Share

5. Degup Jantung

Alda mengompres wajah Arzan yang lebam dengan air hangat. Tidak hanya itu saja, perut suaminya juga kebiruan kearena bekas tendangan.

Sakit. Tepatnya di bagian hati terdalam lelaki dua anak tersebut. Istrinya tidak bisa menjaga pesan dengan baik. Bukan mudah mencari uang dua juta dalam waktu singkat.

“Mas, kita ke bidan terdekat, ya, aku takut lihat kamu begini,” ucap Alda. Ada rasa sesal di dalam hatinya. Uang dua juta itu juga ia gunakan untuk hal mendesak juga.

Arzan tidak menjawab, ia bangkit bahkan menepis pertolongan istrinya. Lelaki itu masih marah, tapi tak bisa berbicara. Sakit di urat perut menjalar sampai ke bibir. Ketika minum air putih saja terasa sekali pedihnya.

“Mas, maafin, aku, ya. Uangnya aku pakai buat kirim ke orang tua di kampung.” Alda menundukkan kepala.

Arzan menggeleng. Kepercayaannya sudah dikhianati. Apakah istrinya tak bisa berdiskusi dulu padanya. Dia masihlah kepala keluarga walau tidak kaya.

Lelaki yang mencintai Alda tanpa pamrih itu masuk ke kamar, mengunci pintu dan tak membiarkan ibu dari anak-anaknya masuk. Ia butuh menyendiri demi ketenangan.

***

Arzan bangun dengan rasa sakit semakin menjadi di bagian tubuhnya. Padahal hari ini ia mendapat jatah untuk jaga pameran di mall. Uangnya bisa digunakan untuk membayar kebutuhan bulanan. Namun, ia butuh istirahat.

Bahkan lelaki itu mengabaikan panggilan istrinya untuk sarapan. Saking malasnya berbicara, Arzan mengirim chat pada Alda agar mengantar Sasi ke Tk pakai ojeg saja.

“Iya, Mas, aku yang antar, kamu tidur aja di rumah, ya.” Alda menyesali perbuatannya.

Baru saja beberapa menit Arzan tertidur, ada pesan masuk dari Violet. Perempuan cantik itu meminta tolong untuk diantar ke satu tempat. Supirnya masih belum kembali dari kampung.

[Kamu, bisa nyetir, kan, Mas?] Isi pesan Violet.

[Bisa, tapi saya lagi tidak enak badan, Mbak] Arzan tak mau jujur.

[Yah, gimana, donk, padahal ada urusan penting hari ini. Ya udah batalin aja daripada naik taksi diculik orang lagi] Balasan Violet menunjukkan kalau perempuan itu kecewa.

[Oke, Mbak, saya antar, tapi tunggu, saya agak lama sampainya.] Arzan merasa berhutang budi padanya.

Sambil menunggu istrinya kembali, ia mencoba menyeduh teh hangat. Lumayan perutya terisi sedikit. Ketika Alda kembali ia langsung menstarter motor tanpa peduli atas pertanyaan wanita tersebut.

Di atas kendaraan, Arzan menahan nyeri di bagian tubuh tertentu. Di rumah pun ia belum bisa berdamai kalau terus-menerus bertemu Alda yang katanya menyesal.

“Ya ampun, Mas, kamu kenapa?” tanya Violet ketika membuka pintu rumah. Ia lihat ujung bibir Arzan robek sedikit.

“Kecelakaan,” jawab Arzan bohong.

“Ya, terus kenapa dipaksakan ke sini, Mas?” Violet menarik Arzan untuk duduk dan ia pun masuk ke kamar. Tak lama kemudian perempuan cantik itu membawa kotak P3K.

“Gak usah, Mbak.” Arzan menolak ketika kapas akan membasahi lukanya.

“Udah, diem aja, deh!” Violet memaksa.

Beberapa saat kemudian Arzan tumbang di sofa. Violet terkejut, ini semua di luar rencana dan lekas saja ia menghubungi seseorang untuk membawa dokter ke rumahnya.

***

“Dia ini goblog atau gimana, ya, Bu?” tanya Nada—aspri Violet.

“Dikit. Biasa banget laki-laki goblog kena cinta itu menyedihkan. Kamu habis ini langsung pulang, ya, jangan sampai ketahuan sama dia. Sepertinya sebentar lagi dia sadar.”

“Baik, Bu, tapi saya juga mengingatkan, Ibu jangan pakai hati dalam permainan kali ini.”

“Itu gampang, dan sejak kapan saya punya hati? Thank’s, Nad, udah mengingatkan.”

Setelah Nada dan dokter pulang, Arzan pun membuka matanya perlahan. Ia melihat diri sendiri dan sebuah infus tergantung di sisi kiri. Lelaki itu mengira ada di rumah sakit.

“Aku nggak berani ke rumah sakit, trauma, jadi dirawat di sini aja, ya. Lebam kamu serius, kenapa nggak berobat dulu, sih!” Violet cemberut dan ia membawakan Arzan bubur putih tawar dan beberapa obat.

“Saya harus pulang, Mbak, istri dan anak saya menunggu di rumah.”

“No, istri dan anak kamu bisa menunggu, tapi kesehatan kamu nggak. Tenang aja, aku akan tidur di kamar lain. Mas takut sama aku? Aku nggak makan orang?”

“Bukan gitu, Mbak.” Arzan terbatuk sejenak. “Tapi apa kata tetangga nanti kalau kita tinggal bersama tanpa ikatan.”

“Di sini gak ada tetangga, lu lu gue gue, semuanya. Oke ini buburnya, bisa makan sendiri?” tanya Violet dan dijawab anggukan oleh Arzan. “Aku ke kamar dulu, ya, ada kerjaan, bye.” Sebelum pergi ia tersenyum begitu manis pada Arzan.

Lelaki itu menggeleng, selain karena sakit, tapi ia merasa semakin lama hubungannya dengan Violet bukan sebatas teman.

“Mana ada teman yang merawatku sampai seperti ini. Bahkan Alda tak pernah peduli pas aku sakit.” Ia mengambil bubur dan menghabiskan dengan cepat, tak lupa beberapa butir obat diminum. Agar Arzan cepat sembuh dan bisa pulang ke rumah. Bahaya kalau lama-lama berdua dengan Violet.

Malam hari beranjak tanpa menunggu sedetik pun. Arzan bangun dan membuka selang infus di tangannya. Ia merasa baik-baik saja dan tidak mungkin meninggalkan kedua putrinya di rumah sendirian.

“Mbak, saya izin pulang dulu, ya.” Arzan memanggil tapi Violet tidak terlihat.

“Tunggu sebentar.” Permpuan itu ada di dalam kamar mandi kamarnya. Violet keluar memakai handuk kimono dengan tubuh setengah basah. “Pulang, emang udah sembuh?” tanyanya dengan wajah polos tanpa make up. Tetap saja sama cantiknya bahkan membuat Arzan berdegup jantungnya.

“Saya punya istri dan anak di rumah, Mbak, kasihan mereka.”

“Oh, gitu, kirain mau nginap, tapi tunggu dulu sebentar.” Violet masuk. Ia mengambil beberapa lembar uang berwarna biru dan merah.

Perempuan keji di balik wajah cantiknya itu tahu bahwa uang adalah kebutuhan utama Arzan, setelahnya mungkin sebuah perhatian dan sentuhan lembut.

“Bawa buat jaga-jaga.” Violet menyodorkannya.

“Nggak, Mbak, makasih, saya masih ada uang.”

“Butuh, kan? Ya udah ambil saja, aku nggak pernah ditolak dan nggak suka penolakan.” Violet mengambil tangan Arzan dan meletakkan uang tersebut di tangannya.

Antara mau tidak mau, dibilang butuh, benar, dibilang butuh sekali tapi tidak begitu juga cara Arzan mendapatkan uang.

“Hati-hati di jalan, ya.” Violet berjalan perlahan. Namun, ia terpeleset dan hampir jatuh. Untung saja Arzan mengkapnya lebih cepat.

“Mbak yang hati-hati.” Arzan menahan tubuh Vio di lengannya.

Perempuan itu bangkit perlahan. Dengan napas naik turun seolah-olah ketakutan, ia menyentuh dada Arzan yang berdegup kencang. Keduanya saling menatap sejenak tanpa berkedip.

“Mbak, udah? Saya mau pulang dulu.”

“Oh, iya, aku ngerepotin banget, ya,” ucap Vio tanpa melepas tangannya pada Arzan.

“Nggak, justru saya yang merepotkan.” Lelaki tinggi dan tegap itu membantu Vio masuk ke kamar dan duduk di tepi ranjang.

“Arzan, bisa jangan pulang dulu, aku masih …” Vio mengembuskan napas perlahan dari bibirnya. Tidak ada jawaban dari lelaki di hadapannya. Tapi Arzan juga tidak beranjak pergi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status