Share

2. Violetta

Beruntung Pak RT lewat di depan rumah Arzan tepat waktu, debt collector itu pun mundur ketika hampir tinjunya mengenai wajah pemilik rumah. Mereka pulang tetapi sebelumnya meninggalkan pesan untuk lelaki itu.

“Tiga hari lagi, duitnya harus ada kalau nggak anak lu dua-duanya gue jual sama germo biar jadi pelacur.” Setelahnya mereka benar-benar pergi.

Arzan menahan sesak di dadanya. Ia menutup pintu rumah dengan rapat dan tubuhnya luruh di lantai. Dari mana ia harus mencari uang angsuran senilai pokok ditambah denda yang hampir menembus angka dua juta rupiah. Dirinya masih kesulitan menjual rumah.

“Alda, sebenarnya uang itu untuk apa?” Arzan menyugar rambutnya yang kering.

Setelah mengunci pintu lelaki itu mandi dan mengguyur diri dengan air dingin sebanyak-banyaknya. Hal demikian penting agar saat Alda pulang nanti ia tak melayangkan tangan dengan mudah. Meski selama menikah ia tak pernah melakukan kekerasan apalagi bentakan pada tiga perempuan yang menghiasi hidupnya.

Hari sudah menunjukkan jam sebelas malam, Alda tak juga pulang. Acara memasak apa yang sampai malam seperti ini. Satu jam lagi Arzan tunggu, kalau tidak juga kembali maka ia akan jemput istrinya dan meminta penjelasan tentang uang pinjaman dengan bunga berbunga.

Tepat jam 12 malam. Arzan pun mengenakan jaket dan mencari Alda. Namun, ketika pintu dibuka istrinya kembali dengan membawa kresek hita di tangannya.

“Mau ke mana, Mas?” Justru Alda yang bertanya.

“Cari kamu, kenapa pulang semalam ini, Sayang?”

“Kan, aku udab bilang masak di rumah orang. Uangnya aku pakai buat beli beras sama lauk masak besok. Tahu nggak di kulkas nggak ada apa-apa lagi.” Alda merengut lagi dan langsung ke dapur.

Arzan merasa harga dirinya terluka. Selain tak ada uang juga karena Alda kasar padanya. Wanita dengan kulit licin dan sedikit jerawat itu berubah dengan cepat dari lembut ke kasar karena himpitan ekonomi.

“Besok aja mungkin tanyakan uangnya. Hari ini aku capek sekali,” ucap lelaki tersebut perlahan.

Ia masuk ke kamar dan merebahkan diri tanpa sadar Alda tak pernah ada di sisinya sampai pagi menjelang.

***

Aroma kopi diseduh air panas menguar dan membuat Arzan membuka mata. Ia lirik jam di dinding, sudah pukul 06.30 pagi. Ia pun bangkit dan lekas mandi. Jam 07.00 sudah harus mengantar Sasi ke TK.

Sepiring nasi goreng putih dan telor dadar tersaji di meja untuk sarapan. Arzan menyantap dengan lahap karena tadi malam masih lapar. Tak lupa ia bantu Sasi agar lebih cepat selesai.

Tiba-tiba saja lelaki berusia 30 tahun itu teringat dengan rentenir tadi malam.

“Dek, kamu pinjam uang 10 juta, ya?” tanyanya langsung. Alda yang sedang cuci piring diam sejenak.

“Iya, Mas.” Wanita itu tak menyangkal.

“Untuk apa, Dek, Mas nggak pernah ajarin kamu berhutang. Hidup kita udah susah.”

“Untuk orang tuaku, Mas, mereka sakit butuh uang. Bapak sesak napas, Ibu kena tipes. Kamu pikir mau dapat uang dari mana? Gaji kamu jadi sales rumah nggak cukup sama sekali, aku aja masih nyambi jadi babu di rumah orang!” Prang. Sebuah piring pecah di sink karena Alda membantingnya dengan sengaja.

“Dek, maaf, Mas nggak becus cari uang, tapi nggak sebanyak itu juga kalau mau kirim orang tua, dua kakak kamu masih ada, kan? Mereka juga bisa diminta tolong.” Arzan tak mau membuat suasana rumah gaduh karena tersulut emosi.

“Dua kakakku udah gantian, Mas, aku aja yang belom, malu tahu nggak? Sama sekali nggak pernah nyumbang untuk orang tua. Udah berasa anak durhaka aku rasanya.”

“Iya, oke, Dek, tapi tagihannya sampai 2 juta satu bulan, Mas mau cari uang dari mana? Tiga hari lagi mereka datang mau nagih. Tadi malam aja mereka kasar.”

“Kamu pikir aja sendiri, Mas, aku siang ini mau nyuci nyetrika di rumah orang. Rere aku bawa, nanti kalau kamu pulang rumah sepi nggak usah nyariin kami, ya. Udah nggak usah dibahas lagi soal hutang, cariin aja uangnya. Lagian, kan, aku nggak macam-macam di luar. Gitu aja pelit banget sih!” Tak bosan-bosan Alda menggerutu pada suaminya.

Bertambah sudah beban di pundak Arzan. Dua juta, itu setara dengan f*e nya menjual satu buah rumah tipe 36.

Lelaki tinggi dan tegap itu menaikkan Sasi di motor bagian belakang. Arzan duduk dan menstarter kendaraan lalu berjalan dengan perlahan melewati berberapa polisi tidur di gang rumahnya.

Sampai di depan rumah Bude Susi—tempat Alda masak tadi malam, tidak terlihat satu pun aktifitas perayaan ulang tahun. Seperti biasa rumah besar dan mewah itu sepi dari aktifitas. Mereka semua pergi kerja dan sekolah bersama-sama.

“Apa Alda bohong, ya?” gumam Arza. Ia pun berkendara lagi dan 10 menit kemudian sampai di TK tempat Sasi sekolah.

Lelaki itu kemudian bergerilya lagi dari satu mall ke mall lain. Ia menyebarkan brosur perumahan. Ya, terkadang ia diusir oleh security atau kadang sudah banyak brosur dibagi ia tak dapat memperoleh satu pelanggan pun.

“Ke mana aku mau mencari uang dua juta, ya?” Arzan duduk di kursi cokelat di depan toko roti. Perutnya lapar tapi kalau beli di dalam mall tentu harganya mahal.

Tak lama kemudian seorang perempuan menggunakan blazer warna putih kecoklatan duduk di sebelahnya. Heels tinggi ia lepas sebelah dan kakinya dinaikkan. Wanita itu berdandan dengan sempurna. Lipstick merah agak gelap menambah kesan wibawa pada dirinya.

Arzan melirik sebentar lalu berpaling. Cantik dan tegas adalah kosa kata yang tepat untuk menggambarkan wanita independent di sisinya.

“Iya, baik, Pak, akan saya kerjakan secepatnya,” ucap perempuan itu sebelum menutup panggilan. “Tolong pegang sebentar, Mas.” Ia sodorkan tasnya. Kikuk, Arzan terima saja toh bukan hal berat yang diminta.

“Terima kasih, ya, Mas, maaf merepotkan.” Wanita itu tersenyum.

“Mbak, Maaf, saya mau kasih ini, kalau tidak keberatan mungkin mau dilihat-lihat dulu.” Aji mumpung, Arzan promosi rumahnya sekalian. Wanita itu mengambil dan membuka brosur tersebut.

“Rumah tipe 36 ya, Mas. Nggak ada yang tipe besar, 100 gitu. Saya nggak bisa tinggal di rumah sempit gini, nggak level,” lirik perempuan itu dengan kesan angkuh.

“Saya sales tipe rumah kecil, Mbak, tapi saya bisa bantu carikan yang tipe besar kalau Mbak mau.”

“Oh, gitu, oke, hari ini saya libur, bisa lihat-lihat di mana rumahnya?” Wanita itu menoleh dan kali ini keduanya berhadap-hadapan. Arzan terpukau sejenak tapi kilasan wajah Alda di rumah membuatnya lekas sadar.

“Boleh, boleh, Mbak, saya hubungi teman saya dulu, ya.”

“Oke, nama saya Violetta, kamu siapa?” Perempuan cantik itu mengulurkan tangan. Ragu-ragu Arzan menyambutnya meski akhirnya bersalaman

“Arzan, Mbak.” Ia pun balas tersenyum. Mereka berjabatan tangan sampai akhirnya Violetta yang melepaskan. Arzan seperti tersihir dengan kecantikan tanpa cela di depannya. Bolehkah ia berharap?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status