Share

4. Siksaan

“Dari mana, Dek?” tanya Arzan ketika Alda baru pulang.

“Biasa, Mas, cuci setrika di rumah orang,” jawab Alda tanpa rasa bersalah. Setelah ia tinggalkan dua anaknya tanpa pengawasan.

“Mending nggak usah kerja daripada anak kita terlantar. Kamu tahu Rere makan beras mentah di rumah.”

“Ya, kalau aku nggak ikutan kerja, gimana kita mau dapat uang, Mas. Kecuali kamu bisa kasih aku minimal 15 juta tiap bulan. Aku jamin ada di rumah buat melayani kamu 24 jam dan anak-anak. Aku juga nggak harus capek-capek jadi babu di luar.” Alda membuka jaket yang menutupi tubuhnya.

Di dalam jaket ia kenakan baju u can see dan jens ketat. Arzan tak mudah dibohongi begitu saja. Sebab pada umumnya orang mencuci baju akan menggunakan daster.

“Jujur kamu sama, Mas, dari mana? Baju kamu itu bukan tanda kamu habis cuci setrika. Nggak ada aroma sabun sama sekali.”

“Yah, Mas, jangan asal ngomong. Emang mau kamu orang menilai jadi suami gak becus gara-gara istrinya dasteran terus. Kalau aku cantik gini orang juga yakin sama kemampuan aku.”

“Kamu itu mencuci sama nyetrika, Dek, bukan jadi pelacur!” Arzan mulai kehilangan kesabaran. Aroma parfum Alda sangat jelas terhirup oleh hidungnya.

“Astaga, Mas! Kamu nuduh aku jual diri? Nggak tahu malu banget. Harusnya bersyukur udah aku bantuin cari uang.” Alda membanting pintu kamar.

Seketika Rere yang tidur terkejut dan menangis. Wanita dengan kulit putih kemerahan karena skin care itu tak peduli. Ia ambil handuk dan lanjut mandi.

Terpaksa Arzan lagi yang turun tangan menidurkan putri keduanya. Padahal ia sudah mencoba bicara baik-baik. Terus menerus dapat bantahan tentu saja egonya sebagai suami tersakiti.

“Sabar, sabar. Semoga setelah ini penjualan rumahku bisa lancar, paling nggak dapat 5 unit sebulan jadi Alda nggak harus keluar cari kerjaan.” Ia mengalah lagi, entah untuk yang keberapa kalinya.

Ketika Alda sedang mandi, masuk pesan ke ponsel lelaki tinggi tegap itu. Dari nomor baru, ia baca dan tertera di bagian bawah tertanda Violet. Seketika ingatan Arzan tertuju pada wanita single cantik dengan riasan sempurna dan wangi sangat lembut. Isi pesan itu meminta agar Violet dijemput besok pagi.

“Apa si mbak salah kirim pesan? Aku yang jemput, pakai apa?” Demi memastikan, ia balas pesan itu.

Benar Violet minta jemput, tak apa walau harus pakai motor. Namun, Arzan menolaknya, sebab pagi-pagi ia harus mengantar Rere ke sekolah dulu. Ia tawarkan pemesanan taksi online saja.

“Rasanya aneh perempuan secantik Mbak Vio tidak tahu cara pesan taksi online. Jangan-jangan dia cuman berniat menggodaku saja,” gumam Arzan.

“Siap yang mau menggoda Mas emangnya?” gumaman lelaki itu didengar Alda yang baru selesai mandi. Rambutnya basah sehabis keramas.

“Nggak ada, kok. Mas ngomong sendiri.” Daripada ia jujur dan Alda marah.

“Lagian perempuan mana yang mau goda kamu, Mas, uang aja nggak punya sama sekali. Oh, ya, hutang di warung udah aku bayar, tuh, SPP Rere besok kamu aja, ya. Jangan lupa cari uang buat angsuran dua hari lagi. Nanti debt collector datang, ngamuk-ngamuk lagi.” Usai menghina suaminya miskin, dengan enteng Alda menyodorkan beberapa kewajiban.

“Ya, Mas tahu.” Arzan teringat dengan Violet lagi. Namun, cepat-cepat ia berpaling dan memdang istrinya yang hanya mengenakan daster tipis saja.

Sudah waktunya istirahat malam. Baru lelaki dengan wajah tampan itu ingat, rasanya sudah hampir sebulan ia tak dapat pelayanan ranjang dari Alda.

“Dek, kamu nggak lagi halangan, kan?” Tangan Arzan menyentuh pinggang Alda.

“Nggak, sih, tapi aku lagi males, capek tahu! Nyuci banyak banget sama nyetrika. Udah akut tidur dulu sama anak-anak, kamu sana gih ke kamar sendiri.” Penolakan lagi, entah sampai kapan Alda begitu terus.

Lelaki penyabar itu hanya bisa mengelus dada saja. Arzan sadar kurang bisa memberikan uang pada Alda, tapi tak sekali pun ia pernah berkata atau berbuat kasar. Apakah meminta sebuah sentuhan tak layak ia dapatkan.

Hingga akhirnya Arzan menahan hasrat sampai tertidur. Dan itu berulang lagi selama tiga hari. Jenuh, ia butuh hiburan di tengah kerasnya menjalani hidup.

***

Siang harinya Violet mengirim pesan pada Arzan. Sebuah permintaan tolong karena perempuan cantik itu tersasar setelah taksinya mogok. Mau tak mau ia harus menolongnya. Padahal Arzan harus bagi-bagi brosur untuk mengejar target.

“Maaf, Mbak, saya lama. Lagian Mbak ngapain bisa sampai ke tanah kosong dan sepi jauh dari perumahan?” Lelaki dua anak tersebut menurukan standar motornya.

“Nggak tahu, Mas, aku ketiduran di taksi, jadi tahu-tahu diturunkan di sini. Eh, nggak apa-apa ya, sebut aku. Kalau pakai saya berasa formal banget di kantor.”

“Nggak apa-apa, Mbak, santai aja. Yuk, pergi.” Lekas Arzan memberikan sebuah helm.

Violet duduk menyamping dan kembali memeluk lelaki itu dengan erat. Rasanya Arzan harus membiasakan diri untuk berdekatan dengan orang asing.

“Makan dulu, Mas, lapar habis nyasar.” Violet menunjuk sebuah restaurant mahal. Arzan sungkan, uangnya tak akan cukup. “Tenang aja, aku yang bayar, Mas.”

Tak hanya dibayarkan oleh Violet, tapi perempuan dengan kulit cantik dan sehat itu meminta agar Arzan membungkus buat keluarganya di rumah. Meski malu-malu tetap diambil juga oleh Arzan, sekalian menghemat pengeluaran.

“Makasih, Mas, besok aku repotin lagi, ya. Aku udah coba pakai taksi tahunya nyasar. Supir mobilku pulang kampung.” Violet mengembalikan helmnya pada Arzan. Ia diantar sampai ke rumah baru yang sudah ditempati langsung.

“Baik, Mbak,” jawab lelaki itu sambil tersenyum.

Siapa sangka Violet akan menyodorkan dua lembar uang merah untuknya. Awalnya ditolak Arzan, tapi karena dipaksa akhirnya diambil juga. Kata Vio untuk mengganti uang minyaknya yang habis.

Lelaki dengan tubuh tinggi dan tegap itu pulang dengan perasaan bingung. Secara naluri laki-laki Vio cantik dan lembut. Tapi seperti kata istrinya tak mungkin ia akan dilirik karena kemiskinan jadi penghalang.

“Ya, ampun aku mikir apa ini? Aku sudah punya istri.” Arzan menggeleng. Ia harus fokus pada kebahagiaan keluarga di rumah. Uang yang ia dapat akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

***

Sampai di rumah, kembali Alda tidak ada. Untungnya Sasi dan Rere tidur lelap, tersisa Arzan yang harus mencuci tumpukan piring. Ketika sedang fokus membilas sisa sabun, suara ketukan pintu terdengar begitu nyaring. Lekas ia buka dan lagi-lagi debt collector yang sama datang.

“Bacot memang lu, ya. Bayar hutang!” Pintu dibanting dengan kuat. Kali ini yang datang empat orang lelaki.

“Bang, uangnya sudah saya kasihkan istri. Harusnya sudah dibayar.”

“Nggak ada bini lu datang. Dari kemarin gue tungguin. Bayar hutang bini lo sekarang.”

“Saya nggak ada uang lagi, Bang, sumpah.” Arzan mundur beberapa langkah.

“Udah culik aja dua anaknya terus jual jadi pelacur!”

“Ampun, Bang, jangan, saya bisa jelasin, atau kasih saya waktu buat kumpulin uang lagi.” Lelaki itu mengiba dengan sungguh-sungguh.

“Gue males berurusan sama orang nunggak kayak lu. Oke, gue nggak akan ambil anak lu, tapi lu harus dapat pelajarannya.” Debt collector itu melirik anak buahnya.

Tanpa pikir panjang dan tanpa ampun, sebuah pukulan disusul tendangan mendarat di tubuh Arzan. Pintu rumah itu dikunci rapat hingga tidak ada tetangga yang melihat.

Sasi yang bangun masuk lagi ke dalam kamar dan menangis sesenggukan. Arzan lebam dan kesakitan, siksaan tadi membuatnya muntah di lantai. Debt collector dan anak buahnya pulang setelah puas menyiksanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status