Alda menatap kepergian Arzan dengan lesu. Ia sadar selama ini sudah terlalu keras dengan suaminya. Namun, wanita dengan kulit putih tak sehat itu terpaksa melakukannya. Ia juga lelah mencari uang akhir-akhir ini. Selain untuk menutupi kebutuhan keluarga juga demi membayar utang-utangnya. Memang kebutuhan rumah tangga bukanlah tanggung jawab Alda. Tapi ia tak tega melihat dua anaknya merengek terus minta jajan. Dahulu kehidupan mereka sangat berkecukupan sampai hantaman ekonomi ditambah resesi datang tak ada habisnya. Dahulu Alda bersediah dinikahi Arzan karena lelaki itu berjanji akan bertanggung jawab penuh dengan semua kebutuhannya. Memang ditepati dan suaminya sosok sangat sempurna di matanya. Hanya saja bagi Alda, Arzan bukanlah cinta pertamanya. Terdengar munafik tapi memang demikian adanya. Alda bersedia dinikahi oleh Arzan karena tidak adanya kepastian dari bekas pacarnya dulu. Lebih parahnya lagi saat sudah menikah mantan pacarnya justru datang memberikan angin surga dan te
Arzan menyetir mobil milik Vio. Sedangkan perempaun itu duduk di kursi belakang sambil memeriksa beberapa berkas. Hotel yang mereka tuju merupakan hotel bintang lima dengan layanan luxury dan bisa diprivat. Tentu saja yang datang rapat adalah orang-orang Vio. Sedan putih itu memasuki arena parkir mobil. Vio turun di bagian depan hotel dan pintu tergeser sendiri lalu ia berjalan masuk menuju lobi. Di sana ia duduk sebentar dan tak lama kemudian Nada datang menghampirinya. “Baru ini kita rapat di hotel mewah, Bu, biasanya juga di ruangan sendiri,” ucap Nada dengan pakaian cerah hari ini. “Demi totalitas dalam sandiwara kita. Modelan lelaki seperti Arzan itu susah sadar karena bucin dan dia harus kapok duluan. Sudah kamu cari tahu tentang istrinya itu. Saya, kok, nggak yakin ya dia perempuan baik-baik.” Vio melipat dua tangannya di dada. Sebelah kakinya bergerak-gerak menunggu kedatangan Arzan. “Sedang kami cari tahu, Bu, dan kalau informasinya sudah valid 1000% akan saya beritahu s
Vio dan Arzan makan di restaurant hotel bersama. Tanpa malu-malu bahkan ia membebaskan lelaki itu memesan apa saja yang diinginkan untuk keluarganya. “Nggak usah sungkan, Mas, kali aja anak-anak di rumah suka sama udang tempura, kan? Di warung mana ada jual yang ukuran gede gini.” Vio memindahkan udang goreng tepung ke piring Arzan. “Iya, makasih, Mbak,” jawab Arzan sungkan. “Kok nggak pesan juga?” Perempuan itu sadar kalau Arzan kelewat malu untuk memesan sendiri. “ Ya udah …” Kemudian Vio meminta pada pelayan agar membungkus apa yang ia makan sebanyak tiga porsi untuk keluarga Arzan di rumah. “Kebanyakan tiga porsi, Mbak.” “No, no, anak kamu, kan, butuh protein buat tumbuh kembangnya. Jangan dilarang-larang, nanti stunting loh.” “Iya, Mbak, sekali lagi makasih.” “Nggak usah sering-sering bilang makasih, ya, aku jadi sungkan. Biasa aja anggap kita temenan.” Malah Arzan yang seharusnya sungkan. Tugasnya sebagai supir dadakan hanyalah menemani Vio ke tempat-tempat yang dituju.
Arzan mulai menggeliat. Dengan terburu-buru Vio membuka semua pakaian, mengacak-acak rambut, lipstick, meneteskan beberapa obat tetes mata, dan terakhir masuk dalam selimut dalam keadaan sadar. Perlahan-lahan Arzan bangkit, kepalanya masih terasa pusing. Sensasi yang ditinggalkan oleh obat pemberian Vio luar biasa membuatnya berhalusinasi dan ia kini sudah sadar. Ketika menoleh ke samping ia lihat perempuan di sebelahnya santai saja memainkan ponsel. “Mbak Vio,” ucapnya dengan kepala pusing. “Iya, kenapa, puas yang tadi, tiga jam yang panas banget, Mas,” jawab perempuan itu bohong. Ya ada benarnya juga walau sedikit. “Hah, tiga jam. Tiga jam kita ngapain?” Baru Arzan sadari Vio tak menggunakan pakaian ketika berdiri dari ranjang hinga terlihat sudah bagian punggungnya. Lekas lelaki itu berpaling, dan makin lama ia makin sadar apa yang terjadi pada diri sendiri. “Pikir aja sendiri, kamu, bukan anak kecil lagi, Mas. Udah, ya, aku mau mandi dulu. Lengket banget rasanya dan makasih b
Pasar Malam yang BerwarnaSuasana di pasar malam dipenuhi dengan gemerlap lampu dan suara riuh dari para pedagang. Arzan, seorang pria bertubuh tinggi dengan senyuman hangat, menggenggam tangan Alda, istrinya. Mereka berjalan beriringan, diapit oleh dua anak mereka, Sasi dan Rere yang berlari-lari penuh semangat.“Papa! Lihat! Ada wahana itu!” seru Sasi, menunjuk ke arah komedi putar yang berputar dengan cepat. Matanya berbinar, mencerminkan kegembiraan yang sulit disembunyikan.Alda tertawa, mengangguk. “Kita coba nanti, ya, Sayang. Sekarang kita lihat-lihat dulu!”Arzan merasa hatinya hangat melihat keluarga kecilnya berbahagia. Malam itu adalah kesempatan bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama, setelah secara tak sengaja Arzan melakukan perselingkuhan bersama Vio. Mereka melangkah lebih jauh ke dalam pasar malam, terpesona oleh beragam warna dan aroma. Pedagang yang menjajakan makanan tradisional menggoda selera, mulai dari mi aceh yang berasap hingga bakso bakar yang menggo
Vio duduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap jendela yang tertutup. Angin malam yang sejuk menyelinap masuk, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Namun, kesejukan itu tidak mampu meredakan kegelisahan yang menggerogoti hatinya.Pikirannya kembali melayang pada Arzan. Setiap sentuhan, setiap bisikan, dan setiap tatapan penuh hasrat dari pria itu masih terpatri jelas dalam ingatannya—meskipun itu palsu. Perselingkuhan yang bukan sekadar kesalahan. Sebuah luka yang terus menganga, mengingatkannya pada betapa rapuhnya dirinya. Luka yang secara sadar ia buat sendiri dan akhirnya Vio terjebak dalam perasaannya. Dalam kegelisahan, bayangan masa lalu Vio yang suram kembali menghantui. Vio mengingat saat-saat kelam ketika ia masih kecil. Kedua orang tuanya, yang seharusnya melindunginya, malah menjualnya kepada seorang majikan yang kejam. Hari-hari panjang dihabiskan dengan bekerja tanpa henti, seringkali tanpa makanan yang cukup. Setiap malam, ia tidur dengan perut koso
Vio masih mengingat masa lalu yang indah dan menegangkan. Saat terluka bersama Reza atau saat romantis bersama lelaki itu. Ia kembali memejamkan mata dan memungut keping kenangan yang tak akan pernah dilupakan. Di tengah gemerlapnya kota yang tak pernah tidur, Vio menjalani kehidupan yang penuh rahasia dan bahaya. Sebagai anggota mafia yang tangguh, ia terbiasa menghadapi berbagai ancaman dengan tenang. Namun, semua berubah ketika ia bertemu dengan Reza, seorang pria yang sama-sama terlibat dalam dunia gelap tersebut.“Hai, makasih ya waktu itu udah ditolong.” “Sama-sama, kan, udah dibayar jadi urusan kita impas,” jawab Vio dingin. Ia ingin segera berlalu. “Eits, tunggu dulu, saya traktir makan, ya, sebagai ucapan terima kasih.” Reza tak mau kehilangan kesempatan dengan gadis muda yang sudah hafal seluk beluk dunia hitam. “Okei, habis makan pulang.” “Emang udah ada yang nungguin di rumah?” tanya Reza penasaran. “Ya, nggak, ada, saya juga mau istirahat. Pegel badan.” “Udah punya
Vio menatap keluar jendela pesawat saat ia dan Reza mendekati bandara Leonardo da Vinci di Roma. Langit biru cerah dan pemandangan kota yang megah membuat hatinya berdebar-debar. Ini adalah mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Sejak lama, Vio selalu membayangkan hidup di Italia, negara yang penuh dengan sejarah, seni, dan keindahan alam.Setelah mendarat, mereka disambut oleh angin sejuk musim semi yang membawa aroma bunga-bunga yang sedang mekar. Reza menggenggam tangan Vio erat-erat, memberikan kekuatan dan keyakinan bahwa mereka bisa menghadapi segala tantangan yang ada di depan.Mereka menuju apartemen kecil yang telah mereka sewa di pusat kota Roma. Apartemen itu terletak di sebuah bangunan tua dengan balkon yang menghadap ke jalanan berbatu yang dipenuhi dengan kafe-kafe dan toko-toko kecil. Vio bisa merasakan getaran kehidupan kota yang dinamis dan penuh warna.Hari-hari pertama mereka di Italia diisi dengan eksplorasi. Mereka mengunjungi Colosseum, berjalan-jalan di sepanjan
Arzan menggeliat ketika kesadarannya sudah kembali dengan baik. Malam tadi begitu panjang dan terasa indah saat memadu asmara dengan Vio. Lelaki itu melihat ke sisi ranjang, teman tidurnya tidak ada. Lalu pintu kamar mandi terbuka, Vio keluar dalam keadaan segar bugar. “Terima kasih untuk tadi malam, Bos,” ucap Vio sambil mengeringkan rambut. “Bos?” ulang Arzan. “Iya, kamu, kan, sebentar lagi jadi bos aku.” “Persetan dengan semua itu.” Arzan masih malas bangkit. Mungkin lebih baik untuk tidur dari siang sampai malam lagi. Bel di pintu kamar berbunyi. Vio membuka pintu dan layanan hotel datang membawakan satu meja dorong berisi makanan yang dipesan dan dua pasang baju bersih yang dibeli oleh Vio sesuai size. “Mandi saja, ganti baju dan kita makan. Aku harus antar kamu kembali ke basecamp buat latihan.” “Kalau hanya untuk gym, lebih baik yang ada di apartement, sama aja cuman beda beban.” “Beda, Sayang, ke basecamp lebih baik, nanti aku jemput pas malam.” Vio mendekat dan menye
Ketika Karel sadar dari mabuk, ia membuka mata dan terkejut ternyata wanita di sebelahnya bukanlah Vio. Padahal tadi ia ingat sekali sedang menarik tangan wanita itu sampai ke dalam kamar. “Jalang, sedang apa kamu di kamar saya?” Karel menampar pelayan kapal itu cukup kuat hingga pipinya merah. Tak disangka ternyata lelaki bermata biru tersebut menghabiskan malam bersama perempuan murahan. “Mana Vio?” tanyanya sambil memakai baju dan memegang kepalanya yang terasa pusing. Niat hati menipu Vio tapi malah dirinya yang kena getah duluan. “Saya nggak tahu, Bapak yang tiba-tiba tarik tangan saya ke kamar,” jawab pelayan itu sambil memegang pipinya. “Seharusnya kamu melawan, kalau kamu mau tandanya kamu perempuan murahan!” Karel sudah selesai pakai baju dan ia membuka pintu. Di luar kamar Ica sudah menunggu, malas ladyguard itu menunggu Arzan dan Vio yang sedang bermesraan. “Kasih pelajaran perempuan itu, beraninya dia menyentuh tubuh saya yang mahal.” Perintah Karel. Ica mengangguk, i
“Ngapain di sini?” Seorang perempuan menepuk bahu Arzan. Ketika lelaki itu menoleh ternyata Vio di belakangnya. “Aku pikir Mbak …” Arzan tak jadi memegang gagang pintu. “Ngapain?” Vio menaikkan sebelah alisnya. “Ehm, itu, anu.” Arzan ragu-ragu. “Oh, itu bukan aku, yuk, gak bagus nguping orang sedang bersenang-senang, privasi.” Vio menarik tangan Arzan. “Berarti yang di kamar itu?” Arzan masih penasaran, setahunya ruang di atas khusus untuk Karel. “Iya, tepat sekali kakak kamu sama …” “Bianka?” “Vanessa istrinya.” “Oh, sama istrinya, bagus kalau gitu.” “Nggak, bukan sama istrinya, tapi sama pelayan perempuan lain.” Vio tersenyum sambil mengendikkan bahu. “Hah, tunggu sebentar, saya jadi tambah bingung. Dia di kamar lagi sama pelayan atau sama istrinya?” Pertanyaan Arzan penuh isyarat. “Iya, namanya juga laki-laki, seperti kamu, kan, belum resmi cerai tapi kita udah tidur berdua. Menurut kamu kita ini murahan nggak?” Vio turun tangga dengan perlahan sambil mengangkat gaun pa
“Kalian berdua kenapa? Seperti anak kecil saja!” Adrian memisahkan Vio dan Ica yang terlibat baku hantam. “Dia yang mulai duluan.” Vio merapikan rambutnya yang acak-acakan. Ada bekas cakaran di bagian leher. Sedikit terasa perih. “Dia yang melanggar perintah Bos Karel,” balas Ica tak kalah berantakan. Bagian dadanya sakit kena pukul oleh Vio. “Jadi karena rebutan laki-laki?” tanya Adrian sambil memandang dua wanita tangguh itu satu demi satu. “Gak!” Kompakan wanita itu menjawab. “Sudah, jangan seperti anak kecil rebutan permen. Sebentar lagi tamu undangan akan datang. Rapikan diri kalian berdua, kelihatan seperti pelacur selesai melayani pembeli.” Adrian berdecih. Ia merapikan kemeja putihnya yang sedikit terasa tak nyaman. “Tapi saya nggak bisa ikut pesta, Pak.” Vio mengatur napasnya. “Tidak ada waktu untuk bilang tidak. Rapikan diri sebisanya, beberapa orang ingin bertemu kamu secara langsung. Pesta tanpa kamu itu hambar, Vio.” “Dasar caper! Udah dibilang gaun disiapkan Bos
“Sepertinya kamu harus belajar sopan santun untuk menghargai bos di sini.” Ica sengaja memecahkan gelas di lantai. Perhatian beberapa orang jadi tertuju pada mereka berdua. “Bos? Kenal Baron Hermanto? Dia satu-satunya bos yang paling tinggi di sini.” Menambah suasana semakin ramai, Vio juga menjatuhkan gelas di lantai sampai pecah. “Cukup. Kita di sini bukan untuk mendengar dua perempuan memperebutkan satu laki-laki.” Karel menyudahi keributan itu. “Saya tidak pernah rebutan laki-laki.” Vio meniup poninya yang menutupi mata. “Kita bahas soal Arzan belakangan. Ada yang lebih penting. Silakan dijelaskan, Pak Adrian.” Karel mempersilakan salah seorang kepercayaan Thomas untuk melakukan presentasi. Vio dan Arzan mendengarkan dengan seksama. Arzan jadi semakin tahu bahwa keluarga besarnya ternyata benar-benar menguasai dan mengendalikan semua bisnis di Indonesia, termasuk memonopoli persediaan kebutuhan pokok yang sering membuat harga naik. “Namun, kali ini saya tidak membahas soal h
Vio terbangun ketika alarm ponselnya berbunyi. Ia lupa hari ini harus bertemu dengan Karel membahas masalah tambang emas dan beberapa urusan lain. Namun, tentu saja perempuan itu tak akan pernah lupa kejadian tadi malam yang dilewati dengan penuh kesadaran. Awalnya hanya sebuah tatapan, kemudian berlanjut menjadi sebuah kecupan hangat dan dalam. Lalu layaknya manusia biasa yang mudah terbawa perasaan, keduanya pun mengulang lagi peristiwa di dalam bar tempo hari. “Ini bukan kesialan, ini emang aku yang gatel jadi perempuan,” ucap Vio menyadari dirinya yang salah. Ia bangun dan meraih handuk yang berserakan di lantai dan lekas membalut tubuh. Sebelum ke kamar mandi mafia dengan mata jernih dan tajam itu memandang fotonya dan Reza. Foto yang menjadi saksi bisu peristiwa panas di ranjang yang dulu menjadi tempat Vio memadu asmara bersama Reza.“Aku malu kamu lihat aku seperti ini. Nanti kalau aku sudah bisa mengendalikan perasaanku yang kesepian, aku pajang kamu lagi di dinding.” Dua
“Aku pikirin nanti, karena orang yang terlibat langsung itu Thomas dan Baron Hermanto. Aku berani jamin kamu nggak akan tega menyakiti papimu.” Vio tersenyum kecut. Bagaimanapun darah itu selalu lebih kental daripada air. “Mungkin sekarang tidak, tapi suatu hari nanti atau beberapa tahun kemudian. Bisnis tidak dibangun dalam satu malam, begitu juga kekuatan tidak mungkin dibangun dalam dua hari.” “Pintar, akhirnya kebodohan karena cinta itu pergi juga. Bagus, next time jangan bertemu Alda lagi.” “Saya hanya ingin melihat anak-anak, sesekali.” “Bisa nanti kalau udah santai.” Vio duduk di bale-bale. Di belakangnya terdapat warung harian milik warga atau mungkin milik salah satu abdi negara yang mengambil peruntungan ganda. Lumrah sudah usaha demikian mengingat kata mereka gaji kecil dan kebutuhan hidup semakin besar. Mata perempuan itu mengawasi setiap pekerja dengan menggunakan teropong. Ia harus bekerja keras karena kali ini hasil tambang sangat memuaskan dan perkiraan keuntunga
Arzan menyetir mengikuti arah bus yang ada di depannya. Di belakang mereka ada dua jeep yang mengikuti. Sesuai dugaannya iringan kendaraan itu diperiksa oleh polisi ketika melewati arah luar kota. Dan seperti biasa selalu lolos setelah beberapa negosiasi termasuk pemberian amplop. “Polisi di Indonesia bisa dibeli kejujurannya,” gumam Vio sambil menguap. “Kalau di Italia?” “Sangat susah, tapi pasti ada yang bisa, biasanya aku ajak kerja sama yang mau, yang tidak mau ya nggak diajak.” “Semudah itukah?” “Teori dan praktek selalu beda jauh. Ikuti aja ya, bus di depan aku mau tidur dulu bentar, ngantuk.” Vio mengatur tempat duduk di mobilnya jadi lebih landai. Tak butuh waktu lama bagi perempuan itu untuk terlelap dan ke alam mimpi. Vio benar-benar tak peduli walau wajahnya terlihat jelek saat tidur, bahkan suara dengkur halus terdengar perlahan dan membuat Arzan menghidupkan musik yang suaranya slow sekali. “Semoga ketemu Reza di alam mimpi, kasihan kamu, Mbak, kesepian. Ya, sama
Bagian 30 Pagi hari usai sarapan berat full protein dan minum susu yang khusus untuk laki-laki, Arzan kemudian melakukan olah raga pertamanya. 60 menit ia diminta untuk lari di treadmill. Awalnya perlahan kemudian semakin lama semakin kencang. Jujur saja, lama tak latihan hal-hal seperti itu membuat otot di sekujur tubuh Arzan menjadi kaget. Rasanya ia ingin minta istirahat seminggu lamanya. Namun, tak mungkin sebab semua lelaki di sana rutin berolahraga. Tempat itu bukan gym, melainkan salah satu markas di mana orang-orang Baron yang kemudian diperintah oleh masing-masing tangan kanannya, tinggal. Sambil menunggu ada perintah lebih lanjut. Biasanya mereka tidak akan menganggur sampai lima hari, ada saja pekerjaan yang harus diselesaikan. Sambil menunggu, para lelaki bujang itu akan membentuk tubuh lebih kuat sebab kegiatan mereka benar-benar menguras fisik. “Berhenti dulu, saya nggak kuat.” Arzan menyerah ketika ia diminta mengangkat kakinya sangat tinggi. Latihan di dalam sana