Share

4. Siksaan

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2024-06-29 15:36:04

“Dari mana, Dek?” tanya Arzan ketika Alda baru pulang.

“Biasa, Mas, cuci setrika di rumah orang,” jawab Alda tanpa rasa bersalah. Setelah ia tinggalkan dua anaknya tanpa pengawasan.

“Mending nggak usah kerja daripada anak kita terlantar. Kamu tahu Rere makan beras mentah di rumah.”

“Ya, kalau aku nggak ikutan kerja, gimana kita mau dapat uang, Mas. Kecuali kamu bisa kasih aku minimal 15 juta tiap bulan. Aku jamin ada di rumah buat melayani kamu 24 jam dan anak-anak. Aku juga nggak harus capek-capek jadi babu di luar.” Alda membuka jaket yang menutupi tubuhnya.

Di dalam jaket ia kenakan baju u can see dan jens ketat. Arzan tak mudah dibohongi begitu saja. Sebab pada umumnya orang mencuci baju akan menggunakan daster.

“Jujur kamu sama, Mas, dari mana? Baju kamu itu bukan tanda kamu habis cuci setrika. Nggak ada aroma sabun sama sekali.”

“Yah, Mas, jangan asal ngomong. Emang mau kamu orang menilai jadi suami gak becus gara-gara istrinya dasteran terus. Kalau aku cantik gini orang juga yakin sama kemampuan aku.”

“Kamu itu mencuci sama nyetrika, Dek, bukan jadi pelacur!” Arzan mulai kehilangan kesabaran. Aroma parfum Alda sangat jelas terhirup oleh hidungnya.

“Astaga, Mas! Kamu nuduh aku jual diri? Nggak tahu malu banget. Harusnya bersyukur udah aku bantuin cari uang.” Alda membanting pintu kamar.

Seketika Rere yang tidur terkejut dan menangis. Wanita dengan kulit putih kemerahan karena skin care itu tak peduli. Ia ambil handuk dan lanjut mandi.

Terpaksa Arzan lagi yang turun tangan menidurkan putri keduanya. Padahal ia sudah mencoba bicara baik-baik. Terus menerus dapat bantahan tentu saja egonya sebagai suami tersakiti.

“Sabar, sabar. Semoga setelah ini penjualan rumahku bisa lancar, paling nggak dapat 5 unit sebulan jadi Alda nggak harus keluar cari kerjaan.” Ia mengalah lagi, entah untuk yang keberapa kalinya.

Ketika Alda sedang mandi, masuk pesan ke ponsel lelaki tinggi tegap itu. Dari nomor baru, ia baca dan tertera di bagian bawah tertanda Violet. Seketika ingatan Arzan tertuju pada wanita single cantik dengan riasan sempurna dan wangi sangat lembut. Isi pesan itu meminta agar Violet dijemput besok pagi.

“Apa si mbak salah kirim pesan? Aku yang jemput, pakai apa?” Demi memastikan, ia balas pesan itu.

Benar Violet minta jemput, tak apa walau harus pakai motor. Namun, Arzan menolaknya, sebab pagi-pagi ia harus mengantar Rere ke sekolah dulu. Ia tawarkan pemesanan taksi online saja.

“Rasanya aneh perempuan secantik Mbak Vio tidak tahu cara pesan taksi online. Jangan-jangan dia cuman berniat menggodaku saja,” gumam Arzan.

“Siap yang mau menggoda Mas emangnya?” gumaman lelaki itu didengar Alda yang baru selesai mandi. Rambutnya basah sehabis keramas.

“Nggak ada, kok. Mas ngomong sendiri.” Daripada ia jujur dan Alda marah.

“Lagian perempuan mana yang mau goda kamu, Mas, uang aja nggak punya sama sekali. Oh, ya, hutang di warung udah aku bayar, tuh, SPP Rere besok kamu aja, ya. Jangan lupa cari uang buat angsuran dua hari lagi. Nanti debt collector datang, ngamuk-ngamuk lagi.” Usai menghina suaminya miskin, dengan enteng Alda menyodorkan beberapa kewajiban.

“Ya, Mas tahu.” Arzan teringat dengan Violet lagi. Namun, cepat-cepat ia berpaling dan memdang istrinya yang hanya mengenakan daster tipis saja.

Sudah waktunya istirahat malam. Baru lelaki dengan wajah tampan itu ingat, rasanya sudah hampir sebulan ia tak dapat pelayanan ranjang dari Alda.

“Dek, kamu nggak lagi halangan, kan?” Tangan Arzan menyentuh pinggang Alda.

“Nggak, sih, tapi aku lagi males, capek tahu! Nyuci banyak banget sama nyetrika. Udah akut tidur dulu sama anak-anak, kamu sana gih ke kamar sendiri.” Penolakan lagi, entah sampai kapan Alda begitu terus.

Lelaki penyabar itu hanya bisa mengelus dada saja. Arzan sadar kurang bisa memberikan uang pada Alda, tapi tak sekali pun ia pernah berkata atau berbuat kasar. Apakah meminta sebuah sentuhan tak layak ia dapatkan.

Hingga akhirnya Arzan menahan hasrat sampai tertidur. Dan itu berulang lagi selama tiga hari. Jenuh, ia butuh hiburan di tengah kerasnya menjalani hidup.

***

Siang harinya Violet mengirim pesan pada Arzan. Sebuah permintaan tolong karena perempuan cantik itu tersasar setelah taksinya mogok. Mau tak mau ia harus menolongnya. Padahal Arzan harus bagi-bagi brosur untuk mengejar target.

“Maaf, Mbak, saya lama. Lagian Mbak ngapain bisa sampai ke tanah kosong dan sepi jauh dari perumahan?” Lelaki dua anak tersebut menurukan standar motornya.

“Nggak tahu, Mas, aku ketiduran di taksi, jadi tahu-tahu diturunkan di sini. Eh, nggak apa-apa ya, sebut aku. Kalau pakai saya berasa formal banget di kantor.”

“Nggak apa-apa, Mbak, santai aja. Yuk, pergi.” Lekas Arzan memberikan sebuah helm.

Violet duduk menyamping dan kembali memeluk lelaki itu dengan erat. Rasanya Arzan harus membiasakan diri untuk berdekatan dengan orang asing.

“Makan dulu, Mas, lapar habis nyasar.” Violet menunjuk sebuah restaurant mahal. Arzan sungkan, uangnya tak akan cukup. “Tenang aja, aku yang bayar, Mas.”

Tak hanya dibayarkan oleh Violet, tapi perempuan dengan kulit cantik dan sehat itu meminta agar Arzan membungkus buat keluarganya di rumah. Meski malu-malu tetap diambil juga oleh Arzan, sekalian menghemat pengeluaran.

“Makasih, Mas, besok aku repotin lagi, ya. Aku udah coba pakai taksi tahunya nyasar. Supir mobilku pulang kampung.” Violet mengembalikan helmnya pada Arzan. Ia diantar sampai ke rumah baru yang sudah ditempati langsung.

“Baik, Mbak,” jawab lelaki itu sambil tersenyum.

Siapa sangka Violet akan menyodorkan dua lembar uang merah untuknya. Awalnya ditolak Arzan, tapi karena dipaksa akhirnya diambil juga. Kata Vio untuk mengganti uang minyaknya yang habis.

Lelaki dengan tubuh tinggi dan tegap itu pulang dengan perasaan bingung. Secara naluri laki-laki Vio cantik dan lembut. Tapi seperti kata istrinya tak mungkin ia akan dilirik karena kemiskinan jadi penghalang.

“Ya, ampun aku mikir apa ini? Aku sudah punya istri.” Arzan menggeleng. Ia harus fokus pada kebahagiaan keluarga di rumah. Uang yang ia dapat akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

***

Sampai di rumah, kembali Alda tidak ada. Untungnya Sasi dan Rere tidur lelap, tersisa Arzan yang harus mencuci tumpukan piring. Ketika sedang fokus membilas sisa sabun, suara ketukan pintu terdengar begitu nyaring. Lekas ia buka dan lagi-lagi debt collector yang sama datang.

“Bacot memang lu, ya. Bayar hutang!” Pintu dibanting dengan kuat. Kali ini yang datang empat orang lelaki.

“Bang, uangnya sudah saya kasihkan istri. Harusnya sudah dibayar.”

“Nggak ada bini lu datang. Dari kemarin gue tungguin. Bayar hutang bini lo sekarang.”

“Saya nggak ada uang lagi, Bang, sumpah.” Arzan mundur beberapa langkah.

“Udah culik aja dua anaknya terus jual jadi pelacur!”

“Ampun, Bang, jangan, saya bisa jelasin, atau kasih saya waktu buat kumpulin uang lagi.” Lelaki itu mengiba dengan sungguh-sungguh.

“Gue males berurusan sama orang nunggak kayak lu. Oke, gue nggak akan ambil anak lu, tapi lu harus dapat pelajarannya.” Debt collector itu melirik anak buahnya.

Tanpa pikir panjang dan tanpa ampun, sebuah pukulan disusul tendangan mendarat di tubuh Arzan. Pintu rumah itu dikunci rapat hingga tidak ada tetangga yang melihat.

Sasi yang bangun masuk lagi ke dalam kamar dan menangis sesenggukan. Arzan lebam dan kesakitan, siksaan tadi membuatnya muntah di lantai. Debt collector dan anak buahnya pulang setelah puas menyiksanya.

Related chapters

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    5. Degup Jantung

    Alda mengompres wajah Arzan yang lebam dengan air hangat. Tidak hanya itu saja, perut suaminya juga kebiruan kearena bekas tendangan. Sakit. Tepatnya di bagian hati terdalam lelaki dua anak tersebut. Istrinya tidak bisa menjaga pesan dengan baik. Bukan mudah mencari uang dua juta dalam waktu singkat. “Mas, kita ke bidan terdekat, ya, aku takut lihat kamu begini,” ucap Alda. Ada rasa sesal di dalam hatinya. Uang dua juta itu juga ia gunakan untuk hal mendesak juga. Arzan tidak menjawab, ia bangkit bahkan menepis pertolongan istrinya. Lelaki itu masih marah, tapi tak bisa berbicara. Sakit di urat perut menjalar sampai ke bibir. Ketika minum air putih saja terasa sekali pedihnya. “Mas, maafin, aku, ya. Uangnya aku pakai buat kirim ke orang tua di kampung.” Alda menundukkan kepala. Arzan menggeleng. Kepercayaannya sudah dikhianati. Apakah istrinya tak bisa berdiskusi dulu padanya. Dia masihlah kepala keluarga walau tidak kaya. Lelaki yang mencintai Alda tanpa pamrih itu masuk ke kam

    Last Updated : 2024-07-01
  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    6. Janji Palsu

    “Saya harus pulang, Mbak, anak sama istri saya menunggu di rumah.” Arzan menjauh sejenak. Tak baik di rumah berdua saja dengan perempuan yang tidak ada ikatan apa-apa dengannya. Takut terjerumus dalam hubungan terlarang. “Tunggu. Aku agak trauma hampir jatuh tadi. Bentar aja, please,” ucap Vio sambil memelas. “Ya sudah saya tunggu di luar saja.” Baru saja Arzan akan beranjak, Vio malah menjatuhkan kepala ke bahu lelaki tersebut. Entah apa rencana wanita licik itu kali ini. “Mbak,” ujar Arzan perlahan. Ia memikirkan Sasi dan Rere di rumah. “Aku capek, mungkin karena kurang istirahat. Tolong kalau kamu pulang kunci pintu aja dari luar dan bawa. Besok agak siang aja ke sini, aku ada rapat penting sama klien.” Dengan agak berat Vio mengangkat kepala. Kemudian ia berbaring di ranjang miliknya. Handuk yang menutupi tubuhnya agak tersingkap. Arzan pun lekas berpaling. “Mbak nggak apa-apa ditinggal sendirian?” Arzan yang sedang sakit pun tak tega melihat Vio sendirian. Tak menjawab, per

    Last Updated : 2024-07-12
  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    7. Pemerasan

    Alda menatap kepergian Arzan dengan lesu. Ia sadar selama ini sudah terlalu keras dengan suaminya. Namun, wanita dengan kulit putih tak sehat itu terpaksa melakukannya. Ia juga lelah mencari uang akhir-akhir ini. Selain untuk menutupi kebutuhan keluarga juga demi membayar utang-utangnya. Memang kebutuhan rumah tangga bukanlah tanggung jawab Alda. Tapi ia tak tega melihat dua anaknya merengek terus minta jajan. Dahulu kehidupan mereka sangat berkecukupan sampai hantaman ekonomi ditambah resesi datang tak ada habisnya. Dahulu Alda bersediah dinikahi Arzan karena lelaki itu berjanji akan bertanggung jawab penuh dengan semua kebutuhannya. Memang ditepati dan suaminya sosok sangat sempurna di matanya. Hanya saja bagi Alda, Arzan bukanlah cinta pertamanya. Terdengar munafik tapi memang demikian adanya. Alda bersedia dinikahi oleh Arzan karena tidak adanya kepastian dari bekas pacarnya dulu. Lebih parahnya lagi saat sudah menikah mantan pacarnya justru datang memberikan angin surga dan te

    Last Updated : 2024-07-14
  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    8. Kamar Hotel

    Arzan menyetir mobil milik Vio. Sedangkan perempaun itu duduk di kursi belakang sambil memeriksa beberapa berkas. Hotel yang mereka tuju merupakan hotel bintang lima dengan layanan luxury dan bisa diprivat. Tentu saja yang datang rapat adalah orang-orang Vio. Sedan putih itu memasuki arena parkir mobil. Vio turun di bagian depan hotel dan pintu tergeser sendiri lalu ia berjalan masuk menuju lobi. Di sana ia duduk sebentar dan tak lama kemudian Nada datang menghampirinya. “Baru ini kita rapat di hotel mewah, Bu, biasanya juga di ruangan sendiri,” ucap Nada dengan pakaian cerah hari ini. “Demi totalitas dalam sandiwara kita. Modelan lelaki seperti Arzan itu susah sadar karena bucin dan dia harus kapok duluan. Sudah kamu cari tahu tentang istrinya itu. Saya, kok, nggak yakin ya dia perempuan baik-baik.” Vio melipat dua tangannya di dada. Sebelah kakinya bergerak-gerak menunggu kedatangan Arzan. “Sedang kami cari tahu, Bu, dan kalau informasinya sudah valid 1000% akan saya beritahu s

    Last Updated : 2024-07-16
  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    9. Tanpa Rasa

    Vio dan Arzan makan di restaurant hotel bersama. Tanpa malu-malu bahkan ia membebaskan lelaki itu memesan apa saja yang diinginkan untuk keluarganya. “Nggak usah sungkan, Mas, kali aja anak-anak di rumah suka sama udang tempura, kan? Di warung mana ada jual yang ukuran gede gini.” Vio memindahkan udang goreng tepung ke piring Arzan. “Iya, makasih, Mbak,” jawab Arzan sungkan. “Kok nggak pesan juga?” Perempuan itu sadar kalau Arzan kelewat malu untuk memesan sendiri. “ Ya udah …” Kemudian Vio meminta pada pelayan agar membungkus apa yang ia makan sebanyak tiga porsi untuk keluarga Arzan di rumah. “Kebanyakan tiga porsi, Mbak.” “No, no, anak kamu, kan, butuh protein buat tumbuh kembangnya. Jangan dilarang-larang, nanti stunting loh.” “Iya, Mbak, sekali lagi makasih.” “Nggak usah sering-sering bilang makasih, ya, aku jadi sungkan. Biasa aja anggap kita temenan.” Malah Arzan yang seharusnya sungkan. Tugasnya sebagai supir dadakan hanyalah menemani Vio ke tempat-tempat yang dituju.

    Last Updated : 2024-08-23
  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    10. Drama Perselingkuhan

    Arzan mulai menggeliat. Dengan terburu-buru Vio membuka semua pakaian, mengacak-acak rambut, lipstick, meneteskan beberapa obat tetes mata, dan terakhir masuk dalam selimut dalam keadaan sadar. Perlahan-lahan Arzan bangkit, kepalanya masih terasa pusing. Sensasi yang ditinggalkan oleh obat pemberian Vio luar biasa membuatnya berhalusinasi dan ia kini sudah sadar. Ketika menoleh ke samping ia lihat perempuan di sebelahnya santai saja memainkan ponsel. “Mbak Vio,” ucapnya dengan kepala pusing. “Iya, kenapa, puas yang tadi, tiga jam yang panas banget, Mas,” jawab perempuan itu bohong. Ya ada benarnya juga walau sedikit. “Hah, tiga jam. Tiga jam kita ngapain?” Baru Arzan sadari Vio tak menggunakan pakaian ketika berdiri dari ranjang hinga terlihat sudah bagian punggungnya. Lekas lelaki itu berpaling, dan makin lama ia makin sadar apa yang terjadi pada diri sendiri. “Pikir aja sendiri, kamu, bukan anak kecil lagi, Mas. Udah, ya, aku mau mandi dulu. Lengket banget rasanya dan makasih b

    Last Updated : 2024-08-26
  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    11. Pasar Malam

    Pasar Malam yang BerwarnaSuasana di pasar malam dipenuhi dengan gemerlap lampu dan suara riuh dari para pedagang. Arzan, seorang pria bertubuh tinggi dengan senyuman hangat, menggenggam tangan Alda, istrinya. Mereka berjalan beriringan, diapit oleh dua anak mereka, Sasi dan Rere yang berlari-lari penuh semangat.“Papa! Lihat! Ada wahana itu!” seru Sasi, menunjuk ke arah komedi putar yang berputar dengan cepat. Matanya berbinar, mencerminkan kegembiraan yang sulit disembunyikan.Alda tertawa, mengangguk. “Kita coba nanti, ya, Sayang. Sekarang kita lihat-lihat dulu!”Arzan merasa hatinya hangat melihat keluarga kecilnya berbahagia. Malam itu adalah kesempatan bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama, setelah secara tak sengaja Arzan melakukan perselingkuhan bersama Vio. Mereka melangkah lebih jauh ke dalam pasar malam, terpesona oleh beragam warna dan aroma. Pedagang yang menjajakan makanan tradisional menggoda selera, mulai dari mi aceh yang berasap hingga bakso bakar yang menggo

    Last Updated : 2024-09-28
  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    12. Bayangan Masa Lalu

    Vio duduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap jendela yang tertutup. Angin malam yang sejuk menyelinap masuk, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Namun, kesejukan itu tidak mampu meredakan kegelisahan yang menggerogoti hatinya.Pikirannya kembali melayang pada Arzan. Setiap sentuhan, setiap bisikan, dan setiap tatapan penuh hasrat dari pria itu masih terpatri jelas dalam ingatannya—meskipun itu palsu. Perselingkuhan yang bukan sekadar kesalahan. Sebuah luka yang terus menganga, mengingatkannya pada betapa rapuhnya dirinya. Luka yang secara sadar ia buat sendiri dan akhirnya Vio terjebak dalam perasaannya. Dalam kegelisahan, bayangan masa lalu Vio yang suram kembali menghantui. Vio mengingat saat-saat kelam ketika ia masih kecil. Kedua orang tuanya, yang seharusnya melindunginya, malah menjualnya kepada seorang majikan yang kejam. Hari-hari panjang dihabiskan dengan bekerja tanpa henti, seringkali tanpa makanan yang cukup. Setiap malam, ia tidur dengan perut koso

    Last Updated : 2024-09-28

Latest chapter

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    28. Game On

    Bagian 28 Usai mandi dan tanpa berganti baju mereka semua dibawa oleh Vio ke satu tempat yang belum ia sebutkan sama sekali. Ide itu cukup gila tapi Vio yakin bisa menyelamatkan Sasi dan Rere dari tangan Alda juga Thomas. Daripada terlambat. “Panti asuhan?” gumam Arzan ketika mobil berhenti di satu tempat. Tak pernah terpikirkan olehnya sampai sejauh ini. “Hmm, gak terlalu buruk,” ucap Vio juga sebenarnya ragu. “Tapi mereka masih kecil.” “Yang di dalam panti asuhan anak kecil, kalau orang tua ya di panti jompo.” “Ya, saya tahu.” “Terus?” “Nggak bisa, orang tua mereka masih ada. Alda harus bertanggung jawab.”“Kamu mau Alda kasih makan mereka dari uang hasil jual diri?” “Apa bedanya sama saya yang dibesarkan sama orang tua pakai uang hasil penjualan ilegal.” “Iya, juga sih.” Vio mengetuk-ngetuk stir mobil dan diam sesaat. “Tapi beda, uang dari hasil melacur itu panasnya bukan main. Makanya aku nggak pernah ambil bagian dalam urusan jual beli manusia.” “Jadi papi benar-benar a

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    27. Baby Sitter

    Arzan tak sudi lagi rasanya melihat Alda yang bugil demi lelaki lain. Semurahan itu ternyata wanita yang masih berstatus sebagai istrinya. Lelaki itu kemudian keluar dari rumah dan membawa serta Sasi serta Rere. Tak tega ia melihat dua anak kecil tanpa dosa hidup dengan seorang ular betina berkepala dua pula. “Arzan!” panggil Vio ketika ia membawa anak-anak itu ke dalam mobil. “Saya tahu, Mbak, kita bicarakan ini di dalam mobil,” ujar Arzan ketika membuka pintu. “Enak aja!” Vio menutup paksa pintu hingga suaranya berdentum. “Mbak, kita pergi dulu dari sini. Sebentar lagi tetangga pada datang dan kita bisa jadi bulan-bulanan masa. Ingat kita tinggal di Indonesia yang orangnya masih suka main hakim sendiri.” Vio diam sejenak dan akhirnya ia pun duduk lagi di kursi kemudi. Dengan cepat perempuan itu menyetir dan memutar mobil serta membawa semua yang ada di dalam menjauh dari perumahan sederhana itu. “Oke, begini. Pertama aku udah cukup lelah jadi baby sitter kamu dan sekarang ka

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    26. Anak Mafia

    Air shower mengguyur tubuh Vio dalam waktu yang lama. Perempuan itu lekas kembali ke apartemen dan tanpa basa-basi langsung membersihkan diri. Sialnya semakin air dingin mengguyur tubuhnya semakin ia ingat apa yang telah terjadi semalam. Obat itu tidak membuatnya lupa sama sekali. Hanya memberikan sensasi panas dari ujung rambut sampai kaki. Thomas benar-benar memanfaatkan kesempatan yang langka. “Sialan!” maki Vio entah yang keberapa kali. Ia sudah selesai mandi dan walau bagaiamanapun ia mengelak, kejadi tadi malam tidak akan bisa dibantah. “Semoga tidak ada yang bermain perasaan di antara kami berdua,” ucapnya ketika memilih baju tidur. Iya, mafia tersebut sedang tidak ingin pergi ke mana-mana. Tubuhnya lelah dan sisa-sisa obat masih terasa di dalam aliran darahnya. Vio bahkan tak mau tahu Arzan sedang melakukan apa. Yang kini ia lakukan hanya memandang foto Reza di kamar sampai matanya terpejam kembali. Ketukan di pintu kamar membuat Vio terbangun. Ia melirik jam di dinding d

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    25. Mabuk

    Vio benar-benar sengaja membuat dirinya mabuk. Meski sudah dilarang minum oleh Arzan juga Thomas. Sedangkan Karel sudah pulang terlebih dahulu ketika acara puncak pembukaan bar dimulai. Seorang penyanyi jazz kenamaan Indonesia yang sedang hits mengisi acara bersama seorang DJ professional. Malam semakin larut tetapi semangat para tamu di dalam bar tak juga berhenti. Hentakan musik membuat orang-orang berjoget di lantai dansa walau tanpa saling mengenal. “Nggak mau ke sana?” tanya Thomas yang melirik arlojinya. “Nggak minat. Saya bukan ABG lagi disuruh joged-joged,” sahut Vio sambil cegukan. “Kamu Arzan, kenapa tidak coba menikmati hidup setelah capek ngojek demi makan keluarga.” Pertanyaan Thomas terkesan mencemooh. “Ah, ha ha, saya dari dulu tidak suka dengan musik seperti ini. Terlalu kencang dan membuat jantung berdebar.” “Ya, terus kenapa kamu mau datang?” Vio mulai mengerjapkan mata. Pandangannya mulai kabur. “Menemani Mbak, takut kalau perempuan datang sendiri ke bar.” “

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    24. Reuni

    Vio sedang mengemas diri di dalam kamar. Ia menepati janji untuk datang ke sebuah acara pembukaan bar bersama Arzan. Perempuan yang baru saja mengikalkan rambutnya itu sudah selesai dan terlihat cantik, terlepas dari profesinya sebagai mafia. Vio menggunakan parfum yang wanginya awet dan tahan lama. Selesai, kemudian ia berkaca sekali lagi memastika penampilannya memukau. Sebelum keluar kamar ia memandang foto dirinya dan Reza yang tersenyum cerah tanpa beban. “Gak terasa, aku udah lama tanpa kamu, Sayang. Aku kangen sama kamu.” Vio mengusap wajah Reza. Cinta pertama memang sulit untuk dilupakan, entah sampai kapan perempuan itu akan mencoba move on. Di dalam kamarnya Arzan juga sedang merapikan diri. Kemarin setelah pulang dari butiq ia langsung dibawa ke barber shop untuk menata diri sebagai pribadi yang baru. Hasilnya Vio memilihkan model rambut yang membuatnya terlihat sebagai anak orang kaya. “You ready?” Vio mengetuk kamar Arzan walau pintu terbuka lebar. “Iya, sudah.” Aga

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    23. Curhat

    “Kenapa harus ke sana lagi?” tanya Vio sambil menyetir. “Rindu sama anak-anak,” jawab Arzan sekenanya saja. “Anakmu itu bukan anakmu. Mereka, terutama Alda harus tahu diri.” Vio menekankan demikian. “Mereka masih anak kecil.” “Justru karena masih kecil harus diberi tahu secepatnya. Entar udah keburu besar masih panggil Papa, kan susah.” Arzan diam saja mendengar kata-kata Violetta. Benar memang, tapi rasanya ada hati kecilnya yang belum tega untuk melepaskan Sasi dan Rere. “Kenal Pak Thomas?” Arzan menoleh ketika Vio bertanya demikian. Bagaimana ia tak kenal, dari kecil selalu bertemu. “Kenal. Mbak kenal?” “Yap, aku salah satu orangnya.” “Berarti Mbak salah satu orang suruhan Papi?” “Tepat sekali, sudahlah lebih baik aku jujur aja daripada ditutup-tutupi.” Lega sudah, hilang beban di hati Vio. “Jadi semua ini rencana Papi?” “Hmm, biar kamu gak terus-terusan hidup miskin. Emang enak jadi orang miskin? Kok bisa, kok, bisa, sih? Ya, walau kita nggak pernah ketemu dulu, tapi

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    22. Undangan

    Pagi hari menjelma, atau tepatnya hari hampir siang baru Vio bangun. Sedangkan Arzan tidak ada di apartemen. “Ke mana dia,” gumam Vio sambil menguap. Dapur sudah bersih dari sisa makanan dan baju kotor juga sudah tercuci dengan baik. “Kabur? Mau kabur ke mana, aku kejar sampai ke ujung dunia. Ah, anak papi itu bikin pusing aja.” Vio mengambil ponsel dan mendial nomor lelaki itu. Tersambung tapi tidak diangkat.“Terserah deh, udah tua juga, ngapain harus dijagain 24 jam. Punya akal ya harusnya dipakai mikir.” Wanita dengan rambut pendek sebahu tersebut kemudian mandi dan membersihkan diri, tak lupa memesan makanan siap saji. Seharian ini ia istirahat di apartemen saja. Vio tak ke mana-mana sebab tubuhnya perlu istirahat. Termasuk ia tak ingin diganggu oleh Nada yang kemarin dikirimnya kembali ke Italia. “Tapi ke mana, kamu, kan, nggak punya uang. Nanti malah ngemis lagi di jalan atau jadi ojeg online. Nggak, nggak, Bos Baron bisa marah sama aku.” Vio mengigit ponselnya. Lekas saja

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    21. Satu Atap

    Vio terus menyetir mobil dan kali ini mereka berdua tidak menuju rumah yang dibeli tempo hari dan sudah Arzan ketahui. Namun, wanita dengan rambut hitam legam itu menuju apartement di tengah kota. Iya, Vio mengerti lingkungan di Indonesia tidak akan menolerir tinggal serumah tanpa menikah. “Kamu udah makan?” tanya Vio ketika Arzan melihat ke pinggir jalan terus-terusan. “Sudah,” jawab Arzan singkat. “Makan angin atau makan hati?” “Keduanya.” “Oke, kita makan di rumah aja, aku lagi malas mampir ke mana-mana.” Perempuan dengan mata tajam itu terus berkendara hingga memasuki lingkungan apartement elit dengan harga hunian yang fantastis.“Kita ke mana?” “Ke tempat yang aman, tanpa campur tangan warga. Di sini nggak ada RT RW atau kepala desa, siapa lo siapa gue.” Untuk mencari parkiran butuh waktu sekitar 15 menit dan setelahnya mereka keluar bersama, lalu menaiki lift dan menuju lantai di mana unit Vio berada. “Kamu nggak terlihat canggung dengan semua ini.” Sengaja Vio memancing

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    20. Meninggalkan Luka

    Urusan Vio dan Alda telah selesai. Hampir sehari semalam mereka ada di tempat khusus itu dengan pengawalan Thomas sebagai tangan kanan Tuan Baron. Keduanya terlihat letih usai mengurus urusan yang dilimpahkan secara mendadak. “Pulang dulu, Nad, saya capek, suruh antar anak buah Thomas saja.” Vio menguap. Ia luput dari tidur bahkan istirahat sejenak. “Baik, Bu, tapi urusan Pak Arzan gimana. Pasti mereka sudah …” Nada menjeda ucapannya. “Ya ampun, iya, ya. Kira-kira anak itu di mana sekarang?” Vio masuk dalam sebuah mobil yang disetir oleh anak buah Thomas, Alda turut duduk di sebelahnya. “Saya telpon orang saya dulu.” Nada pun tak tahan lagi untuk menguap cukup besar. Ia pun mendengar penjelasan dari orang yang ia pinta untuk mengawasi Arzan serta Alda. Setelah jawaban didapat panggilan ditutup. “Pak Arzan keluar dari rumah sakit lebih dari 24 jam lalu dan belum kembali sampai sekarang. Alda panik nggak tahu harus apa dan mungkin beliau kembali ke rumah yang kecil mungil dan sempi

DMCA.com Protection Status