Share

4. Siksaan

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-29 15:36:04

“Dari mana, Dek?” tanya Arzan ketika Alda baru pulang.

“Biasa, Mas, cuci setrika di rumah orang,” jawab Alda tanpa rasa bersalah. Setelah ia tinggalkan dua anaknya tanpa pengawasan.

“Mending nggak usah kerja daripada anak kita terlantar. Kamu tahu Rere makan beras mentah di rumah.”

“Ya, kalau aku nggak ikutan kerja, gimana kita mau dapat uang, Mas. Kecuali kamu bisa kasih aku minimal 15 juta tiap bulan. Aku jamin ada di rumah buat melayani kamu 24 jam dan anak-anak. Aku juga nggak harus capek-capek jadi babu di luar.” Alda membuka jaket yang menutupi tubuhnya.

Di dalam jaket ia kenakan baju u can see dan jens ketat. Arzan tak mudah dibohongi begitu saja. Sebab pada umumnya orang mencuci baju akan menggunakan daster.

“Jujur kamu sama, Mas, dari mana? Baju kamu itu bukan tanda kamu habis cuci setrika. Nggak ada aroma sabun sama sekali.”

“Yah, Mas, jangan asal ngomong. Emang mau kamu orang menilai jadi suami gak becus gara-gara istrinya dasteran terus. Kalau aku cantik gini orang juga yakin sama kemampuan aku.”

“Kamu itu mencuci sama nyetrika, Dek, bukan jadi pelacur!” Arzan mulai kehilangan kesabaran. Aroma parfum Alda sangat jelas terhirup oleh hidungnya.

“Astaga, Mas! Kamu nuduh aku jual diri? Nggak tahu malu banget. Harusnya bersyukur udah aku bantuin cari uang.” Alda membanting pintu kamar.

Seketika Rere yang tidur terkejut dan menangis. Wanita dengan kulit putih kemerahan karena skin care itu tak peduli. Ia ambil handuk dan lanjut mandi.

Terpaksa Arzan lagi yang turun tangan menidurkan putri keduanya. Padahal ia sudah mencoba bicara baik-baik. Terus menerus dapat bantahan tentu saja egonya sebagai suami tersakiti.

“Sabar, sabar. Semoga setelah ini penjualan rumahku bisa lancar, paling nggak dapat 5 unit sebulan jadi Alda nggak harus keluar cari kerjaan.” Ia mengalah lagi, entah untuk yang keberapa kalinya.

Ketika Alda sedang mandi, masuk pesan ke ponsel lelaki tinggi tegap itu. Dari nomor baru, ia baca dan tertera di bagian bawah tertanda Violet. Seketika ingatan Arzan tertuju pada wanita single cantik dengan riasan sempurna dan wangi sangat lembut. Isi pesan itu meminta agar Violet dijemput besok pagi.

“Apa si mbak salah kirim pesan? Aku yang jemput, pakai apa?” Demi memastikan, ia balas pesan itu.

Benar Violet minta jemput, tak apa walau harus pakai motor. Namun, Arzan menolaknya, sebab pagi-pagi ia harus mengantar Rere ke sekolah dulu. Ia tawarkan pemesanan taksi online saja.

“Rasanya aneh perempuan secantik Mbak Vio tidak tahu cara pesan taksi online. Jangan-jangan dia cuman berniat menggodaku saja,” gumam Arzan.

“Siap yang mau menggoda Mas emangnya?” gumaman lelaki itu didengar Alda yang baru selesai mandi. Rambutnya basah sehabis keramas.

“Nggak ada, kok. Mas ngomong sendiri.” Daripada ia jujur dan Alda marah.

“Lagian perempuan mana yang mau goda kamu, Mas, uang aja nggak punya sama sekali. Oh, ya, hutang di warung udah aku bayar, tuh, SPP Rere besok kamu aja, ya. Jangan lupa cari uang buat angsuran dua hari lagi. Nanti debt collector datang, ngamuk-ngamuk lagi.” Usai menghina suaminya miskin, dengan enteng Alda menyodorkan beberapa kewajiban.

“Ya, Mas tahu.” Arzan teringat dengan Violet lagi. Namun, cepat-cepat ia berpaling dan memdang istrinya yang hanya mengenakan daster tipis saja.

Sudah waktunya istirahat malam. Baru lelaki dengan wajah tampan itu ingat, rasanya sudah hampir sebulan ia tak dapat pelayanan ranjang dari Alda.

“Dek, kamu nggak lagi halangan, kan?” Tangan Arzan menyentuh pinggang Alda.

“Nggak, sih, tapi aku lagi males, capek tahu! Nyuci banyak banget sama nyetrika. Udah akut tidur dulu sama anak-anak, kamu sana gih ke kamar sendiri.” Penolakan lagi, entah sampai kapan Alda begitu terus.

Lelaki penyabar itu hanya bisa mengelus dada saja. Arzan sadar kurang bisa memberikan uang pada Alda, tapi tak sekali pun ia pernah berkata atau berbuat kasar. Apakah meminta sebuah sentuhan tak layak ia dapatkan.

Hingga akhirnya Arzan menahan hasrat sampai tertidur. Dan itu berulang lagi selama tiga hari. Jenuh, ia butuh hiburan di tengah kerasnya menjalani hidup.

***

Siang harinya Violet mengirim pesan pada Arzan. Sebuah permintaan tolong karena perempuan cantik itu tersasar setelah taksinya mogok. Mau tak mau ia harus menolongnya. Padahal Arzan harus bagi-bagi brosur untuk mengejar target.

“Maaf, Mbak, saya lama. Lagian Mbak ngapain bisa sampai ke tanah kosong dan sepi jauh dari perumahan?” Lelaki dua anak tersebut menurukan standar motornya.

“Nggak tahu, Mas, aku ketiduran di taksi, jadi tahu-tahu diturunkan di sini. Eh, nggak apa-apa ya, sebut aku. Kalau pakai saya berasa formal banget di kantor.”

“Nggak apa-apa, Mbak, santai aja. Yuk, pergi.” Lekas Arzan memberikan sebuah helm.

Violet duduk menyamping dan kembali memeluk lelaki itu dengan erat. Rasanya Arzan harus membiasakan diri untuk berdekatan dengan orang asing.

“Makan dulu, Mas, lapar habis nyasar.” Violet menunjuk sebuah restaurant mahal. Arzan sungkan, uangnya tak akan cukup. “Tenang aja, aku yang bayar, Mas.”

Tak hanya dibayarkan oleh Violet, tapi perempuan dengan kulit cantik dan sehat itu meminta agar Arzan membungkus buat keluarganya di rumah. Meski malu-malu tetap diambil juga oleh Arzan, sekalian menghemat pengeluaran.

“Makasih, Mas, besok aku repotin lagi, ya. Aku udah coba pakai taksi tahunya nyasar. Supir mobilku pulang kampung.” Violet mengembalikan helmnya pada Arzan. Ia diantar sampai ke rumah baru yang sudah ditempati langsung.

“Baik, Mbak,” jawab lelaki itu sambil tersenyum.

Siapa sangka Violet akan menyodorkan dua lembar uang merah untuknya. Awalnya ditolak Arzan, tapi karena dipaksa akhirnya diambil juga. Kata Vio untuk mengganti uang minyaknya yang habis.

Lelaki dengan tubuh tinggi dan tegap itu pulang dengan perasaan bingung. Secara naluri laki-laki Vio cantik dan lembut. Tapi seperti kata istrinya tak mungkin ia akan dilirik karena kemiskinan jadi penghalang.

“Ya, ampun aku mikir apa ini? Aku sudah punya istri.” Arzan menggeleng. Ia harus fokus pada kebahagiaan keluarga di rumah. Uang yang ia dapat akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

***

Sampai di rumah, kembali Alda tidak ada. Untungnya Sasi dan Rere tidur lelap, tersisa Arzan yang harus mencuci tumpukan piring. Ketika sedang fokus membilas sisa sabun, suara ketukan pintu terdengar begitu nyaring. Lekas ia buka dan lagi-lagi debt collector yang sama datang.

“Bacot memang lu, ya. Bayar hutang!” Pintu dibanting dengan kuat. Kali ini yang datang empat orang lelaki.

“Bang, uangnya sudah saya kasihkan istri. Harusnya sudah dibayar.”

“Nggak ada bini lu datang. Dari kemarin gue tungguin. Bayar hutang bini lo sekarang.”

“Saya nggak ada uang lagi, Bang, sumpah.” Arzan mundur beberapa langkah.

“Udah culik aja dua anaknya terus jual jadi pelacur!”

“Ampun, Bang, jangan, saya bisa jelasin, atau kasih saya waktu buat kumpulin uang lagi.” Lelaki itu mengiba dengan sungguh-sungguh.

“Gue males berurusan sama orang nunggak kayak lu. Oke, gue nggak akan ambil anak lu, tapi lu harus dapat pelajarannya.” Debt collector itu melirik anak buahnya.

Tanpa pikir panjang dan tanpa ampun, sebuah pukulan disusul tendangan mendarat di tubuh Arzan. Pintu rumah itu dikunci rapat hingga tidak ada tetangga yang melihat.

Sasi yang bangun masuk lagi ke dalam kamar dan menangis sesenggukan. Arzan lebam dan kesakitan, siksaan tadi membuatnya muntah di lantai. Debt collector dan anak buahnya pulang setelah puas menyiksanya.

Bab terkait

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    5. Degup Jantung

    Alda mengompres wajah Arzan yang lebam dengan air hangat. Tidak hanya itu saja, perut suaminya juga kebiruan kearena bekas tendangan. Sakit. Tepatnya di bagian hati terdalam lelaki dua anak tersebut. Istrinya tidak bisa menjaga pesan dengan baik. Bukan mudah mencari uang dua juta dalam waktu singkat. “Mas, kita ke bidan terdekat, ya, aku takut lihat kamu begini,” ucap Alda. Ada rasa sesal di dalam hatinya. Uang dua juta itu juga ia gunakan untuk hal mendesak juga. Arzan tidak menjawab, ia bangkit bahkan menepis pertolongan istrinya. Lelaki itu masih marah, tapi tak bisa berbicara. Sakit di urat perut menjalar sampai ke bibir. Ketika minum air putih saja terasa sekali pedihnya. “Mas, maafin, aku, ya. Uangnya aku pakai buat kirim ke orang tua di kampung.” Alda menundukkan kepala. Arzan menggeleng. Kepercayaannya sudah dikhianati. Apakah istrinya tak bisa berdiskusi dulu padanya. Dia masihlah kepala keluarga walau tidak kaya. Lelaki yang mencintai Alda tanpa pamrih itu masuk ke kam

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-01
  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    6. Janji Palsu

    “Saya harus pulang, Mbak, anak sama istri saya menunggu di rumah.” Arzan menjauh sejenak. Tak baik di rumah berdua saja dengan perempuan yang tidak ada ikatan apa-apa dengannya. Takut terjerumus dalam hubungan terlarang. “Tunggu. Aku agak trauma hampir jatuh tadi. Bentar aja, please,” ucap Vio sambil memelas. “Ya sudah saya tunggu di luar saja.” Baru saja Arzan akan beranjak, Vio malah menjatuhkan kepala ke bahu lelaki tersebut. Entah apa rencana wanita licik itu kali ini. “Mbak,” ujar Arzan perlahan. Ia memikirkan Sasi dan Rere di rumah. “Aku capek, mungkin karena kurang istirahat. Tolong kalau kamu pulang kunci pintu aja dari luar dan bawa. Besok agak siang aja ke sini, aku ada rapat penting sama klien.” Dengan agak berat Vio mengangkat kepala. Kemudian ia berbaring di ranjang miliknya. Handuk yang menutupi tubuhnya agak tersingkap. Arzan pun lekas berpaling. “Mbak nggak apa-apa ditinggal sendirian?” Arzan yang sedang sakit pun tak tega melihat Vio sendirian. Tak menjawab, per

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-12
  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    7. Pemerasan

    Alda menatap kepergian Arzan dengan lesu. Ia sadar selama ini sudah terlalu keras dengan suaminya. Namun, wanita dengan kulit putih tak sehat itu terpaksa melakukannya. Ia juga lelah mencari uang akhir-akhir ini. Selain untuk menutupi kebutuhan keluarga juga demi membayar utang-utangnya. Memang kebutuhan rumah tangga bukanlah tanggung jawab Alda. Tapi ia tak tega melihat dua anaknya merengek terus minta jajan. Dahulu kehidupan mereka sangat berkecukupan sampai hantaman ekonomi ditambah resesi datang tak ada habisnya. Dahulu Alda bersediah dinikahi Arzan karena lelaki itu berjanji akan bertanggung jawab penuh dengan semua kebutuhannya. Memang ditepati dan suaminya sosok sangat sempurna di matanya. Hanya saja bagi Alda, Arzan bukanlah cinta pertamanya. Terdengar munafik tapi memang demikian adanya. Alda bersedia dinikahi oleh Arzan karena tidak adanya kepastian dari bekas pacarnya dulu. Lebih parahnya lagi saat sudah menikah mantan pacarnya justru datang memberikan angin surga dan te

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-14
  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    8. Kamar Hotel

    Arzan menyetir mobil milik Vio. Sedangkan perempaun itu duduk di kursi belakang sambil memeriksa beberapa berkas. Hotel yang mereka tuju merupakan hotel bintang lima dengan layanan luxury dan bisa diprivat. Tentu saja yang datang rapat adalah orang-orang Vio. Sedan putih itu memasuki arena parkir mobil. Vio turun di bagian depan hotel dan pintu tergeser sendiri lalu ia berjalan masuk menuju lobi. Di sana ia duduk sebentar dan tak lama kemudian Nada datang menghampirinya. “Baru ini kita rapat di hotel mewah, Bu, biasanya juga di ruangan sendiri,” ucap Nada dengan pakaian cerah hari ini. “Demi totalitas dalam sandiwara kita. Modelan lelaki seperti Arzan itu susah sadar karena bucin dan dia harus kapok duluan. Sudah kamu cari tahu tentang istrinya itu. Saya, kok, nggak yakin ya dia perempuan baik-baik.” Vio melipat dua tangannya di dada. Sebelah kakinya bergerak-gerak menunggu kedatangan Arzan. “Sedang kami cari tahu, Bu, dan kalau informasinya sudah valid 1000% akan saya beritahu s

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-16
  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    9. Tanpa Rasa

    Vio dan Arzan makan di restaurant hotel bersama. Tanpa malu-malu bahkan ia membebaskan lelaki itu memesan apa saja yang diinginkan untuk keluarganya. “Nggak usah sungkan, Mas, kali aja anak-anak di rumah suka sama udang tempura, kan? Di warung mana ada jual yang ukuran gede gini.” Vio memindahkan udang goreng tepung ke piring Arzan. “Iya, makasih, Mbak,” jawab Arzan sungkan. “Kok nggak pesan juga?” Perempuan itu sadar kalau Arzan kelewat malu untuk memesan sendiri. “ Ya udah …” Kemudian Vio meminta pada pelayan agar membungkus apa yang ia makan sebanyak tiga porsi untuk keluarga Arzan di rumah. “Kebanyakan tiga porsi, Mbak.” “No, no, anak kamu, kan, butuh protein buat tumbuh kembangnya. Jangan dilarang-larang, nanti stunting loh.” “Iya, Mbak, sekali lagi makasih.” “Nggak usah sering-sering bilang makasih, ya, aku jadi sungkan. Biasa aja anggap kita temenan.” Malah Arzan yang seharusnya sungkan. Tugasnya sebagai supir dadakan hanyalah menemani Vio ke tempat-tempat yang dituju.

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-23
  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    10. Drama Perselingkuhan

    Arzan mulai menggeliat. Dengan terburu-buru Vio membuka semua pakaian, mengacak-acak rambut, lipstick, meneteskan beberapa obat tetes mata, dan terakhir masuk dalam selimut dalam keadaan sadar. Perlahan-lahan Arzan bangkit, kepalanya masih terasa pusing. Sensasi yang ditinggalkan oleh obat pemberian Vio luar biasa membuatnya berhalusinasi dan ia kini sudah sadar. Ketika menoleh ke samping ia lihat perempuan di sebelahnya santai saja memainkan ponsel. “Mbak Vio,” ucapnya dengan kepala pusing. “Iya, kenapa, puas yang tadi, tiga jam yang panas banget, Mas,” jawab perempuan itu bohong. Ya ada benarnya juga walau sedikit. “Hah, tiga jam. Tiga jam kita ngapain?” Baru Arzan sadari Vio tak menggunakan pakaian ketika berdiri dari ranjang hinga terlihat sudah bagian punggungnya. Lekas lelaki itu berpaling, dan makin lama ia makin sadar apa yang terjadi pada diri sendiri. “Pikir aja sendiri, kamu, bukan anak kecil lagi, Mas. Udah, ya, aku mau mandi dulu. Lengket banget rasanya dan makasih b

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-26
  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    11. Pasar Malam

    Pasar Malam yang BerwarnaSuasana di pasar malam dipenuhi dengan gemerlap lampu dan suara riuh dari para pedagang. Arzan, seorang pria bertubuh tinggi dengan senyuman hangat, menggenggam tangan Alda, istrinya. Mereka berjalan beriringan, diapit oleh dua anak mereka, Sasi dan Rere yang berlari-lari penuh semangat.“Papa! Lihat! Ada wahana itu!” seru Sasi, menunjuk ke arah komedi putar yang berputar dengan cepat. Matanya berbinar, mencerminkan kegembiraan yang sulit disembunyikan.Alda tertawa, mengangguk. “Kita coba nanti, ya, Sayang. Sekarang kita lihat-lihat dulu!”Arzan merasa hatinya hangat melihat keluarga kecilnya berbahagia. Malam itu adalah kesempatan bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama, setelah secara tak sengaja Arzan melakukan perselingkuhan bersama Vio. Mereka melangkah lebih jauh ke dalam pasar malam, terpesona oleh beragam warna dan aroma. Pedagang yang menjajakan makanan tradisional menggoda selera, mulai dari mi aceh yang berasap hingga bakso bakar yang menggo

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-28
  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    12. Bayangan Masa Lalu

    Vio duduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap jendela yang tertutup. Angin malam yang sejuk menyelinap masuk, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Namun, kesejukan itu tidak mampu meredakan kegelisahan yang menggerogoti hatinya.Pikirannya kembali melayang pada Arzan. Setiap sentuhan, setiap bisikan, dan setiap tatapan penuh hasrat dari pria itu masih terpatri jelas dalam ingatannya—meskipun itu palsu. Perselingkuhan yang bukan sekadar kesalahan. Sebuah luka yang terus menganga, mengingatkannya pada betapa rapuhnya dirinya. Luka yang secara sadar ia buat sendiri dan akhirnya Vio terjebak dalam perasaannya. Dalam kegelisahan, bayangan masa lalu Vio yang suram kembali menghantui. Vio mengingat saat-saat kelam ketika ia masih kecil. Kedua orang tuanya, yang seharusnya melindunginya, malah menjualnya kepada seorang majikan yang kejam. Hari-hari panjang dihabiskan dengan bekerja tanpa henti, seringkali tanpa makanan yang cukup. Setiap malam, ia tidur dengan perut koso

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-28

Bab terbaru

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    38. Lari!

    Arzan menggeliat ketika kesadarannya sudah kembali dengan baik. Malam tadi begitu panjang dan terasa indah saat memadu asmara dengan Vio. Lelaki itu melihat ke sisi ranjang, teman tidurnya tidak ada. Lalu pintu kamar mandi terbuka, Vio keluar dalam keadaan segar bugar. “Terima kasih untuk tadi malam, Bos,” ucap Vio sambil mengeringkan rambut. “Bos?” ulang Arzan. “Iya, kamu, kan, sebentar lagi jadi bos aku.” “Persetan dengan semua itu.” Arzan masih malas bangkit. Mungkin lebih baik untuk tidur dari siang sampai malam lagi. Bel di pintu kamar berbunyi. Vio membuka pintu dan layanan hotel datang membawakan satu meja dorong berisi makanan yang dipesan dan dua pasang baju bersih yang dibeli oleh Vio sesuai size. “Mandi saja, ganti baju dan kita makan. Aku harus antar kamu kembali ke basecamp buat latihan.” “Kalau hanya untuk gym, lebih baik yang ada di apartement, sama aja cuman beda beban.” “Beda, Sayang, ke basecamp lebih baik, nanti aku jemput pas malam.” Vio mendekat dan menye

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    37. Jerat Asmara

    Ketika Karel sadar dari mabuk, ia membuka mata dan terkejut ternyata wanita di sebelahnya bukanlah Vio. Padahal tadi ia ingat sekali sedang menarik tangan wanita itu sampai ke dalam kamar. “Jalang, sedang apa kamu di kamar saya?” Karel menampar pelayan kapal itu cukup kuat hingga pipinya merah. Tak disangka ternyata lelaki bermata biru tersebut menghabiskan malam bersama perempuan murahan. “Mana Vio?” tanyanya sambil memakai baju dan memegang kepalanya yang terasa pusing. Niat hati menipu Vio tapi malah dirinya yang kena getah duluan. “Saya nggak tahu, Bapak yang tiba-tiba tarik tangan saya ke kamar,” jawab pelayan itu sambil memegang pipinya. “Seharusnya kamu melawan, kalau kamu mau tandanya kamu perempuan murahan!” Karel sudah selesai pakai baju dan ia membuka pintu. Di luar kamar Ica sudah menunggu, malas ladyguard itu menunggu Arzan dan Vio yang sedang bermesraan. “Kasih pelajaran perempuan itu, beraninya dia menyentuh tubuh saya yang mahal.” Perintah Karel. Ica mengangguk, i

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    36. Angin Laut

    “Ngapain di sini?” Seorang perempuan menepuk bahu Arzan. Ketika lelaki itu menoleh ternyata Vio di belakangnya. “Aku pikir Mbak …” Arzan tak jadi memegang gagang pintu. “Ngapain?” Vio menaikkan sebelah alisnya. “Ehm, itu, anu.” Arzan ragu-ragu. “Oh, itu bukan aku, yuk, gak bagus nguping orang sedang bersenang-senang, privasi.” Vio menarik tangan Arzan. “Berarti yang di kamar itu?” Arzan masih penasaran, setahunya ruang di atas khusus untuk Karel. “Iya, tepat sekali kakak kamu sama …” “Bianka?” “Vanessa istrinya.” “Oh, sama istrinya, bagus kalau gitu.” “Nggak, bukan sama istrinya, tapi sama pelayan perempuan lain.” Vio tersenyum sambil mengendikkan bahu. “Hah, tunggu sebentar, saya jadi tambah bingung. Dia di kamar lagi sama pelayan atau sama istrinya?” Pertanyaan Arzan penuh isyarat. “Iya, namanya juga laki-laki, seperti kamu, kan, belum resmi cerai tapi kita udah tidur berdua. Menurut kamu kita ini murahan nggak?” Vio turun tangga dengan perlahan sambil mengangkat gaun pa

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    35. Cerutu

    “Kalian berdua kenapa? Seperti anak kecil saja!” Adrian memisahkan Vio dan Ica yang terlibat baku hantam. “Dia yang mulai duluan.” Vio merapikan rambutnya yang acak-acakan. Ada bekas cakaran di bagian leher. Sedikit terasa perih. “Dia yang melanggar perintah Bos Karel,” balas Ica tak kalah berantakan. Bagian dadanya sakit kena pukul oleh Vio. “Jadi karena rebutan laki-laki?” tanya Adrian sambil memandang dua wanita tangguh itu satu demi satu. “Gak!” Kompakan wanita itu menjawab. “Sudah, jangan seperti anak kecil rebutan permen. Sebentar lagi tamu undangan akan datang. Rapikan diri kalian berdua, kelihatan seperti pelacur selesai melayani pembeli.” Adrian berdecih. Ia merapikan kemeja putihnya yang sedikit terasa tak nyaman. “Tapi saya nggak bisa ikut pesta, Pak.” Vio mengatur napasnya. “Tidak ada waktu untuk bilang tidak. Rapikan diri sebisanya, beberapa orang ingin bertemu kamu secara langsung. Pesta tanpa kamu itu hambar, Vio.” “Dasar caper! Udah dibilang gaun disiapkan Bos

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    34. Jalang

    “Sepertinya kamu harus belajar sopan santun untuk menghargai bos di sini.” Ica sengaja memecahkan gelas di lantai. Perhatian beberapa orang jadi tertuju pada mereka berdua. “Bos? Kenal Baron Hermanto? Dia satu-satunya bos yang paling tinggi di sini.” Menambah suasana semakin ramai, Vio juga menjatuhkan gelas di lantai sampai pecah. “Cukup. Kita di sini bukan untuk mendengar dua perempuan memperebutkan satu laki-laki.” Karel menyudahi keributan itu. “Saya tidak pernah rebutan laki-laki.” Vio meniup poninya yang menutupi mata. “Kita bahas soal Arzan belakangan. Ada yang lebih penting. Silakan dijelaskan, Pak Adrian.” Karel mempersilakan salah seorang kepercayaan Thomas untuk melakukan presentasi. Vio dan Arzan mendengarkan dengan seksama. Arzan jadi semakin tahu bahwa keluarga besarnya ternyata benar-benar menguasai dan mengendalikan semua bisnis di Indonesia, termasuk memonopoli persediaan kebutuhan pokok yang sering membuat harga naik. “Namun, kali ini saya tidak membahas soal h

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    33. Interupsi

    Vio terbangun ketika alarm ponselnya berbunyi. Ia lupa hari ini harus bertemu dengan Karel membahas masalah tambang emas dan beberapa urusan lain. Namun, tentu saja perempuan itu tak akan pernah lupa kejadian tadi malam yang dilewati dengan penuh kesadaran. Awalnya hanya sebuah tatapan, kemudian berlanjut menjadi sebuah kecupan hangat dan dalam. Lalu layaknya manusia biasa yang mudah terbawa perasaan, keduanya pun mengulang lagi peristiwa di dalam bar tempo hari. “Ini bukan kesialan, ini emang aku yang gatel jadi perempuan,” ucap Vio menyadari dirinya yang salah. Ia bangun dan meraih handuk yang berserakan di lantai dan lekas membalut tubuh. Sebelum ke kamar mandi mafia dengan mata jernih dan tajam itu memandang fotonya dan Reza. Foto yang menjadi saksi bisu peristiwa panas di ranjang yang dulu menjadi tempat Vio memadu asmara bersama Reza.“Aku malu kamu lihat aku seperti ini. Nanti kalau aku sudah bisa mengendalikan perasaanku yang kesepian, aku pajang kamu lagi di dinding.” Dua

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    32. Wangi

    “Aku pikirin nanti, karena orang yang terlibat langsung itu Thomas dan Baron Hermanto. Aku berani jamin kamu nggak akan tega menyakiti papimu.” Vio tersenyum kecut. Bagaimanapun darah itu selalu lebih kental daripada air. “Mungkin sekarang tidak, tapi suatu hari nanti atau beberapa tahun kemudian. Bisnis tidak dibangun dalam satu malam, begitu juga kekuatan tidak mungkin dibangun dalam dua hari.” “Pintar, akhirnya kebodohan karena cinta itu pergi juga. Bagus, next time jangan bertemu Alda lagi.” “Saya hanya ingin melihat anak-anak, sesekali.” “Bisa nanti kalau udah santai.” Vio duduk di bale-bale. Di belakangnya terdapat warung harian milik warga atau mungkin milik salah satu abdi negara yang mengambil peruntungan ganda. Lumrah sudah usaha demikian mengingat kata mereka gaji kecil dan kebutuhan hidup semakin besar. Mata perempuan itu mengawasi setiap pekerja dengan menggunakan teropong. Ia harus bekerja keras karena kali ini hasil tambang sangat memuaskan dan perkiraan keuntunga

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    31. Gold Digger

    Arzan menyetir mengikuti arah bus yang ada di depannya. Di belakang mereka ada dua jeep yang mengikuti. Sesuai dugaannya iringan kendaraan itu diperiksa oleh polisi ketika melewati arah luar kota. Dan seperti biasa selalu lolos setelah beberapa negosiasi termasuk pemberian amplop. “Polisi di Indonesia bisa dibeli kejujurannya,” gumam Vio sambil menguap. “Kalau di Italia?” “Sangat susah, tapi pasti ada yang bisa, biasanya aku ajak kerja sama yang mau, yang tidak mau ya nggak diajak.” “Semudah itukah?” “Teori dan praktek selalu beda jauh. Ikuti aja ya, bus di depan aku mau tidur dulu bentar, ngantuk.” Vio mengatur tempat duduk di mobilnya jadi lebih landai. Tak butuh waktu lama bagi perempuan itu untuk terlelap dan ke alam mimpi. Vio benar-benar tak peduli walau wajahnya terlihat jelek saat tidur, bahkan suara dengkur halus terdengar perlahan dan membuat Arzan menghidupkan musik yang suaranya slow sekali. “Semoga ketemu Reza di alam mimpi, kasihan kamu, Mbak, kesepian. Ya, sama

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    30. Mature

    Bagian 30 Pagi hari usai sarapan berat full protein dan minum susu yang khusus untuk laki-laki, Arzan kemudian melakukan olah raga pertamanya. 60 menit ia diminta untuk lari di treadmill. Awalnya perlahan kemudian semakin lama semakin kencang. Jujur saja, lama tak latihan hal-hal seperti itu membuat otot di sekujur tubuh Arzan menjadi kaget. Rasanya ia ingin minta istirahat seminggu lamanya. Namun, tak mungkin sebab semua lelaki di sana rutin berolahraga. Tempat itu bukan gym, melainkan salah satu markas di mana orang-orang Baron yang kemudian diperintah oleh masing-masing tangan kanannya, tinggal. Sambil menunggu ada perintah lebih lanjut. Biasanya mereka tidak akan menganggur sampai lima hari, ada saja pekerjaan yang harus diselesaikan. Sambil menunggu, para lelaki bujang itu akan membentuk tubuh lebih kuat sebab kegiatan mereka benar-benar menguras fisik. “Berhenti dulu, saya nggak kuat.” Arzan menyerah ketika ia diminta mengangkat kakinya sangat tinggi. Latihan di dalam sana

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status