Share

6. Janji Palsu

“Saya harus pulang, Mbak, anak sama istri saya menunggu di rumah.” Arzan menjauh sejenak. Tak baik di rumah berdua saja dengan perempuan yang tidak ada ikatan apa-apa dengannya. Takut terjerumus dalam hubungan terlarang.

“Tunggu. Aku agak trauma hampir jatuh tadi. Bentar aja, please,” ucap Vio sambil memelas.

“Ya sudah saya tunggu di luar saja.” Baru saja Arzan akan beranjak, Vio malah menjatuhkan kepala ke bahu lelaki tersebut. Entah apa rencana wanita licik itu kali ini.

“Mbak,” ujar Arzan perlahan. Ia memikirkan Sasi dan Rere di rumah.

“Aku capek, mungkin karena kurang istirahat. Tolong kalau kamu pulang kunci pintu aja dari luar dan bawa. Besok agak siang aja ke sini, aku ada rapat penting sama klien.” Dengan agak berat Vio mengangkat kepala. Kemudian ia berbaring di ranjang miliknya. Handuk yang menutupi tubuhnya agak tersingkap. Arzan pun lekas berpaling.

“Mbak nggak apa-apa ditinggal sendirian?” Arzan yang sedang sakit pun tak tega melihat Vio sendirian.

Tak menjawab, perempuan cantik itu memejamkan mata dengan erat. Arzan lekas menutupi Vio dengan selimut tebal. Ia matikan lampu dan menutup pintu walau agak ragu meningalkan Vio seorang diri.

Sejenak Arzan mengemas diri dan memakai lagi jaketnya yang diletakkan di kursi. Ia sudah jauh lebih baik dari tadi malam. Andai ia tak punya keluarga, pasti Vio sudah ditemani.

Lelaki itu mengunci pintu rumah sesuai permintaan sang pemilik. Ia starter motor, panaskan sejenak, dikeluarkan, lalu mengunci pagar dan semua kunci ia bawa. Arzan berjanji akan kembali besok pagi secepatnya.

Violetta bangun ketika suara motor tak terdengar lagi. Perempuan cantik itu melihat dari dalam rumah ketika hanya tersisa asap motor Arzan saja di pekarangan. Senyumnya terkembang. Langkahnya untuk dekat dengan putra Baron Hermanto semakin menunjukkan hasil.

“Kalau bukan demi uang, saya tidak akan mendekati lelaki lemah seperti kamu. Hidup mau aja diatur perempuan gak bener.” Vio menutup tirai dan melangkah masuk ke kamar. Di sana ia hidupkan laptop dan memulai pekerjaan rahasia yang ia tekuni. Violetta bukanlah perempuan yang bisa dipandang sebelah mata.

“Halo, iya, kenapa?” Vio menjawab panggilan dari Nada—asprinya. “Udah nggak usah banyak bicara, kalau dia nggak ada gunanya buat kita, hilangkan tanpa barang bukti.” Klik. Panggilan ditutup oleh salah satu tangan kanan Baron Hermanto.

***

Arzan kembali ke rumah. Namun, pemandangan pertama yang ia temukan justru istrinya tengah bersama dengan tiga penagih utang kemarin. Lelaki itu masih ingat bagaimana rasanya dihajar tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan.

“Datang juga, nih, si bodat. Bayar utang bini lu!” hardik si botak yang paling kejam.

“Bang, kasih kami tempo, bisa? Saya lagi nggak ada uang. Tiga hari lagi saya janji bayar.” Alda memelas sambil menangkupakan dua tangan.

“Haaah! Bacot. Dari dulu mangkir aja kerjanya. Bayar gak, atau anak lu gue jual!”

“Tapi biasanya ada tempo, Bang.” Alda ketakutan. Arzan menghela napas berat.

“Saya bayar seadanya dulu, bisa, Bang?” tanya lelaki itu. Sebab mereka telah menjadi bahan tontonan tetangga yang sengaja melihat.

“Terserah, yang penting ada duit malam ini.” Si botak menunjuk wajah Arzan.

Lelaki dengan dua anak tersebut mengeluarkan uang pemberian Vio tadi. Setengah juta lebih melayang begitu saja tanpa tertinggal selembar pun.

“Gitu, donk! Lu bayar, gue seneng, kita temenan.” Debt collector segera berlalu. Tapi sebelumnya ia tinggalkan pesan akan kembali satu minggu lagi untuk mengambil sisa tagihan yang ada.

“Mas,” panggil Alda tapi tidak dipedulikan oleh Arzan. “Mas, kamu masih marah sama aku?” Duar! Pintu kamar dibanting oleh Arzan. Alda kaget, selama menikah, baru kali ini suaminya kasar. “Apa aku udah keterlaluan, ya?” gumamnya sambil menundukkan kepala.

Di dalam kamar lelaki tinggi dan tegap itu berkaca. Baru kali ini ia merasa begitu dipecundangi oleh seorang perempuan bergelar istri.

“Apa yang tidak pernah aku berikan sama kamu, Alda? Tapi tindakan kamu kali ini sudah kelewat batas.” Ia terduduk di pinggir ranjang sambil memegangi rambutnya.

Semua upaya telah Arzan lakuka agar keluarga kecilnya berkecukupan. Andai saja tak ada utang tanpa sebab yang dibuat Alda, tentu ia tak akan bingung ke mana mencari uang.

“Untung ada Mbak Vio yang baik sama aku.” Arzan merebahkan diri di ranjang.

Matanya terpejam sejenak lalu ia buka lagi. Teringat ia bagaimana nasib Vio ditinggal sendirian di rumah. Ingin ke sana juga, tapi bagaimana dengan kedua putrinya?

Arzan mengirim pesan, berharap dapat balasan, tapi pesan itu tak dipedulikan oleh Vio yang ia tinggal ketika sedang tidur. Atau mungkin perempuan itu sedang keluar rumah dan mengerjakan urusan penting.

***

Alda melihat ke kamar di mana Arzan masih belum mengizinkannya untuk masuk. Wanita itu menarik napas berat. Sungguh ia menyesal, tapi ia pun tak punya pilihan lain.

Alda diperas habis-habisan, oleh lelaki yang mengetahui masa kelamnya dulu. Ia bukanlah sebaik yang dikira oleh suaminya. Entah sampai kapan bangkai itu bisa ditutupi.

“Aku harus gimana, ya?” Alda masuk ke kamar di mana Rere dan Sasi sedang tidur. Ia rebahkan diri di sisi paling pinggir. Semua masalah ia buat sendiri, dan ternyata wanita itu tak bisa menyelesaikannya dengan baik.

“Andai waktu bisa diputar lagi, aku nggak akan terjerumus dalam urusan gila itu. Sekarang gimana? Semua udah terjadi. Kalau Mas Arzan tahu, bisa dia ceraiin aku. Nanti aku dapat uang dari mana untuk membiayai kehidupan sehari-hari sama kebutuhan dua anakku.” Alda mengelus rambut Rere.

Sesekali ia lirik Sasi juga, dua anak perempuan yang dominan mirip dengannya. Arzan begitu menyayangi mereka sepenuh hati.

“Nggak, lelaki seperti Mas Arzan harus jadi suamiku selamanya. Aku harus bisa membuat dia betah. Aku janji nggak akan bentak-bentak dia lagi. Aku akan mulai semua dari awal sebelum terlambat.”

Nyatanya Alda tertidur pulas sampai pagi. Ketika Arzan bangun, bahkan tumpukan piring kotor dengan aroma makanan basi belum juga dicuci.

“Sesibuk apa kamu, Alda? Sampai urusan begini juga aku yang harus turun tangan. Selain fisik, apa harga diri aku juga ingin kamu hancurkan?” Walau demikian Arzan tetap turun tangan membantu pekerjaan istrinya.

Alda bangun dan terkejut melihat semuanya sudah rapi. Ia menepuk dahi sendiri. Wanita itu terlena dengan rasa sejuk di dalam kamar.

“Mas, aku buatin sarapan, ya?” Alda berusaha bersikap manis pagi itu. Arzan hanya menggeleng saja. “Mas, jangan cuekin aku. Aku minta maaf, aku janji nggak akan ngutang lagi sama orang lain, sumpah demi Tuhan.”

“Sudah, ya, Mas pergi dulu. Jangan pergi ke mana-mana, temani Rere sama Sasi di rumah, kasihan mereka kamu tinggal-tinggal terus. Tanggung jawab cari uang itu ada sama saya selaku kepala keluarga, mengerti kamu?” Usai mengucapkan kalimat tersebut, Arzan memegangi perutnya yang masih terasa nyeri.

Sesegera mungkin lelaki itu berlalu, ia ada janji untuk menjenguk Violetta yang ditinggal sendirian tadi malam.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status