lagi dan lagi. Anyelira tak tahu, mengapa kata kamar mandi dan Ganesha selalu saja menimbulkan kenangan buruk baginya? Seperti saat ini contohnya.Padahal keadaan kaki suaminya itu tengah parah-parahnya. Dan bisa-bisanya pria itu terjatuh lagi?“Kenapa jatuh?” tanpa sadar, nada bicara Anyelira menjadi dingin. Dia menatap Ganesha tanpa belas kasih. Perasaan dan otaknya sedang berjalan rumit. Terlalu sukar dan menyakitkan. “Ganesha, bukankah aku sudah mengingatkanmu untuk jangan bertindak ceroboh?!”Anyelira kesal. Ia muak. “Jika jatuh, setidaknya cobalah untuk bangkit. Sampai kapan kau akan begini terus?”Perempuan itu sadar sepenuhnya siapa kini yang dimarahinya. Suaminya. Yang nampak baik-baik saja hanya cedera pada bagian kakinya—namun memiliki kelainan pada dalam dirinya. semarah apapun Anyelira saat ini, ia tahu, Ganesha tidak berhak diperlakukan begitu. tetapi … sekali ini saja, tolong biarkan Anyelira.“Terserah kau mau hanya duduk diam di sini saja, aku tidak lagi peduli padamu
“Istriku, apa kamu akan bekerja sekarang? Sepagi ini?”Seorang lelaki bergelayut manja pada pundak wanitanya. Dia memeluk erat bahu ramping itu. Menunjukkan bahwa tak ingin ditinggalkan. Di pagi buta di mana matahari bahkan belum keluar dari peraduannya.Wanita itu melepaskan rangkulan suaminya. Ia membalik dengan senyuman menawan. Lantas mengelus rambut lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Namun dengan tingkah yang nyaris sama seperti bocah.“Aku juga enggan untuk pergi sepagi ini. Tapi ada tugas yang mengharuskanku untuk turun tangan.”“Apakah tugas itu lebih penting dari Ganesha?” cicitnya memberenggut.Kemudian beranjak menuju ranjang di mana beberapa saat lalu mereka bergelut panas. “Ganesha, kamu tahu kalau dirimu adalah yang paling penting. Namun aku harus bekerja agar kamu tetap bisa main bersama teman-temanmu.” Ia berusaha memberikan pengertian pada suaminya.Tapi Ganesha masih saja cemberut.“Ganesha cukup hanya denganmu kok, Lira. Istriku. Ganesha cukup dengan istriku sa
“Sudah dibereskan?”Ganesha memainkan mobil-mobilannya dengan riang. Di sebelah kirinya tergeletak ponsel yang tengah terhubung dengan seseorang.“Sudah, Mas. Ada perintah lain lagi?”“Tidak. Tugasmu sudah cukup. Kembalilah.”“Baik, Mas.”Dan kini, tangan Ganesha meraih mainan yang lain. Berpura-pura memainkannya di depan kamera CCTV yang terpasang. Istrinya itu orang yang terlalu waspada. Dia memasang beberapa kamera pengawas diberbagai sudut rumah. Ganesha sampai harus berakting sepanjang hari. Untung saja tak ada penyadap, hingga dia masih bisa leluasa untuk mengatur pekerjaan gelapnya.“Istriku … kapan kamu kembali? Pasti sekarang tengah kebingungan ya? Maaf. Aku hanya menyingkirkan kecoak yang jorok.”Dan kemudian berlarian sembari tertawa girang. Akting sempurna yang bahkan mampu mengelabuhi wanita berintuisi tajam. Ya, dialah Ganesha Nareswara Jenggala. Suami tercinta dari sang jaksa cantik jelita.***“Bagaimana bisa seorang tersangka overdosis di lapas seperti ini? Dia baru m
“Terimakasih, Pak Seto. Nanti Ganesha jemput lagi, ya?” Ganesha melambaikan tangannya dengan riang. Tersenyum gembira sampai matanya tertutup sempurna.“Baik, Den. Kalau gitu, bapak pulang dulu, ya?”Pak Seto berajalan menjauhi suami majikannya. Hingga beberapa saat, lelaki paruh baya itu masih mengamati pria berperawakan jauh lebih muda darinya bertingkah konyol. “Kau datang lebih cepat hari ini.”Seorang pria gondrong berkacamta menghampiri Ganesha. Lelaki itu membawa secangkir kopi di tangan. Lantas memberikannya pada Ganesha.“Seperti yang kamu lihat. Aku sudah menerima laporan. Katanya Diki sudah selesai menjalankan tugasnya.”Ganesha meneguk kopi itu. Pahit. Namun ia menyukainya. Ia berjalan menuju ke dalam rumah yang berkedok menjadi tempat pembelajaran bagi orang-orang dengan keterbelakangan mental.“Begitulah. Hanya tugas seperti itu, dia pasti cepat menyelesaikan.”“Bagus, bagus.”Ganesha bertepuk tangan heboh. Sebagai bentuk pujian pada teman sekaligus bawahan. Lelaki itu
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Anyelira memarkirkan mobilnya pada halaman rumah elite yang digunakan sebagai tempat mengajar orang-orang berkebutuhan khusus. Ia kemudian keluar dari mobil, lantas berjalan menyusuri pelataran dan memasuki pintu rumah. Di dalam sana, ia mendapati suaminya yang tengah duduk menonton TV sendirian. Sepertinya teman-teman Ganesha sudah pulang terlebih dahulu.Pembelajaran di sekolah non-formal ini hanya sampai pukul dua belas siang. Tapi kadang kala banyak murid yang lebih memilih di sini sampai sore sebab tidak ada orang di rumah mereka. Begitu juga dengan Ganesha. Suaminya merengek meminta pulang sore karena Anyelira yang bekerja seharian penuh. Ganesha hanya akan jenuh apabila sendirian di rumah. Lebih baik di sini bersama teman-temannya.“Ganesha, kamu menonton apa?”Ganesha menoleh. Kemudian senyum cerianya terbit. “Anye! Istriku sudah datang!” Dia memeluk Anyelira erat. Teriakan hebohnya membuat seisi rumah berdatangan.Ah, Anyelira jadi mal
Anyelira keluar dari mobilnya. Meninggalkan Ganesha yang masih terduduk bingung di dalam mobil. Entahlah, wanita itu bahkan tidak berpikiran jernih dan membawa suamiku tak normalnya ikut serta ke tempat kejadian perkara. “Bagaimana kejadiannya?” tanyanya ketika sudah menemukan Bambang di depan pintu. Anyelira melangkahi garis pembatas polisi tanpa kesusahan. Wajahnya panik dengan air mata yang sudah menggenang.Bagi Anyelira Jaksa Ketua nyaris menggantikan sosok ayahnya yang telah tiada. Lelaki tua itu merupakan sahabat dekat ayahnya—hingga membuat Jaksa Ketua menganggapnya selayaknya putrinya sendiri. “Hei, tenanglah.” Bambang memeluk Anyelira. Berusaha menenangkan temannya. Anyelira memberontak. Saat ini dia tidak membutuhkan pelukan macam ini. dia hanya … perlu kejelasan. Mengapa dan bagaimana lalu juga siapa. Semuanya. Anyelira harus tahu semuanya!“Bagaimana bisa dia ditemukan meninggal? Om Hendrik tidak selemah itu hingga mudah dibunuh.”Anyelira juga seorang jaksa. Sebagai s
Rumah duka dipenuhi dengan pelayat. Warna hitam sebagai penanda tengah berkabung. Banyak orang berdatangan untuk menyampaikan duka mendalam. Anyelira berdiri di antara para pelayat. Rekan jaksa dan orang-orang ternama beserta sanak saudara berjejer di depan sana. Dari belakang, ia hanya sekedar memandang dan turut melantunkan doa dalam hati.Selepas orang-orang pergi dari pemakaman, Anyelira mendekati pusara itu. Di atasnya tertulis Hendrik Anggara. Nama pamannya. Anyelira berjongkok di samping pusara. Tangannya bergerak mengelus nisan itu."Om, terima kasih. Terima kasih sudah merawat Lira menggantikan ayah dan ibu. Terima kasih sudah memberikan yang terbaik untuk Lira. Lira nggak tahu bagaimana balasnya--tapi Lira janji untuk menjadi jaksa yang baik. Lira nggak akan membuat nama Om malu. Lira ... Lira akan buat Om bangga." Air mata Lira mengalir tanpa diperintah. Punggungnya ditepuk oleh seseorang.Menoleh, bisa ia lihat Bambang berdiri di belakangnya. Lelaki itu setia menemaninya
Dulu. Ketika Anyelira pertama kali mengenalkan Ganesha pada satu-satunya keluarga perempuan itu yang masih tersisa—Om Hendrik memberikan racun pada Ganesha. Tentunya dengan kadar rendah yang mampu ditahan oleh tubuhnya.Sayangnya berkat itulah paman Anyelira menjadi menduga-duga siapa dirinya. sebab orang biasa pasti akan langsung muntah-muntah atau bahkan pingsan di tempat saat racun itu masuk ke dalam tubuh. Sayangnya, Ganesha adalah orang yang sudah berkali-kali melewati ambang kematian.“Aku terkesan dengan racun yang kau berikan. Maka dari itulah, aku mengembangkannya. Bukankah rasanya lebih menyegarkan—ah, bukan. lebih tepatnya mematikan.” Ganesha terbahak. “Aku senang kau menerimanya.”Ganesha menepuk-nepukkan kedua tanggannya. Menghapus noda tanah yang baru saja dipegang. “Beristirahtlah dengan tenang. Karena kau … pasti sangat menungguku di neraka, bukan?”Mengembangkan senyum jenaka, Ganesha mengedipkan sebelah matanya. Ia menertawakan nasih lelaki yang membencinya sedari aw
lagi dan lagi. Anyelira tak tahu, mengapa kata kamar mandi dan Ganesha selalu saja menimbulkan kenangan buruk baginya? Seperti saat ini contohnya.Padahal keadaan kaki suaminya itu tengah parah-parahnya. Dan bisa-bisanya pria itu terjatuh lagi?“Kenapa jatuh?” tanpa sadar, nada bicara Anyelira menjadi dingin. Dia menatap Ganesha tanpa belas kasih. Perasaan dan otaknya sedang berjalan rumit. Terlalu sukar dan menyakitkan. “Ganesha, bukankah aku sudah mengingatkanmu untuk jangan bertindak ceroboh?!”Anyelira kesal. Ia muak. “Jika jatuh, setidaknya cobalah untuk bangkit. Sampai kapan kau akan begini terus?”Perempuan itu sadar sepenuhnya siapa kini yang dimarahinya. Suaminya. Yang nampak baik-baik saja hanya cedera pada bagian kakinya—namun memiliki kelainan pada dalam dirinya. semarah apapun Anyelira saat ini, ia tahu, Ganesha tidak berhak diperlakukan begitu. tetapi … sekali ini saja, tolong biarkan Anyelira.“Terserah kau mau hanya duduk diam di sini saja, aku tidak lagi peduli padamu
Akan selalu ada kejutan-kejutan yang datang disela-sela sibuknya menata kehidupan. Mencoba bertahan hidup di tengah gempuran rumit yang menyambang tak terduga.Seperti saat ini tepatnya. Ketika Anyelira baru saja membuka matanya kembali, ia mendapati puluhan missed call dari Bambang. Ada apa? itu bukan sesuatu hal yang wajar. maka dari itu, Anyelira mendial balik nomor Bambang. sahabat sekaligus bawahannya itu."Hei, mentang-mentang sedang dinas di luar kota kau jadi bermalas-malasan?" Suara Bambang terdengar marah, sekaligus parau."Ada apa?"Anyelira mengenyahkan kantuknya. matanya menatap waspada mdengar dengusan Bambang dari balik telephon."Fajar tadi ... senior Arkan dinyatakan tewas."Mata Anyelira membola terkejut. Shock bukan main kala mendengar kabar itu. Padahal, bukankah baru kemarin Anyelira dan rekan-rekannya mrnguburkan jaksa ketua. Mengapa, sekarang mendengar kabar duka lainnya? Belum lagi, hal yang sama terulang. Beliau adalah salah satu teman dekat Anyelira."Dia dit
Ganesha menatap tajam benda pipih itu. Ia tak peduli bahwa kini tengah memimpin rapat perihal rencana pembunuhan yang akan dilaksanakan oleh Raka. Sekarang, bawahannya itu sudah kembali ke kota."Bos?" panggil Rosa lagi.Ganesha mendengkus dan membanting ponsel milik pemuda bernama F. Dari yang Ganesha dengar F merupakan orang yang tengah dicari oleh Anyelira. Jadi wajar saja jika istrinya itu mengirimkan pesan pada lelaki itu. Hanya saja, Ganesha tak suka. Ia tak pernah senang ketika Anyelira bergaul dan berinteraksi dengan lelaki lain selain dirinya."Ada masalah apa sih?" Kini suara Riki yang terdengar.Ganesha mendengkus marah. Ia melayangkan tatapan tajamnya pada orang-orang itu. "Rencana pembuhan itu ... lakukan dengan cara paling tragis.""Tapi--" Ganesha tak mau mendengar bantahan dari siapapun. Ia harus segera menyembuhkan gemuruh hatinya yang memerintahkannya unyuk segera menyusul pada Anyelira dan menyeret wanita itu kembali oada rengkuhannya. Jika tidak ingin dimusuhi ole
Sebuah berita yang cukup mencengangkan bagi Anyelira datang di saat seperti ini. ia mengerjapkan matanya dan mencoba berbicara dengan tenang. “El, apa maksudmu tadi?” tanyanya meminta penjelasan.Dari seberang sana, El tak kunjung menjawab. Tetapi Anyelira memastikan, panggilan mereka masih terhubung. Maka dari itu, Anyelira memastikan sekali lagi.“El?”“Tadi, suawaktu cari informasi, aku berpencar dengan Rosa. Dan aku bertemu F di sana.”Sejujurnya, Anyelira tidak pernah membayangkan hal macam ini. selama ini ia selalu memperkirakan mereka akan menemukan makam F atau jika memang pria itu masih hidup, paling tidak mereka akan bertemu di ranjang pasien. Itupun dalam keadaan koma. Iya, Anyelira memiliki kebiasaan menyiapkan hal-hal terburuk. Sampai-sampai ia jadi bingung sendiri kala mendengar kabar gembira yang tidak sesuai dengan ekpekstasi mengerikannya.“Kalau begitu, syukurlah. Kita bisa segera menutup kasusnya.”
“Ganesha, apa kau terus berlarian saat aku pergi tadi?” nada Anyelira tak menggertak. Bahkan terksan halus dan lembut.Sayangnya, Ganesha tahu, di balik nada suara mendayu itu terselip kemarahan yang begitu besar. Anyelira menyentuh kaki Ganesha yang sudah nampak membiru bahkan kini telah berwarna ungu gelap. Bengkak yang semula tak begitu terasa, kini semakin menjadi. Anyelira tentu panik, makanya perempuan itu lekas membaw Ganesha ke rumah sakit terdekat.“Sebuah keajaiban suaminya masih bisa berdiri tegak sekalipun dipapah. Kondisinya semakin parah. Saya akan merekomendasikan untuk menggunakan kruk. Dan untuk sementara, saya akan memakaikan perban. Supaya suaminya ini tidak terlalu melakukan banyak aktivitas yang dapat menyebabkan lukanya semakin infeksi.”Ganesha melirik istrinya. Tentu saja, Anyelira hanya menganggukkan kepala mengikuti saran dokter. Sebenarnya ia sama sekali tak suka dengan ide itu. hanya saja, saat ia ingin protes menolak, istrinya
Faktanya, Anyelira bahkan tidak bisa fokus untuk mengorek apa yang terjadi dengan F. malah, tadi ia hanya mencari informasi mengenai sejarah dan secuil mengenai bakso di sana. makanya, Anyelira kini tampak tak berdaya. Wanita itu memilih menyerahkan rekaman suaranya. El dan Rosa menerima. Mereka sama – sama berpandangan kala mendengarkan voice recorder itu hingga selesai.“Kok nggak nanya-nanya tentang F, Mbak?” Rosa nampak tak puas.Lira memilih menganggukkan kepala. wajahnya menunduk. Padahal tadi ia meremehkan kemampuan dua orang ini. nyatanya, dirinyalah yang paling tertinggal.“Kenapa malah tanya-tanya sejarahnya segala?” kembali, Rosa mencercanya. Anyelira memilih diam.“Rosa, tenang. Dari yang aku tangkep, si Didin ini memang radak sensitive sih. Coba deh dengerin lagi.” El mencoba menengahi. Lelaki itu kembali mengulang voice recorder yang sudah tertutup. “Ini bahkan baru ditanyain tentang perbakso-an lho. dia sudah nutup akses. Lalu
Ganesha ingat, dulu julukannya adalah pembunuh besi. Sebab ia kerap kali menghabisi nyawa korbannya menggunakan bnda tajam yang terbuat dari besi. Macam pisau lipat ini. darah yang bercucuran tak pernah membuatnya ketakutan. Ia sudah lama menanggalkan kata itu saat berada dalam pelatihan keluarganya. Dirinya monster? Iya, Ganesha mengakuinya.“Argh!” teriak orang itu. lelaki yang sama sekali tidak dikenali oleh Ganesha. Pria itu mengaduh dan menjauh. Menatap Ganesha dengan sorot awas dan sedikit kengerian.Apa ini? mengapa tidak ada bedanya dengan para korbannya dulu?“Aku tidak mengerti, untuk apa sebenarnya kau menggangguku?” dia berusaha mengkonfrontasi. Ganesha jelas merasakannya.“Bersenang-senang?” jawabnya tak pasti.Lelaki itu mendengkus. Sebelah tangannya masih mencoba menyeka darah yang merembes keluar dari lengannya yang lain. dan juga, dia terus melebar jaraknya dengan Ganesha yang berusah mengikisnya.Ganesha bisa melihat itu. Dan ia menikmatinya. Saat-saat keputus-asaan
"Oh, ada kurang lebih sepuluh cabang gerobak, Mbak." Didin tersenyum sumringah. "Tapi ya ... gitu. Nggak nentu seharinya. Kadang habis, kadang nggak. Namanya juga jualan."Anyelira mengangguk setuju. Setiap usaha pasti mengalami pasang surut. Ada laba dan juga ada rugi. Selang seling. Dan tidak pasti. "Saya mengerti. Terus ini sudah dimulai sejak kapan? Masnya owner?"Anyelira berusaha menggali lebih dalam lagi. Makin banyak yang ia ketahui, makin baik lagi. Didin mengerutkan keningnya sejenak dan kembali bersikap santai. "Udah dari sepuluh tahun lalu, Mbak. Dulu yang mulai usaha ibu. Karena bapak saya meninggal. Dan syukurlah masih bisa bertahan hingga sekarang."Anyelira tersenyum seraya menganguk-anggukkan kembali. "Udah lama juga ya, Mas. Berarti dulu udah jadi penyuplai bakso gitu ya, ibunya?""Mbak lama-lama kayak wartawan?" Didin mulai curiga. Sekalipun begitu, rautnya masih dibuat sesantai mungkin. Anyelira meremas kedua tangannya. Rasanya mulai mendingin akibat keringat. O
Anyelira kembali meneliti alamat yang dkirim oleh Bambang dengan penunjuk sekitarnya. Menurut gps di ponsel Rosa, inilah tempatnya. Sebuah dukuh pesisir pantai yang jaraknya kurang lebih tiga kilo dari penginapan. Sebelum keluar, Anyelira mengecek earphone di masing-masing telinga mereka. Rosa dan El sudah siap dan mereka juga memastikan ponsel dalam keadaa menyala dan dapat dihubungi kapanpun. Syukurlah, signal aman di sini."Ini adalah penyelidikan pertama kalian. Mari kita kerahkan seluruh tenaga kita."Rosa dan El saling berpandangan lalu mengangguk. "Kita bergerak sesuai rencana awal. Aku akan menuju langsung ke lokasi, kalian cari informasi sebanyaknya tentang penyortir bakso itu dari warga sekitar.""Siap. Laksanakan!" jawab Rosa dan Ep bersamaan.Dan merekapun berpisah jalan. Anyelira menuju alamat rumah penyortir bakso itu. Ia menanyakan keberadaannya dari warga sekitar yang ditemuinya. Lalu, saat sudah menemukan, Anyelira mengetuk rumah. Ia mengambil langkah berbahaya. Terle