Share

Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya
Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya
Penulis: Rosa Rasyidin

1. Himpitan Ekonomi

“Minta uang, Mas,” ucap Alda pada suaminya Arzan yang baru saja pulang.

Lelaki penyabar itu menghela napas sesaat. Baru saja ia duduk, bukannya disuguhi air putih tapi malah penagihan lagi yang ia dapat.

Arzan—ia berusia 30 tahun sedang merogoh dompet di kantong celananya. Namun, belum sempat ia membukanya, benda berwarna hitam lusuh telah dirampas oleh Alda.

“Cuman segini?” Tatapan Alda tajam pada Arzan sambil memegang lembaran biru.

“Dapatnya hanya segitu, karena tidak sesuai target.” Arzan lekas berlalu.

Ia meletakkan sepatunya di belakang yang menyatu dengan dapur. Haus, sales rumah itu membuka kulkas dan mencari air dingin. Sejenak panas di tubuhnya mereda, tetapi hanya beberapa saat saja.

“Mas, aku mau bayar utang kita di warung dan bayar SPP TK Sasi. Segini ya nombokin, donk.” Alda merengut.

Wanita berusia 25 tahun itu tak terima, sebab Arzan berjanji membawa uang lebih hari ini.

“Tahu, bayar yang penting-penting saja dulu, ya, Dek. Besok, Mas, usahakan bawa uang lagi.”

“Lah, masih diusahakan, gimana sih, Mas! Lama-lama aku capek dijanjiin melulu sama kamu.” Alda membuka pintu kamar kemudian menutupnya dengan suara bantingan.

Arzan mengelus dada. Sudah ia tahan-tahankan sabar atas sikap istrinya yang setiap hari semakin meninggikan suara padanya. Tak ada lagi kelembutan, tak ada lagi hangat rayuan. Hanya uang saja yang dibahas setiap hari.

Tujuh tahun mereka sudah menikah. Awal pernikahan ekonomi masih bisa diselamatkan sebab anak masih satu dan Arzan juga mudah menjual rumah tipe 36, karena kondisi keuangan sebagian rakyat masih baik-baik saja.

Guncangan terjadi lima tahun ini, terutama pasca wabah melanda. Jangankan menjual rumah tipe besar, tipe kecil saja banyak yang tidak mau karena ekonomi masyarakat terus merosot termasuk pula Arzan. Bahkan ada yang rumahnya dilelang serta disita bank.

Sejak saat itu kerja Alda merengut saja karena kurangnya uang yang dibawa suaminya. Arzan sudah berusaha mencari sampingan.

Terkadang ia mengambil sampingan dengan menjadi driver online. Namun, di tengah persaingan yang ketat, kadang pemasukan menutupi kadang tidak.

Rumah tak lagi nyaman sebagai tempat Arzan pulang. Hanya saja tak ada tempat bernaung yang lain. Lelaki berambut pendek dan rapi itu telah memiliki dua anak perempuan. Jika dia tak kembali bagaimana dengan dua bidadari kecilnya.

“Gini, nih, aku nyesel nambah anak lagi tahu, nggak!” Alda keluar dari kamar dengan memakai pakaian rapi.

“Kamu mau ke mana? Ini udah malam, Sayang,” tegur Arzan baik-baik. Sudahlah aroma parfum Alda wangi menyengat sampai ke ubun-ubun.

“Aku mau bantu-bantu masak, Mas, besok pagi di rumah Bude Siti di ujung blok paling depan ada ulang tahun anaknya yang paling besar. Lumayan bantu masak dapat 200, bisa buat beli beras. Tuh, tong udah kosong,” tunjuk Alda ke arah ember besar menggunakan bibirnya yang dimonyongkan.

“Mana ada orng masak malam-malam, Dek. Nanti kalau anak nangis gimana?” Arzan tak yakin dengan kata istrinya.

“Ya, kamu tenangin, Mas, kan kamu papanya. Aku pergi.” Alda mencium kening Arzan, hingga lelaki itu luluh dan tak jadi melarangnya. Ia hanya bisa memperhatikan istrinya yang berjalan kaki menuju blok paling depan rumahnya.

“Coba aku banyak uang seperti dulu.” Lelaki dengan postur tinggi 185 cm itu menghela napas berat.

Ada sebuah keputusan besar yang amat ia sesali sampai sekarang. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur. Kehidupan harus tetap berjalan. Dua putrinya Sasi dan Rere sedang dalam masa pertumbuhan dan tak boleh menjadi korban kemiskinan orang tuanya.

Rere yang baru berusi dua tahun merengek dan mencari mamanya. Ia bangun dan langsung berlari ke depan pintu. Gegas Arzan menangkap dan menggendongnya.

“Mimpi buruk, ya, Nak? Nggak apa-apa, ada Papa di sini.” Arzan mengelus rambut putri keduanya yang tipis.

Tiga perempuan yang ia sangat sayangi di dunia ini, Alda, Sasi, dan Rere. Segala hal ia lakukan agar mereka hidup tak kekurangan. Namun, apa daya terkadang tangannya tak sanggup menggenggam semua hal.

Bagaimana dengan ibu kandung Arzan? Sudah meninggal dunia karena syok dengan keputusan anaknya yang nekat melawan restu. Arzan bahkan diusir dari pemakaman. Ketika itu ia baru tiga bulan menikah dengan Alda.

“Semoga keputusan yang aku ambil tidak salah. Demi cintaku pada Alda aku sampai rela meninggalkan keluargaku.” Arzan menepuk kaki Rere agar gadis kecil itu tertidur pulas.

Selepas Rere tertidur, Sasi pula yang merengek minta makan. Ketika tudung saji dibuka hanya ada sisa sayur bening bayam dan jagung serta telor dadar seperempat saja.

Lauk yang masih sama sejak pagi tadi. Artinya Alda tak memasak. Padahal setahu Arzan masih ada sisa uang belanja selembar berwarna biru.

Dengan penuh kesabaran lelaki itu menyuapi Sasi. Beruntung putri sulungnya tak pilih-pilih soal makanan dan harus melulu ada ayam.

Andai ekonomi mereka masih baik-baik saja, seekor ayam goreng tepung sanggup dibelikan Arzan setiap hari. Bahkan ia pun hanya menyantap sisa makanan Sasi. Nasi di magic com pas-pasan sekali tersisa. Lapar yang masih ada diganjal dengan air putih saja.

***

Jam di dinding menunjukkan angka sembilan tepat. Usai mencuci piring dan menggiling cucian di mesin, Arzan meminta Sasi segera pergi tidur sebab besok harus sekolah. Gadis kecil itu lekas masuk dan menuruti apa kata papanya.

Tersisa dirinya saja yang menyapu setiap sudut rumah. Seperti sengaja tak dirapikan oleh Alda sebab terasa sekali debunya lengket di telapak kaki.

Pintu rumah mereka diketuk berkali-kali. Lekas Arzan membuka dan terlihat dua orang lelaki berbaju warna gelap serta rambut panjang di sana. Mereka datang dengan wajah garang dan tatapan nyalang.

“Bini lu tu, suruh bayar hutang, tak sok tar sok terus. Gue gorok juga lehernya.” Lelaki berkumis tebal itu tersulut emosi. Arzan bingung.

“Hutang apa, ya, Bang? Saya nggak tahu istri saya punya hutang.”

“Gini nih, yang gue gak demen. Bini ambil hutang tapi nggak ngasih tahu lakiknya. Kita yang dibuat susah nagih. Nih, lu, liat sendiri perjanjian kami. Ini udah dua kali bini lu mangkir. Tiga kali, gue culik bini lu gue perkosa rame-rame ama temen gue.”

Arzan kaget dengan ancaman lelaki berbadan besar di depannya. Dengan napas sesak ia lihat perjanjian hutang antara Alda dengan rentenir yang belum ia tahu namanya.

Hutang sebesar 10 juta rupiah dengan bunga 30 persen setiap bulannya dan harus lunas dalam waktu satu tahun. Sulit bagi Arzan menghirup oksigen malam itu, apalagi berkata-kata.

“Bang, maaf, bisa saya bicarakan ini dulu sama istri saya.”

“Bacot, bayar dulu angsuran ketiga. Gue gak mau tahu!”

“Saya nggak ada uang sekarang, Bang, sumpah.”

“Ah, sialan lu sama aja laki bini!” Tangan tukang tagih itu terkepal ingin meninju wajah tampan Arzan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status