Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Anyelira memarkirkan mobilnya pada halaman rumah elite yang digunakan sebagai tempat mengajar orang-orang berkebutuhan khusus.
Ia kemudian keluar dari mobil, lantas berjalan menyusuri pelataran dan memasuki pintu rumah. Di dalam sana, ia mendapati suaminya yang tengah duduk menonton TV sendirian. Sepertinya teman-teman Ganesha sudah pulang terlebih dahulu.Pembelajaran di sekolah non-formal ini hanya sampai pukul dua belas siang. Tapi kadang kala banyak murid yang lebih memilih di sini sampai sore sebab tidak ada orang di rumah mereka. Begitu juga dengan Ganesha.Suaminya merengek meminta pulang sore karena Anyelira yang bekerja seharian penuh. Ganesha hanya akan jenuh apabila sendirian di rumah. Lebih baik di sini bersama teman-temannya.“Ganesha, kamu menonton apa?”Ganesha menoleh. Kemudian senyum cerianya terbit. “Anye! Istriku sudah datang!” Dia memeluk Anyelira erat. Teriakan hebohnya membuat seisi rumah berdatangan.Ah, Anyelira jadi malu.“Ganesha, tolong lepas, ini masih di tempat belajarmu. Tidak boleh peluk-peluk begini.”“Kenapa? Tapi Pak Guru Riki sama Bu Guru Risa selalu melakukan itu kok di depanku!” sungut Ganesha tak terima.Perkataan polosnya barusan membuat dua orang yang disebutkan berdeham sungkan. Sedangkan Anyelira melirik mereka ganas.Risa tertawa canggung. “Nye, kau pasti mau tanya tentang perkembangan Ganesha. Yuk, ke ruanganku.”“Ganesha ikut!” teriaknya tak mau ditinggal. Entah mengapa, setiap Ganesha berdekatan dengan Anyelira, pria itu tak mau menjauh. Sangat susah lepas macam koala dengan pohon.“Ganesha … ini hanya sebentar. Kamu di sini, okay?”“Tapi, Lira?”“Ganesha,” tekan Lira memberikan peringatan. Ganesha hanya menunduk dan mengangguk patuh.Hal itu membuat Anyelira mengulurkan tangan dan mengelus rambut pria itu lembut. Ia senang apabila Ganesha dalam mode patuh seperti itu. “Goodboy.”***“Jadi, apa yang sudah kamu ajarkan pada suamiku sampai dia berani memelukku dihadapan umum?” desis Anyelira setelah sampai pada ruangan yang dikhusukan untuk Risa.Bukan apa-apa, Anyelira ingin Ganesha tau sedikit sopan santun yang harus dijaga dihadapan publik. Ia hanya tak mau suaminya terus dipandang remeh oleh lingkungan sosial. Tapi jika Risa dan kekasihnya tidak memberikan contoh yang baik, Anyelira jadi berpikir untuk memindahkan Ganesha ke sekolah lain.Risa sebagai pemiliki rumah ini merupakan teman akrab Anyelira sewaktu SMA. Mereka sudah tidak lama bertemu dan bertukar kabar sampai satu tahun yang lalu. Ketika Anyelira tak sengaja menabrak Ganesha—suaminya saat ini.“Well, aku tidak melakukannya dihadapan murid-murid. Suamimu saja yang tiba-tiba menyelonong masuk ke dalam toilet.”“Dan itu adalah toilet umum?” tebak Lira akurat.Melihat Risa yang hanya tertawa canggung sambil menyodorkan segelas mug kopi kepadanya, membuat Anyelira mendengkus.Entah apa masalahnya, selalu saja. Ada laporan-laporan mengenai tingkah Risa juga kekasihnya yang datang dari mulut suaminya. Ganesha terus menerus memerogoki pasangan itu bermesraan dan kadang kala, lelaki itu malah menunjukkan kalau dia iri dan ingin melakukannya juga. Membuat kepala Lira pusing. “Kenapa kamu tidak menikah saja dengan pacarmu itu?”Risa menyeruput kopinya. Dia hanya berdeham malas kala pertanyaan itu terlontar dari bibir teman baiknya. “Kau tau kan insiden papa dan mamaku saat SMA. Karena mereka, aku jadi tidak berminat pada pernikahan.”Lira mendecakkan lidahnya. Dirinya tak bermaksud apapun untuk membangkitkan kenangan buruk Risa. Lira tahu. Teramat sangat masalah apa yang mendera keluarga Risa saat itu. Tapi … Lira tak menyangka jika trauma itu masih dibawa sampai saat ini.“Lupakan. Bukankah kau ingin bertanya mengenai perkembangan suamimu?”Risa mengalihkan topik. Sebab dirinya tak sanggup dengan kecanggungan yang sempat hadir.“Benar. Apakah ada peningkatan atau kemunduran?”“Sajauh ini semuanya berjalan dengan baik. Bahkan sekarang suamimu bisa mengerjakan soal matematika aljabar sendiri. Dia juga bisa menulis dengan rapi sesuai garis.”“Benarkah?” Anyelira nampak tertarik.Risa mengangguk pasti. Kemudian senyuman itu bangkit. “Kau mau melihat hasil ujiannya?” tawar Risa.Anyelira mengangguk setuju. Tak lama, kertas ulangan hasil kerjaan Ganesha sudah berada di tangan Anyelira.Memang. Salah satu program yang ada dalam sekolah non-formal ini memberikan ulangan setiap bulannya untuk mengetahui evaluais dari masing-masing murid.Risa adalah pendirinya. Sedangkan rumah besar ini merupakan miliknya. Peninggalan dari mendiang orangtuanya. Satu-satunya harta yang mampu direnggutnya kembali.Setahu Anyelira, rumah ini beberapa tahun yang lalu berhasil di sita oleh pihak bank. Kemudian Anyelira tak tau lagi kelanjutannya mengapa rumah ini bisa kembali di tangan Risa.“Dia sudah meningkat.” Bibir Anyelira mengukir ke atas. Raut bangga jelas terpampang pada wajahnya.“Iya. Setidaknya mentalnya kini sudah masuk pada usia SMP.”“Begitukah?”Anyelira menikahi Ganesha Jenggala ketika mental lelaki itu setara dengan usia anak umur dua belas tahun. Meskipun begitu, ketika di atas ranjang, lelaki itu bisa memberikan kepuasan untuknya. Walaupun pasti dari masyarakat sekitar banyak pertentangan—contohnya Bambang, tapi Anyelira tak memerdulikannya. Ia menyukai suaminya.Iapun senang memiliki Ganesha di sampingnya.“Kalau begitu, aku akan pulang. Apakah hanya tersisa Ganesha saja di sini?”“Ya. Para murid sudah dijemput oleh walinya masing-masing.”Anyelira mengangguk mengerti. “Terima kasih untuk hari ini.”“Sama-sama.”Anyelira keluar dari ruangan. Kertas hasil ujian Ganesha masih dibawa. Ia tak ubahnya seorang ibu yang bangga akan nilai anaknya sampai-sampai kertas ulangannya akan disimpan setiap bulannya.“Anye! Kenapa lama sekali!”Ganesha memberenggut. Anyelira hanya terkekeh geli. Kemudian menggandeng tangan suaminya berjalan keluar. Ia sudah pamit dengan pemilik rumah.“Aku tak merasa selama itu.”Cahaya kuning keemasan menjemput mereka kala bersinggungan dengan udara segar di luar. Ini pasti sudah hampir pukul enam sore. Terbukti dengan kemilau senja yang perlahan memudar. Angin segar menggelayuti langkah mereka berdua. Menyusuri halaman depan hingga mobil. Ganesha duduk di bangku penumpang, sementara Anyelira menyamankan diri di kursi kemudi.Interaksi damai mereka selalu saja mendapatkan sorotan dari beberapa pasang mata penghuni rumah.“Aku masih tak percaya ketika melihatnya. Bos … selalu nampak berbeda ketika bersama istriya,” keluh Riki.“Itulah kekuatan cinta,” timpal Risa merasa iri.Riki hanya menatap kesal pada kekasihnya tapi tak memberikan komentar lebih lanjut. Sementara Diki—kembaran Riki—hanya berdiam dengan segala pikirannya.“Riki, apa … racunnya sudah siap?” tanya Diki tiba-tiba. Pagi tadi, ada sebuah perintah turun. Dan mereka harus mengerjakannya malam ini.“Ya. Semuanya telah disiapkan.”Kemudain suasana menjadi hening. Tak ada yang menyahut lebih lanjut. Bagi mereka pembahasan ini hanya akan melukai nurani. Tapi mereka tak memiliki pilihan. Inilah hidup. Dan mereka harus melakukan ini untuk bertahan. Sekalipun itu dengan merampas nyawa orang lain.***“Tembak yang tengah, Anye. Tengah!” teriak Ganesha tak sabaran.Anyelira melirik suaminya sengit. Lelaki itu sedari tadi terus saja berisik. Belum lagi dengan suara music disekitar mereka, semuanya membuat Anyelira kurang fokus.“Anye, istriku. Ayo! Cepat! Tengah!”“Berisik!” sahut Lira tajam.Sontak, Ganesha terdiam kaku. Menurut. Wajahnya memelas dengan mata yang hampir saja menjatuhkan mutiara bening dari sana. Anyelira menarik dan membuang napas. Berkali-kali. Mencoba tenang.Ganesha orang yang perasa. Sekali dibentak, lelaki itu akan murung seharian. Atau bahkan menangis berjam-jam lamanya. Anyelira pernah menghadapi suaminya dalam kondisi macam itu dan ia tak mau mengulanginya.“Ganesha, tolong tenang, aku pasti akan mendapatkan hadiah itu untukmu. Okay?”Ganesha hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Menggeleng pasrah, Anyelira memilih fokus kembali. Jika ia meladeni mood Ganesha sekarang, maka mereka tak akan mendapatkan mainan apapun malam ini.Satu, dua, tiga.Tak!Peluru melesat tepat pada sasaran nomor dua. Tengah. Seperti kemauan Ganesha. Melirik suaminya, Anyelira menghela napas lega kala mendapati senyuman ceria itu hadir kembali.“Kamu senang?” tanya Anyelira. Melihat Ganesha yang memeluk mainan pesawat di pelukan hasil dari permainan tadi.Mengangguk cepat, lelaki itu tersenyum riang. “Iya. Senang, senang!”“Kamu mau es krim?”Secepat kilat, Ganesha kembali mengangguk. anyelira tertawa gemas. Mendekatkan wajah, bibirnya mengecup cepat pipi itu. Sungguh, mau ditahan bagaimanapun, Anyelira tak bisa menahan untuk tidak menyentuh suaminya yang menggemaskan.Tubuh Ganesha kaku. Dia menatap istrinya tidak percaya. Matanya mengedip-ngedip lucu. Gemasnya.“Anye, cium Ganesha di depan umum, apa itu boleh?”Anyelira berdeham canggung. Ingat kalau sore tadi ia baru saja menegur Risa perihal bermesraan di depan umum. Sekarang, ia sendiri yang melakukannya dengan suaminya. “Asal tidak ada yang melihat, kurasa boleh.”“Kalau begitu, cium Ganesha lagi. Di sini. Di bibir!”Anyelira menenggak ludah. Rasa-rasanya ia baru saja termakan omongannya sendiri. apalagi kini pria itu menundukkan wajahnya tepat dihadapan Lira. Tuhan … jangan sampai ia lepas kendali.“Ganesha … sekarang, sudah ada yang lihat. Jadi tidak boleh. Nanti di rumah saja. Kamu boleh minta dicium dimanapun,” bisiknya tepat di telinga Ganesha.Ganesha kembali berdiri tegak. Pancaran wajahnya menampakkan rona samar. Hm, apa Anyelira tak salah lihat?“Baik. ayo kita segera pulang!”“Eh, tidak jadi beli es krim?” tanyanya bingung. “Ganesha lebih suka dicium Anye di rumah!”“Hah?” Anyelira terbahak. jawaban polos Ganesha sudah seperti mood boster baginya.“Baiklah, ayo pulang!”Ponsel Anyelira bergetar dari dalam saku. Sekejap, langkah mereka terhenti sejenak. Mengambil gawai, nama Bambang terpampang jelas pada layar.“Halo,” sapa Lira ketika panggilan terhubung.“Hai, kau di mana?” Suara Bambang terdengar cemas.“Di play station. Kenapa?”“Kau tak tahu? Ada kabar buruk. Katanya Jaksa Ketua ditemukan tewas!”“Apa?” ***Oh iya. Hanya sekadar pemberitahuan. cerita ini sebelumnya pernah Zafa publish di akun lainnya. Jadi jangan kaget ya.Anyelira keluar dari mobilnya. Meninggalkan Ganesha yang masih terduduk bingung di dalam mobil. Entahlah, wanita itu bahkan tidak berpikiran jernih dan membawa suamiku tak normalnya ikut serta ke tempat kejadian perkara. “Bagaimana kejadiannya?” tanyanya ketika sudah menemukan Bambang di depan pintu. Anyelira melangkahi garis pembatas polisi tanpa kesusahan. Wajahnya panik dengan air mata yang sudah menggenang.Bagi Anyelira Jaksa Ketua nyaris menggantikan sosok ayahnya yang telah tiada. Lelaki tua itu merupakan sahabat dekat ayahnya—hingga membuat Jaksa Ketua menganggapnya selayaknya putrinya sendiri. “Hei, tenanglah.” Bambang memeluk Anyelira. Berusaha menenangkan temannya. Anyelira memberontak. Saat ini dia tidak membutuhkan pelukan macam ini. dia hanya … perlu kejelasan. Mengapa dan bagaimana lalu juga siapa. Semuanya. Anyelira harus tahu semuanya!“Bagaimana bisa dia ditemukan meninggal? Om Hendrik tidak selemah itu hingga mudah dibunuh.”Anyelira juga seorang jaksa. Sebagai s
Rumah duka dipenuhi dengan pelayat. Warna hitam sebagai penanda tengah berkabung. Banyak orang berdatangan untuk menyampaikan duka mendalam. Anyelira berdiri di antara para pelayat. Rekan jaksa dan orang-orang ternama beserta sanak saudara berjejer di depan sana. Dari belakang, ia hanya sekedar memandang dan turut melantunkan doa dalam hati.Selepas orang-orang pergi dari pemakaman, Anyelira mendekati pusara itu. Di atasnya tertulis Hendrik Anggara. Nama pamannya. Anyelira berjongkok di samping pusara. Tangannya bergerak mengelus nisan itu."Om, terima kasih. Terima kasih sudah merawat Lira menggantikan ayah dan ibu. Terima kasih sudah memberikan yang terbaik untuk Lira. Lira nggak tahu bagaimana balasnya--tapi Lira janji untuk menjadi jaksa yang baik. Lira nggak akan membuat nama Om malu. Lira ... Lira akan buat Om bangga." Air mata Lira mengalir tanpa diperintah. Punggungnya ditepuk oleh seseorang.Menoleh, bisa ia lihat Bambang berdiri di belakangnya. Lelaki itu setia menemaninya
Dulu. Ketika Anyelira pertama kali mengenalkan Ganesha pada satu-satunya keluarga perempuan itu yang masih tersisa—Om Hendrik memberikan racun pada Ganesha. Tentunya dengan kadar rendah yang mampu ditahan oleh tubuhnya.Sayangnya berkat itulah paman Anyelira menjadi menduga-duga siapa dirinya. sebab orang biasa pasti akan langsung muntah-muntah atau bahkan pingsan di tempat saat racun itu masuk ke dalam tubuh. Sayangnya, Ganesha adalah orang yang sudah berkali-kali melewati ambang kematian.“Aku terkesan dengan racun yang kau berikan. Maka dari itulah, aku mengembangkannya. Bukankah rasanya lebih menyegarkan—ah, bukan. lebih tepatnya mematikan.” Ganesha terbahak. “Aku senang kau menerimanya.”Ganesha menepuk-nepukkan kedua tanggannya. Menghapus noda tanah yang baru saja dipegang. “Beristirahtlah dengan tenang. Karena kau … pasti sangat menungguku di neraka, bukan?”Mengembangkan senyum jenaka, Ganesha mengedipkan sebelah matanya. Ia menertawakan nasih lelaki yang membencinya sedari aw
Anyelira tak tahu kapan tepatnya mereka tertidur semalam. Setelah menecritakan perihal mercusuar dan pelajaran Ganesha, mereka menghabiskan malam dengan manis. Anyelira menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Ia menatap suaminya yang masih meringkuk memeluknya. Wajah polos Ganesha ketika tertidur mampu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia merasa tindakannya tepat membawa Ganesha ke sini. Tanpa bersinggah di rumah terlebih dahulu. Selepas pertemuan singkat dengan Erick kemarin, Anyelira nyaris ketakutan dan ingin melarikam diri. Ingatan-ingatan kelam yang berusaha Anyelira kubur dalam-dalam nyatanya mampu menyeruak seolah semuanya dangkal. Anyelira tak suka ini. ia benci ketidak berdayaan dan segala hal tentang itu."Anye, kau sudah bangun? Ganesha masih mengantuk." Ganesha menggeliat dan merangkul perutnya erat. Dia menyerukkan wajahnya ke dada Anyelira yang tak ditutupi apapun. "Tidur lagi saja. Mataharinya saja belum nampak." Anyelira melirik jendela kamar yang setengah
"Anye, bangun! Ayo kita main ke pantai!" Ganesha menggoyangkan tubuh Anyelira. Membuat wanita itu menggeliat pelan. Anyelira mengerjapkan matanya dan tersenyum senang melihat Ganesha. "Tumben sekali kau bangun mendahuluiku?"Ganesha mengangguk antusias. "Ganesha sudah bangun sejak tadi.""Benarkah?"Selama mereka menikah, Ganesha bangun terlebih dahulu adalah sesuatu yang jarang. Bisa dihitung jari malah. Tapi setiap Ganesha membuka matanya terlebih dahulu, Anyelira selalu mengapresiasi itu. "Iya! Ayo kita ke pantai, Anye. Ganesha ingin buat istana pasir buat Lira!"Ganesha menarik-narik tangan Anyelira kembali. Anyelira hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Menurut untuk bangkit dan duduk di atas ranjang. Mereka keluar dari penginapan dan menuju pantai. Matahari sudah terbit cukup tinggi saat itu. Anyelira mengecek ponselnya. Memeriksa jam yang ternyata menunjukkan pukul delapan pagi. Pantas saja.G
"ANYEEE!!"Anyelira sedikit syock saat melihat kondisi Ganesha. Baju suaminya yang berwarna milo pudar basah bagian depannya. Bisa ia lihat mangkok yang sebelum berisi bakso kini tinggal kuahnya. itupun hanya bersisa sedikit. menatap sekeliling, Anyelira dapat melihat beberapa bakso kecil dan juga mie dan kuah di sekitar Ganesha.Lelaki itu berhambur ke dalam pelukannya. Anyelira mengusap-usap belakang kepala Ganesha untuk menenangkan. Matanya memicing awas kala menyadari kalau ini bukanlah kecelakaan. "Oh, situ kakaknya?" Seorang ibu-ibu maju ke depannya. Matanya menyorot tajam. Menelisik antara dirinya juga Ganesha. Tidak sopan!Anyelira menggeram tertahan. Berusaha menormalkan napasnya. Otaknya dengan cepat kira-kira, ia bisa menuntut kasus apa dari tingkah laku ibu-ibu ini?"Mbak, kalau punya saudara yang cacat begini, itu ya mbok dijagain. kasihan anak saya jadi nggak bisa makan karena risih sama orang itu!" decihnya.
“Bukankah aku sudah pernah bilang padamu untuk jangan jadi cengeng ketika berhadapan dengan orang lain, hm?” Anyelira mencoba berbicara pada Ganesha selepas mereka sudah tiba di penginapan kembali. Ia sibuk mengomel sembari mengambilkan baju ganti suaminya di koper. Napasnya masih memburu. Emosinya belum teredam sepenuhnya.“Nye, maafkan Ganesha. Ganesha tadi sudah marah sewaktu anak itu mengganggu Ganesha. Tapi … ibunya datang dan memarahi balik Ganesha. Ganesha jadi takut. Maafkan Ganesha, Nye. Maaf.”Mendengar itu, Anyelira hanya menghela napas panjang. Ia mengambil kaos lengan pendek berwarna putih gading. Ganesha mengangkat tangannya—meminta untuk dibantu ganti. Anyelira hanya memutar bola mata malas. Tangannya serontak memegang baju kotor Ganesha. Namun gerakannya berhenti kala menyadari satu hal. Lantas, ia menggelng cepat.Mulai sekarang, ia tidak boleh memanjakan Ganesha begitu saja. seperti halnya Ganesha yang harus belajar untuk bertindak sendiri apabila diganggu orang lai
“Anyeee!” Anyelira menoleh mendengar panggilan yang tak asing itu. benar saja, Ganesha sudah tidak jauh darinya. Dengan pakaian yang sudah bersih dan rapih.Ganesha berlarian mendekatinya. Hanya saja, mungkin lelaki itu agak kesusahan untuk melewati kerumunan. Anyelira menoleh pada anak itu. wajahnya masih pucat sekalipun air laut sudah berhasil dikeluarkan dari kerongkongannya. “Iya, tolong segera datang.” Anyelira mengakhiri pembicaraan. Ia memilih untuk berdiri. Hendak menyusul suaminya yang tengah kesusahan. Hanya saja, seblum sempat ia melangkah lebih jauh, tangannya sudah digenggam erat oleh seseorang. Anyelira menoleh. Itu ibu-ibu yang tadi. “Kenapa kau sudah mau pergi? Katamu kau akan memanggil ambulans? Mana?!” tanyanya putus asa.Anyelira mengembuskan napas pelan, “mereka dalam perjalanan.”“Lalu kenapa kau sudah mau pergi? Jangan pergi dulu. Tunggu ambulans datang!”Mengernyit tak suka, jujur saja, Anyelira masih jen