Share

2. Violetta

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Beruntung Pak RT lewat di depan rumah Arzan tepat waktu, debt collector itu pun mundur ketika hampir tinjunya mengenai wajah pemilik rumah. Mereka pulang tetapi sebelumnya meninggalkan pesan untuk lelaki itu.

“Tiga hari lagi, duitnya harus ada kalau nggak anak lu dua-duanya gue jual sama germo biar jadi pelacur.” Setelahnya mereka benar-benar pergi.

Arzan menahan sesak di dadanya. Ia menutup pintu rumah dengan rapat dan tubuhnya luruh di lantai. Dari mana ia harus mencari uang angsuran senilai pokok ditambah denda yang hampir menembus angka dua juta rupiah. Dirinya masih kesulitan menjual rumah.

“Alda, sebenarnya uang itu untuk apa?” Arzan menyugar rambutnya yang kering.

Setelah mengunci pintu lelaki itu mandi dan mengguyur diri dengan air dingin sebanyak-banyaknya. Hal demikian penting agar saat Alda pulang nanti ia tak melayangkan tangan dengan mudah. Meski selama menikah ia tak pernah melakukan kekerasan apalagi bentakan pada tiga perempuan yang menghiasi hidupnya.

Hari sudah menunjukkan jam sebelas malam, Alda tak juga pulang. Acara memasak apa yang sampai malam seperti ini. Satu jam lagi Arzan tunggu, kalau tidak juga kembali maka ia akan jemput istrinya dan meminta penjelasan tentang uang pinjaman dengan bunga berbunga.

Tepat jam 12 malam. Arzan pun mengenakan jaket dan mencari Alda. Namun, ketika pintu dibuka istrinya kembali dengan membawa kresek hita di tangannya.

“Mau ke mana, Mas?” Justru Alda yang bertanya.

“Cari kamu, kenapa pulang semalam ini, Sayang?”

“Kan, aku udab bilang masak di rumah orang. Uangnya aku pakai buat beli beras sama lauk masak besok. Tahu nggak di kulkas nggak ada apa-apa lagi.” Alda merengut lagi dan langsung ke dapur.

Arzan merasa harga dirinya terluka. Selain tak ada uang juga karena Alda kasar padanya. Wanita dengan kulit licin dan sedikit jerawat itu berubah dengan cepat dari lembut ke kasar karena himpitan ekonomi.

“Besok aja mungkin tanyakan uangnya. Hari ini aku capek sekali,” ucap lelaki tersebut perlahan.

Ia masuk ke kamar dan merebahkan diri tanpa sadar Alda tak pernah ada di sisinya sampai pagi menjelang.

***

Aroma kopi diseduh air panas menguar dan membuat Arzan membuka mata. Ia lirik jam di dinding, sudah pukul 06.30 pagi. Ia pun bangkit dan lekas mandi. Jam 07.00 sudah harus mengantar Sasi ke TK.

Sepiring nasi goreng putih dan telor dadar tersaji di meja untuk sarapan. Arzan menyantap dengan lahap karena tadi malam masih lapar. Tak lupa ia bantu Sasi agar lebih cepat selesai.

Tiba-tiba saja lelaki berusia 30 tahun itu teringat dengan rentenir tadi malam.

“Dek, kamu pinjam uang 10 juta, ya?” tanyanya langsung. Alda yang sedang cuci piring diam sejenak.

“Iya, Mas.” Wanita itu tak menyangkal.

“Untuk apa, Dek, Mas nggak pernah ajarin kamu berhutang. Hidup kita udah susah.”

“Untuk orang tuaku, Mas, mereka sakit butuh uang. Bapak sesak napas, Ibu kena tipes. Kamu pikir mau dapat uang dari mana? Gaji kamu jadi sales rumah nggak cukup sama sekali, aku aja masih nyambi jadi babu di rumah orang!” Prang. Sebuah piring pecah di sink karena Alda membantingnya dengan sengaja.

“Dek, maaf, Mas nggak becus cari uang, tapi nggak sebanyak itu juga kalau mau kirim orang tua, dua kakak kamu masih ada, kan? Mereka juga bisa diminta tolong.” Arzan tak mau membuat suasana rumah gaduh karena tersulut emosi.

“Dua kakakku udah gantian, Mas, aku aja yang belom, malu tahu nggak? Sama sekali nggak pernah nyumbang untuk orang tua. Udah berasa anak durhaka aku rasanya.”

“Iya, oke, Dek, tapi tagihannya sampai 2 juta satu bulan, Mas mau cari uang dari mana? Tiga hari lagi mereka datang mau nagih. Tadi malam aja mereka kasar.”

“Kamu pikir aja sendiri, Mas, aku siang ini mau nyuci nyetrika di rumah orang. Rere aku bawa, nanti kalau kamu pulang rumah sepi nggak usah nyariin kami, ya. Udah nggak usah dibahas lagi soal hutang, cariin aja uangnya. Lagian, kan, aku nggak macam-macam di luar. Gitu aja pelit banget sih!” Tak bosan-bosan Alda menggerutu pada suaminya.

Bertambah sudah beban di pundak Arzan. Dua juta, itu setara dengan f*e nya menjual satu buah rumah tipe 36.

Lelaki tinggi dan tegap itu menaikkan Sasi di motor bagian belakang. Arzan duduk dan menstarter kendaraan lalu berjalan dengan perlahan melewati berberapa polisi tidur di gang rumahnya.

Sampai di depan rumah Bude Susi—tempat Alda masak tadi malam, tidak terlihat satu pun aktifitas perayaan ulang tahun. Seperti biasa rumah besar dan mewah itu sepi dari aktifitas. Mereka semua pergi kerja dan sekolah bersama-sama.

“Apa Alda bohong, ya?” gumam Arza. Ia pun berkendara lagi dan 10 menit kemudian sampai di TK tempat Sasi sekolah.

Lelaki itu kemudian bergerilya lagi dari satu mall ke mall lain. Ia menyebarkan brosur perumahan. Ya, terkadang ia diusir oleh security atau kadang sudah banyak brosur dibagi ia tak dapat memperoleh satu pelanggan pun.

“Ke mana aku mau mencari uang dua juta, ya?” Arzan duduk di kursi cokelat di depan toko roti. Perutnya lapar tapi kalau beli di dalam mall tentu harganya mahal.

Tak lama kemudian seorang perempuan menggunakan blazer warna putih kecoklatan duduk di sebelahnya. Heels tinggi ia lepas sebelah dan kakinya dinaikkan. Wanita itu berdandan dengan sempurna. Lipstick merah agak gelap menambah kesan wibawa pada dirinya.

Arzan melirik sebentar lalu berpaling. Cantik dan tegas adalah kosa kata yang tepat untuk menggambarkan wanita independent di sisinya.

“Iya, baik, Pak, akan saya kerjakan secepatnya,” ucap perempuan itu sebelum menutup panggilan. “Tolong pegang sebentar, Mas.” Ia sodorkan tasnya. Kikuk, Arzan terima saja toh bukan hal berat yang diminta.

“Terima kasih, ya, Mas, maaf merepotkan.” Wanita itu tersenyum.

“Mbak, Maaf, saya mau kasih ini, kalau tidak keberatan mungkin mau dilihat-lihat dulu.” Aji mumpung, Arzan promosi rumahnya sekalian. Wanita itu mengambil dan membuka brosur tersebut.

“Rumah tipe 36 ya, Mas. Nggak ada yang tipe besar, 100 gitu. Saya nggak bisa tinggal di rumah sempit gini, nggak level,” lirik perempuan itu dengan kesan angkuh.

“Saya sales tipe rumah kecil, Mbak, tapi saya bisa bantu carikan yang tipe besar kalau Mbak mau.”

“Oh, gitu, oke, hari ini saya libur, bisa lihat-lihat di mana rumahnya?” Wanita itu menoleh dan kali ini keduanya berhadap-hadapan. Arzan terpukau sejenak tapi kilasan wajah Alda di rumah membuatnya lekas sadar.

“Boleh, boleh, Mbak, saya hubungi teman saya dulu, ya.”

“Oke, nama saya Violetta, kamu siapa?” Perempuan cantik itu mengulurkan tangan. Ragu-ragu Arzan menyambutnya meski akhirnya bersalaman

“Arzan, Mbak.” Ia pun balas tersenyum. Mereka berjabatan tangan sampai akhirnya Violetta yang melepaskan. Arzan seperti tersihir dengan kecantikan tanpa cela di depannya. Bolehkah ia berharap?

Bab terkait

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    3. Sensasi Pertama

    “Umur kamu berapa?” tanya Violetta. “30 tahun Mbak.”“Saya 42 tahun, bebas panggil aja Vio sama seperti yang lain, ya.” Perempuan itu tersenyum lagi. “Oh, gitu, saya panggil Tante Vio aja kalau gitu.” “Ketuaan, Mas, saya belum keriput dan ubanan, saya nggak kalah cantik sama ABG zaman sekarang.” Vio tak suka disebut tua karena ia rajin perawatan. “Maaf, kalau begitu, saya panggil Mbak Vio aja. Ehm, jadi kita ke kantor sekarang, Mbak, untuk lihat rumah tipe 100, kantor teman saya maksudnya.”“Boleh, Mas.” “Panggil nama aja, Mbak, saya lebih muda.”Keduanya menuruni eskalator yang sama. Violet yang menggunakan heels agak takut hingga memegang tangan Arzan agar tak jatuh. Lelaki itu risih tapi tak bisa menghindar, ia butuh uang andai kata deal antara Violet dan temannya jadi. “Mbak, saya pakai motor, Mbak bisa pakai mobil dan ikuti saya dari belakang aja,” ujar Arzan ketika turun dari eskalator. “Saya nggak bawa mobil. Supir saya kayaknya lagi service di bengkel dan baliknya bebe

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    4. Siksaan

    “Dari mana, Dek?” tanya Arzan ketika Alda baru pulang. “Biasa, Mas, cuci setrika di rumah orang,” jawab Alda tanpa rasa bersalah. Setelah ia tinggalkan dua anaknya tanpa pengawasan. “Mending nggak usah kerja daripada anak kita terlantar. Kamu tahu Rere makan beras mentah di rumah.” “Ya, kalau aku nggak ikutan kerja, gimana kita mau dapat uang, Mas. Kecuali kamu bisa kasih aku minimal 15 juta tiap bulan. Aku jamin ada di rumah buat melayani kamu 24 jam dan anak-anak. Aku juga nggak harus capek-capek jadi babu di luar.” Alda membuka jaket yang menutupi tubuhnya. Di dalam jaket ia kenakan baju u can see dan jens ketat. Arzan tak mudah dibohongi begitu saja. Sebab pada umumnya orang mencuci baju akan menggunakan daster.“Jujur kamu sama, Mas, dari mana? Baju kamu itu bukan tanda kamu habis cuci setrika. Nggak ada aroma sabun sama sekali.” “Yah, Mas, jangan asal ngomong. Emang mau kamu orang menilai jadi suami gak becus gara-gara istrinya dasteran terus. Kalau aku cantik gini orang ju

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    5. Degup Jantung

    Alda mengompres wajah Arzan yang lebam dengan air hangat. Tidak hanya itu saja, perut suaminya juga kebiruan kearena bekas tendangan. Sakit. Tepatnya di bagian hati terdalam lelaki dua anak tersebut. Istrinya tidak bisa menjaga pesan dengan baik. Bukan mudah mencari uang dua juta dalam waktu singkat. “Mas, kita ke bidan terdekat, ya, aku takut lihat kamu begini,” ucap Alda. Ada rasa sesal di dalam hatinya. Uang dua juta itu juga ia gunakan untuk hal mendesak juga. Arzan tidak menjawab, ia bangkit bahkan menepis pertolongan istrinya. Lelaki itu masih marah, tapi tak bisa berbicara. Sakit di urat perut menjalar sampai ke bibir. Ketika minum air putih saja terasa sekali pedihnya. “Mas, maafin, aku, ya. Uangnya aku pakai buat kirim ke orang tua di kampung.” Alda menundukkan kepala. Arzan menggeleng. Kepercayaannya sudah dikhianati. Apakah istrinya tak bisa berdiskusi dulu padanya. Dia masihlah kepala keluarga walau tidak kaya. Lelaki yang mencintai Alda tanpa pamrih itu masuk ke kam

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    6. Janji Palsu

    “Saya harus pulang, Mbak, anak sama istri saya menunggu di rumah.” Arzan menjauh sejenak. Tak baik di rumah berdua saja dengan perempuan yang tidak ada ikatan apa-apa dengannya. Takut terjerumus dalam hubungan terlarang. “Tunggu. Aku agak trauma hampir jatuh tadi. Bentar aja, please,” ucap Vio sambil memelas. “Ya sudah saya tunggu di luar saja.” Baru saja Arzan akan beranjak, Vio malah menjatuhkan kepala ke bahu lelaki tersebut. Entah apa rencana wanita licik itu kali ini. “Mbak,” ujar Arzan perlahan. Ia memikirkan Sasi dan Rere di rumah. “Aku capek, mungkin karena kurang istirahat. Tolong kalau kamu pulang kunci pintu aja dari luar dan bawa. Besok agak siang aja ke sini, aku ada rapat penting sama klien.” Dengan agak berat Vio mengangkat kepala. Kemudian ia berbaring di ranjang miliknya. Handuk yang menutupi tubuhnya agak tersingkap. Arzan pun lekas berpaling. “Mbak nggak apa-apa ditinggal sendirian?” Arzan yang sedang sakit pun tak tega melihat Vio sendirian. Tak menjawab, per

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    7. Pemerasan

    Alda menatap kepergian Arzan dengan lesu. Ia sadar selama ini sudah terlalu keras dengan suaminya. Namun, wanita dengan kulit putih tak sehat itu terpaksa melakukannya. Ia juga lelah mencari uang akhir-akhir ini. Selain untuk menutupi kebutuhan keluarga juga demi membayar utang-utangnya. Memang kebutuhan rumah tangga bukanlah tanggung jawab Alda. Tapi ia tak tega melihat dua anaknya merengek terus minta jajan. Dahulu kehidupan mereka sangat berkecukupan sampai hantaman ekonomi ditambah resesi datang tak ada habisnya. Dahulu Alda bersediah dinikahi Arzan karena lelaki itu berjanji akan bertanggung jawab penuh dengan semua kebutuhannya. Memang ditepati dan suaminya sosok sangat sempurna di matanya. Hanya saja bagi Alda, Arzan bukanlah cinta pertamanya. Terdengar munafik tapi memang demikian adanya. Alda bersedia dinikahi oleh Arzan karena tidak adanya kepastian dari bekas pacarnya dulu. Lebih parahnya lagi saat sudah menikah mantan pacarnya justru datang memberikan angin surga dan te

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    8. Kamar Hotel

    Arzan menyetir mobil milik Vio. Sedangkan perempaun itu duduk di kursi belakang sambil memeriksa beberapa berkas. Hotel yang mereka tuju merupakan hotel bintang lima dengan layanan luxury dan bisa diprivat. Tentu saja yang datang rapat adalah orang-orang Vio. Sedan putih itu memasuki arena parkir mobil. Vio turun di bagian depan hotel dan pintu tergeser sendiri lalu ia berjalan masuk menuju lobi. Di sana ia duduk sebentar dan tak lama kemudian Nada datang menghampirinya. “Baru ini kita rapat di hotel mewah, Bu, biasanya juga di ruangan sendiri,” ucap Nada dengan pakaian cerah hari ini. “Demi totalitas dalam sandiwara kita. Modelan lelaki seperti Arzan itu susah sadar karena bucin dan dia harus kapok duluan. Sudah kamu cari tahu tentang istrinya itu. Saya, kok, nggak yakin ya dia perempuan baik-baik.” Vio melipat dua tangannya di dada. Sebelah kakinya bergerak-gerak menunggu kedatangan Arzan. “Sedang kami cari tahu, Bu, dan kalau informasinya sudah valid 1000% akan saya beritahu s

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    9. Tanpa Rasa

    Vio dan Arzan makan di restaurant hotel bersama. Tanpa malu-malu bahkan ia membebaskan lelaki itu memesan apa saja yang diinginkan untuk keluarganya. “Nggak usah sungkan, Mas, kali aja anak-anak di rumah suka sama udang tempura, kan? Di warung mana ada jual yang ukuran gede gini.” Vio memindahkan udang goreng tepung ke piring Arzan. “Iya, makasih, Mbak,” jawab Arzan sungkan. “Kok nggak pesan juga?” Perempuan itu sadar kalau Arzan kelewat malu untuk memesan sendiri. “ Ya udah …” Kemudian Vio meminta pada pelayan agar membungkus apa yang ia makan sebanyak tiga porsi untuk keluarga Arzan di rumah. “Kebanyakan tiga porsi, Mbak.” “No, no, anak kamu, kan, butuh protein buat tumbuh kembangnya. Jangan dilarang-larang, nanti stunting loh.” “Iya, Mbak, sekali lagi makasih.” “Nggak usah sering-sering bilang makasih, ya, aku jadi sungkan. Biasa aja anggap kita temenan.” Malah Arzan yang seharusnya sungkan. Tugasnya sebagai supir dadakan hanyalah menemani Vio ke tempat-tempat yang dituju.

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    10. Drama Perselingkuhan

    Arzan mulai menggeliat. Dengan terburu-buru Vio membuka semua pakaian, mengacak-acak rambut, lipstick, meneteskan beberapa obat tetes mata, dan terakhir masuk dalam selimut dalam keadaan sadar. Perlahan-lahan Arzan bangkit, kepalanya masih terasa pusing. Sensasi yang ditinggalkan oleh obat pemberian Vio luar biasa membuatnya berhalusinasi dan ia kini sudah sadar. Ketika menoleh ke samping ia lihat perempuan di sebelahnya santai saja memainkan ponsel. “Mbak Vio,” ucapnya dengan kepala pusing. “Iya, kenapa, puas yang tadi, tiga jam yang panas banget, Mas,” jawab perempuan itu bohong. Ya ada benarnya juga walau sedikit. “Hah, tiga jam. Tiga jam kita ngapain?” Baru Arzan sadari Vio tak menggunakan pakaian ketika berdiri dari ranjang hinga terlihat sudah bagian punggungnya. Lekas lelaki itu berpaling, dan makin lama ia makin sadar apa yang terjadi pada diri sendiri. “Pikir aja sendiri, kamu, bukan anak kecil lagi, Mas. Udah, ya, aku mau mandi dulu. Lengket banget rasanya dan makasih b

Bab terbaru

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    19. Emosi Terpendam

    “Istrinya Pak Arzan udah datang, Bu, tadi saya suruh orang awasi mereka.” Nada menyetir dengan santai sambil mencari tempat untuk makan. “Pasti sekarang lagi berantem, malas saya lihatnya. Santai dulu sebentar Nad, cari tempat minum kopi sama makan roti yang enak,” ucap Vio sambil memejamkan mata. Ia baru pulang dari rumah bosnya dan seketika kepalanya terasa sakit. Vio teringat kembali dengan kenangan masa lalu bersama Reza. Sudah lama berlalu tapi tidak bisa dilupakan dengan mudahnya. “Baik, Bu, setelah itu kita ke mana?” “Tunggu panggilan dari Arzan, dia pasti minta tolong sama saya. Terus mau minta tolong sama siapa lagi.” Mobil berjalan dengan santai sambil dua kali kena lampu merah. Nada dan Vio berada di sebuah kafe dengan penyanyi yang membawakan lagu jazz. Keduanya mengambil tempat duduk terpisah. Nada sungkan mengganggu bosnya yang sedang banyak pikiran. Gadis dengan tinggi 177 cm itu saja terkadang dibuat pusing oleh tugas yang datang tiba-tiba. Apalagi Vio yang kena

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    18. Kejujuran

    Baron Hermanto mematikan ponsel. Selama beberapa saat ia dan putranya hanya berdiam diri tanpa pembicaraan apa pun. Terakhir mereka bertemu saat pemakaman istri sekaligus mami tercinta keluarga itu. “Pulang, Arzan, kamu tidak cocok menjadi orang miskin dan menderita terlalu lama.” Baron Hermanto berbalik dan membelakangi lukisan. Seorang asisten pribadinya yang berumur 52 tahun menunggu dengan setia. Namanya Thomas, sudah ikut dengannya sejak 30 tahun lalu. Mereka saling bersinergi dalam pekerjaan agar usaha keluarga tetap berjalan tanpa hambatan. Meski sering menimbulkan korban jiwa termasuk di antaranya Reza. “Thom, panggil Vio, sekarang!” “Siap, Tuan.” Thomas menjawab dengan penuh rasa hormat. Terakhir kali Baron secara tak sengaja bertemu dengan Arzan di pinggir jalan saat membawa dua buah hatinya bermain. Mereka hidup ala kadarnya dengan motor butut. Hal demikian membuat hati Baron sakit. Dua anak lelakinya sudah memegang kendali bisnis masing-masing bahkan terkadang beper

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    17. Taruhan

    Sampai di rumah sakit, Vio langsung turun dari mobil dan meminta Alda pulang karena hari sudah larut. Selanjutnya apa-apa akan ia urus sendiri karena tidak terlalu sulit menghadapi masalah pribadi Arzan. Sedangkan Arzan mendampingi Sasi bersama Rere menuju kamar yang telah disiapkan oleh pihak rumah sakit. Kamar VVIP sesuai permintaan Violetta. “Ini terlalu mewah, pasti hutangku sudah banyak,” ucap Arzan ketika perawat meninggalkan ruangan. “Kenapa mikirin hutang, Mas, pikir anak sendiri biar sembuh dulu,” celetuk Vio yang tiba-tiba ada di belakang Arzan. “Lagian istri kamu itu aneh, masak anak sakit nggak datang. Ibu macam apa itu, Mas?” “Mungkin lagi ada kerjaan, Mbak, tapi terima kasih sama pertolongannya.” “Sibuk apa? Sibuk selingkuh sama lelaki lain.” Vio mulai tidak sabar. “Mbak!” tegur Arzan. “Please, pasangan sendiri berubah kamu nggak tahu. Aku aja sama Reza nggak sampai menikah tapi saling mengerti satu sama lain.” “Alda tidak mungkin selingkuh.” “Taruhan kita kalau

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    16. Pelakor

    Arzan menunggu dokter menindak Sasi yang kepalanya berlumuran darah banyak sekali. Tadinya mereka sedang jajan boba dan es cream di pinggir jalan. Naas, malang tak bisa ditolak. Sebuah motor berkendara dengan cepat dan menyambar tubuh Sasi hingga terpental sekian meter jaraknya. Lebih parah lagi, pengendara motor itu kabur. Segera saja Arzan membawa putrinya ke klinik terdekat. “Pak, tolong diselesaikan dulu administrasinya,” ucap perawat ketika menahan Arzan yang ingin masuk ke ruang tindakan. Sesaat lelaki itu tercengang. Administrasi berarti berkaitan dengan uang dan di dompetnya hanya tersisa tiga puluh lima ribu rupiah saja. “Mbak, anak saya bisa ditolong dulu,” ucap seorang ayah yang peduli pada putrinya. “Ditolong untuk tahap awal sudah pasti, Bapak, tapi nanti dikhawatirkan perlu tindak lanjut, maka dari itu tolong diisi formuli dan bayar administrasinya.” Suster kemudian menyerahkan formulir yang berisi data diri pasien dan penanggung jawab. Arzan diam sejenak, lalu dud

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    15. Membeli Lelaki

    Sudah satu minggu lebih Arzan tidak juga datang walau sudah dipanggil Vio berkali-kali. Baik secara telepon atau menemui langsung. Lelaki itu tak mau meneruskan hubungan terlarang mereka. “Jadi gimana, Bu? Dia sepertinya family man banget,” Nada membawa sebuah map yang berisi berita mengejutkan. “Dia nggak akan bisa lari, dia harus datang apa pun caranya.” Vio duduk di sofa dan membuka map yang dibawa oleh asprinya. “Ini apa?” tanya perempuan yang sebenarnya berusia 38 tahun itu tapi mengaku 42 pada Arzan. “Bukti perselingkuhan Alda, istri Pak Arzan.” “Non è possibile. Perempuan miskin muka pas-pasan itu berani selingkuh?” Vio melihat bukti yang disodorkan oleh Nada. “Tapi waktu muda dulu Alda cantik banget, Bu, pantas saja kalau Pak Arzan jadi tergila-gila.” “Dan akhirnya gila beneran sampai saya yang harus urus itu bocah.” Sambil menghisap rokok, Vio mengamati foto-foto lama Alda dari sejak pertama kali menikah dengan Arzan sampai kejadian beberapa minggu yang lalu.

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    14. Awal Dari Perubahan

    Vio menatap keluar jendela pesawat saat ia dan Reza mendekati bandara Leonardo da Vinci di Roma. Langit biru cerah dan pemandangan kota yang megah membuat hatinya berdebar-debar. Ini adalah mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Sejak lama, Vio selalu membayangkan hidup di Italia, negara yang penuh dengan sejarah, seni, dan keindahan alam.Setelah mendarat, mereka disambut oleh angin sejuk musim semi yang membawa aroma bunga-bunga yang sedang mekar. Reza menggenggam tangan Vio erat-erat, memberikan kekuatan dan keyakinan bahwa mereka bisa menghadapi segala tantangan yang ada di depan.Mereka menuju apartemen kecil yang telah mereka sewa di pusat kota Roma. Apartemen itu terletak di sebuah bangunan tua dengan balkon yang menghadap ke jalanan berbatu yang dipenuhi dengan kafe-kafe dan toko-toko kecil. Vio bisa merasakan getaran kehidupan kota yang dinamis dan penuh warna.Hari-hari pertama mereka di Italia diisi dengan eksplorasi. Mereka mengunjungi Colosseum, berjalan-jalan di sepanjan

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    13. Cinta Dalam Bahaya

    Vio masih mengingat masa lalu yang indah dan menegangkan. Saat terluka bersama Reza atau saat romantis bersama lelaki itu. Ia kembali memejamkan mata dan memungut keping kenangan yang tak akan pernah dilupakan. Di tengah gemerlapnya kota yang tak pernah tidur, Vio menjalani kehidupan yang penuh rahasia dan bahaya. Sebagai anggota mafia yang tangguh, ia terbiasa menghadapi berbagai ancaman dengan tenang. Namun, semua berubah ketika ia bertemu dengan Reza, seorang pria yang sama-sama terlibat dalam dunia gelap tersebut.“Hai, makasih ya waktu itu udah ditolong.” “Sama-sama, kan, udah dibayar jadi urusan kita impas,” jawab Vio dingin. Ia ingin segera berlalu. “Eits, tunggu dulu, saya traktir makan, ya, sebagai ucapan terima kasih.” Reza tak mau kehilangan kesempatan dengan gadis muda yang sudah hafal seluk beluk dunia hitam. “Okei, habis makan pulang.” “Emang udah ada yang nungguin di rumah?” tanya Reza penasaran. “Ya, nggak, ada, saya juga mau istirahat. Pegel badan.” “Udah punya

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    12. Bayangan Masa Lalu

    Vio duduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap jendela yang tertutup. Angin malam yang sejuk menyelinap masuk, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Namun, kesejukan itu tidak mampu meredakan kegelisahan yang menggerogoti hatinya.Pikirannya kembali melayang pada Arzan. Setiap sentuhan, setiap bisikan, dan setiap tatapan penuh hasrat dari pria itu masih terpatri jelas dalam ingatannya—meskipun itu palsu. Perselingkuhan yang bukan sekadar kesalahan. Sebuah luka yang terus menganga, mengingatkannya pada betapa rapuhnya dirinya. Luka yang secara sadar ia buat sendiri dan akhirnya Vio terjebak dalam perasaannya. Dalam kegelisahan, bayangan masa lalu Vio yang suram kembali menghantui. Vio mengingat saat-saat kelam ketika ia masih kecil. Kedua orang tuanya, yang seharusnya melindunginya, malah menjualnya kepada seorang majikan yang kejam. Hari-hari panjang dihabiskan dengan bekerja tanpa henti, seringkali tanpa makanan yang cukup. Setiap malam, ia tidur dengan perut koso

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    11. Pasar Malam

    Pasar Malam yang BerwarnaSuasana di pasar malam dipenuhi dengan gemerlap lampu dan suara riuh dari para pedagang. Arzan, seorang pria bertubuh tinggi dengan senyuman hangat, menggenggam tangan Alda, istrinya. Mereka berjalan beriringan, diapit oleh dua anak mereka, Sasi dan Rere yang berlari-lari penuh semangat.“Papa! Lihat! Ada wahana itu!” seru Sasi, menunjuk ke arah komedi putar yang berputar dengan cepat. Matanya berbinar, mencerminkan kegembiraan yang sulit disembunyikan.Alda tertawa, mengangguk. “Kita coba nanti, ya, Sayang. Sekarang kita lihat-lihat dulu!”Arzan merasa hatinya hangat melihat keluarga kecilnya berbahagia. Malam itu adalah kesempatan bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama, setelah secara tak sengaja Arzan melakukan perselingkuhan bersama Vio. Mereka melangkah lebih jauh ke dalam pasar malam, terpesona oleh beragam warna dan aroma. Pedagang yang menjajakan makanan tradisional menggoda selera, mulai dari mi aceh yang berasap hingga bakso bakar yang menggo

DMCA.com Protection Status