Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Anyelira memarkirkan mobilnya pada halaman rumah elite yang digunakan sebagai tempat mengajar orang-orang berkebutuhan khusus.
Ia kemudian keluar dari mobil, lantas berjalan menyusuri pelataran dan memasuki pintu rumah. Di dalam sana, ia mendapati suaminya yang tengah duduk menonton TV sendirian. Sepertinya teman-teman Ganesha sudah pulang terlebih dahulu.Pembelajaran di sekolah non-formal ini hanya sampai pukul dua belas siang. Tapi kadang kala banyak murid yang lebih memilih di sini sampai sore sebab tidak ada orang di rumah mereka. Begitu juga dengan Ganesha.Suaminya merengek meminta pulang sore karena Anyelira yang bekerja seharian penuh. Ganesha hanya akan jenuh apabila sendirian di rumah. Lebih baik di sini bersama teman-temannya.“Ganesha, kamu menonton apa?”Ganesha menoleh. Kemudian senyum cerianya terbit. “Anye! Istriku sudah datang!” Dia memeluk Anyelira erat. Teriakan hebohnya membuat seisi rumah berdatangan.Ah, Anyelira jadi malu.“Ganesha, tolong lepas, ini masih di tempat belajarmu. Tidak boleh peluk-peluk begini.”“Kenapa? Tapi Pak Guru Riki sama Bu Guru Risa selalu melakukan itu kok di depanku!” sungut Ganesha tak terima.Perkataan polosnya barusan membuat dua orang yang disebutkan berdeham sungkan. Sedangkan Anyelira melirik mereka ganas.Risa tertawa canggung. “Nye, kau pasti mau tanya tentang perkembangan Ganesha. Yuk, ke ruanganku.”“Ganesha ikut!” teriaknya tak mau ditinggal. Entah mengapa, setiap Ganesha berdekatan dengan Anyelira, pria itu tak mau menjauh. Sangat susah lepas macam koala dengan pohon.“Ganesha … ini hanya sebentar. Kamu di sini, okay?”“Tapi, Lira?”“Ganesha,” tekan Lira memberikan peringatan. Ganesha hanya menunduk dan mengangguk patuh.Hal itu membuat Anyelira mengulurkan tangan dan mengelus rambut pria itu lembut. Ia senang apabila Ganesha dalam mode patuh seperti itu. “Goodboy.”***“Jadi, apa yang sudah kamu ajarkan pada suamiku sampai dia berani memelukku dihadapan umum?” desis Anyelira setelah sampai pada ruangan yang dikhusukan untuk Risa.Bukan apa-apa, Anyelira ingin Ganesha tau sedikit sopan santun yang harus dijaga dihadapan publik. Ia hanya tak mau suaminya terus dipandang remeh oleh lingkungan sosial. Tapi jika Risa dan kekasihnya tidak memberikan contoh yang baik, Anyelira jadi berpikir untuk memindahkan Ganesha ke sekolah lain.Risa sebagai pemiliki rumah ini merupakan teman akrab Anyelira sewaktu SMA. Mereka sudah tidak lama bertemu dan bertukar kabar sampai satu tahun yang lalu. Ketika Anyelira tak sengaja menabrak Ganesha—suaminya saat ini.“Well, aku tidak melakukannya dihadapan murid-murid. Suamimu saja yang tiba-tiba menyelonong masuk ke dalam toilet.”“Dan itu adalah toilet umum?” tebak Lira akurat.Melihat Risa yang hanya tertawa canggung sambil menyodorkan segelas mug kopi kepadanya, membuat Anyelira mendengkus.Entah apa masalahnya, selalu saja. Ada laporan-laporan mengenai tingkah Risa juga kekasihnya yang datang dari mulut suaminya. Ganesha terus menerus memerogoki pasangan itu bermesraan dan kadang kala, lelaki itu malah menunjukkan kalau dia iri dan ingin melakukannya juga. Membuat kepala Lira pusing. “Kenapa kamu tidak menikah saja dengan pacarmu itu?”Risa menyeruput kopinya. Dia hanya berdeham malas kala pertanyaan itu terlontar dari bibir teman baiknya. “Kau tau kan insiden papa dan mamaku saat SMA. Karena mereka, aku jadi tidak berminat pada pernikahan.”Lira mendecakkan lidahnya. Dirinya tak bermaksud apapun untuk membangkitkan kenangan buruk Risa. Lira tahu. Teramat sangat masalah apa yang mendera keluarga Risa saat itu. Tapi … Lira tak menyangka jika trauma itu masih dibawa sampai saat ini.“Lupakan. Bukankah kau ingin bertanya mengenai perkembangan suamimu?”Risa mengalihkan topik. Sebab dirinya tak sanggup dengan kecanggungan yang sempat hadir.“Benar. Apakah ada peningkatan atau kemunduran?”“Sajauh ini semuanya berjalan dengan baik. Bahkan sekarang suamimu bisa mengerjakan soal matematika aljabar sendiri. Dia juga bisa menulis dengan rapi sesuai garis.”“Benarkah?” Anyelira nampak tertarik.Risa mengangguk pasti. Kemudian senyuman itu bangkit. “Kau mau melihat hasil ujiannya?” tawar Risa.Anyelira mengangguk setuju. Tak lama, kertas ulangan hasil kerjaan Ganesha sudah berada di tangan Anyelira.Memang. Salah satu program yang ada dalam sekolah non-formal ini memberikan ulangan setiap bulannya untuk mengetahui evaluais dari masing-masing murid.Risa adalah pendirinya. Sedangkan rumah besar ini merupakan miliknya. Peninggalan dari mendiang orangtuanya. Satu-satunya harta yang mampu direnggutnya kembali.Setahu Anyelira, rumah ini beberapa tahun yang lalu berhasil di sita oleh pihak bank. Kemudian Anyelira tak tau lagi kelanjutannya mengapa rumah ini bisa kembali di tangan Risa.“Dia sudah meningkat.” Bibir Anyelira mengukir ke atas. Raut bangga jelas terpampang pada wajahnya.“Iya. Setidaknya mentalnya kini sudah masuk pada usia SMP.”“Begitukah?”Anyelira menikahi Ganesha Jenggala ketika mental lelaki itu setara dengan usia anak umur dua belas tahun. Meskipun begitu, ketika di atas ranjang, lelaki itu bisa memberikan kepuasan untuknya. Walaupun pasti dari masyarakat sekitar banyak pertentangan—contohnya Bambang, tapi Anyelira tak memerdulikannya. Ia menyukai suaminya.Iapun senang memiliki Ganesha di sampingnya.“Kalau begitu, aku akan pulang. Apakah hanya tersisa Ganesha saja di sini?”“Ya. Para murid sudah dijemput oleh walinya masing-masing.”Anyelira mengangguk mengerti. “Terima kasih untuk hari ini.”“Sama-sama.”Anyelira keluar dari ruangan. Kertas hasil ujian Ganesha masih dibawa. Ia tak ubahnya seorang ibu yang bangga akan nilai anaknya sampai-sampai kertas ulangannya akan disimpan setiap bulannya.“Anye! Kenapa lama sekali!”Ganesha memberenggut. Anyelira hanya terkekeh geli. Kemudian menggandeng tangan suaminya berjalan keluar. Ia sudah pamit dengan pemilik rumah.“Aku tak merasa selama itu.”Cahaya kuning keemasan menjemput mereka kala bersinggungan dengan udara segar di luar. Ini pasti sudah hampir pukul enam sore. Terbukti dengan kemilau senja yang perlahan memudar. Angin segar menggelayuti langkah mereka berdua. Menyusuri halaman depan hingga mobil. Ganesha duduk di bangku penumpang, sementara Anyelira menyamankan diri di kursi kemudi.Interaksi damai mereka selalu saja mendapatkan sorotan dari beberapa pasang mata penghuni rumah.“Aku masih tak percaya ketika melihatnya. Bos … selalu nampak berbeda ketika bersama istriya,” keluh Riki.“Itulah kekuatan cinta,” timpal Risa merasa iri.Riki hanya menatap kesal pada kekasihnya tapi tak memberikan komentar lebih lanjut. Sementara Diki—kembaran Riki—hanya berdiam dengan segala pikirannya.“Riki, apa … racunnya sudah siap?” tanya Diki tiba-tiba. Pagi tadi, ada sebuah perintah turun. Dan mereka harus mengerjakannya malam ini.“Ya. Semuanya telah disiapkan.”Kemudain suasana menjadi hening. Tak ada yang menyahut lebih lanjut. Bagi mereka pembahasan ini hanya akan melukai nurani. Tapi mereka tak memiliki pilihan. Inilah hidup. Dan mereka harus melakukan ini untuk bertahan. Sekalipun itu dengan merampas nyawa orang lain.***“Tembak yang tengah, Anye. Tengah!” teriak Ganesha tak sabaran.Anyelira melirik suaminya sengit. Lelaki itu sedari tadi terus saja berisik. Belum lagi dengan suara music disekitar mereka, semuanya membuat Anyelira kurang fokus.“Anye, istriku. Ayo! Cepat! Tengah!”“Berisik!” sahut Lira tajam.Sontak, Ganesha terdiam kaku. Menurut. Wajahnya memelas dengan mata yang hampir saja menjatuhkan mutiara bening dari sana. Anyelira menarik dan membuang napas. Berkali-kali. Mencoba tenang.Ganesha orang yang perasa. Sekali dibentak, lelaki itu akan murung seharian. Atau bahkan menangis berjam-jam lamanya. Anyelira pernah menghadapi suaminya dalam kondisi macam itu dan ia tak mau mengulanginya.“Ganesha, tolong tenang, aku pasti akan mendapatkan hadiah itu untukmu. Okay?”Ganesha hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Menggeleng pasrah, Anyelira memilih fokus kembali. Jika ia meladeni mood Ganesha sekarang, maka mereka tak akan mendapatkan mainan apapun malam ini.Satu, dua, tiga.Tak!Peluru melesat tepat pada sasaran nomor dua. Tengah. Seperti kemauan Ganesha. Melirik suaminya, Anyelira menghela napas lega kala mendapati senyuman ceria itu hadir kembali.“Kamu senang?” tanya Anyelira. Melihat Ganesha yang memeluk mainan pesawat di pelukan hasil dari permainan tadi.Mengangguk cepat, lelaki itu tersenyum riang. “Iya. Senang, senang!”“Kamu mau es krim?”Secepat kilat, Ganesha kembali mengangguk. anyelira tertawa gemas. Mendekatkan wajah, bibirnya mengecup cepat pipi itu. Sungguh, mau ditahan bagaimanapun, Anyelira tak bisa menahan untuk tidak menyentuh suaminya yang menggemaskan.Tubuh Ganesha kaku. Dia menatap istrinya tidak percaya. Matanya mengedip-ngedip lucu. Gemasnya.“Anye, cium Ganesha di depan umum, apa itu boleh?”Anyelira berdeham canggung. Ingat kalau sore tadi ia baru saja menegur Risa perihal bermesraan di depan umum. Sekarang, ia sendiri yang melakukannya dengan suaminya. “Asal tidak ada yang melihat, kurasa boleh.”“Kalau begitu, cium Ganesha lagi. Di sini. Di bibir!”Anyelira menenggak ludah. Rasa-rasanya ia baru saja termakan omongannya sendiri. apalagi kini pria itu menundukkan wajahnya tepat dihadapan Lira. Tuhan … jangan sampai ia lepas kendali.“Ganesha … sekarang, sudah ada yang lihat. Jadi tidak boleh. Nanti di rumah saja. Kamu boleh minta dicium dimanapun,” bisiknya tepat di telinga Ganesha.Ganesha kembali berdiri tegak. Pancaran wajahnya menampakkan rona samar. Hm, apa Anyelira tak salah lihat?“Baik. ayo kita segera pulang!”“Eh, tidak jadi beli es krim?” tanyanya bingung. “Ganesha lebih suka dicium Anye di rumah!”“Hah?” Anyelira terbahak. jawaban polos Ganesha sudah seperti mood boster baginya.“Baiklah, ayo pulang!”Ponsel Anyelira bergetar dari dalam saku. Sekejap, langkah mereka terhenti sejenak. Mengambil gawai, nama Bambang terpampang jelas pada layar.“Halo,” sapa Lira ketika panggilan terhubung.“Hai, kau di mana?” Suara Bambang terdengar cemas.“Di play station. Kenapa?”“Kau tak tahu? Ada kabar buruk. Katanya Jaksa Ketua ditemukan tewas!”“Apa?” ***Oh iya. Hanya sekadar pemberitahuan. cerita ini sebelumnya pernah Zafa publish di akun lainnya. Jadi jangan kaget ya.Anyelira keluar dari mobilnya. Meninggalkan Ganesha yang masih terduduk bingung di dalam mobil. Entahlah, wanita itu bahkan tidak berpikiran jernih dan membawa suamiku tak normalnya ikut serta ke tempat kejadian perkara. “Bagaimana kejadiannya?” tanyanya ketika sudah menemukan Bambang di depan pintu. Anyelira melangkahi garis pembatas polisi tanpa kesusahan. Wajahnya panik dengan air mata yang sudah menggenang.Bagi Anyelira Jaksa Ketua nyaris menggantikan sosok ayahnya yang telah tiada. Lelaki tua itu merupakan sahabat dekat ayahnya—hingga membuat Jaksa Ketua menganggapnya selayaknya putrinya sendiri. “Hei, tenanglah.” Bambang memeluk Anyelira. Berusaha menenangkan temannya. Anyelira memberontak. Saat ini dia tidak membutuhkan pelukan macam ini. dia hanya … perlu kejelasan. Mengapa dan bagaimana lalu juga siapa. Semuanya. Anyelira harus tahu semuanya!“Bagaimana bisa dia ditemukan meninggal? Om Hendrik tidak selemah itu hingga mudah dibunuh.”Anyelira juga seorang jaksa. Sebagai s
Rumah duka dipenuhi dengan pelayat. Warna hitam sebagai penanda tengah berkabung. Banyak orang berdatangan untuk menyampaikan duka mendalam. Anyelira berdiri di antara para pelayat. Rekan jaksa dan orang-orang ternama beserta sanak saudara berjejer di depan sana. Dari belakang, ia hanya sekedar memandang dan turut melantunkan doa dalam hati.Selepas orang-orang pergi dari pemakaman, Anyelira mendekati pusara itu. Di atasnya tertulis Hendrik Anggara. Nama pamannya. Anyelira berjongkok di samping pusara. Tangannya bergerak mengelus nisan itu."Om, terima kasih. Terima kasih sudah merawat Lira menggantikan ayah dan ibu. Terima kasih sudah memberikan yang terbaik untuk Lira. Lira nggak tahu bagaimana balasnya--tapi Lira janji untuk menjadi jaksa yang baik. Lira nggak akan membuat nama Om malu. Lira ... Lira akan buat Om bangga." Air mata Lira mengalir tanpa diperintah. Punggungnya ditepuk oleh seseorang.Menoleh, bisa ia lihat Bambang berdiri di belakangnya. Lelaki itu setia menemaninya
Dulu. Ketika Anyelira pertama kali mengenalkan Ganesha pada satu-satunya keluarga perempuan itu yang masih tersisa—Om Hendrik memberikan racun pada Ganesha. Tentunya dengan kadar rendah yang mampu ditahan oleh tubuhnya.Sayangnya berkat itulah paman Anyelira menjadi menduga-duga siapa dirinya. sebab orang biasa pasti akan langsung muntah-muntah atau bahkan pingsan di tempat saat racun itu masuk ke dalam tubuh. Sayangnya, Ganesha adalah orang yang sudah berkali-kali melewati ambang kematian.“Aku terkesan dengan racun yang kau berikan. Maka dari itulah, aku mengembangkannya. Bukankah rasanya lebih menyegarkan—ah, bukan. lebih tepatnya mematikan.” Ganesha terbahak. “Aku senang kau menerimanya.”Ganesha menepuk-nepukkan kedua tanggannya. Menghapus noda tanah yang baru saja dipegang. “Beristirahtlah dengan tenang. Karena kau … pasti sangat menungguku di neraka, bukan?”Mengembangkan senyum jenaka, Ganesha mengedipkan sebelah matanya. Ia menertawakan nasih lelaki yang membencinya sedari aw
Anyelira tak tahu kapan tepatnya mereka tertidur semalam. Setelah menecritakan perihal mercusuar dan pelajaran Ganesha, mereka menghabiskan malam dengan manis. Anyelira menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Ia menatap suaminya yang masih meringkuk memeluknya. Wajah polos Ganesha ketika tertidur mampu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia merasa tindakannya tepat membawa Ganesha ke sini. Tanpa bersinggah di rumah terlebih dahulu. Selepas pertemuan singkat dengan Erick kemarin, Anyelira nyaris ketakutan dan ingin melarikam diri. Ingatan-ingatan kelam yang berusaha Anyelira kubur dalam-dalam nyatanya mampu menyeruak seolah semuanya dangkal. Anyelira tak suka ini. ia benci ketidak berdayaan dan segala hal tentang itu."Anye, kau sudah bangun? Ganesha masih mengantuk." Ganesha menggeliat dan merangkul perutnya erat. Dia menyerukkan wajahnya ke dada Anyelira yang tak ditutupi apapun. "Tidur lagi saja. Mataharinya saja belum nampak." Anyelira melirik jendela kamar yang setengah
"Anye, bangun! Ayo kita main ke pantai!" Ganesha menggoyangkan tubuh Anyelira. Membuat wanita itu menggeliat pelan. Anyelira mengerjapkan matanya dan tersenyum senang melihat Ganesha. "Tumben sekali kau bangun mendahuluiku?"Ganesha mengangguk antusias. "Ganesha sudah bangun sejak tadi.""Benarkah?"Selama mereka menikah, Ganesha bangun terlebih dahulu adalah sesuatu yang jarang. Bisa dihitung jari malah. Tapi setiap Ganesha membuka matanya terlebih dahulu, Anyelira selalu mengapresiasi itu. "Iya! Ayo kita ke pantai, Anye. Ganesha ingin buat istana pasir buat Lira!"Ganesha menarik-narik tangan Anyelira kembali. Anyelira hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Menurut untuk bangkit dan duduk di atas ranjang. Mereka keluar dari penginapan dan menuju pantai. Matahari sudah terbit cukup tinggi saat itu. Anyelira mengecek ponselnya. Memeriksa jam yang ternyata menunjukkan pukul delapan pagi. Pantas saja.G
"ANYEEE!!"Anyelira sedikit syock saat melihat kondisi Ganesha. Baju suaminya yang berwarna milo pudar basah bagian depannya. Bisa ia lihat mangkok yang sebelum berisi bakso kini tinggal kuahnya. itupun hanya bersisa sedikit. menatap sekeliling, Anyelira dapat melihat beberapa bakso kecil dan juga mie dan kuah di sekitar Ganesha.Lelaki itu berhambur ke dalam pelukannya. Anyelira mengusap-usap belakang kepala Ganesha untuk menenangkan. Matanya memicing awas kala menyadari kalau ini bukanlah kecelakaan. "Oh, situ kakaknya?" Seorang ibu-ibu maju ke depannya. Matanya menyorot tajam. Menelisik antara dirinya juga Ganesha. Tidak sopan!Anyelira menggeram tertahan. Berusaha menormalkan napasnya. Otaknya dengan cepat kira-kira, ia bisa menuntut kasus apa dari tingkah laku ibu-ibu ini?"Mbak, kalau punya saudara yang cacat begini, itu ya mbok dijagain. kasihan anak saya jadi nggak bisa makan karena risih sama orang itu!" decihnya.
“Bukankah aku sudah pernah bilang padamu untuk jangan jadi cengeng ketika berhadapan dengan orang lain, hm?” Anyelira mencoba berbicara pada Ganesha selepas mereka sudah tiba di penginapan kembali. Ia sibuk mengomel sembari mengambilkan baju ganti suaminya di koper. Napasnya masih memburu. Emosinya belum teredam sepenuhnya.“Nye, maafkan Ganesha. Ganesha tadi sudah marah sewaktu anak itu mengganggu Ganesha. Tapi … ibunya datang dan memarahi balik Ganesha. Ganesha jadi takut. Maafkan Ganesha, Nye. Maaf.”Mendengar itu, Anyelira hanya menghela napas panjang. Ia mengambil kaos lengan pendek berwarna putih gading. Ganesha mengangkat tangannya—meminta untuk dibantu ganti. Anyelira hanya memutar bola mata malas. Tangannya serontak memegang baju kotor Ganesha. Namun gerakannya berhenti kala menyadari satu hal. Lantas, ia menggelng cepat.Mulai sekarang, ia tidak boleh memanjakan Ganesha begitu saja. seperti halnya Ganesha yang harus belajar untuk bertindak sendiri apabila diganggu orang lai
“Anyeee!” Anyelira menoleh mendengar panggilan yang tak asing itu. benar saja, Ganesha sudah tidak jauh darinya. Dengan pakaian yang sudah bersih dan rapih.Ganesha berlarian mendekatinya. Hanya saja, mungkin lelaki itu agak kesusahan untuk melewati kerumunan. Anyelira menoleh pada anak itu. wajahnya masih pucat sekalipun air laut sudah berhasil dikeluarkan dari kerongkongannya. “Iya, tolong segera datang.” Anyelira mengakhiri pembicaraan. Ia memilih untuk berdiri. Hendak menyusul suaminya yang tengah kesusahan. Hanya saja, seblum sempat ia melangkah lebih jauh, tangannya sudah digenggam erat oleh seseorang. Anyelira menoleh. Itu ibu-ibu yang tadi. “Kenapa kau sudah mau pergi? Katamu kau akan memanggil ambulans? Mana?!” tanyanya putus asa.Anyelira mengembuskan napas pelan, “mereka dalam perjalanan.”“Lalu kenapa kau sudah mau pergi? Jangan pergi dulu. Tunggu ambulans datang!”Mengernyit tak suka, jujur saja, Anyelira masih jen
lagi dan lagi. Anyelira tak tahu, mengapa kata kamar mandi dan Ganesha selalu saja menimbulkan kenangan buruk baginya? Seperti saat ini contohnya.Padahal keadaan kaki suaminya itu tengah parah-parahnya. Dan bisa-bisanya pria itu terjatuh lagi?“Kenapa jatuh?” tanpa sadar, nada bicara Anyelira menjadi dingin. Dia menatap Ganesha tanpa belas kasih. Perasaan dan otaknya sedang berjalan rumit. Terlalu sukar dan menyakitkan. “Ganesha, bukankah aku sudah mengingatkanmu untuk jangan bertindak ceroboh?!”Anyelira kesal. Ia muak. “Jika jatuh, setidaknya cobalah untuk bangkit. Sampai kapan kau akan begini terus?”Perempuan itu sadar sepenuhnya siapa kini yang dimarahinya. Suaminya. Yang nampak baik-baik saja hanya cedera pada bagian kakinya—namun memiliki kelainan pada dalam dirinya. semarah apapun Anyelira saat ini, ia tahu, Ganesha tidak berhak diperlakukan begitu. tetapi … sekali ini saja, tolong biarkan Anyelira.“Terserah kau mau hanya duduk diam di sini saja, aku tidak lagi peduli padamu
Akan selalu ada kejutan-kejutan yang datang disela-sela sibuknya menata kehidupan. Mencoba bertahan hidup di tengah gempuran rumit yang menyambang tak terduga.Seperti saat ini tepatnya. Ketika Anyelira baru saja membuka matanya kembali, ia mendapati puluhan missed call dari Bambang. Ada apa? itu bukan sesuatu hal yang wajar. maka dari itu, Anyelira mendial balik nomor Bambang. sahabat sekaligus bawahannya itu."Hei, mentang-mentang sedang dinas di luar kota kau jadi bermalas-malasan?" Suara Bambang terdengar marah, sekaligus parau."Ada apa?"Anyelira mengenyahkan kantuknya. matanya menatap waspada mdengar dengusan Bambang dari balik telephon."Fajar tadi ... senior Arkan dinyatakan tewas."Mata Anyelira membola terkejut. Shock bukan main kala mendengar kabar itu. Padahal, bukankah baru kemarin Anyelira dan rekan-rekannya mrnguburkan jaksa ketua. Mengapa, sekarang mendengar kabar duka lainnya? Belum lagi, hal yang sama terulang. Beliau adalah salah satu teman dekat Anyelira."Dia dit
Ganesha menatap tajam benda pipih itu. Ia tak peduli bahwa kini tengah memimpin rapat perihal rencana pembunuhan yang akan dilaksanakan oleh Raka. Sekarang, bawahannya itu sudah kembali ke kota."Bos?" panggil Rosa lagi.Ganesha mendengkus dan membanting ponsel milik pemuda bernama F. Dari yang Ganesha dengar F merupakan orang yang tengah dicari oleh Anyelira. Jadi wajar saja jika istrinya itu mengirimkan pesan pada lelaki itu. Hanya saja, Ganesha tak suka. Ia tak pernah senang ketika Anyelira bergaul dan berinteraksi dengan lelaki lain selain dirinya."Ada masalah apa sih?" Kini suara Riki yang terdengar.Ganesha mendengkus marah. Ia melayangkan tatapan tajamnya pada orang-orang itu. "Rencana pembuhan itu ... lakukan dengan cara paling tragis.""Tapi--" Ganesha tak mau mendengar bantahan dari siapapun. Ia harus segera menyembuhkan gemuruh hatinya yang memerintahkannya unyuk segera menyusul pada Anyelira dan menyeret wanita itu kembali oada rengkuhannya. Jika tidak ingin dimusuhi ole
Sebuah berita yang cukup mencengangkan bagi Anyelira datang di saat seperti ini. ia mengerjapkan matanya dan mencoba berbicara dengan tenang. “El, apa maksudmu tadi?” tanyanya meminta penjelasan.Dari seberang sana, El tak kunjung menjawab. Tetapi Anyelira memastikan, panggilan mereka masih terhubung. Maka dari itu, Anyelira memastikan sekali lagi.“El?”“Tadi, suawaktu cari informasi, aku berpencar dengan Rosa. Dan aku bertemu F di sana.”Sejujurnya, Anyelira tidak pernah membayangkan hal macam ini. selama ini ia selalu memperkirakan mereka akan menemukan makam F atau jika memang pria itu masih hidup, paling tidak mereka akan bertemu di ranjang pasien. Itupun dalam keadaan koma. Iya, Anyelira memiliki kebiasaan menyiapkan hal-hal terburuk. Sampai-sampai ia jadi bingung sendiri kala mendengar kabar gembira yang tidak sesuai dengan ekpekstasi mengerikannya.“Kalau begitu, syukurlah. Kita bisa segera menutup kasusnya.”
“Ganesha, apa kau terus berlarian saat aku pergi tadi?” nada Anyelira tak menggertak. Bahkan terksan halus dan lembut.Sayangnya, Ganesha tahu, di balik nada suara mendayu itu terselip kemarahan yang begitu besar. Anyelira menyentuh kaki Ganesha yang sudah nampak membiru bahkan kini telah berwarna ungu gelap. Bengkak yang semula tak begitu terasa, kini semakin menjadi. Anyelira tentu panik, makanya perempuan itu lekas membaw Ganesha ke rumah sakit terdekat.“Sebuah keajaiban suaminya masih bisa berdiri tegak sekalipun dipapah. Kondisinya semakin parah. Saya akan merekomendasikan untuk menggunakan kruk. Dan untuk sementara, saya akan memakaikan perban. Supaya suaminya ini tidak terlalu melakukan banyak aktivitas yang dapat menyebabkan lukanya semakin infeksi.”Ganesha melirik istrinya. Tentu saja, Anyelira hanya menganggukkan kepala mengikuti saran dokter. Sebenarnya ia sama sekali tak suka dengan ide itu. hanya saja, saat ia ingin protes menolak, istrinya
Faktanya, Anyelira bahkan tidak bisa fokus untuk mengorek apa yang terjadi dengan F. malah, tadi ia hanya mencari informasi mengenai sejarah dan secuil mengenai bakso di sana. makanya, Anyelira kini tampak tak berdaya. Wanita itu memilih menyerahkan rekaman suaranya. El dan Rosa menerima. Mereka sama – sama berpandangan kala mendengarkan voice recorder itu hingga selesai.“Kok nggak nanya-nanya tentang F, Mbak?” Rosa nampak tak puas.Lira memilih menganggukkan kepala. wajahnya menunduk. Padahal tadi ia meremehkan kemampuan dua orang ini. nyatanya, dirinyalah yang paling tertinggal.“Kenapa malah tanya-tanya sejarahnya segala?” kembali, Rosa mencercanya. Anyelira memilih diam.“Rosa, tenang. Dari yang aku tangkep, si Didin ini memang radak sensitive sih. Coba deh dengerin lagi.” El mencoba menengahi. Lelaki itu kembali mengulang voice recorder yang sudah tertutup. “Ini bahkan baru ditanyain tentang perbakso-an lho. dia sudah nutup akses. Lalu
Ganesha ingat, dulu julukannya adalah pembunuh besi. Sebab ia kerap kali menghabisi nyawa korbannya menggunakan bnda tajam yang terbuat dari besi. Macam pisau lipat ini. darah yang bercucuran tak pernah membuatnya ketakutan. Ia sudah lama menanggalkan kata itu saat berada dalam pelatihan keluarganya. Dirinya monster? Iya, Ganesha mengakuinya.“Argh!” teriak orang itu. lelaki yang sama sekali tidak dikenali oleh Ganesha. Pria itu mengaduh dan menjauh. Menatap Ganesha dengan sorot awas dan sedikit kengerian.Apa ini? mengapa tidak ada bedanya dengan para korbannya dulu?“Aku tidak mengerti, untuk apa sebenarnya kau menggangguku?” dia berusaha mengkonfrontasi. Ganesha jelas merasakannya.“Bersenang-senang?” jawabnya tak pasti.Lelaki itu mendengkus. Sebelah tangannya masih mencoba menyeka darah yang merembes keluar dari lengannya yang lain. dan juga, dia terus melebar jaraknya dengan Ganesha yang berusah mengikisnya.Ganesha bisa melihat itu. Dan ia menikmatinya. Saat-saat keputus-asaan
"Oh, ada kurang lebih sepuluh cabang gerobak, Mbak." Didin tersenyum sumringah. "Tapi ya ... gitu. Nggak nentu seharinya. Kadang habis, kadang nggak. Namanya juga jualan."Anyelira mengangguk setuju. Setiap usaha pasti mengalami pasang surut. Ada laba dan juga ada rugi. Selang seling. Dan tidak pasti. "Saya mengerti. Terus ini sudah dimulai sejak kapan? Masnya owner?"Anyelira berusaha menggali lebih dalam lagi. Makin banyak yang ia ketahui, makin baik lagi. Didin mengerutkan keningnya sejenak dan kembali bersikap santai. "Udah dari sepuluh tahun lalu, Mbak. Dulu yang mulai usaha ibu. Karena bapak saya meninggal. Dan syukurlah masih bisa bertahan hingga sekarang."Anyelira tersenyum seraya menganguk-anggukkan kembali. "Udah lama juga ya, Mas. Berarti dulu udah jadi penyuplai bakso gitu ya, ibunya?""Mbak lama-lama kayak wartawan?" Didin mulai curiga. Sekalipun begitu, rautnya masih dibuat sesantai mungkin. Anyelira meremas kedua tangannya. Rasanya mulai mendingin akibat keringat. O
Anyelira kembali meneliti alamat yang dkirim oleh Bambang dengan penunjuk sekitarnya. Menurut gps di ponsel Rosa, inilah tempatnya. Sebuah dukuh pesisir pantai yang jaraknya kurang lebih tiga kilo dari penginapan. Sebelum keluar, Anyelira mengecek earphone di masing-masing telinga mereka. Rosa dan El sudah siap dan mereka juga memastikan ponsel dalam keadaa menyala dan dapat dihubungi kapanpun. Syukurlah, signal aman di sini."Ini adalah penyelidikan pertama kalian. Mari kita kerahkan seluruh tenaga kita."Rosa dan El saling berpandangan lalu mengangguk. "Kita bergerak sesuai rencana awal. Aku akan menuju langsung ke lokasi, kalian cari informasi sebanyaknya tentang penyortir bakso itu dari warga sekitar.""Siap. Laksanakan!" jawab Rosa dan Ep bersamaan.Dan merekapun berpisah jalan. Anyelira menuju alamat rumah penyortir bakso itu. Ia menanyakan keberadaannya dari warga sekitar yang ditemuinya. Lalu, saat sudah menemukan, Anyelira mengetuk rumah. Ia mengambil langkah berbahaya. Terle