Aku mendelik. Pria itu sengaja membuatku malu di depan kakek. Sebenarnya apa yang dia inginkan dari berkata seperti itu, semalam tidak terjadi apa-apa. Hanya kejadian memalukan yang membuatku berteriak.
“Kamu mau, Kakek mencari daun muda lagi? Kegiatan olahraga malam itu hanya para pengantin baru yang bisa melakukannya. Kakek saat ini fokus dengan keberlangsungan kasta Wicaksono. Jadi, cepatlah kasih Kakek cicit,” pintanya. “Kakek!” ucapku sedikit meninggi dengan wajah merah muda, saat ini perasaanku malu sekali. Kejadian semalam itu di luar dugaan. Aku kira, dia akan memaksa malam pertama denganku. Ternyata, dia memastikan bahwa aku benar-benar datang bulan. Hanya saja, hal itu membuatku sangat malu. “Tenang saja kakek, ini pasti tokcer. Apalagi semalam aku sudah melihatnya,” ucapnya sambil melirikku penuh ejekan. Suamiku ini ternyata suka menggoda dan membuatku sedikit malu di depan umum. “Tapi, apa cucu kakek siap hidup dengan pria tanpa pekerjaan jelas seperti aku? Pekerjaan aku hanya kuli serabutan di mal Srikandi.” Aku baru sadar, hal itu belum sempat kutanyakan. Tubuhku lemas seketika, tidak sanggup menghadapi keluargaku. ‘Sudah pasti Ibuku akan murka. Kemarin saja saat di pernikahan hampir gagal dan berantakan.’ Dengan lesu aku menikmati makanan, bahkan rasanya tidak bisa tertelan setelah mendengar ucapan mas Andi. Aku harus mempersiapkan berbagai cara, untuk menjaga pernikahan kami. Aku takut kalau ibu akan memintaku bercerai darinya. “Huff!” Tanpa sadar aku mendengkus. Mata mereka berdua serempak menatapku penuh tanda tanya, apakah aku menyesal menikah dengannya? Itu pasti pertanyaan yang ada di benak Kakek dan Mas Andi. Mendapat tatapan dua pria yang bersekutu, aku merasa seperti berada di kandang lawan. Aku hanya bisa tersenyum. “Kalian jangan menatap seperti itu! Aku merasa seperti berada di ruang penyidik,” jawabku ketus, menutupi rasa bersalah. “Kenapa Inggit mendengkus? Inggit menyesal, dengan pilihan kakek?” tanya kakek Wicaksono. ‘Sumpah demi apapun, saat ini aku bingung. Mau jujur, tapi takut mereka akan tersinggung. Kalau nggak jujur, aku pasti akan mengalami masalah dari mereka berdua,’ batinku. Aku mengatur napas, lalu mulai menjawab. “Saat Kakek dan Mas Andi lagi ngobrol tadi, aku hanya fokus sama pikiranku sendiri. Kakek tau, kan? Ibu nggak menyukai Andi sejak dulu. Terlebih lagi, pekerjaan dia yang serabutan." Aku berkata jujur sambil menatap Andi dengan bibir sedikit manyun. “Kakek tau. Ana pasti menolak dan nggak mengakui Andi sebagai menantu. Tapi, Kakek mau tanya ....” Perasaan lega ini tiba-tiba membuatku lebih rileks. Kakek jauh lebih pengertian. “Apa kamu bisa menerima Andi apa adanya?” tanya kakek, spontan aku mengangguk yang setelahnya diikuti suara Andi. “Aku akan berusaha sampai kedua orang tua Inggit bisa menerimaku. Karena tanpa pertolongan Kakek, mungkin malam itu aku udah mati." Andi mejelaskan tentang masa lalunya. Aku pikir, dia akan marah. Ternyata dia masih tetap tenang menyikapi semua yang aku resahkan. Mungkin aku saja yang terlalu banyak berpikir. Aku harap, Mas Andi bisa meluluhkan hati kedua orang tuaku. "Jadi, apa rencana kalian selanjutnya? Apa kalian mau tinggal di mansion ini atau mungkin menyewa rumah?” tanya Kakek. Kakek Wicaksono tidak seperti pria pada umumnya yang ingin cucu atau keturunannya tetap hidup sesuai keinginan dia. Kakek memberikan kami pilihan untuk menentukan hidup kami sendiri. Selain itu, Kakek juga memberikan kebebasan dan kesempatan kami untuk mengembangkan usaha masing-masing. Aku menatap Mas Andi, berharap dia menjawab dengan benar. Karena sampai sekarang, kami belum berbicara sejauh itu. “Kami akan sewa rumah, Kek,” jawab Mas Andi membuatku kesal. “Sebentar Kek! Aku mau ngomong sama Mas Andi,” pintaku memohon izin. Ingin protes, tapi aku tidak bisa membantah Mas Andi di depan Kakek. Aku menarik Mas Andi ke sudut ruangan saat itu juga. Mata kakek memberi isyarat. Dia tetap duduk dengan tenang. Sekarang, hanya ada aku dan Mas Andi di sudut ruangan. “Kamu serius? Kita baru kenal dan pekerjaanmu aja enggak jelas. Kamu belum menghitung biaya sewa di Serayan, semuanya mahal-mahal, kan?” tanyaku dengan alis sedikit naik dari normal. Dia hanya tersenyum mendengar semua ucapanku. Dia memegang pundakku dengan santai. “Tenang aja! Masih ada rumah murah. Tapi lokasinya di pinggiran dekat mal Srikandi. Di sana tetangganya dari kaum rendah, seperti pemulung, dan tukang parkir." Kedua mataku membelalak. Tapi, aku terus mendengarkan penjelasannya. "Kira-kira, kamu mau nggak tinggal di tempat kumuh seperti itu?” tanya Mas Andi. Sedetik pun, aku tidak pernah membayangkan akan tinggal di tempat seperti itu. Tempat kumuh yang rawan kejahatan dan sebagainya. Aku pasti harus beradaptasi cukup lama. Aku tidak sanggup. “Nggak. Aku nggak mau,” tolak ku, membuat Mas Andi sedikit kecewa. Aku meninggalkan dia kembali duduk dengan diam. Suasana menjadi sunyi sampai akhirnya, aku membuat kepustakaan. “Oke, aku ikut Mas Andi,” jawabku yang dibalas senyuman Kakek. Tiba-tiba, Mas Andi memelukku dari belakang. Dari kejauhan, aku melihat mata kakek tersenyum ke arah kami. Aku merasa sudah membuat keputusan baik.Malam ini, aku menempatkan rumah sewa. Rumah sederhana dengan perabotan yang tidak banyak. Aku sedang berada di kamar berbicara dengan seseorang yang mengajakku bisnis di saluran telepon. “Kamu harus balikin uangku sesuai perjanjian!” “Namanya bisnis, kalo udah bangkrut di tanggung bersama. Mulai saat ini, jangan hubungi aku lagi!” Panggilan itu ditutup begitu saja. Tapi dia hanya memanfaatkan aku dan menipuku. Mas Andi terlihat memperhatikan dari depan pintu kamar. Aku tetap tidak fokus dengan kehadirannya, bahkan air mataku jatuh juga kubiarkan. “Kamu baik-baik aja?” tanya Mas Andi yang membuatku mengangkat kepala. “Yang mas Andi liat, gimana? Apa masih baik-baik saja?” Aku tidak peduli dengannya. Padahal dia baru saja pulang bekerja serabutan seperti biasanya. “Kamu sadar nggak, mas? Semua masalah ekonomi yang aku hadapi saat ini adalah salahmu!” Semua kekesalan, aku limpahkan ke Mas Andi, tapi dia tetap tidak marah. Bahkan dia masih tenang mendengarkan omelanku.
Mas Andi masih terus bertahan, bahkan dia tetap tenang. Justru aku yang semakin merasa terhina menariknya dengan paksa. “Mas! Ayo pergi dari sini! Jangan rendahkan dirimu lagi!” teriakku menarik paksa tangan mas Andi. Entah kekuatan dari mana yang membuatku bisa menarik mas Andi. Kami berjalan menjauh dari Ibu sampai berada di dekat pintu gerbang. Tiba-tiba, sosok penolongku hadir lagi. Tangan keriput itu menggenggam tangan kiriku. “Jangan memberontak! Ayo ikut Kakek!" Sebuah perintah yang tidak dapat ditolak, refleks tubuhku juga mengikuti lagkahnya. “Ayah!" seru Ibuku dengan suara pelan dan kaku. Kakek Wicaksono menatap penuh amarah ke arah Ibu. Sontak, membuat Ibu semakin menunduk. Mungkin aku akan menang kali ini, tapi Ibuku tidak mungkin akan semudah itu menerimaku kembali. “Dasar menantu tidak tau diuntung!” Bentakan itu diikuti tangannya yang melayang di pipi Ibu. Saat itu juga, terlihat membekas merah di pipinya yang putih. Bahkan matanya menatap tajam ke arah
Aku tertunduk dan meneteskan air mata setelah melontarkan pertanyaan itu, memang konyol. Tapi sangat masuk akal bagiku saat ini.Tangan lembut itu menyapu pundakku, bersama dengan suara khasnya kakek Wicaksono berusaha menenangkanku lagi.“Inggit, jangan pernah bertanya seperti itu lagi. Mungkin Ibumu saja, yang salah dalam memperlakukan kalian. Sekarang kamu turuti saja, sementara kamar belakang tidak buruk-buruk amat,” jelasnya.Napas panjang yang kuhembuskan, terasa sekali melepas kekesalan. “Baiklah,” jawabku singkat. Kami menuju kamar belakang, sebuah ruangan yang tidak pernah di huni. Bahkan pembantu sekalipun enggan menginjakkan kakinya di sini. “Kakek pulang saja, di sini terlalu berdebu. Bahkan ada banyak kotoran tikus. Inggit takut nanti alergi Kakek kumat,” pintaku, sambil menyibak sarang laba-laba.Kakek Wicaksono tersenyum, menepuk pundakku. Dia akhirnya pergi meninggalkan kami. “Biar mas saja yang membereskan,” ujar mas Andi lembut, aku sebenarnya kesal sama dia tapi
“Sadar Inggit,” gumamku yang membujuk diri sendiri, “Tapi itu sesuatu yang sayang untuk di lewatkan. Lagian dia suamiku, jadi enggak masalah aku menikmatinya.” Entah sisi lainku yang lain berusaha mempengaruhi agar diri ini lepas kendali.Sampai aku benar-benar tersadar dan lompat turun dari tempat tidur, aku malu saat mas Andi membuka matanya. Hal itulah yang menyadarkan diri ini, dari perbuatan konyol.“Kenapa Ngiit?” Pertanyaan mas Andi membuatku makin salah tingkah.“Eng-nggak, Mas. A- anu, Inggit mau mandi dulu,” kilahku yang panik. Mas Andi terlihat menggelengkan kepala sambil tersenyum, matanya menatapku begitu dalam. Hal seremeh itu juga membuatku salah tingkah saat meninggalkannya ke kamar mandi. Sekonyol salah ambil handuk, dengan selimut yang dia kenakan.“Mau mandi atau mau tidur lagi,” godanya yang membuat wajah ini memerah. Aku yang sangat malu, buru-buru melepas selimut itu dan menarik handuk yang berada di dekat kursi. Langkahku cepat menuju kamar mandi sampai saat
Rasanya kenyal menempel di bibir bahkan tidak hanya itu yang kurasakan, juga ada rasa lembek dan sedikit ada lendirnya, begitu aku membuka mata. “ Huek ... huek ....” Perut ini mual tidak karuan, sebuah kecoa yang mati menempel di dinding menyentuh bibirku.Perasaan mual belum hilang lengkap menjadi kesal, saat melihat wajah mas Andi yang menahan tawa di dalam kamar mandi.“Mending juga nabrak bibirku,” gumamnya dengan tawa tersunging, gigi putihnya menjadi hiasan yang membuat aku semakin dongkol.“Puas! Punya suami kok gini banget,ya!” umpatku kesal, meninggalkan dia begitu saja di kamar mandi.Suara sikat dan air menjadi alunan musik di tengah rasa kesalku kali ini, ditambah suara riuh di dalam perut yang menandakan waktunya menambah energi kampung tengah. “Mas, sudah belum?” tanyaku sembari tetap duduk di atas tempat tidur.Mas Andi tidak bersuara sama sekali, sepertinya dia sibuk membersihkan kamar mandi sampai suaraku tidak terdengar. Aku mengentakkan kaki berjalan dengan berkaca
“Tapi aku lapar, Mas.” Dengan suara pelan aku berbicara di samping mas Andi.“Sabar, nanti kamu bisa makan. Tunggu di sini dulu ya Mas berangkat kerja, bentar saja,” bujuknya.Bibirku manyun tidak terima, ‘Emang dia mau bawa makanan dari mana? Mau berangkat kerja terus bawa makanan, secepat apa dia dapat uang? Buat bayar kos saja enggak bisa.' Itulah pikiran yang aneh melintas begitu saja.“Kenapa bengong?” tanya mas Andi yang menatap wajahku yang masih manyun. Aku hanya mendengkus dan meninggalkannya begitu saja tanpa menjawab pertanyaanya, agar dia paham kalau aku marah atas saran tidak masuk akalnya itu.Baru saja pintu terbuka nyonya besar Ana Rahma sudah berdiri di hadapanku saat ini, dengan kedua tangannya terlipat di depan, menatapku bagai tersangka.“Inggit, kamu lupa sama perjanjian semalam? Ibu tunggu dari pagi, suamimu yang miskin itu bahkan tidak terlihat batang hidungnya.” Mendengar setiap kata demi kata yang keluar dari bibir Ibuku, seperti aku merasa terlahir dari timun
Spontan taganku terhenti, bukannya Ibu yang tersiram air pel kali ini. Tap, Vanya yang basah kuyup saat melintas di depanku.“Apa-apaan ini!” jeritnya dengan wajah bayah kuyup dari rambutnya, hingga ke seluruh pakaian yang semula kering juga ikutan basah.Secepat mungkin aku membuang diriku, agar terkesan terpleset. “Maaf aku gak sengaja,” ungkapku menahan tawa.Bersyukur Vanya yang kena, seandainya Ibu habislah aku. Tapi setidaknya dengan begini aku merasa puas, buat balas kekesalan terhadap keluargaku sendiri.“Ibu ... Inggit pasti sengaja,” rengeknya kesal.Seseorang membantuku bangun dari posisi terduduk di lantai. “Mana mungkin dia sengaja, buktinya dia terduduk di lantai.”Aku menoleh ke asal suara dan pria yang menolongku bangkit, “ Ayah,” lirihku berbisik.Pertama kali dalam hidupku dia membuka suara, bahkan aku sangat terkejut dia bisa datang tepat waktu saat ini. Sosok pria yang sempat menghilang dalam anganku, seperti kembali lagi.“Tapi, gara-gara air pel ini. Lihat Ayah, b
Napas mas Andi semakin terasa dekat di wajahku, oh Tuhan kenapa aku masih harus merasa takut. Pria ini suamiku, walau kami menikah karena perjodohan setidaknya kami sudah tinggal bersama dalam beberapa bulan ini. Kami juga sudah tidur dalam tempat tidur yang sama.“Mas!” Aku menghentikan wajah itu semakin dekat, refleks yang begitu saja terjadi dari tubuh yang masih belum mau menerimanya.“Kenapa?” tanyanya yang di ikuti jemarinya, yang masih berusaha menepis tanganku.“Tempat umum,” jawabku mencari alasan yang tidak masuk akal.“Lalu, ada masalah? Kamu istriku Inggit. Emang salah ya, kalau aku memegang bibirmu dan menatap wajahmu dari dekat?” tanyanya , suaranhya yang lembut semakin menganggu jantugku.Aku menghela napas panjang, berusaha mengatur napas. Aku tidak mau mas Andi sadar, kalau saat ini aku terserang perasaan menegangkan.“Kamu diam, berarti kamu belum bisa menerima keberadaanku,” ucapnya kecewa.Aku menelan saliva, merasa sudah membuat mas Andi kecewa. Dia sudah terlalu b
Di tempat kerja, ketegangan semakin terasa. Orang-orang mulai lebih terbuka dengan sikap mereka, dan setiap kata yang terlontar membuat hatiku semakin tergerus.“Nggit dengar-dengar kamu masih dari kasta Wicaksono,” celetuk seseorang yang bersama Lela, aku langsung terkejut mendengarpertanyaannya itu.Belum juga aku menjawab Lela langsung memotongnya, “Percuma kalau terlahir dari keluarga kasta tapi suaminya buruh serabutan.” Sambil tertawa Lela bersama temannya.“Benar perkataanmu Lela, aku jadi merasa kecewa dengan sistem kasta di kota ini. Karena, orang-orang seperti dia ini yanhg menjatuhkannya.” Mata wanita itu penuh ejekan aku sangat ingin membalasnya tapi Lela seperti menyadari apa yang ingin aku lakukan.“Sudahlah, pergi dari sini, buang-buang waktu saja,” ucap Lela yang melempar tawa padaku.Sebelum mereka pergi Lela berbisik tajam, &ldq
Pagi itu, seperti biasa, aku dan mas Andi berangkat bekerja bersama. Tapi suasana di antara kami berbeda, ada ketegangan yang tersisa di udara, meskipun kami berusaha terlihat biasa saja. Kami berjalan di sepanjang trotoar, kaki kami terbenam dalam pemikiran masing-masing. Aku bisa merasakan beban di pundaknya, entah mengapa, aku merasa beban itu sekarang juga menjadi milikku.Di tempat kerja, aku berusaha fokus. Namun, segala sesuatu yang terjadi di luar pekerjaanku terus mengganggu pikiranku. Lela, teman-temanku dan semua suara yang meremehkan mas Andi seperti bayangan yang menempel di kepala. Setiap tatapan, setiap bisikan yang mereka lemparkan, aku tahu bahwa ini tidak akan pernah berakhir. Mereka tak akan berhenti berusaha mengubah pikiranku tentang mas Andi.“Nggit, aku mau antar ini dulu ke gudang,” ucap Windi, yang mengagetkanku dari lamunan.“Oh, iya.”Aku membalas singkat. Windi terlihat
"Inggit, aku tidak mengerti kenapa kamu bertahan dengan orang seperti Andi," suara Lela memecah keheningan di ruang tamu. Suaranya terdengar lembut, tapi menyimpan nada tajam yang tak bisa disembunyikan.Aku meletakkan cangkir teh yang belum sempat kuminum, merasa dadaku mendidih. "Lela, Andi adalah suamiku. Kenapa kamu bicara seolah-olah aku tidak punya pilihan dalam hidupku?"Lela mendekatkan dirinya padaku, menatap lurus ke mataku dengan ekspresi prihatin yang dibuat-buat. "Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Nggit. Kamu tahu aku selalu mendukungmu. Kamu perempuan cerdas, punya pekerjaan bagus, cantik. Kamu bisa hidup dengan seseorang yang sepadan. Kenapa harus mempertahankan dia?"Aku menarik napas panjang, berusaha menjaga agar emosiku tidak meledak di hadapannya. Tangan Andi yang kurasakan di bahuku tadi pagi, masih terasa seperti bayang-bayang perlindungan yang dia berikan. "Lela, mas Andi mungkin bukan orang ka
Esoknya, aku kembali bekerja dengan pikiran yang penuh amarah terpendam. Pekerjaan yang seharusnya bisa kuselesaikan dengan tenang terasa begitu sulit, setiap suara, setiap pandangan dari rekan-rekan kerja seperti membawa kembali semua hinaan dan ejekan yang selama ini mereka lemparkan pada mas Andi.“Win aku ijin istirahat lebih dulu, ya? Soalnya aku mau nemuin, teman sekolahku dulu,” ujarku saat itu yang di balas anggukan oleh Windi.Di waktu istirahat, aku tidak bisa menahan diriku lagi. Aku mendekati Lela, yang sedang duduk dengan rekan-rekan lain di kantin. Mereka berhenti berbicara saat aku tiba, aku bisa merasakan ketegangan yang mulai terbentuk."Lela, kita perlu bicara."Aku memanggilnya, berdiri tepat di depannya duduk.Dia mendongak, tampak terkejut menatap wajahku, tapi berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya. "Ada apa, Nggit?"Aku menatapnya tajam, tak
Detik itu juga, kata-katanya seperti pisau yang menusuk hatiku. Aku berdiri terpaku, tidak percaya bahwa kata-kata penuh kebencian itu keluar dari mulut adikku sendiri. Aku mencoba bicara, namun suaraku seakan tercekat di tenggorokan. Mas Andi menggenggam tanganku, memberi isyarat agar aku tidak tersulut lebih jauh.Namun, emosi itu sudah tak terbendung lagi. Aku menarik napas panjang, lalu menatap Vanya dengan tatapan penuh luka dan kekecewaan. "Kamu tahu, Vanya, kebencianmu ini tidak akan membawamu ke mana-mana. Kamu boleh menghina mas Andi, tapi jangan lupa, Kakek memilihnya untukku dengan sadar, dengan sepenuh hati. Kalau kamu tidak bisa menghargainya, maka mungkin kamu juga tidak perlu menghargai kakek sebagai orang tertua di keluarga ini."Wajah Vanya mengeras, tapi dia memilih diam, tak lagi membalas. Kami berdiri dalam keheningan yang menusuk, sampai akhirnya mas Andi menarikku pergi, mengakhiri pertikaian yang terasa membekas dalam benakku.“Ayo kita jalan-jalan lagi, biar te
"Apa-apaan ini, kalian? Baru pulang sudah membuat keributan lagi!" Ibu berkata dengan nada penuh ketidaksukaan. Tatapannya langsung tertuju pada Mas Andi, seolah mencari alasan untuk menyalahkannya lagi."Ibu, ini tidak benar," ujarku, mencoba menahan emosi. "Vanya menuduh Mas Andi tanpa bukti!"Namun, Ibu hanya mendengus dan aku bisa melihat ketidakpedulian dalam matanya. "Perhiasan itu mahal, Inggit. Dan bukankah sudah jelas siapa yang paling mungkin menginginkannya?"Aku merasa darahku mendidih. Mereka memperlakukan Mas Andi seolah dia bukan bagian dari keluarga, seolah dia adalah ancaman. Aku memandang wajah Mas Andi, yang tetap tenang, tapi aku tahu di dalam dirinya, ada amarah yang sedang ditahan.Akhirnya, Mas Andi angkat bicara, suaranya pelan namun tegas. "Saya tidak pernah mencuri, Bu. Apa yang Ibu tuduhkan terlalu jauh."Mata Ibu berkilat dan Mas Andi berbalik pada Vanya. "Coba cari baik-baik, Vanya. Pastikan di mana terakhir kamu meletakkannya. Jangan sembarangan menuduh o
Aku baru merasa lega setelah mendengar penjelasan Mas Andi. Akhirnya masalah uang yang diminta Ibu bisa kami selesaikan tanpa drama tambahan. Namun, naluri dalam diriku seolah terus memanas, memberi firasat bahwa kedamaian ini tidak akan bertahan lama. Apa lagi yang akan Ibu lakukan pada kami? Pikiran itu membuat langkahku terasa berat saat aku dan Mas Andi berjalan menuju mal Srikandi.Di mal, aku memperhatikan gerak-gerik Mas Andi yang sedikit berbeda. Mas Andi terlihat berbisik pada staf Office, lalu menerima sesuatu yang mirip dengan kunci mobil. Kecurigaan langsung menjalar dalam pikiranku. Aku berusaha mendekat tanpa terlihat, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, saat itu juga, seseorang muncul dari arah belakangku. Mas Gunawan, kakak iparku yang bekerjadi juga di mal ini."Sedang apa kamu di sini, Andi?" suara Mas Gunawan terdengar penuh kecurigaan, seperti seorang penjaga yang baru saja menemukan penyusup.Mas Andi terlihat tenang, tetapi nada suaranya tetap rendah.
"Pagi sayang," sapaku.Mas Andi terlihat enggan bangkit dari tempat tidur, aku segera keluar untuk membuat sarapan. Tiba-tiba suara Ibu terdengar mengomel menghampiriku."Nggit, coba kamu tidak menikah dengan dia, kamu pasti tidak harus bersusah payah," ocehnya lagi membuat kupingku panas."Kenapa sih Bu itu terus dibahas, nggak ada habisnya," balas Inggit.Aku lanjut memasak sambil mencuci piring di wastafel, sampai suara Ibu terdengar lagi. Semakin menyulut emosiku."Padahal Arga itu mapan, kamu bisa hidup tanpa harus bekerja dan bersusah payah," ungkap Ibuku yang membuatku geram."Terus kenapa Ibu masih mau? Waktu kakek menawarkan Andi menikah denganku, Ibu takut melawan kakek?" tanyaku yang membuat Ibu langsung membanting pintu kamar mandi.Aku terkejut, jantungku seperti mau copot, bahkan saat ini di pikiranku semua penghuni di dalam rumah juga bangun akibat suara bantingan pintu itu. Tapi, aku pikir sudah berhenti sampai di situ saja, suara kesunyian kembali menemaniku sampai ter
Setiap malam, aku merenungkan keputusan untuk mengambil langkah ini. Mas Andi selalu ada di sampingku, menguatkan hatiku. Dia tidak pernah mengeluh meski kami bekerja hingga larut malam.Suatu malam, saat kami sedang duduk di depan rumah setelah seharian bekerja, aku menatapnya. "Mas, terima kasih sudah selalu ada untukku. Aku merasa lebih kuat bersamamu."Mas Andi tersenyum. "Kita harus saling mendukung. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama."Namun, saat kami berusaha memperbaiki keadaan, Ibu tampaknya semakin kesal. "Kalian seharusnya bisa lebih baik! Pesta Wicaksono sudah dekat!" teriaknya.Hatiku mulai terbakar lagi. "Bu, kami berusaha! Kami tidak bisa memenuhi semua permintaan tanpa dukungan.""Tapi kamu memilih hidup dengan menantu miskin ini!" Ibu membalas dengan sinis.Aku merasa marah. "Mas Andi bukan hanya menantu, dia suamiku! Tidak ada yang bisa merendahkan dia!"Mendengar kata-kataku, Ibu seakan terdiam. Namun, dia segera menemukan cara untuk kembali menyerang. "Kamu