung bersama. Mulai saat ini, jangan hubungi aku lagi!” Panggilan itu ditutup begitu saja. Tapi dia hanya memanfaatkan aku dan menipuku. Mas Andi terlihat memperhatikan dari depan pintu kamar. Aku tetap tidak fokus dengan kehadirannya, bahkan air mataku jatuh juga kubiarkan. “Kamu baik-baik aja?” tanya Mas Andi yang membuatku mengangkat kepala. “Yang mas Andi liat, gimana? Apa masih baik-baik saja?” Aku tidak peduli dengannya. Padahal dia baru saja pulang bekerja serabutan seperti biasanya. “Kamu sadar nggak, mas? Semua masalah ekonomi yang aku hadapi saat ini adalah salahmu!” Semua kekesalan, aku limpahkan ke Mas Andi, tapi dia tetap tidak marah. Bahkan dia masih tenang mendengarkan omelanku.
Mas Andi masih terus bertahan, bahkan dia tetap tenang. Justru aku yang semakin merasa terhina menariknya dengan paksa. “Mas! Ayo pergi dari sini! Jangan rendahkan dirimu lagi!” teriakku menarik paksa tangan mas Andi. Entah kekuatan dari mana yang membuatku bisa menarik mas Andi. Kami berjalan menjauh dari Ibu sampai berada di dekat pintu gerbang. Tiba-tiba, sosok penolongku hadir lagi. Tangan keriput itu menggenggam tangan kiriku. “Jangan memberontak! Ayo ikut Kakek!" Sebuah perintah yang tidak dapat ditolak, refleks tubuhku juga mengikuti lagkahnya. “Ayah!" seru Ibuku dengan suara pelan dan kaku. Kakek Wicaksono menatap penuh amarah ke arah Ibu. Sontak, membuat Ibu semakin menunduk. Mungkin aku akan menang kali ini, tapi Ibuku tidak mungkin akan semudah itu menerimaku kembali. “Dasar menantu tidak tau diuntung!” Bentakan itu diikuti tangannya yang melayang di pipi Ibu. Saat itu juga, terlihat membekas merah di pipinya yang putih. Bahkan matanya menatap tajam ke arah
Aku tertunduk dan meneteskan air mata setelah melontarkan pertanyaan itu, memang konyol. Tapi sangat masuk akal bagiku saat ini.Tangan lembut itu menyapu pundakku, bersama dengan suara khasnya kakek Wicaksono berusaha menenangkanku lagi.“Inggit, jangan pernah bertanya seperti itu lagi. Mungkin Ibumu saja, yang salah dalam memperlakukan kalian. Sekarang kamu turuti saja, sementara kamar belakang tidak buruk-buruk amat,” jelasnya.Napas panjang yang kuhembuskan, terasa sekali melepas kekesalan. “Baiklah,” jawabku singkat. Kami menuju kamar belakang, sebuah ruangan yang tidak pernah di huni. Bahkan pembantu sekalipun enggan menginjakkan kakinya di sini. “Kakek pulang saja, di sini terlalu berdebu. Bahkan ada banyak kotoran tikus. Inggit takut nanti alergi Kakek kumat,” pintaku, sambil menyibak sarang laba-laba.Kakek Wicaksono tersenyum, menepuk pundakku. Dia akhirnya pergi meninggalkan kami. “Biar mas saja yang membereskan,” ujar mas Andi lembut, aku sebenarnya kesal sama dia tapi
“Sadar Inggit,” gumamku yang membujuk diri sendiri, “Tapi itu sesuatu yang sayang untuk di lewatkan. Lagian dia suamiku, jadi enggak masalah aku menikmatinya.” Entah sisi lainku yang lain berusaha mempengaruhi agar diri ini lepas kendali.Sampai aku benar-benar tersadar dan lompat turun dari tempat tidur, aku malu saat mas Andi membuka matanya. Hal itulah yang menyadarkan diri ini, dari perbuatan konyol.“Kenapa Ngiit?” Pertanyaan mas Andi membuatku makin salah tingkah.“Eng-nggak, Mas. A- anu, Inggit mau mandi dulu,” kilahku yang panik. Mas Andi terlihat menggelengkan kepala sambil tersenyum, matanya menatapku begitu dalam. Hal seremeh itu juga membuatku salah tingkah saat meninggalkannya ke kamar mandi. Sekonyol salah ambil handuk, dengan selimut yang dia kenakan.“Mau mandi atau mau tidur lagi,” godanya yang membuat wajah ini memerah. Aku yang sangat malu, buru-buru melepas selimut itu dan menarik handuk yang berada di dekat kursi. Langkahku cepat menuju kamar mandi sampai saat
Rasanya kenyal menempel di bibir bahkan tidak hanya itu yang kurasakan, juga ada rasa lembek dan sedikit ada lendirnya, begitu aku membuka mata. “ Huek ... huek ....” Perut ini mual tidak karuan, sebuah kecoa yang mati menempel di dinding menyentuh bibirku.Perasaan mual belum hilang lengkap menjadi kesal, saat melihat wajah mas Andi yang menahan tawa di dalam kamar mandi.“Mending juga nabrak bibirku,” gumamnya dengan tawa tersunging, gigi putihnya menjadi hiasan yang membuat aku semakin dongkol.“Puas! Punya suami kok gini banget,ya!” umpatku kesal, meninggalkan dia begitu saja di kamar mandi.Suara sikat dan air menjadi alunan musik di tengah rasa kesalku kali ini, ditambah suara riuh di dalam perut yang menandakan waktunya menambah energi kampung tengah. “Mas, sudah belum?” tanyaku sembari tetap duduk di atas tempat tidur.Mas Andi tidak bersuara sama sekali, sepertinya dia sibuk membersihkan kamar mandi sampai suaraku tidak terdengar. Aku mengentakkan kaki berjalan dengan berkaca
“Tapi aku lapar, Mas.” Dengan suara pelan aku berbicara di samping mas Andi.“Sabar, nanti kamu bisa makan. Tunggu di sini dulu ya Mas berangkat kerja, bentar saja,” bujuknya.Bibirku manyun tidak terima, ‘Emang dia mau bawa makanan dari mana? Mau berangkat kerja terus bawa makanan, secepat apa dia dapat uang? Buat bayar kos saja enggak bisa.' Itulah pikiran yang aneh melintas begitu saja.“Kenapa bengong?” tanya mas Andi yang menatap wajahku yang masih manyun. Aku hanya mendengkus dan meninggalkannya begitu saja tanpa menjawab pertanyaanya, agar dia paham kalau aku marah atas saran tidak masuk akalnya itu.Baru saja pintu terbuka nyonya besar Ana Rahma sudah berdiri di hadapanku saat ini, dengan kedua tangannya terlipat di depan, menatapku bagai tersangka.“Inggit, kamu lupa sama perjanjian semalam? Ibu tunggu dari pagi, suamimu yang miskin itu bahkan tidak terlihat batang hidungnya.” Mendengar setiap kata demi kata yang keluar dari bibir Ibuku, seperti aku merasa terlahir dari timun
Spontan taganku terhenti, bukannya Ibu yang tersiram air pel kali ini. Tap, Vanya yang basah kuyup saat melintas di depanku.“Apa-apaan ini!” jeritnya dengan wajah bayah kuyup dari rambutnya, hingga ke seluruh pakaian yang semula kering juga ikutan basah.Secepat mungkin aku membuang diriku, agar terkesan terpleset. “Maaf aku gak sengaja,” ungkapku menahan tawa.Bersyukur Vanya yang kena, seandainya Ibu habislah aku. Tapi setidaknya dengan begini aku merasa puas, buat balas kekesalan terhadap keluargaku sendiri.“Ibu ... Inggit pasti sengaja,” rengeknya kesal.Seseorang membantuku bangun dari posisi terduduk di lantai. “Mana mungkin dia sengaja, buktinya dia terduduk di lantai.”Aku menoleh ke asal suara dan pria yang menolongku bangkit, “ Ayah,” lirihku berbisik.Pertama kali dalam hidupku dia membuka suara, bahkan aku sangat terkejut dia bisa datang tepat waktu saat ini. Sosok pria yang sempat menghilang dalam anganku, seperti kembali lagi.“Tapi, gara-gara air pel ini. Lihat Ayah, b
Napas mas Andi semakin terasa dekat di wajahku, oh Tuhan kenapa aku masih harus merasa takut. Pria ini suamiku, walau kami menikah karena perjodohan setidaknya kami sudah tinggal bersama dalam beberapa bulan ini. Kami juga sudah tidur dalam tempat tidur yang sama.“Mas!” Aku menghentikan wajah itu semakin dekat, refleks yang begitu saja terjadi dari tubuh yang masih belum mau menerimanya.“Kenapa?” tanyanya yang di ikuti jemarinya, yang masih berusaha menepis tanganku.“Tempat umum,” jawabku mencari alasan yang tidak masuk akal.“Lalu, ada masalah? Kamu istriku Inggit. Emang salah ya, kalau aku memegang bibirmu dan menatap wajahmu dari dekat?” tanyanya , suaranhya yang lembut semakin menganggu jantugku.Aku menghela napas panjang, berusaha mengatur napas. Aku tidak mau mas Andi sadar, kalau saat ini aku terserang perasaan menegangkan.“Kamu diam, berarti kamu belum bisa menerima keberadaanku,” ucapnya kecewa.Aku menelan saliva, merasa sudah membuat mas Andi kecewa. Dia sudah terlalu b