Mas Andi masih terus bertahan, bahkan dia tetap tenang. Justru aku yang semakin merasa terhina menariknya dengan paksa.
“Mas! Ayo pergi dari sini! Jangan rendahkan dirimu lagi!” teriakku menarik paksa tangan mas Andi. Entah kekuatan dari mana yang membuatku bisa menarik mas Andi. Kami berjalan menjauh dari Ibu sampai berada di dekat pintu gerbang. Tiba-tiba, sosok penolongku hadir lagi. Tangan keriput itu menggenggam tangan kiriku. “Jangan memberontak! Ayo ikut Kakek!" Sebuah perintah yang tidak dapat ditolak, refleks tubuhku juga mengikuti lagkahnya. “Ayah!" seru Ibuku dengan suara pelan dan kaku. Kakek Wicaksono menatap penuh amarah ke arah Ibu. Sontak, membuat Ibu semakin menunduk. Mungkin aku akan menang kali ini, tapi Ibuku tidak mungkin akan semudah itu menerimaku kembali. “Dasar menantu tidak tau diuntung!” Bentakan itu diikuti tangannya yang melayang di pipi Ibu. Saat itu juga, terlihat membekas merah di pipinya yang putih. Bahkan matanya menatap tajam ke arahku, seolah tidak terima atas tamparan kakek. Napasnya juga terasa sangat berat. Ibu terlihat geram sampai meneteskan air mata. “Setuju nggak setuju, mereka akan tinggal di rumah ini!” perintah Kakek denga nada tinggi. Seperti biasa, bukan Ibu kalau tidak menolak dengan keras. Ibuku mulai membuka suara. Dia mengajukan beberapa persyaratan yang harus kami setujui. “Ayah ini rumahku, bukan mansionmu,” jawabnya yang membuat Kakek naik pitam lagi, dan hampir menamparnya lagi. Aku segera mencegahnya. Aku menatap Kakek dan berusaha menahan emosinya. Mataku memohon agar kakek bisa mendengarkan dengan seksama apa yang akan diucapkan Ibuku lagi. “Semua yang di rumah ini, berlaku peraturanku. Kalau mereka berdua mau tinggal di sini, mereka harus membayar uang sewa setiap bulannya. Mereka juga harus mau mengerjakan semua pekerjaan rumah. Karena semua fasilitas yang mereka nikmati tidak ada yang gratis.” Aku merasa semakin kecewa. Sebelum aku menikah, saudaraku tidak ada yang diperlakukan seperti ini. Bahkan mereka juga hidup sesuka hati menikmati semua fasilitas yang ada. Mereka tidak harus melakukan pekerjaan rumah dan membayar sewa. Sebelum menikah, aku selalu memberikan uang bulanan untuk Ibu. Tapi sekarang, aku tidak bisa menikmati kehidupan yang gratis di rumah ini. “Kejamnya kamu Ana! Apa semua anak kamu perlakukan seperti ini?” tanya kakek Wicaksono. “Mereka sudah sangat membanggakan aku. Berbeda dengan menantu yang miskin ini.” Ibu menunjuk mas Andi sambil melotot. Aku segera meredakan amarah kakek, tapi mas Andi yang buka suara lebih dulu. Sebuah jawaban yang tidak sama dengan pemikiranku saat ini. “Kami bersedia, Bu. Saya yang akan melakukan semuanya. Asalkan itu bisa membuat Ibu senang, bahkan bisa membuat Inggit kembali ke rumah ini,” ucapnya, wajah mas Andi tetap tenang bahkan dia masih terus tersenyum. Aku yang melihat sikap suamiku ini, semakin geram. Bahkan aku ingin mengumpatnya. ‘Bodoh, kenapa kamu menerima persyaratan konyol itu? Kamu membuat aku semakin membenci Ibuku, Mas,’ batinku. “Mas, aku nggak setuju,” bisikku di telinganya. Dengan lembut dia mengenggam tangan ini erat. Bahkan dia memberikan senyuman yang begitu indah, berharap aku mau menyetujuinya kali ini. Aku menatap kakek Wicaksono. Pria tua itu juga memberikan mimik wajah yang meyakinkan. Dia ingin aku percaya dengan mas Andi. Hanya saja aku tidak rela jika melihat suamiku akan diperlakukan seperti babu di rumah mertuanya sediri. Bayangan-bayangan konyol mulai terlintas di kepalaku, teringat semua yang sudah aku lakukan sebelum menikah. Dari memasak, menyiapkan sarapan sampai membersihkan rumah aku lakukan selama ini. Sedangkan Vanya dan Naysila tidak pernah mau membantu sedikitpun. Mereka selalu beralasan megurus anaknya bahkan sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan sosialitanya. “Huff... baiklah, aku akan menurut kali ini. Tapi suatu saat, jika aku tidak kuat kita segera pindah. Aku mau menabung agar kita bisa pergi dari tempat ini secepatnya.” Andi memelukku saat itu juga. Dia paham sikap pasrah ku ini membuatku tersiksa. “Kalian tidur di kamar belakang untuk sementara. Karena, kamarmu saat ini sedang dipakai Vanya. Dia lagi renovasi kamarnya,” ujar Ibuku. Dia meninggalkan kami begitu saja. Aku yang ingin protes, tapi Kakek menahanku. “Kakek, bisa nggak sekali saja izinkan aku marah? Sebenarnya Inggit ini siapa, sih?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Wajah Kakek Wicaksono yang berusaha menenangkan emosi ini juga tidak bisa mempengaruhiku.Aku tertunduk dan meneteskan air mata setelah melontarkan pertanyaan itu, memang konyol. Tapi sangat masuk akal bagiku saat ini.Tangan lembut itu menyapu pundakku, bersama dengan suara khasnya kakek Wicaksono berusaha menenangkanku lagi.“Inggit, jangan pernah bertanya seperti itu lagi. Mungkin Ibumu saja, yang salah dalam memperlakukan kalian. Sekarang kamu turuti saja, sementara kamar belakang tidak buruk-buruk amat,” jelasnya.Napas panjang yang kuhembuskan, terasa sekali melepas kekesalan. “Baiklah,” jawabku singkat. Kami menuju kamar belakang, sebuah ruangan yang tidak pernah di huni. Bahkan pembantu sekalipun enggan menginjakkan kakinya di sini. “Kakek pulang saja, di sini terlalu berdebu. Bahkan ada banyak kotoran tikus. Inggit takut nanti alergi Kakek kumat,” pintaku, sambil menyibak sarang laba-laba.Kakek Wicaksono tersenyum, menepuk pundakku. Dia akhirnya pergi meninggalkan kami. “Biar mas saja yang membereskan,” ujar mas Andi lembut, aku sebenarnya kesal sama dia tapi
“Sadar Inggit,” gumamku yang membujuk diri sendiri, “Tapi itu sesuatu yang sayang untuk di lewatkan. Lagian dia suamiku, jadi enggak masalah aku menikmatinya.” Entah sisi lainku yang lain berusaha mempengaruhi agar diri ini lepas kendali.Sampai aku benar-benar tersadar dan lompat turun dari tempat tidur, aku malu saat mas Andi membuka matanya. Hal itulah yang menyadarkan diri ini, dari perbuatan konyol.“Kenapa Ngiit?” Pertanyaan mas Andi membuatku makin salah tingkah.“Eng-nggak, Mas. A- anu, Inggit mau mandi dulu,” kilahku yang panik. Mas Andi terlihat menggelengkan kepala sambil tersenyum, matanya menatapku begitu dalam. Hal seremeh itu juga membuatku salah tingkah saat meninggalkannya ke kamar mandi. Sekonyol salah ambil handuk, dengan selimut yang dia kenakan.“Mau mandi atau mau tidur lagi,” godanya yang membuat wajah ini memerah. Aku yang sangat malu, buru-buru melepas selimut itu dan menarik handuk yang berada di dekat kursi. Langkahku cepat menuju kamar mandi sampai saat
Rasanya kenyal menempel di bibir bahkan tidak hanya itu yang kurasakan, juga ada rasa lembek dan sedikit ada lendirnya, begitu aku membuka mata. “ Huek ... huek ....” Perut ini mual tidak karuan, sebuah kecoa yang mati menempel di dinding menyentuh bibirku.Perasaan mual belum hilang lengkap menjadi kesal, saat melihat wajah mas Andi yang menahan tawa di dalam kamar mandi.“Mending juga nabrak bibirku,” gumamnya dengan tawa tersunging, gigi putihnya menjadi hiasan yang membuat aku semakin dongkol.“Puas! Punya suami kok gini banget,ya!” umpatku kesal, meninggalkan dia begitu saja di kamar mandi.Suara sikat dan air menjadi alunan musik di tengah rasa kesalku kali ini, ditambah suara riuh di dalam perut yang menandakan waktunya menambah energi kampung tengah. “Mas, sudah belum?” tanyaku sembari tetap duduk di atas tempat tidur.Mas Andi tidak bersuara sama sekali, sepertinya dia sibuk membersihkan kamar mandi sampai suaraku tidak terdengar. Aku mengentakkan kaki berjalan dengan berkaca
“Tapi aku lapar, Mas.” Dengan suara pelan aku berbicara di samping mas Andi.“Sabar, nanti kamu bisa makan. Tunggu di sini dulu ya Mas berangkat kerja, bentar saja,” bujuknya.Bibirku manyun tidak terima, ‘Emang dia mau bawa makanan dari mana? Mau berangkat kerja terus bawa makanan, secepat apa dia dapat uang? Buat bayar kos saja enggak bisa.' Itulah pikiran yang aneh melintas begitu saja.“Kenapa bengong?” tanya mas Andi yang menatap wajahku yang masih manyun. Aku hanya mendengkus dan meninggalkannya begitu saja tanpa menjawab pertanyaanya, agar dia paham kalau aku marah atas saran tidak masuk akalnya itu.Baru saja pintu terbuka nyonya besar Ana Rahma sudah berdiri di hadapanku saat ini, dengan kedua tangannya terlipat di depan, menatapku bagai tersangka.“Inggit, kamu lupa sama perjanjian semalam? Ibu tunggu dari pagi, suamimu yang miskin itu bahkan tidak terlihat batang hidungnya.” Mendengar setiap kata demi kata yang keluar dari bibir Ibuku, seperti aku merasa terlahir dari timun
Spontan taganku terhenti, bukannya Ibu yang tersiram air pel kali ini. Tap, Vanya yang basah kuyup saat melintas di depanku.“Apa-apaan ini!” jeritnya dengan wajah bayah kuyup dari rambutnya, hingga ke seluruh pakaian yang semula kering juga ikutan basah.Secepat mungkin aku membuang diriku, agar terkesan terpleset. “Maaf aku gak sengaja,” ungkapku menahan tawa.Bersyukur Vanya yang kena, seandainya Ibu habislah aku. Tapi setidaknya dengan begini aku merasa puas, buat balas kekesalan terhadap keluargaku sendiri.“Ibu ... Inggit pasti sengaja,” rengeknya kesal.Seseorang membantuku bangun dari posisi terduduk di lantai. “Mana mungkin dia sengaja, buktinya dia terduduk di lantai.”Aku menoleh ke asal suara dan pria yang menolongku bangkit, “ Ayah,” lirihku berbisik.Pertama kali dalam hidupku dia membuka suara, bahkan aku sangat terkejut dia bisa datang tepat waktu saat ini. Sosok pria yang sempat menghilang dalam anganku, seperti kembali lagi.“Tapi, gara-gara air pel ini. Lihat Ayah, b
Napas mas Andi semakin terasa dekat di wajahku, oh Tuhan kenapa aku masih harus merasa takut. Pria ini suamiku, walau kami menikah karena perjodohan setidaknya kami sudah tinggal bersama dalam beberapa bulan ini. Kami juga sudah tidur dalam tempat tidur yang sama.“Mas!” Aku menghentikan wajah itu semakin dekat, refleks yang begitu saja terjadi dari tubuh yang masih belum mau menerimanya.“Kenapa?” tanyanya yang di ikuti jemarinya, yang masih berusaha menepis tanganku.“Tempat umum,” jawabku mencari alasan yang tidak masuk akal.“Lalu, ada masalah? Kamu istriku Inggit. Emang salah ya, kalau aku memegang bibirmu dan menatap wajahmu dari dekat?” tanyanya , suaranhya yang lembut semakin menganggu jantugku.Aku menghela napas panjang, berusaha mengatur napas. Aku tidak mau mas Andi sadar, kalau saat ini aku terserang perasaan menegangkan.“Kamu diam, berarti kamu belum bisa menerima keberadaanku,” ucapnya kecewa.Aku menelan saliva, merasa sudah membuat mas Andi kecewa. Dia sudah terlalu b
“Mas, sudah istirahatnya?” tanyaku yang sudah tidak sabar.“Kenapa, Nggit,” balasnya yang pandangannya, entah mengedar ke seluruh mal Srikandi.Aku mengatur napas dan kata-kata, takut mas Andi tersingung. Tapi, Aku juga butuh jawaban yang masuk akal tentang belanjaan yang mas Andi bawa.“Belanjaan ini, bagaimana cara Mas bayarnya?” tanyaku, walau dalam hati ada perasaan tidak enak. Saat ini mungkin mas Andi memikirkan bahwa, aku tidak percaya dengan dia atau aku juga meremehkan dia seperti keluargaku.“Oh, ini tadi aku ....” Belum juga mas Andi selesai bicara ada orang yang menghampiri Kami.“Pak Andi, ini sisa uang hadiah lomba makan bubur tadi,” jelas pria dengan tubuh gempal, yang keringatnya saja sampai terlihat menetes di pipinya.Aku tertegun memandang pria asing di hadapanku saat ini, bukan fokus pada apa yang dia bawa dan inggin di berikan kepada mas Andi.‘Pasti Bapak ini laari bersusah payah mengejar mas Andi,' batinku menebak-nebak.“Oh, iya. Maaf Pak tadi saya terburu-buru
Mataku terpejam saat itu juga sampai bibir kami akhirnya saling bertemu, Aku yang tersadar cepat melepasnya. Lalu dengan malu-malu mundur teratur, mengambil boneka Beruang yang masih berada di dalam box mesin capit.Ternyata wajah mas Andi juga memerah sepertiku, sekilas aku melihatnya dan langsung berbalik tersipu malu sambil terkekeh kecil.“Ayo mas, ini sudah lama sekali, bahkan sudah mau sore,” ajakku.“Kita beli makanan masak saja, pasti sampai rumah kamu sudah lelah.” Aku mengangguk mendengar saran mas Andi, hanya saja melihat lembaran uang yang dia keluarkan untuk membeli makanan masak membuat aku tidak rela.Rasa hati ingin melarang, apa daya sudah dipesan. ‘Sayang banget sih duitnya, hari ini kita beruntung belum tentu besok Mas bakalan bisa dapat duit sebanyak itu lagi,’ batinku.Bahkan aku mengigit-gigit ujung bibir merasa banyak sekali yang dibelanjakan mas Andi. Pasti ini akan menjadi masalah lagi nantinya, Ibu akan bertanya banyak hal.Bagaimana kami mendapatkan uang? Ke
"Kalau kamu merasa dirugikan, Gunawan," Laras melanjutkan dengan senyum yang penuh arti, "lebih baik kita bicara seperti orang dewasa. Tidak perlu mengerahkan tangan untuk membuktikan siapa yang lebih kuat. Kalau mau berdebat, mari berdiskusi dengan tenang." Nadanya sepertinya sedikit mengejek, namun tetap penuh dengan kelas dan kecerdasan. Laras selalu punya cara untuk melontarkan sindiran tanpa kehilangan kewibawaannya.Gunawan menatap Laras dengan penuh kebencian, namun dia tidak melawan. Ada semacam kebingungan yang terpancar dari wajahnya dan aku tahu, dia sedang berjuang untuk mengendalikan dirinya.Tapi, apa yang bisa dilakukan seseorang yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia bukanlah satu-satunya yang berkuasa? Aku bisa merasakan ketegangan semakin meningkat, tapi ada hal yang lebih besar yang sedang terjadi di balik semua ini.Mas Andi, dengan ketenangannya, malah menunjukkan pada kita bahwa kadang keheningan lebih berbicara banyak daripada kemarahan.Aku menyandarkan p
Suasana ruangan itu terasa begitu padat. Ketegangan yang semula meletup, kini mulai mereda, namun ada bekasnya. Aku bisa merasakan udara di sekelilingku yang terasa berat. Andi, meskipun baru saja dijatuhkan dan dihina dengan begitu kejam, tetap berdiri tegak.Ada ketenangan dalam dirinya yang benar-benar memukau. Aku selalu tahu dia tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, tapi aku tak pernah menyangka dia bisa tetap sabar dan tenang dalam kondisi yang begitu memanas.Mas Andi menatap Gunawan sejenak, matanya tajam, tetapi tidak menunjukkan rasa marah sedikit pun. Dia mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk karena luka kecil akibat terjatuh dan dengan senyum tipis, dia berkata, “Saya mungkin jatuh, tapi itu tidak membuat saya kalah. Kalau ada yang mau berdiskusi lebih jauh, saya di sini.”Aku terdiam sesaat, terkesima oleh cara Mas Andi menghadapinya. Dia begitu santai, bahkan bisa tersenyum dalam situasi yang hampir tidak bisa dipercaya ini. Setiap kata yang keluar dari mulutnya t
“Tidak masuk akal,” gumam Naysila yang menatapku tajam.Aku merasakan ketegangan yang semakin membara di ruangan itu. Suara detak jantungku terdengar begitu keras, hampir bersaing dengan suara langkah kaki Gunawan yang kini berdiri dengan ekspresi yang tidak bisa kuartikan. Semua mata tertuju padanya, dan aku bisa merasakan hawa panas yang mulai menyelimuti ruangan. Aku tahu dia pasti marah, marah yang meledak-ledak dan tak terkendali.Gunawan berdiri dengan wajah yang memerah, seolah amarahnya memuncak. "Kek," katanya dengan suara yang hampir bergetar karena kekesalan. "Apa ini tidak terlalu berlebihan? Andi bahkan belum lama menjadi bagian dari keluarga besar ini. Saya yang sudah lama mengabdi dan bekerja keras, kok bisa begitu saja disingkirkan? Ini tidak adil!"Aku menatap Gunawan dengan cemas. Suaranya menggelegar, mengisi ruang makan yang sebelumnya tenang. Aku bisa merasakan gemuruh amarahnya yang hampir tidak bisa dibendung.“Ini bukan keputusanku, akupun tidak tau kalau Andi
Kata-kata itu menggantung di udara seperti petir yang menggelegar. Aku bisa merasakan dadaku berdetak lebih cepat, hatiku penuh dengan pertanyaan. “Komisaris Bramasta Group?” pikirku, masih mencoba mencerna apa yang baru saja Kakek katakan.Bramasta Group adalah nama besar yang tak bisa dipandang sebelah mata. Itu adalah sebuah kerajaan bisnis yang menguasai banyak sektor, dari properti hingga teknologi, dan memiliki jaringan yang sangat kuat. Jadi, bagaimana bisa Andi, yang selama ini dianggap hanya sebagai “kurir,” menjadi perwakilan resmi yang dipercayakan untuk membawa pesan dari mereka?Aku menatap mas Andi dengan rasa bangga yang semakin dalam, meskipun aku tahu bahwa ini adalah awal dari sebuah babak baru yang penuh tantangan dan ketidakpastian. Namun, aku juga bisa merasakan adanya sebuah kegelisahan dalam hatiku. Bagaimana jika Kakek mengharapkan terlalu banyak dari mas Andi? Apa yang sebenarnya akan terjadi selanjutnya?Ibu Ana yang duduk di sebelahku, terlihat semakin pucat
“Apa itu saya, Kek? Tentu saya siap untuk mewakili The Next King Bramasta,” kata Gunawan dengan nada yang lebih tinggi, seolah-olah sudah menganggap dirinya sebagai pilihan utama. Matanya sedikit menyipit, berharap agar Kakek menanggapi dengan cara yang sama seperti yang dia harapkan.Namun, Kakek hanya mengangguk pelan, memberikan jeda yang semakin menambah ketegangan di ruangan itu. Semua orang, termasuk aku, menunggu dengan cemas. Apa yang akan Kakek katakan selanjutnya?Aku setelah mendengar ucapan Gunawan juga sempat berpikir hal yang sama, kalian tau dia posisinya juga lumayan tinggi di mal Srikandi untuk keluarga Wicaksono di banding yang lainnya.Kakek kemudian mengalihkan pandangannya ke arah mas Andi dan sebuah senyum tipis muncul di bibirnya. “Tentu, saya rasa Andi yang akan menjadi perwakilan beliau. Dia yang akan menyampaiakan pesan dari The Next King Bramasta,” ujar Kakek dengan tegas.Suasana di ruangan itu seketika menjadi hening. Gunawan, yang tadinya merasa yakin bah
Suasana yang tadinya sedikit tegang dan penuh sindiran berubah seketika. Saat pintu ruang makan terbuka dengan suara berderit, semua mata langsung tertuju pada sosok yang masuk. Kakek Wicaksono, yang selalu memiliki daya tarik tak terelakkan, berdiri dengan tegap di ambang pintu. Semua tamu yang semula tenggelam dalam percakapan mereka langsung berdiri, memberikan penghormatan dengan sikap yang penuh respek, seolah-olah dunia di sekitar kami tiba-tiba berhenti sejenak.Kakek Wicaksono adalah pusat gravitasi di keluarga ini dan kehadirannya selalu membuat ruang penuh dengan wibawa, tanpa perlu berkata banyak. Senyum ramah namun penuh kekuatan itu, yang selalu aku lihat sejak kecil, masih sama, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menyiratkan bahwa dia membawa kabar penting.“Apa kabar, semuanya?” Kakek menyapa dengan suara tegas namun penuh kehangatan. Matanya yang tajam memindai satu per satu wajah yang hadir, memberi kesan bahwa dia mampu menilai apa pun hanya dengan
“Apa aku terlalu keras tadi?” bisik Laras, sembari menyesap air mineral dari gelasnya.Aku menggeleng kecil. “Tidak, kamu melakukan hal yang benar. Mereka butuh mendengar itu, terutama Gunawan.”Walau sebenarnya aku tahu, pasti mereka akan melakukan segala cara untuk membuat mas Andi dan aku malu nantinya. Hanya sampai saat ini kakek Wicaksono masih belum terlihat.Laras tersenyum tipis, seolah lega. “Kadang, aku hanya ingin memastikan bahwa aku tidak melewati batas.”“Kalau pun iya,” balasku sambil menatapnya, “itu batas yang memang sudah seharusnya dilanggar.”Laras tertawa kecil, melonggarkan suasana yang sempat tegang beberapa saat sebelumnya. Namun, sebelum percakapan kami berlanjut, aku menangkap tatapan samar seseorang yang duduk tidak jauh dari kami.Dia terlihat sibuk berbicara dengan orang di sebelahnya, tapi aku tahu dia mendengar. Cara dia melirik sesekali, dengan sudut senyumnya yang tipis, sudah cukup memberi tanda bahwa dia tahu ada sesuatu yang terjadi di meja ini.“Si
Makan malam itu seperti dirancang untuk menjadi panggung drama penuh jebakan. Setiap kata yang keluar dari mulut Gunawan terasa seperti pisau, tepat mengincar titik paling rentanku. Sejujurnya, aku merasa seperti sedang ditonton dalam acara yang sengaja dibuat untuk membuatku tak nyaman.Gunawan, dengan senyum sinisnya yang seperti trademark, memulai. "Andi, sekarang kerja apa? Masih buruh serabutan?"Aku menahan napas. Rasanya semua orang di meja ini sedang menatap kami, menunggu reaksiku. Tapi Andi, seperti biasa, tetap tenang. Bahkan dia tersenyum, senyum tipis yang jelas-jelas adalah bentuk kontrol diri."Sekarang jadi kurir, Mas," jawabnya santai. "Lumayan, kerja sambil olahraga."Aku bisa merasakan suasana di meja berubah. Udara jadi lebih kaku. Aku tahu Gunawan belum selesai.Gunawan tertawa keras, seperti sengaja menarik perhatian semua orang. "Kurir? Wah, cocok banget sama kamu! Pantesan si Inggit kelihatan makin kurus, ya. Pengaruh dari suami kayaknya."Kalimat itu menghanta
Di tengah acara yang semakin terasa menegangkan, aku merasa seolah-olah terjebak dalam sebuah drama yang tak berujung. Setiap kata yang terucap di antara kami seakan berisi lapisan-lapisan ketegangan, semua berkutat pada bisnis keluarga dan tradisi yang berat. Pandanganku menyapu ruangan, dan aku merasa semakin terperangkap dalam atmosfer yang penuh dengan ketidaknyamanan.”Aku ngak nyaman, sesak di sini,”gumamku lirih mengeluh.Andi duduk di sampingku, senyumannya lelah, mencoba untuk mengerti situasi, meskipun jelas raut cemas mulai terlihat di wajahnya. Aku bisa merasakannya, betapa beratnya bagi dia untuk berada di sini, di tengah keluarga yang penuh dengan tatapan sinis dan kata-kata tajam yang seolah tak pernah berhenti mengarah padaku.”Sabar, ada kejutan nantinya,” ujarnya tetap berusaha terlihat nyaman.”Kamu sok nyaman mas, padahal kamu juga bosan,” protesku yang di balas senyuman dan tatapan tajamnya.Namun, tiba-tiba, di tengah obrolan yang semakin panas, seseorang muncul d