“Terimakasih, Pak Seto. Nanti Ganesha jemput lagi, ya?” Ganesha melambaikan tangannya dengan riang. Tersenyum gembira sampai matanya tertutup sempurna.
“Baik, Den. Kalau gitu, bapak pulang dulu, ya?”Pak Seto berajalan menjauhi suami majikannya. Hingga beberapa saat, lelaki paruh baya itu masih mengamati pria berperawakan jauh lebih muda darinya bertingkah konyol.“Kau datang lebih cepat hari ini.”Seorang pria gondrong berkacamta menghampiri Ganesha. Lelaki itu membawa secangkir kopi di tangan. Lantas memberikannya pada Ganesha.“Seperti yang kamu lihat. Aku sudah menerima laporan. Katanya Diki sudah selesai menjalankan tugasnya.”Ganesha meneguk kopi itu. Pahit. Namun ia menyukainya. Ia berjalan menuju ke dalam rumah yang berkedok menjadi tempat pembelajaran bagi orang-orang dengan keterbelakangan mental.“Begitulah. Hanya tugas seperti itu, dia pasti cepat menyelesaikan.”“Bagus, bagus.”Ganesha bertepuk tangan heboh. Sebagai bentuk pujian pada teman sekaligus bawahan. Lelaki itu hanya tersenyum lebar dan menunduk. Kelemahannya adalah pujian. Sayangya Ganesha tahu akan itu.“Obat apa yang kamu berikan padanya, Rik?”“Hanya obat penenang dengan takaran lebih tinggi.”“Obat penenag?”“Benar. Gunawan sudah menggunakan obat penenang sejak dua tahun lalu. Makanya kematiannya mungkin hanya akan di cap sebagai kelalaian diri.”Seorang wanita datang membawa dua cangkir. Satu teh dan yang lainnya kopi. Dia menyerahkan kopi kepada kekasihnya. Si gondrong itu.“Tapi si hama itu, sudah terlanjur berbicara pada istriku. Anyelira pasti akan menyelidikinya.” Ganesha menggeram marah. Tatapannya menjurus penuh kobaran. Seakan jika Gunawan ada di hadapannya, maka ia akan siap menerkamnya bulat-bulat.Riki dan Risa menenggak ludah gugup. Aura amukan itu benar-benar menguar. Meski bukan mereka yang menjadi sasaran. Tetap saja, mereka merasakan.“Tapi, kenapa kamu memerintahkan untuk membunuhnya jika tahu istrimu akan curiga?” tanya Risa was-was. Dia sebenarnya tetap ingin diam dan menyingkir hati-hati dari pandangan lelaki itu. Hanya saja rasa penasaran masih mengganjalnya.Ganesha tersenyum miring. Dan itu membuatnya kian nampak menyeramkan. “Jika aku tidak membunuhnya, pasti mulut bocor itu akan terus membeberkan fakta tragedi 15 tahun lalu. Di mana orang tua dari Lira terbunuh mengenaskan.”***“Rupanya memang benar jika Gunawan mengonsumsi obat penenang itu. Dan menurut dari pemeriksaan otopsi, dosis yang ditenggak hari ini sangat tinggi.”“Sangat tinggi?” tanya Lira bingung.“Benar. Mereka juga mengatakan bahwa itu bisa saja terjadi. Mengingat selama beberapa hari ini, Gunawan juga terus saja menambah dosis ditiap ia minum obat. Dan kemungkinan besar, karena stress dia jadi menenggak tanpa aturan.”Anyelira mengusap wajanya kasar. Menurut data dan penjelasan yang diberikan oleh Bambang, jelas bahwa kematian Gunawan merupakan culpa. Akibat dari kelalaian diri sendiri, dia meregang nyawa.Tak ada yang bisa disalahkan dan tak perlu melakukan penyidikan lebih lanjut. Dia hanya perlu mengugurkan tuntutan yang bahkan belum dibuat. Tapi … kenapa hatinya masih gusar?“Siapa yang menemukannya pertama kali?”“Polisi yang berjaga. Dia ditemukan sudah dalam kondisi meninggal dengan tangan memegang bungkus dari obat. Bukannya kau sudah melihat datanya?”“Aku hanya ingin memastikan kamu menghapalnya.”Bambang menahan makian yang ingin sekali keluar. Di saat seperti ini, Lira masih saja suka mengejeknya.Ck, dasar perfeksionis!***“Saya sudah kembali, Mas.”Diki menunduk hormat pada Ganesha yang tengah memainkan game konsol. Ganesha hanya berdeham tanpa menoleh. Ia terlalu fokus pada permainannya.Diki masih berdiri di samping orang yang dianggapnya sebagai atasan. Lelaki yang dihormatinya dan telah menyelamatkan dia dan saudara kembarnya dari kejaran maut.YOU LOSE!Tulisan besar ini terpampang pada layar. Ganesha melemparkan konsol itu sembarangan. Ia mendengkus kesal. Belum terima kalau gagal naik level.Ia mengambil air putih yang tersedia. Meneguknya hingga tandas. Lelah juga usai bermain game seperti itu.“Perjalananmu lancar?”“Lancar, Mas.”“Apa kamu bertemu dengan istriku?”“Tidak, saya telah naik mobil ketika beliau datang.”“Baguslah.” Ganesha mengambil jeruk. Mengupasnya untuk akhirnya dimakan. Diki masih tetap saja diam.Ganesha berdecak kesal. Memandang lelaki itu jengah. “Ayolah, jangan menghormatiku seperti itu. bukankah sudah kubilang hentikan?”Diki menunduk penuh sesal. “Maaf. Saya lupa.”“Ya, aku sudah menduga itu.” Ganesha manggut-manggut. Ia terima saja alasan yang terus diulangi belasan kali. Diki terlampau menghormatinya. Mungkin saja lelaki itu menganggapnya dewa. Membuat Ganesha kerap merasa tak nyaman. Huh … sudahlah, yang terpenting, mari kita bahas masalah yang mendesak.“Panggilkan Riki dan Risa. Mereka kini pasti sedang di kamar.”Ganesha malas jika pasangan kekasih itu sudah berdua-duaan di kamar. Ia tak mau dipandang sebagai pengganggu.“Baik, Mas.”Diki berlalu tuk segera melaksanakan perintah. Tak berselang lama dia kembali membawa pasangan kekasih yang … ah, sudahlah. Tak perlu dijelaskan bagaimana penampilan mereka.Ganesha sudah terbiasa. Terlebih ia pun sering melakukannya bersama sang istri. Mengingat itu membuatnya rindu akan Anyelira. Apa yang tengah dilakukan si cantik itu di kantornya? Apa masih marah-marah karena kematian terdakwa? Bisa jadi. Karena Anyelira itu bagai buaya. Dia tak akan melepas mangsa yang telah digigit. Apabila mangsa itu diambil orang lain, jangan salahkan jika orang itu juga akan terkena gigitannya.Yeah, kira-kira sebuas itulah istrinya. Namun ia menyukainya. Teramat sangat.“Ada apa Mas manggil kami?”Risa nampak sudah lebih baik. Perempuan itu pasti memperbaiki penampilannya sembari ia melamun.“Duduklah. Aku mendapat tugas baru untuk kalian?”“Apa ada klien? Tapi bukannya slot untuk bulan ini sudah habis? Uang di rekening juga masih penuh.” Riki menyergah tak setuju. Lantas dihadiahi jitakan keras di kepalanya oleh saudara kembarnya.Cih, si hamba sudah kembali.“Ini … dari Danurdara Nareswara. Ini adalah sebuah perintah. Bukan permintaan.”Hening.Semua terdiam dengan pikiran masing-masing.Riki yang sebelumnya enggan, kini menggeram penuh amarah. Tangannya mengepal kuat. Buku-buku jarinya memutih. Menahan segala gejolak amukan yang mulai memercik pada dirinya.Sementara Diki menatap kosong. Lantas tersenyum miring penuh permusuhan. Lama kelamaan tangannya juga turut mengepal. Sama seperti yang dilakukan oleh kembarannya.Risa merosot jatuh. Bulu kuduknya meremang. Bergidik. Takut. Perlahan air matanya mulai berjatuhan.Riki menghampirinya. Membawa perempuan itu pada pelukan. Mencoba memberi ketenangan padahal dirinya sendiripun diliputi kemarahan. Diki turut meremas bahu adik kembarnya. Menyalurkan sisa-sia kewarasan yang masih ia punya.Ganesha mengembuskan napas. Ada rasa bersalah yang menggerogoti. Dibanding marah, ia lebih membeci dirinya sendiri. Dirinya yang lemah. Yang bahkan tak mampu menolak perintah lelaki itu. Beberapa jam lalu Danurdara mengirimi perintah. Padahal sudah terlalu lama lelaki itu menghilang dari kehidupannya. Ia kira, hidupnya kini telah bebas hingga sempat berpikir tuk berhenti dari profesinya. Namun pesan itu menghalangi niatnya.Sigh!PYAR! Ganesha melemparkan gelas. Lantas berdiri menyusul pecahan beling itu. Ia menginjak keras pecahan itu.“Dia meminta kita untuk melenyapkan si tua bangka dari kantor kejaksaan kota.”Semua orang semakin terdiam. Bukankah itu kantor tempat istri Ganesha bekerja? Anyelira Arsyana.Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Anyelira memarkirkan mobilnya pada halaman rumah elite yang digunakan sebagai tempat mengajar orang-orang berkebutuhan khusus. Ia kemudian keluar dari mobil, lantas berjalan menyusuri pelataran dan memasuki pintu rumah. Di dalam sana, ia mendapati suaminya yang tengah duduk menonton TV sendirian. Sepertinya teman-teman Ganesha sudah pulang terlebih dahulu.Pembelajaran di sekolah non-formal ini hanya sampai pukul dua belas siang. Tapi kadang kala banyak murid yang lebih memilih di sini sampai sore sebab tidak ada orang di rumah mereka. Begitu juga dengan Ganesha. Suaminya merengek meminta pulang sore karena Anyelira yang bekerja seharian penuh. Ganesha hanya akan jenuh apabila sendirian di rumah. Lebih baik di sini bersama teman-temannya.“Ganesha, kamu menonton apa?”Ganesha menoleh. Kemudian senyum cerianya terbit. “Anye! Istriku sudah datang!” Dia memeluk Anyelira erat. Teriakan hebohnya membuat seisi rumah berdatangan.Ah, Anyelira jadi mal
Anyelira keluar dari mobilnya. Meninggalkan Ganesha yang masih terduduk bingung di dalam mobil. Entahlah, wanita itu bahkan tidak berpikiran jernih dan membawa suamiku tak normalnya ikut serta ke tempat kejadian perkara. “Bagaimana kejadiannya?” tanyanya ketika sudah menemukan Bambang di depan pintu. Anyelira melangkahi garis pembatas polisi tanpa kesusahan. Wajahnya panik dengan air mata yang sudah menggenang.Bagi Anyelira Jaksa Ketua nyaris menggantikan sosok ayahnya yang telah tiada. Lelaki tua itu merupakan sahabat dekat ayahnya—hingga membuat Jaksa Ketua menganggapnya selayaknya putrinya sendiri. “Hei, tenanglah.” Bambang memeluk Anyelira. Berusaha menenangkan temannya. Anyelira memberontak. Saat ini dia tidak membutuhkan pelukan macam ini. dia hanya … perlu kejelasan. Mengapa dan bagaimana lalu juga siapa. Semuanya. Anyelira harus tahu semuanya!“Bagaimana bisa dia ditemukan meninggal? Om Hendrik tidak selemah itu hingga mudah dibunuh.”Anyelira juga seorang jaksa. Sebagai s
Rumah duka dipenuhi dengan pelayat. Warna hitam sebagai penanda tengah berkabung. Banyak orang berdatangan untuk menyampaikan duka mendalam. Anyelira berdiri di antara para pelayat. Rekan jaksa dan orang-orang ternama beserta sanak saudara berjejer di depan sana. Dari belakang, ia hanya sekedar memandang dan turut melantunkan doa dalam hati.Selepas orang-orang pergi dari pemakaman, Anyelira mendekati pusara itu. Di atasnya tertulis Hendrik Anggara. Nama pamannya. Anyelira berjongkok di samping pusara. Tangannya bergerak mengelus nisan itu."Om, terima kasih. Terima kasih sudah merawat Lira menggantikan ayah dan ibu. Terima kasih sudah memberikan yang terbaik untuk Lira. Lira nggak tahu bagaimana balasnya--tapi Lira janji untuk menjadi jaksa yang baik. Lira nggak akan membuat nama Om malu. Lira ... Lira akan buat Om bangga." Air mata Lira mengalir tanpa diperintah. Punggungnya ditepuk oleh seseorang.Menoleh, bisa ia lihat Bambang berdiri di belakangnya. Lelaki itu setia menemaninya
Dulu. Ketika Anyelira pertama kali mengenalkan Ganesha pada satu-satunya keluarga perempuan itu yang masih tersisa—Om Hendrik memberikan racun pada Ganesha. Tentunya dengan kadar rendah yang mampu ditahan oleh tubuhnya.Sayangnya berkat itulah paman Anyelira menjadi menduga-duga siapa dirinya. sebab orang biasa pasti akan langsung muntah-muntah atau bahkan pingsan di tempat saat racun itu masuk ke dalam tubuh. Sayangnya, Ganesha adalah orang yang sudah berkali-kali melewati ambang kematian.“Aku terkesan dengan racun yang kau berikan. Maka dari itulah, aku mengembangkannya. Bukankah rasanya lebih menyegarkan—ah, bukan. lebih tepatnya mematikan.” Ganesha terbahak. “Aku senang kau menerimanya.”Ganesha menepuk-nepukkan kedua tanggannya. Menghapus noda tanah yang baru saja dipegang. “Beristirahtlah dengan tenang. Karena kau … pasti sangat menungguku di neraka, bukan?”Mengembangkan senyum jenaka, Ganesha mengedipkan sebelah matanya. Ia menertawakan nasih lelaki yang membencinya sedari aw
Anyelira tak tahu kapan tepatnya mereka tertidur semalam. Setelah menecritakan perihal mercusuar dan pelajaran Ganesha, mereka menghabiskan malam dengan manis. Anyelira menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Ia menatap suaminya yang masih meringkuk memeluknya. Wajah polos Ganesha ketika tertidur mampu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia merasa tindakannya tepat membawa Ganesha ke sini. Tanpa bersinggah di rumah terlebih dahulu. Selepas pertemuan singkat dengan Erick kemarin, Anyelira nyaris ketakutan dan ingin melarikam diri. Ingatan-ingatan kelam yang berusaha Anyelira kubur dalam-dalam nyatanya mampu menyeruak seolah semuanya dangkal. Anyelira tak suka ini. ia benci ketidak berdayaan dan segala hal tentang itu."Anye, kau sudah bangun? Ganesha masih mengantuk." Ganesha menggeliat dan merangkul perutnya erat. Dia menyerukkan wajahnya ke dada Anyelira yang tak ditutupi apapun. "Tidur lagi saja. Mataharinya saja belum nampak." Anyelira melirik jendela kamar yang setengah
"Anye, bangun! Ayo kita main ke pantai!" Ganesha menggoyangkan tubuh Anyelira. Membuat wanita itu menggeliat pelan. Anyelira mengerjapkan matanya dan tersenyum senang melihat Ganesha. "Tumben sekali kau bangun mendahuluiku?"Ganesha mengangguk antusias. "Ganesha sudah bangun sejak tadi.""Benarkah?"Selama mereka menikah, Ganesha bangun terlebih dahulu adalah sesuatu yang jarang. Bisa dihitung jari malah. Tapi setiap Ganesha membuka matanya terlebih dahulu, Anyelira selalu mengapresiasi itu. "Iya! Ayo kita ke pantai, Anye. Ganesha ingin buat istana pasir buat Lira!"Ganesha menarik-narik tangan Anyelira kembali. Anyelira hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Menurut untuk bangkit dan duduk di atas ranjang. Mereka keluar dari penginapan dan menuju pantai. Matahari sudah terbit cukup tinggi saat itu. Anyelira mengecek ponselnya. Memeriksa jam yang ternyata menunjukkan pukul delapan pagi. Pantas saja.G
"ANYEEE!!"Anyelira sedikit syock saat melihat kondisi Ganesha. Baju suaminya yang berwarna milo pudar basah bagian depannya. Bisa ia lihat mangkok yang sebelum berisi bakso kini tinggal kuahnya. itupun hanya bersisa sedikit. menatap sekeliling, Anyelira dapat melihat beberapa bakso kecil dan juga mie dan kuah di sekitar Ganesha.Lelaki itu berhambur ke dalam pelukannya. Anyelira mengusap-usap belakang kepala Ganesha untuk menenangkan. Matanya memicing awas kala menyadari kalau ini bukanlah kecelakaan. "Oh, situ kakaknya?" Seorang ibu-ibu maju ke depannya. Matanya menyorot tajam. Menelisik antara dirinya juga Ganesha. Tidak sopan!Anyelira menggeram tertahan. Berusaha menormalkan napasnya. Otaknya dengan cepat kira-kira, ia bisa menuntut kasus apa dari tingkah laku ibu-ibu ini?"Mbak, kalau punya saudara yang cacat begini, itu ya mbok dijagain. kasihan anak saya jadi nggak bisa makan karena risih sama orang itu!" decihnya.
“Bukankah aku sudah pernah bilang padamu untuk jangan jadi cengeng ketika berhadapan dengan orang lain, hm?” Anyelira mencoba berbicara pada Ganesha selepas mereka sudah tiba di penginapan kembali. Ia sibuk mengomel sembari mengambilkan baju ganti suaminya di koper. Napasnya masih memburu. Emosinya belum teredam sepenuhnya.“Nye, maafkan Ganesha. Ganesha tadi sudah marah sewaktu anak itu mengganggu Ganesha. Tapi … ibunya datang dan memarahi balik Ganesha. Ganesha jadi takut. Maafkan Ganesha, Nye. Maaf.”Mendengar itu, Anyelira hanya menghela napas panjang. Ia mengambil kaos lengan pendek berwarna putih gading. Ganesha mengangkat tangannya—meminta untuk dibantu ganti. Anyelira hanya memutar bola mata malas. Tangannya serontak memegang baju kotor Ganesha. Namun gerakannya berhenti kala menyadari satu hal. Lantas, ia menggelng cepat.Mulai sekarang, ia tidak boleh memanjakan Ganesha begitu saja. seperti halnya Ganesha yang harus belajar untuk bertindak sendiri apabila diganggu orang lai