Share

Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya
Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya
Penulis: Rosa Rasyidin

1. Himpitan Ekonomi

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Minta uang, Mas,” ucap Alda pada suaminya Arzan yang baru saja pulang.

Lelaki penyabar itu menghela napas sesaat. Baru saja ia duduk, bukannya disuguhi air putih tapi malah penagihan lagi yang ia dapat.

Arzan—ia berusia 30 tahun sedang merogoh dompet di kantong celananya. Namun, belum sempat ia membukanya, benda berwarna hitam lusuh telah dirampas oleh Alda.

“Cuman segini?” Tatapan Alda tajam pada Arzan sambil memegang lembaran biru.

“Dapatnya hanya segitu, karena tidak sesuai target.” Arzan lekas berlalu.

Ia meletakkan sepatunya di belakang yang menyatu dengan dapur. Haus, sales rumah itu membuka kulkas dan mencari air dingin. Sejenak panas di tubuhnya mereda, tetapi hanya beberapa saat saja.

“Mas, aku mau bayar utang kita di warung dan bayar SPP TK Sasi. Segini ya nombokin, donk.” Alda merengut.

Wanita berusia 25 tahun itu tak terima, sebab Arzan berjanji membawa uang lebih hari ini.

“Tahu, bayar yang penting-penting saja dulu, ya, Dek. Besok, Mas, usahakan bawa uang lagi.”

“Lah, masih diusahakan, gimana sih, Mas! Lama-lama aku capek dijanjiin melulu sama kamu.” Alda membuka pintu kamar kemudian menutupnya dengan suara bantingan.

Arzan mengelus dada. Sudah ia tahan-tahankan sabar atas sikap istrinya yang setiap hari semakin meninggikan suara padanya. Tak ada lagi kelembutan, tak ada lagi hangat rayuan. Hanya uang saja yang dibahas setiap hari.

Tujuh tahun mereka sudah menikah. Awal pernikahan ekonomi masih bisa diselamatkan sebab anak masih satu dan Arzan juga mudah menjual rumah tipe 36, karena kondisi keuangan sebagian rakyat masih baik-baik saja.

Guncangan terjadi lima tahun ini, terutama pasca wabah melanda. Jangankan menjual rumah tipe besar, tipe kecil saja banyak yang tidak mau karena ekonomi masyarakat terus merosot termasuk pula Arzan. Bahkan ada yang rumahnya dilelang serta disita bank.

Sejak saat itu kerja Alda merengut saja karena kurangnya uang yang dibawa suaminya. Arzan sudah berusaha mencari sampingan.

Terkadang ia mengambil sampingan dengan menjadi driver online. Namun, di tengah persaingan yang ketat, kadang pemasukan menutupi kadang tidak.

Rumah tak lagi nyaman sebagai tempat Arzan pulang. Hanya saja tak ada tempat bernaung yang lain. Lelaki berambut pendek dan rapi itu telah memiliki dua anak perempuan. Jika dia tak kembali bagaimana dengan dua bidadari kecilnya.

“Gini, nih, aku nyesel nambah anak lagi tahu, nggak!” Alda keluar dari kamar dengan memakai pakaian rapi.

“Kamu mau ke mana? Ini udah malam, Sayang,” tegur Arzan baik-baik. Sudahlah aroma parfum Alda wangi menyengat sampai ke ubun-ubun.

“Aku mau bantu-bantu masak, Mas, besok pagi di rumah Bude Siti di ujung blok paling depan ada ulang tahun anaknya yang paling besar. Lumayan bantu masak dapat 200, bisa buat beli beras. Tuh, tong udah kosong,” tunjuk Alda ke arah ember besar menggunakan bibirnya yang dimonyongkan.

“Mana ada orng masak malam-malam, Dek. Nanti kalau anak nangis gimana?” Arzan tak yakin dengan kata istrinya.

“Ya, kamu tenangin, Mas, kan kamu papanya. Aku pergi.” Alda mencium kening Arzan, hingga lelaki itu luluh dan tak jadi melarangnya. Ia hanya bisa memperhatikan istrinya yang berjalan kaki menuju blok paling depan rumahnya.

“Coba aku banyak uang seperti dulu.” Lelaki dengan postur tinggi 185 cm itu menghela napas berat.

Ada sebuah keputusan besar yang amat ia sesali sampai sekarang. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur. Kehidupan harus tetap berjalan. Dua putrinya Sasi dan Rere sedang dalam masa pertumbuhan dan tak boleh menjadi korban kemiskinan orang tuanya.

Rere yang baru berusi dua tahun merengek dan mencari mamanya. Ia bangun dan langsung berlari ke depan pintu. Gegas Arzan menangkap dan menggendongnya.

“Mimpi buruk, ya, Nak? Nggak apa-apa, ada Papa di sini.” Arzan mengelus rambut putri keduanya yang tipis.

Tiga perempuan yang ia sangat sayangi di dunia ini, Alda, Sasi, dan Rere. Segala hal ia lakukan agar mereka hidup tak kekurangan. Namun, apa daya terkadang tangannya tak sanggup menggenggam semua hal.

Bagaimana dengan ibu kandung Arzan? Sudah meninggal dunia karena syok dengan keputusan anaknya yang nekat melawan restu. Arzan bahkan diusir dari pemakaman. Ketika itu ia baru tiga bulan menikah dengan Alda.

“Semoga keputusan yang aku ambil tidak salah. Demi cintaku pada Alda aku sampai rela meninggalkan keluargaku.” Arzan menepuk kaki Rere agar gadis kecil itu tertidur pulas.

Selepas Rere tertidur, Sasi pula yang merengek minta makan. Ketika tudung saji dibuka hanya ada sisa sayur bening bayam dan jagung serta telor dadar seperempat saja.

Lauk yang masih sama sejak pagi tadi. Artinya Alda tak memasak. Padahal setahu Arzan masih ada sisa uang belanja selembar berwarna biru.

Dengan penuh kesabaran lelaki itu menyuapi Sasi. Beruntung putri sulungnya tak pilih-pilih soal makanan dan harus melulu ada ayam.

Andai ekonomi mereka masih baik-baik saja, seekor ayam goreng tepung sanggup dibelikan Arzan setiap hari. Bahkan ia pun hanya menyantap sisa makanan Sasi. Nasi di magic com pas-pasan sekali tersisa. Lapar yang masih ada diganjal dengan air putih saja.

***

Jam di dinding menunjukkan angka sembilan tepat. Usai mencuci piring dan menggiling cucian di mesin, Arzan meminta Sasi segera pergi tidur sebab besok harus sekolah. Gadis kecil itu lekas masuk dan menuruti apa kata papanya.

Tersisa dirinya saja yang menyapu setiap sudut rumah. Seperti sengaja tak dirapikan oleh Alda sebab terasa sekali debunya lengket di telapak kaki.

Pintu rumah mereka diketuk berkali-kali. Lekas Arzan membuka dan terlihat dua orang lelaki berbaju warna gelap serta rambut panjang di sana. Mereka datang dengan wajah garang dan tatapan nyalang.

“Bini lu tu, suruh bayar hutang, tak sok tar sok terus. Gue gorok juga lehernya.” Lelaki berkumis tebal itu tersulut emosi. Arzan bingung.

“Hutang apa, ya, Bang? Saya nggak tahu istri saya punya hutang.”

“Gini nih, yang gue gak demen. Bini ambil hutang tapi nggak ngasih tahu lakiknya. Kita yang dibuat susah nagih. Nih, lu, liat sendiri perjanjian kami. Ini udah dua kali bini lu mangkir. Tiga kali, gue culik bini lu gue perkosa rame-rame ama temen gue.”

Arzan kaget dengan ancaman lelaki berbadan besar di depannya. Dengan napas sesak ia lihat perjanjian hutang antara Alda dengan rentenir yang belum ia tahu namanya.

Hutang sebesar 10 juta rupiah dengan bunga 30 persen setiap bulannya dan harus lunas dalam waktu satu tahun. Sulit bagi Arzan menghirup oksigen malam itu, apalagi berkata-kata.

“Bang, maaf, bisa saya bicarakan ini dulu sama istri saya.”

“Bacot, bayar dulu angsuran ketiga. Gue gak mau tahu!”

“Saya nggak ada uang sekarang, Bang, sumpah.”

“Ah, sialan lu sama aja laki bini!” Tangan tukang tagih itu terkepal ingin meninju wajah tampan Arzan.

Bab terkait

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    2. Violetta

    Beruntung Pak RT lewat di depan rumah Arzan tepat waktu, debt collector itu pun mundur ketika hampir tinjunya mengenai wajah pemilik rumah. Mereka pulang tetapi sebelumnya meninggalkan pesan untuk lelaki itu. “Tiga hari lagi, duitnya harus ada kalau nggak anak lu dua-duanya gue jual sama germo biar jadi pelacur.” Setelahnya mereka benar-benar pergi.Arzan menahan sesak di dadanya. Ia menutup pintu rumah dengan rapat dan tubuhnya luruh di lantai. Dari mana ia harus mencari uang angsuran senilai pokok ditambah denda yang hampir menembus angka dua juta rupiah. Dirinya masih kesulitan menjual rumah. “Alda, sebenarnya uang itu untuk apa?” Arzan menyugar rambutnya yang kering. Setelah mengunci pintu lelaki itu mandi dan mengguyur diri dengan air dingin sebanyak-banyaknya. Hal demikian penting agar saat Alda pulang nanti ia tak melayangkan tangan dengan mudah. Meski selama menikah ia tak pernah melakukan kekerasan apalagi bentakan pada tiga perempuan yang menghiasi hidupnya. Hari sudah m

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    3. Sensasi Pertama

    “Umur kamu berapa?” tanya Violetta. “30 tahun Mbak.”“Saya 42 tahun, bebas panggil aja Vio sama seperti yang lain, ya.” Perempuan itu tersenyum lagi. “Oh, gitu, saya panggil Tante Vio aja kalau gitu.” “Ketuaan, Mas, saya belum keriput dan ubanan, saya nggak kalah cantik sama ABG zaman sekarang.” Vio tak suka disebut tua karena ia rajin perawatan. “Maaf, kalau begitu, saya panggil Mbak Vio aja. Ehm, jadi kita ke kantor sekarang, Mbak, untuk lihat rumah tipe 100, kantor teman saya maksudnya.”“Boleh, Mas.” “Panggil nama aja, Mbak, saya lebih muda.”Keduanya menuruni eskalator yang sama. Violet yang menggunakan heels agak takut hingga memegang tangan Arzan agar tak jatuh. Lelaki itu risih tapi tak bisa menghindar, ia butuh uang andai kata deal antara Violet dan temannya jadi. “Mbak, saya pakai motor, Mbak bisa pakai mobil dan ikuti saya dari belakang aja,” ujar Arzan ketika turun dari eskalator. “Saya nggak bawa mobil. Supir saya kayaknya lagi service di bengkel dan baliknya bebe

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    4. Siksaan

    “Dari mana, Dek?” tanya Arzan ketika Alda baru pulang. “Biasa, Mas, cuci setrika di rumah orang,” jawab Alda tanpa rasa bersalah. Setelah ia tinggalkan dua anaknya tanpa pengawasan. “Mending nggak usah kerja daripada anak kita terlantar. Kamu tahu Rere makan beras mentah di rumah.” “Ya, kalau aku nggak ikutan kerja, gimana kita mau dapat uang, Mas. Kecuali kamu bisa kasih aku minimal 15 juta tiap bulan. Aku jamin ada di rumah buat melayani kamu 24 jam dan anak-anak. Aku juga nggak harus capek-capek jadi babu di luar.” Alda membuka jaket yang menutupi tubuhnya. Di dalam jaket ia kenakan baju u can see dan jens ketat. Arzan tak mudah dibohongi begitu saja. Sebab pada umumnya orang mencuci baju akan menggunakan daster.“Jujur kamu sama, Mas, dari mana? Baju kamu itu bukan tanda kamu habis cuci setrika. Nggak ada aroma sabun sama sekali.” “Yah, Mas, jangan asal ngomong. Emang mau kamu orang menilai jadi suami gak becus gara-gara istrinya dasteran terus. Kalau aku cantik gini orang ju

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    5. Degup Jantung

    Alda mengompres wajah Arzan yang lebam dengan air hangat. Tidak hanya itu saja, perut suaminya juga kebiruan kearena bekas tendangan. Sakit. Tepatnya di bagian hati terdalam lelaki dua anak tersebut. Istrinya tidak bisa menjaga pesan dengan baik. Bukan mudah mencari uang dua juta dalam waktu singkat. “Mas, kita ke bidan terdekat, ya, aku takut lihat kamu begini,” ucap Alda. Ada rasa sesal di dalam hatinya. Uang dua juta itu juga ia gunakan untuk hal mendesak juga. Arzan tidak menjawab, ia bangkit bahkan menepis pertolongan istrinya. Lelaki itu masih marah, tapi tak bisa berbicara. Sakit di urat perut menjalar sampai ke bibir. Ketika minum air putih saja terasa sekali pedihnya. “Mas, maafin, aku, ya. Uangnya aku pakai buat kirim ke orang tua di kampung.” Alda menundukkan kepala. Arzan menggeleng. Kepercayaannya sudah dikhianati. Apakah istrinya tak bisa berdiskusi dulu padanya. Dia masihlah kepala keluarga walau tidak kaya. Lelaki yang mencintai Alda tanpa pamrih itu masuk ke kam

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    6. Janji Palsu

    “Saya harus pulang, Mbak, anak sama istri saya menunggu di rumah.” Arzan menjauh sejenak. Tak baik di rumah berdua saja dengan perempuan yang tidak ada ikatan apa-apa dengannya. Takut terjerumus dalam hubungan terlarang. “Tunggu. Aku agak trauma hampir jatuh tadi. Bentar aja, please,” ucap Vio sambil memelas. “Ya sudah saya tunggu di luar saja.” Baru saja Arzan akan beranjak, Vio malah menjatuhkan kepala ke bahu lelaki tersebut. Entah apa rencana wanita licik itu kali ini. “Mbak,” ujar Arzan perlahan. Ia memikirkan Sasi dan Rere di rumah. “Aku capek, mungkin karena kurang istirahat. Tolong kalau kamu pulang kunci pintu aja dari luar dan bawa. Besok agak siang aja ke sini, aku ada rapat penting sama klien.” Dengan agak berat Vio mengangkat kepala. Kemudian ia berbaring di ranjang miliknya. Handuk yang menutupi tubuhnya agak tersingkap. Arzan pun lekas berpaling. “Mbak nggak apa-apa ditinggal sendirian?” Arzan yang sedang sakit pun tak tega melihat Vio sendirian. Tak menjawab, per

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    7. Pemerasan

    Alda menatap kepergian Arzan dengan lesu. Ia sadar selama ini sudah terlalu keras dengan suaminya. Namun, wanita dengan kulit putih tak sehat itu terpaksa melakukannya. Ia juga lelah mencari uang akhir-akhir ini. Selain untuk menutupi kebutuhan keluarga juga demi membayar utang-utangnya. Memang kebutuhan rumah tangga bukanlah tanggung jawab Alda. Tapi ia tak tega melihat dua anaknya merengek terus minta jajan. Dahulu kehidupan mereka sangat berkecukupan sampai hantaman ekonomi ditambah resesi datang tak ada habisnya. Dahulu Alda bersediah dinikahi Arzan karena lelaki itu berjanji akan bertanggung jawab penuh dengan semua kebutuhannya. Memang ditepati dan suaminya sosok sangat sempurna di matanya. Hanya saja bagi Alda, Arzan bukanlah cinta pertamanya. Terdengar munafik tapi memang demikian adanya. Alda bersedia dinikahi oleh Arzan karena tidak adanya kepastian dari bekas pacarnya dulu. Lebih parahnya lagi saat sudah menikah mantan pacarnya justru datang memberikan angin surga dan te

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    8. Kamar Hotel

    Arzan menyetir mobil milik Vio. Sedangkan perempaun itu duduk di kursi belakang sambil memeriksa beberapa berkas. Hotel yang mereka tuju merupakan hotel bintang lima dengan layanan luxury dan bisa diprivat. Tentu saja yang datang rapat adalah orang-orang Vio. Sedan putih itu memasuki arena parkir mobil. Vio turun di bagian depan hotel dan pintu tergeser sendiri lalu ia berjalan masuk menuju lobi. Di sana ia duduk sebentar dan tak lama kemudian Nada datang menghampirinya. “Baru ini kita rapat di hotel mewah, Bu, biasanya juga di ruangan sendiri,” ucap Nada dengan pakaian cerah hari ini. “Demi totalitas dalam sandiwara kita. Modelan lelaki seperti Arzan itu susah sadar karena bucin dan dia harus kapok duluan. Sudah kamu cari tahu tentang istrinya itu. Saya, kok, nggak yakin ya dia perempuan baik-baik.” Vio melipat dua tangannya di dada. Sebelah kakinya bergerak-gerak menunggu kedatangan Arzan. “Sedang kami cari tahu, Bu, dan kalau informasinya sudah valid 1000% akan saya beritahu s

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    9. Tanpa Rasa

    Vio dan Arzan makan di restaurant hotel bersama. Tanpa malu-malu bahkan ia membebaskan lelaki itu memesan apa saja yang diinginkan untuk keluarganya. “Nggak usah sungkan, Mas, kali aja anak-anak di rumah suka sama udang tempura, kan? Di warung mana ada jual yang ukuran gede gini.” Vio memindahkan udang goreng tepung ke piring Arzan. “Iya, makasih, Mbak,” jawab Arzan sungkan. “Kok nggak pesan juga?” Perempuan itu sadar kalau Arzan kelewat malu untuk memesan sendiri. “ Ya udah …” Kemudian Vio meminta pada pelayan agar membungkus apa yang ia makan sebanyak tiga porsi untuk keluarga Arzan di rumah. “Kebanyakan tiga porsi, Mbak.” “No, no, anak kamu, kan, butuh protein buat tumbuh kembangnya. Jangan dilarang-larang, nanti stunting loh.” “Iya, Mbak, sekali lagi makasih.” “Nggak usah sering-sering bilang makasih, ya, aku jadi sungkan. Biasa aja anggap kita temenan.” Malah Arzan yang seharusnya sungkan. Tugasnya sebagai supir dadakan hanyalah menemani Vio ke tempat-tempat yang dituju.

Bab terbaru

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    19. Emosi Terpendam

    “Istrinya Pak Arzan udah datang, Bu, tadi saya suruh orang awasi mereka.” Nada menyetir dengan santai sambil mencari tempat untuk makan. “Pasti sekarang lagi berantem, malas saya lihatnya. Santai dulu sebentar Nad, cari tempat minum kopi sama makan roti yang enak,” ucap Vio sambil memejamkan mata. Ia baru pulang dari rumah bosnya dan seketika kepalanya terasa sakit. Vio teringat kembali dengan kenangan masa lalu bersama Reza. Sudah lama berlalu tapi tidak bisa dilupakan dengan mudahnya. “Baik, Bu, setelah itu kita ke mana?” “Tunggu panggilan dari Arzan, dia pasti minta tolong sama saya. Terus mau minta tolong sama siapa lagi.” Mobil berjalan dengan santai sambil dua kali kena lampu merah. Nada dan Vio berada di sebuah kafe dengan penyanyi yang membawakan lagu jazz. Keduanya mengambil tempat duduk terpisah. Nada sungkan mengganggu bosnya yang sedang banyak pikiran. Gadis dengan tinggi 177 cm itu saja terkadang dibuat pusing oleh tugas yang datang tiba-tiba. Apalagi Vio yang kena

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    18. Kejujuran

    Baron Hermanto mematikan ponsel. Selama beberapa saat ia dan putranya hanya berdiam diri tanpa pembicaraan apa pun. Terakhir mereka bertemu saat pemakaman istri sekaligus mami tercinta keluarga itu. “Pulang, Arzan, kamu tidak cocok menjadi orang miskin dan menderita terlalu lama.” Baron Hermanto berbalik dan membelakangi lukisan. Seorang asisten pribadinya yang berumur 52 tahun menunggu dengan setia. Namanya Thomas, sudah ikut dengannya sejak 30 tahun lalu. Mereka saling bersinergi dalam pekerjaan agar usaha keluarga tetap berjalan tanpa hambatan. Meski sering menimbulkan korban jiwa termasuk di antaranya Reza. “Thom, panggil Vio, sekarang!” “Siap, Tuan.” Thomas menjawab dengan penuh rasa hormat. Terakhir kali Baron secara tak sengaja bertemu dengan Arzan di pinggir jalan saat membawa dua buah hatinya bermain. Mereka hidup ala kadarnya dengan motor butut. Hal demikian membuat hati Baron sakit. Dua anak lelakinya sudah memegang kendali bisnis masing-masing bahkan terkadang beper

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    17. Taruhan

    Sampai di rumah sakit, Vio langsung turun dari mobil dan meminta Alda pulang karena hari sudah larut. Selanjutnya apa-apa akan ia urus sendiri karena tidak terlalu sulit menghadapi masalah pribadi Arzan. Sedangkan Arzan mendampingi Sasi bersama Rere menuju kamar yang telah disiapkan oleh pihak rumah sakit. Kamar VVIP sesuai permintaan Violetta. “Ini terlalu mewah, pasti hutangku sudah banyak,” ucap Arzan ketika perawat meninggalkan ruangan. “Kenapa mikirin hutang, Mas, pikir anak sendiri biar sembuh dulu,” celetuk Vio yang tiba-tiba ada di belakang Arzan. “Lagian istri kamu itu aneh, masak anak sakit nggak datang. Ibu macam apa itu, Mas?” “Mungkin lagi ada kerjaan, Mbak, tapi terima kasih sama pertolongannya.” “Sibuk apa? Sibuk selingkuh sama lelaki lain.” Vio mulai tidak sabar. “Mbak!” tegur Arzan. “Please, pasangan sendiri berubah kamu nggak tahu. Aku aja sama Reza nggak sampai menikah tapi saling mengerti satu sama lain.” “Alda tidak mungkin selingkuh.” “Taruhan kita kalau

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    16. Pelakor

    Arzan menunggu dokter menindak Sasi yang kepalanya berlumuran darah banyak sekali. Tadinya mereka sedang jajan boba dan es cream di pinggir jalan. Naas, malang tak bisa ditolak. Sebuah motor berkendara dengan cepat dan menyambar tubuh Sasi hingga terpental sekian meter jaraknya. Lebih parah lagi, pengendara motor itu kabur. Segera saja Arzan membawa putrinya ke klinik terdekat. “Pak, tolong diselesaikan dulu administrasinya,” ucap perawat ketika menahan Arzan yang ingin masuk ke ruang tindakan. Sesaat lelaki itu tercengang. Administrasi berarti berkaitan dengan uang dan di dompetnya hanya tersisa tiga puluh lima ribu rupiah saja. “Mbak, anak saya bisa ditolong dulu,” ucap seorang ayah yang peduli pada putrinya. “Ditolong untuk tahap awal sudah pasti, Bapak, tapi nanti dikhawatirkan perlu tindak lanjut, maka dari itu tolong diisi formuli dan bayar administrasinya.” Suster kemudian menyerahkan formulir yang berisi data diri pasien dan penanggung jawab. Arzan diam sejenak, lalu dud

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    15. Membeli Lelaki

    Sudah satu minggu lebih Arzan tidak juga datang walau sudah dipanggil Vio berkali-kali. Baik secara telepon atau menemui langsung. Lelaki itu tak mau meneruskan hubungan terlarang mereka. “Jadi gimana, Bu? Dia sepertinya family man banget,” Nada membawa sebuah map yang berisi berita mengejutkan. “Dia nggak akan bisa lari, dia harus datang apa pun caranya.” Vio duduk di sofa dan membuka map yang dibawa oleh asprinya. “Ini apa?” tanya perempuan yang sebenarnya berusia 38 tahun itu tapi mengaku 42 pada Arzan. “Bukti perselingkuhan Alda, istri Pak Arzan.” “Non è possibile. Perempuan miskin muka pas-pasan itu berani selingkuh?” Vio melihat bukti yang disodorkan oleh Nada. “Tapi waktu muda dulu Alda cantik banget, Bu, pantas saja kalau Pak Arzan jadi tergila-gila.” “Dan akhirnya gila beneran sampai saya yang harus urus itu bocah.” Sambil menghisap rokok, Vio mengamati foto-foto lama Alda dari sejak pertama kali menikah dengan Arzan sampai kejadian beberapa minggu yang lalu.

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    14. Awal Dari Perubahan

    Vio menatap keluar jendela pesawat saat ia dan Reza mendekati bandara Leonardo da Vinci di Roma. Langit biru cerah dan pemandangan kota yang megah membuat hatinya berdebar-debar. Ini adalah mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Sejak lama, Vio selalu membayangkan hidup di Italia, negara yang penuh dengan sejarah, seni, dan keindahan alam.Setelah mendarat, mereka disambut oleh angin sejuk musim semi yang membawa aroma bunga-bunga yang sedang mekar. Reza menggenggam tangan Vio erat-erat, memberikan kekuatan dan keyakinan bahwa mereka bisa menghadapi segala tantangan yang ada di depan.Mereka menuju apartemen kecil yang telah mereka sewa di pusat kota Roma. Apartemen itu terletak di sebuah bangunan tua dengan balkon yang menghadap ke jalanan berbatu yang dipenuhi dengan kafe-kafe dan toko-toko kecil. Vio bisa merasakan getaran kehidupan kota yang dinamis dan penuh warna.Hari-hari pertama mereka di Italia diisi dengan eksplorasi. Mereka mengunjungi Colosseum, berjalan-jalan di sepanjan

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    13. Cinta Dalam Bahaya

    Vio masih mengingat masa lalu yang indah dan menegangkan. Saat terluka bersama Reza atau saat romantis bersama lelaki itu. Ia kembali memejamkan mata dan memungut keping kenangan yang tak akan pernah dilupakan. Di tengah gemerlapnya kota yang tak pernah tidur, Vio menjalani kehidupan yang penuh rahasia dan bahaya. Sebagai anggota mafia yang tangguh, ia terbiasa menghadapi berbagai ancaman dengan tenang. Namun, semua berubah ketika ia bertemu dengan Reza, seorang pria yang sama-sama terlibat dalam dunia gelap tersebut.“Hai, makasih ya waktu itu udah ditolong.” “Sama-sama, kan, udah dibayar jadi urusan kita impas,” jawab Vio dingin. Ia ingin segera berlalu. “Eits, tunggu dulu, saya traktir makan, ya, sebagai ucapan terima kasih.” Reza tak mau kehilangan kesempatan dengan gadis muda yang sudah hafal seluk beluk dunia hitam. “Okei, habis makan pulang.” “Emang udah ada yang nungguin di rumah?” tanya Reza penasaran. “Ya, nggak, ada, saya juga mau istirahat. Pegel badan.” “Udah punya

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    12. Bayangan Masa Lalu

    Vio duduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap jendela yang tertutup. Angin malam yang sejuk menyelinap masuk, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Namun, kesejukan itu tidak mampu meredakan kegelisahan yang menggerogoti hatinya.Pikirannya kembali melayang pada Arzan. Setiap sentuhan, setiap bisikan, dan setiap tatapan penuh hasrat dari pria itu masih terpatri jelas dalam ingatannya—meskipun itu palsu. Perselingkuhan yang bukan sekadar kesalahan. Sebuah luka yang terus menganga, mengingatkannya pada betapa rapuhnya dirinya. Luka yang secara sadar ia buat sendiri dan akhirnya Vio terjebak dalam perasaannya. Dalam kegelisahan, bayangan masa lalu Vio yang suram kembali menghantui. Vio mengingat saat-saat kelam ketika ia masih kecil. Kedua orang tuanya, yang seharusnya melindunginya, malah menjualnya kepada seorang majikan yang kejam. Hari-hari panjang dihabiskan dengan bekerja tanpa henti, seringkali tanpa makanan yang cukup. Setiap malam, ia tidur dengan perut koso

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    11. Pasar Malam

    Pasar Malam yang BerwarnaSuasana di pasar malam dipenuhi dengan gemerlap lampu dan suara riuh dari para pedagang. Arzan, seorang pria bertubuh tinggi dengan senyuman hangat, menggenggam tangan Alda, istrinya. Mereka berjalan beriringan, diapit oleh dua anak mereka, Sasi dan Rere yang berlari-lari penuh semangat.“Papa! Lihat! Ada wahana itu!” seru Sasi, menunjuk ke arah komedi putar yang berputar dengan cepat. Matanya berbinar, mencerminkan kegembiraan yang sulit disembunyikan.Alda tertawa, mengangguk. “Kita coba nanti, ya, Sayang. Sekarang kita lihat-lihat dulu!”Arzan merasa hatinya hangat melihat keluarga kecilnya berbahagia. Malam itu adalah kesempatan bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama, setelah secara tak sengaja Arzan melakukan perselingkuhan bersama Vio. Mereka melangkah lebih jauh ke dalam pasar malam, terpesona oleh beragam warna dan aroma. Pedagang yang menjajakan makanan tradisional menggoda selera, mulai dari mi aceh yang berasap hingga bakso bakar yang menggo

DMCA.com Protection Status