Akan selalu ada kejutan-kejutan yang datang disela-sela sibuknya menata kehidupan. Mencoba bertahan hidup di tengah gempuran rumit yang menyambang tak terduga.Seperti saat ini tepatnya. Ketika Anyelira baru saja membuka matanya kembali, ia mendapati puluhan missed call dari Bambang. Ada apa? itu bukan sesuatu hal yang wajar. maka dari itu, Anyelira mendial balik nomor Bambang. sahabat sekaligus bawahannya itu."Hei, mentang-mentang sedang dinas di luar kota kau jadi bermalas-malasan?" Suara Bambang terdengar marah, sekaligus parau."Ada apa?"Anyelira mengenyahkan kantuknya. matanya menatap waspada mdengar dengusan Bambang dari balik telephon."Fajar tadi ... senior Arkan dinyatakan tewas."Mata Anyelira membola terkejut. Shock bukan main kala mendengar kabar itu. Padahal, bukankah baru kemarin Anyelira dan rekan-rekannya mrnguburkan jaksa ketua. Mengapa, sekarang mendengar kabar duka lainnya? Belum lagi, hal yang sama terulang. Beliau adalah salah satu teman dekat Anyelira."Dia dit
lagi dan lagi. Anyelira tak tahu, mengapa kata kamar mandi dan Ganesha selalu saja menimbulkan kenangan buruk baginya? Seperti saat ini contohnya.Padahal keadaan kaki suaminya itu tengah parah-parahnya. Dan bisa-bisanya pria itu terjatuh lagi?“Kenapa jatuh?” tanpa sadar, nada bicara Anyelira menjadi dingin. Dia menatap Ganesha tanpa belas kasih. Perasaan dan otaknya sedang berjalan rumit. Terlalu sukar dan menyakitkan. “Ganesha, bukankah aku sudah mengingatkanmu untuk jangan bertindak ceroboh?!”Anyelira kesal. Ia muak. “Jika jatuh, setidaknya cobalah untuk bangkit. Sampai kapan kau akan begini terus?”Perempuan itu sadar sepenuhnya siapa kini yang dimarahinya. Suaminya. Yang nampak baik-baik saja hanya cedera pada bagian kakinya—namun memiliki kelainan pada dalam dirinya. semarah apapun Anyelira saat ini, ia tahu, Ganesha tidak berhak diperlakukan begitu. tetapi … sekali ini saja, tolong biarkan Anyelira.“Terserah kau mau hanya duduk diam di sini saja, aku tidak lagi peduli padamu
“Istriku, apa kamu akan bekerja sekarang? Sepagi ini?”Seorang lelaki bergelayut manja pada pundak wanitanya. Dia memeluk erat bahu ramping itu. Menunjukkan bahwa tak ingin ditinggalkan. Di pagi buta di mana matahari bahkan belum keluar dari peraduannya.Wanita itu melepaskan rangkulan suaminya. Ia membalik dengan senyuman menawan. Lantas mengelus rambut lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Namun dengan tingkah yang nyaris sama seperti bocah.“Aku juga enggan untuk pergi sepagi ini. Tapi ada tugas yang mengharuskanku untuk turun tangan.”“Apakah tugas itu lebih penting dari Ganesha?” cicitnya memberenggut.Kemudian beranjak menuju ranjang di mana beberapa saat lalu mereka bergelut panas. “Ganesha, kamu tahu kalau dirimu adalah yang paling penting. Namun aku harus bekerja agar kamu tetap bisa main bersama teman-temanmu.” Ia berusaha memberikan pengertian pada suaminya.Tapi Ganesha masih saja cemberut.“Ganesha cukup hanya denganmu kok, Lira. Istriku. Ganesha cukup dengan istriku sa
“Sudah dibereskan?”Ganesha memainkan mobil-mobilannya dengan riang. Di sebelah kirinya tergeletak ponsel yang tengah terhubung dengan seseorang.“Sudah, Mas. Ada perintah lain lagi?”“Tidak. Tugasmu sudah cukup. Kembalilah.”“Baik, Mas.”Dan kini, tangan Ganesha meraih mainan yang lain. Berpura-pura memainkannya di depan kamera CCTV yang terpasang. Istrinya itu orang yang terlalu waspada. Dia memasang beberapa kamera pengawas diberbagai sudut rumah. Ganesha sampai harus berakting sepanjang hari. Untung saja tak ada penyadap, hingga dia masih bisa leluasa untuk mengatur pekerjaan gelapnya.“Istriku … kapan kamu kembali? Pasti sekarang tengah kebingungan ya? Maaf. Aku hanya menyingkirkan kecoak yang jorok.”Dan kemudian berlarian sembari tertawa girang. Akting sempurna yang bahkan mampu mengelabuhi wanita berintuisi tajam. Ya, dialah Ganesha Nareswara Jenggala. Suami tercinta dari sang jaksa cantik jelita.***“Bagaimana bisa seorang tersangka overdosis di lapas seperti ini? Dia baru m
“Terimakasih, Pak Seto. Nanti Ganesha jemput lagi, ya?” Ganesha melambaikan tangannya dengan riang. Tersenyum gembira sampai matanya tertutup sempurna.“Baik, Den. Kalau gitu, bapak pulang dulu, ya?”Pak Seto berajalan menjauhi suami majikannya. Hingga beberapa saat, lelaki paruh baya itu masih mengamati pria berperawakan jauh lebih muda darinya bertingkah konyol. “Kau datang lebih cepat hari ini.”Seorang pria gondrong berkacamta menghampiri Ganesha. Lelaki itu membawa secangkir kopi di tangan. Lantas memberikannya pada Ganesha.“Seperti yang kamu lihat. Aku sudah menerima laporan. Katanya Diki sudah selesai menjalankan tugasnya.”Ganesha meneguk kopi itu. Pahit. Namun ia menyukainya. Ia berjalan menuju ke dalam rumah yang berkedok menjadi tempat pembelajaran bagi orang-orang dengan keterbelakangan mental.“Begitulah. Hanya tugas seperti itu, dia pasti cepat menyelesaikan.”“Bagus, bagus.”Ganesha bertepuk tangan heboh. Sebagai bentuk pujian pada teman sekaligus bawahan. Lelaki itu
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Anyelira memarkirkan mobilnya pada halaman rumah elite yang digunakan sebagai tempat mengajar orang-orang berkebutuhan khusus. Ia kemudian keluar dari mobil, lantas berjalan menyusuri pelataran dan memasuki pintu rumah. Di dalam sana, ia mendapati suaminya yang tengah duduk menonton TV sendirian. Sepertinya teman-teman Ganesha sudah pulang terlebih dahulu.Pembelajaran di sekolah non-formal ini hanya sampai pukul dua belas siang. Tapi kadang kala banyak murid yang lebih memilih di sini sampai sore sebab tidak ada orang di rumah mereka. Begitu juga dengan Ganesha. Suaminya merengek meminta pulang sore karena Anyelira yang bekerja seharian penuh. Ganesha hanya akan jenuh apabila sendirian di rumah. Lebih baik di sini bersama teman-temannya.“Ganesha, kamu menonton apa?”Ganesha menoleh. Kemudian senyum cerianya terbit. “Anye! Istriku sudah datang!” Dia memeluk Anyelira erat. Teriakan hebohnya membuat seisi rumah berdatangan.Ah, Anyelira jadi mal
Anyelira keluar dari mobilnya. Meninggalkan Ganesha yang masih terduduk bingung di dalam mobil. Entahlah, wanita itu bahkan tidak berpikiran jernih dan membawa suamiku tak normalnya ikut serta ke tempat kejadian perkara. “Bagaimana kejadiannya?” tanyanya ketika sudah menemukan Bambang di depan pintu. Anyelira melangkahi garis pembatas polisi tanpa kesusahan. Wajahnya panik dengan air mata yang sudah menggenang.Bagi Anyelira Jaksa Ketua nyaris menggantikan sosok ayahnya yang telah tiada. Lelaki tua itu merupakan sahabat dekat ayahnya—hingga membuat Jaksa Ketua menganggapnya selayaknya putrinya sendiri. “Hei, tenanglah.” Bambang memeluk Anyelira. Berusaha menenangkan temannya. Anyelira memberontak. Saat ini dia tidak membutuhkan pelukan macam ini. dia hanya … perlu kejelasan. Mengapa dan bagaimana lalu juga siapa. Semuanya. Anyelira harus tahu semuanya!“Bagaimana bisa dia ditemukan meninggal? Om Hendrik tidak selemah itu hingga mudah dibunuh.”Anyelira juga seorang jaksa. Sebagai s
Rumah duka dipenuhi dengan pelayat. Warna hitam sebagai penanda tengah berkabung. Banyak orang berdatangan untuk menyampaikan duka mendalam. Anyelira berdiri di antara para pelayat. Rekan jaksa dan orang-orang ternama beserta sanak saudara berjejer di depan sana. Dari belakang, ia hanya sekedar memandang dan turut melantunkan doa dalam hati.Selepas orang-orang pergi dari pemakaman, Anyelira mendekati pusara itu. Di atasnya tertulis Hendrik Anggara. Nama pamannya. Anyelira berjongkok di samping pusara. Tangannya bergerak mengelus nisan itu."Om, terima kasih. Terima kasih sudah merawat Lira menggantikan ayah dan ibu. Terima kasih sudah memberikan yang terbaik untuk Lira. Lira nggak tahu bagaimana balasnya--tapi Lira janji untuk menjadi jaksa yang baik. Lira nggak akan membuat nama Om malu. Lira ... Lira akan buat Om bangga." Air mata Lira mengalir tanpa diperintah. Punggungnya ditepuk oleh seseorang.Menoleh, bisa ia lihat Bambang berdiri di belakangnya. Lelaki itu setia menemaninya