Share

3. Sensasi Pertama

“Umur kamu berapa?” tanya Violetta.

“30 tahun Mbak.”

“Saya 42 tahun, bebas panggil aja Vio sama seperti yang lain, ya.” Perempuan itu tersenyum lagi.

“Oh, gitu, saya panggil Tante Vio aja kalau gitu.”

“Ketuaan, Mas, saya belum keriput dan ubanan, saya nggak kalah cantik sama ABG zaman sekarang.” Vio tak suka disebut tua karena ia rajin perawatan.

“Maaf, kalau begitu, saya panggil Mbak Vio aja. Ehm, jadi kita ke kantor sekarang, Mbak, untuk lihat rumah tipe 100, kantor teman saya maksudnya.”

“Boleh, Mas.”

“Panggil nama aja, Mbak, saya lebih muda.”

Keduanya menuruni eskalator yang sama. Violet yang menggunakan heels agak takut hingga memegang tangan Arzan agar tak jatuh. Lelaki itu risih tapi tak bisa menghindar, ia butuh uang andai kata deal antara Violet dan temannya jadi.

“Mbak, saya pakai motor, Mbak bisa pakai mobil dan ikuti saya dari belakang aja,” ujar Arzan ketika turun dari eskalator.

“Saya nggak bawa mobil. Supir saya kayaknya lagi service di bengkel dan baliknya beberapa jam lagi. Saya ikut kamu aja gimana, Mas?” Tawaran yang sangat aneh dari perempuan yang menjaga penampilannya.

“Nanti kotor, Mbak, kena debu sama cipratan air. Kalau pakai taksi saja gimana, saya bantu carikan.”

“Oh, boleh deh.” Violet agak merengut sambil mengendikkan bahu.

Arzan menaiki motor sedangkan Violet ada di dalam taksi. Perempuan berusia matang itu memperhatikan dengan tatapan lurus ke mana perginya sales rumah tersebut. Ponsel Vio berdering, ia pun mengangkatnya.

“Iya, Pak, benar, sudah saya duga. Sisanya serahkan sama saya.” Klik, sambungan diputus.

Senyum Vio hanya sebelah saja, seolah-olah menandakan ia memiliki rencana lain. Sangat berbeda dengan tadi ketika dirinya bermanis manja di hadapan Arzan seperti anak kucing yang lucu.

Setengah jam kemudian, motor Arzan dan taksi yang ditumpangi Vio sampai pada sebuah kantor. Mereka pun masuk setelah dipersilakan oleh salah satu teman sales Arzan.

“Bro, nanti kalau deal, bagi, ya, gue butuh duit,” bisik Arzan perlahan. Temannya mengangguk saja.

“Mas, temenin, saya jangan ditinggal,” pinta Vio.

Lelaki itu menyanggupinya. Mereka pun duduk di kursi yang sama. Harga rumah yang ditawarkan kata Vio tidak membuatnya ingin mundur.

“Ini termasuk murah dengan semua fasilitas yang disediakan,” kata perempuan cantik itu. Ada harapan bagi Arzan kalau dealnya jadi.

Setelah dijelaskan lebih dalam Vio harus membayar sejumlah DP jika ingin membooking salah satu unit rumah yang sudah ready. Wanita dengan aroma parfum wangi itu menyatakan akan membeli secara cash bukan KPR. Karena ia tak suka berurusan dengan ribetnya aturan bank.

“Saya harus bayar 30% dari harga rumah tapi saya lagi nggak bawa uang banyak. Kalau gitu saya ke bank dulu, ya. Bisa temenin, kan, Mas.” Vio menatap ke arah Arzan. Lelaki itu mengangguk saja demi upah sekian persen yang akan ia terima.

Tidak naik taksi, tapi keduanya menggunakan motor. Vio mengatakan dulu saat umur belasan ia pernah hidup susah dan menggunakan sepeda bekas orang. Tak masalah baginya naik motor asal nyaman saja.

Saat mereka berangkat, tangan putih dan halus Vio memeluk pinggang Arzan. Lelaki itu terkesiap sejenak, tapi perjalanan tetap dilanjutkan sampai ke bank dan seterusnya mereka kembali lagi ke kantor dan Vio membayar sesuai jumlah yang disepakati.

“Makasih ya, Mas, udah bantu kerjaan saya jadi lebih gampang. Semoga kita masih bisa berurusan seterusnya.” Vio berdiri di depan Arzan. Lelaki itu agak mundur ke belakang sedikit. “Ini.” Perempuan cantik itu memberikan ponselnya pada Arzan.

“Untuk apa, ya, Mbak?”

“Simpan nomor Mas di sana, mungkin saya butuh bantuan suatu hari nanti. Saya pendatang baru di kota ini dan belum memahami situasi. Saya lihat Mas orang baik yang bisa menolong, bisa, kan?”

Diberikan senyum sangat manis dengan tatapan menggoda, tentu saja Arzan luluh. Dengan tangan sedikit gemetar ia input nomor ponselnya di handphone Vio. Setelahnya perempuan itu undur diri dan pulang menggunakan taksi.

“Gini nih, wajah kalau ganteng banyak perempuan naksir,” sindir temannya.

“Terserah yang penting gue dapat duit seperti yang lo janjiin. Hari ini ya, gue butuh banget duitnya.”

“Ya semua juga butuh, Zan, tunggu sabar, dihitung dulu, ACC bos, uangnya pindah ke tangan gue baru lo bisa dapet. Lagian gue heran, wajah kayak lo kenapa gak jadi model aja, mau panas-panasan jual rumah.”

“Udah, yang penting kerja gue halal dan ngasilin duit. Gue tungguin lo di sini sampai cair f*e rumahnya.”

Benar, lelaki berusia 30 tahun itu menunggu sampai sore telah berganti senja yang memerah. Kesabarannya membuahkan hasil. Ia mendapatkan f*e yang cukup pantas karena membawa nasabah potensial.

Meski belum mencukupi untuk membayar hutang Alda, paling tidak setengahnya sudah ada. Lelaki itu pulang dengan senyum cerah dan hati tenang. Namun, sampai rumah, anak-anaknya di kurung dari luar. Alda tidak ada, Sasi tidak tahu mamanya pergi ke mana.

***

Tengah malam, Vio baru saja pulang dari sebuah urusan. Ia masih menggunakan setelan blazer yang sama. Pada tas tangan wanita itu terdapat kuitansi pembayaran rumah.

Vio memberhentikan taksi, masuk ke dalamnya dan merebahkan kepala. Bayangan wajah Arzan yang polos membuatnya kerap kali tersenyum.

Supir taksi terpana melihat kecantikan wajah Vio sekaligus rok pendeknya yang terangkat hingga paha putih dan mulus itu tersingkap. Niat jahatnya timbul apalagi ketika taksi memasuki jalanan yang sepi.

Supir taksi menelan ludah, ia tak bisa menahan diri. Mobil ia belokkan pada sebuah rumah sepi kira-kira tak jauh lagi dan ia akan menikmati kemolekan tubuh penumpang yang tidur di belakangnya.

“Ngapain berhenti di sini?” Ternyata Vio tidak tidur. “Saya minta di antar ke alamat, kamu budeg atau bodoh?” Matanya terbuka dan menatap supir taksi dari spion dengan tajam.

“Jangan banyak ngomong, turuti kata-kata saya. Sebentar aja nggak akan lama, setengah jam juga selesai. Layani saya kalau nggak kamu saya bunuh!” ancamnya sambil mengunci pintu mobil.

“Mau bunuh saya, yakin?” Vio menyeringai.

“Jangan banyak bicara. Di sini saja, buka baju kamu, cepetan.” Supir taksi mengeluarkan pisau kecil.

“Okei, tunggu sebentar, ya, saya pakai parfum dulu biar wangi dan kamu puas apa-apain saya.” Vio merogoh tasnya. Ada sesuatu yang ia cari dan raih.

“Gitu, donk, perempuan itu harus nurut dan jadi babu laki, jadi nggak mati sia-sia di dalam parit.” Supir taksi juga membuka baju dan singlet yang ia kenakan. Namun, beberapa detik kemudian, ia merasa kesakitan. Sebuah tali menjerat lehernya dengan sangat erat hingga membuatnya tak bisa bernapas.

Tangan lelaki itu menggelepar-gelepar di kaca mobil hingga membentuk jejak. Di belakang sana Vio menjerat leher korban dengan sekuat tenaga. Salah besar jika ia akan pasrah disentuh oleh lelaki yang tak ia inginkan.

Beberapa saat kemudian supir taksi tak bergerak lagi. Matanya terbuka lebar dan lidahnya terjulur ke luar. Vio melepaskan tali yang menjerat leher korban. Segera ia mendial nomor pada ponselnya.

“Halo! Iya, ke sini sekarang, urus satu mayat lelaki nggak berguna. Sekalian jemput, capek saya disuruh ngurus bocah ingusan yang takut sama istri.” Klik! Vio memanggil bantuan.

Siapakah sebenarnya perempuan sadis yang tersembunyi di balik riasan yang cantik dan menggoda? Dan apa urusannya dengan Arzan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status