Anyelira keluar dari mobilnya. Meninggalkan Ganesha yang masih terduduk bingung di dalam mobil. Entahlah, wanita itu bahkan tidak berpikiran jernih dan membawa suamiku tak normalnya ikut serta ke tempat kejadian perkara.
“Bagaimana kejadiannya?” tanyanya ketika sudah menemukan Bambang di depan pintu. Anyelira melangkahi garis pembatas polisi tanpa kesusahan. Wajahnya panik dengan air mata yang sudah menggenang.Bagi Anyelira Jaksa Ketua nyaris menggantikan sosok ayahnya yang telah tiada. Lelaki tua itu merupakan sahabat dekat ayahnya—hingga membuat Jaksa Ketua menganggapnya selayaknya putrinya sendiri.“Hei, tenanglah.” Bambang memeluk Anyelira. Berusaha menenangkan temannya. Anyelira memberontak. Saat ini dia tidak membutuhkan pelukan macam ini. dia hanya … perlu kejelasan.Mengapa dan bagaimana lalu juga siapa. Semuanya. Anyelira harus tahu semuanya!“Bagaimana bisa dia ditemukan meninggal? Om Hendrik tidak selemah itu hingga mudah dibunuh.”Anyelira juga seorang jaksa. Sebagai seorang penegak hukum—yang kerap juga bersinggungan dengan penjahat, memiliki musuh jelas menjadi konsekuwensi mereka. terlebih seseorang berpangkat tinggi sebagai Jaksa Ketua—jelas resikonya lebih besar. Namun sekalipun begitu, selama ini Om Hendrik selalu bisa menyelamatkan diri dan membalas musuhnya.Jadi, bagaimana semua bisa terjadi?“Dugaan sementara karena racun,” jelas Bambang. “Sekarang jenazah sedang diautopsi di rumah sakit rujukan. Pemakaman akan dilakukan besok sore. Apa kau mau mengunjungi Tante Sekar?”Anyelira menggeleng lemah. Sekalipun ia ingin, ia tidak bisa. Sebab dalam keluarga Om Hendrik semuanya tidak menyukainya selain Om Hendrik. Akan lebih baik ia melayat esok pagi. Karena kehadirannya sekarang hanya akan membawa amarah bagi keluarga mendiang.“Oke kalau begitu kita pulang. Kau ke sini dengan apa?”“Mobil.”“Baiklah. Kemarikan kuncimu, aku akan mengantarmu.”Anyelira hanya menuruti kemauan Bambang. Ia memberikan kuncinya tanpa kata lalu berjalan sesuai arahan Bambang. Hingga ketika mereka sudah berada di depan mobil Anyelira, wanita itu mengerjab terkejut. ia lupa jika ke sini dengan Ganesha.Kini, suaminya tengah berjongkok di samping mobil. Meringkuk seperti anak hilang.“Aku melupakannya.”“Kasihan sekali anak ayam itu.”Anyelira menoleh sebal pada Bambang. Namun ia tidak membalas apapun. Hanya terus melangkah menghampiri suaminya. Tangannya mengulur. Mengusap kepala Ganesha yang menunduk.Mendengkak, Anyelira bisa melihat wajah Ganesha yang dipenuhi dengan air mata. Wajah sembab itu kian menambah rasa bersalah pada hati Anyelira. Genesha beranjak memeluk istrinya. Bisa dirasakan, tubub lelaki ini bergetar ketakutan.“Anye, Jangan tinggalkan aku. Aku mohon,” bisiknya diiringi riak suara tangisannya.Anyelira menepuk punggung Ganesha lemah. Saat ini keadannya sedang tidak baik-baik saja. sudah sedari tadi air matanya terus menetes. Kini Anyelira tidak bisa menahan diri lagi.Biarkan saat ini ia menikmati dukanya. Di dalam rengkuhan orang yang ia sayangi. Ganesha tak perlu tahu alasan mengapa dirinya menangis. Anyelira hanya butuh dekapannya. Kehangatannya. Dan juga … hati yang sama-sama terluka.***“Nye, tadi itu bukannya rumah Om Hendrik ya?” tanya Ganesha.Lelaki bertubuh tegap itu tengah mememluk bonekanya di atas tempat tidur mereka. anyelria baru keluar dari kamar mandi. Mereka tiba di rumah sekitar tiga puluh menit lalu. Di antarkan Bambang menggunakan mobil Anyelira.Gerakan tangan Anyelira menyisir rambut berhenti sekejab. Dari cermin, Anyelira tahu—Ganesha tengah menatapnya menuntut penjelasan. Sekalipun pikiran Ganesha tidak normal seperti kebanyakan lelaki sepantarannya, bukan berarti Ganesha tidak ingat pernah mengunjungi rumah itu. terlebih bukan sekali dua kali Anyelira mengajak suaminya. Sekalipun selalu mendapar respon negative dari keluarga pamannya.“Ya, itu rumah Om Hendrik,” jawab Anyelira sekenanya.Jujur, ia belum belum berani membicarakan perihal Om Hendrik yang telah tiada kepada Ganesha. Ia bingung haru memulainya darimana. Walaupun Om Hendrik dan Ganesha tidak begitu dekat—mengingat sikap dingin pamannya kepada Ganesha saat awal pertemuan mereka—tetap saja, Anyelira tahu, Ganesha pasti sudah menganggap Om Hendrik sebagai keluarganya sendiri.“Kenapa tadi aku nggak lihat Om Hendrik? Om lagi nggak mau ketemu sama aku ya?”Anyelira menggeleng. “Bukan begitu,” ujarnya.“Terus?”Anyelira mendekat pada Ganesha. Perempuan itu mengenggam tangan suaminya dari boneka. Mengusapnya sejenak sebelum mengembangkan senyuman miris.Ayolah, Anyelira. Percuma menghindar. Untuk apa? Cepat atau lambat Ganesha juga pasti akan tahu. Suka tidak suka. Mau tidak mau. Membicarakan fakta adalah tugasnya. Sekalipun itu pahit untuk dirinya sendiri dan orang yang akan mendengarnya. Anyelira harap, Ganesha tidak terlalu terkejut.Meskipun hubungan mendiang pamannya dan Ganesha tidak begitu bagus—Ganesha tetap menyayangi Om Hendrik.“Om Hendrik meninggal, Nesha,” ungkap Anyelira. Satu detik … dua detik. Anyelira menatap Ganesha penasaran. Ia hanya mendapati raut kebingungan dari wajah suaminya.“Meninggal artinya perpisahan selamanya, kan?” Anyelira mengangguk berat. “Kenapa Om Hendrik meninggal? Om Hendrik lagi marah ya sama aku?”Anyelira menggeleng. Bisa dilihat mata Ganesha mulai berkaca-kaca. Pria itu hendak menangis. Anyelira memeluk suaminya. Mengusap-usap punggung Ganesha dengan perasaan berkecamuk.“Om Hendrik nggak marah denganmu, Nesh. Om Hendrik hanya sudah menemukan jalannya. Dia … sudah menunaikan tugas dunianya dengan baik. dia … sudah ingin beristirahat.”Kembali. air mata Anyelira menetes. Satu persatu. Semakin lama menjadi deras. Anyelira akui, perpisahan dengan orang yang disayangi begitu berat. Anyelira berandai—jika tadi ia memili mengunjungi pamannya dari pada main ke play station—mungkinkah hati Anyelira tidak akan menjadi seberat ini?Sementara tanpa Anyelira ketahui, seseorang yang dikiranya juga tengah ikut menanngis bersamanya saat ini malah menampilkan senyum puas.Rumah duka dipenuhi dengan pelayat. Warna hitam sebagai penanda tengah berkabung. Banyak orang berdatangan untuk menyampaikan duka mendalam. Anyelira berdiri di antara para pelayat. Rekan jaksa dan orang-orang ternama beserta sanak saudara berjejer di depan sana. Dari belakang, ia hanya sekedar memandang dan turut melantunkan doa dalam hati.Selepas orang-orang pergi dari pemakaman, Anyelira mendekati pusara itu. Di atasnya tertulis Hendrik Anggara. Nama pamannya. Anyelira berjongkok di samping pusara. Tangannya bergerak mengelus nisan itu."Om, terima kasih. Terima kasih sudah merawat Lira menggantikan ayah dan ibu. Terima kasih sudah memberikan yang terbaik untuk Lira. Lira nggak tahu bagaimana balasnya--tapi Lira janji untuk menjadi jaksa yang baik. Lira nggak akan membuat nama Om malu. Lira ... Lira akan buat Om bangga." Air mata Lira mengalir tanpa diperintah. Punggungnya ditepuk oleh seseorang.Menoleh, bisa ia lihat Bambang berdiri di belakangnya. Lelaki itu setia menemaninya
Dulu. Ketika Anyelira pertama kali mengenalkan Ganesha pada satu-satunya keluarga perempuan itu yang masih tersisa—Om Hendrik memberikan racun pada Ganesha. Tentunya dengan kadar rendah yang mampu ditahan oleh tubuhnya.Sayangnya berkat itulah paman Anyelira menjadi menduga-duga siapa dirinya. sebab orang biasa pasti akan langsung muntah-muntah atau bahkan pingsan di tempat saat racun itu masuk ke dalam tubuh. Sayangnya, Ganesha adalah orang yang sudah berkali-kali melewati ambang kematian.“Aku terkesan dengan racun yang kau berikan. Maka dari itulah, aku mengembangkannya. Bukankah rasanya lebih menyegarkan—ah, bukan. lebih tepatnya mematikan.” Ganesha terbahak. “Aku senang kau menerimanya.”Ganesha menepuk-nepukkan kedua tanggannya. Menghapus noda tanah yang baru saja dipegang. “Beristirahtlah dengan tenang. Karena kau … pasti sangat menungguku di neraka, bukan?”Mengembangkan senyum jenaka, Ganesha mengedipkan sebelah matanya. Ia menertawakan nasih lelaki yang membencinya sedari aw
Anyelira tak tahu kapan tepatnya mereka tertidur semalam. Setelah menecritakan perihal mercusuar dan pelajaran Ganesha, mereka menghabiskan malam dengan manis. Anyelira menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Ia menatap suaminya yang masih meringkuk memeluknya. Wajah polos Ganesha ketika tertidur mampu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia merasa tindakannya tepat membawa Ganesha ke sini. Tanpa bersinggah di rumah terlebih dahulu. Selepas pertemuan singkat dengan Erick kemarin, Anyelira nyaris ketakutan dan ingin melarikam diri. Ingatan-ingatan kelam yang berusaha Anyelira kubur dalam-dalam nyatanya mampu menyeruak seolah semuanya dangkal. Anyelira tak suka ini. ia benci ketidak berdayaan dan segala hal tentang itu."Anye, kau sudah bangun? Ganesha masih mengantuk." Ganesha menggeliat dan merangkul perutnya erat. Dia menyerukkan wajahnya ke dada Anyelira yang tak ditutupi apapun. "Tidur lagi saja. Mataharinya saja belum nampak." Anyelira melirik jendela kamar yang setengah
"Anye, bangun! Ayo kita main ke pantai!" Ganesha menggoyangkan tubuh Anyelira. Membuat wanita itu menggeliat pelan. Anyelira mengerjapkan matanya dan tersenyum senang melihat Ganesha. "Tumben sekali kau bangun mendahuluiku?"Ganesha mengangguk antusias. "Ganesha sudah bangun sejak tadi.""Benarkah?"Selama mereka menikah, Ganesha bangun terlebih dahulu adalah sesuatu yang jarang. Bisa dihitung jari malah. Tapi setiap Ganesha membuka matanya terlebih dahulu, Anyelira selalu mengapresiasi itu. "Iya! Ayo kita ke pantai, Anye. Ganesha ingin buat istana pasir buat Lira!"Ganesha menarik-narik tangan Anyelira kembali. Anyelira hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Menurut untuk bangkit dan duduk di atas ranjang. Mereka keluar dari penginapan dan menuju pantai. Matahari sudah terbit cukup tinggi saat itu. Anyelira mengecek ponselnya. Memeriksa jam yang ternyata menunjukkan pukul delapan pagi. Pantas saja.G
"ANYEEE!!"Anyelira sedikit syock saat melihat kondisi Ganesha. Baju suaminya yang berwarna milo pudar basah bagian depannya. Bisa ia lihat mangkok yang sebelum berisi bakso kini tinggal kuahnya. itupun hanya bersisa sedikit. menatap sekeliling, Anyelira dapat melihat beberapa bakso kecil dan juga mie dan kuah di sekitar Ganesha.Lelaki itu berhambur ke dalam pelukannya. Anyelira mengusap-usap belakang kepala Ganesha untuk menenangkan. Matanya memicing awas kala menyadari kalau ini bukanlah kecelakaan. "Oh, situ kakaknya?" Seorang ibu-ibu maju ke depannya. Matanya menyorot tajam. Menelisik antara dirinya juga Ganesha. Tidak sopan!Anyelira menggeram tertahan. Berusaha menormalkan napasnya. Otaknya dengan cepat kira-kira, ia bisa menuntut kasus apa dari tingkah laku ibu-ibu ini?"Mbak, kalau punya saudara yang cacat begini, itu ya mbok dijagain. kasihan anak saya jadi nggak bisa makan karena risih sama orang itu!" decihnya.
“Bukankah aku sudah pernah bilang padamu untuk jangan jadi cengeng ketika berhadapan dengan orang lain, hm?” Anyelira mencoba berbicara pada Ganesha selepas mereka sudah tiba di penginapan kembali. Ia sibuk mengomel sembari mengambilkan baju ganti suaminya di koper. Napasnya masih memburu. Emosinya belum teredam sepenuhnya.“Nye, maafkan Ganesha. Ganesha tadi sudah marah sewaktu anak itu mengganggu Ganesha. Tapi … ibunya datang dan memarahi balik Ganesha. Ganesha jadi takut. Maafkan Ganesha, Nye. Maaf.”Mendengar itu, Anyelira hanya menghela napas panjang. Ia mengambil kaos lengan pendek berwarna putih gading. Ganesha mengangkat tangannya—meminta untuk dibantu ganti. Anyelira hanya memutar bola mata malas. Tangannya serontak memegang baju kotor Ganesha. Namun gerakannya berhenti kala menyadari satu hal. Lantas, ia menggelng cepat.Mulai sekarang, ia tidak boleh memanjakan Ganesha begitu saja. seperti halnya Ganesha yang harus belajar untuk bertindak sendiri apabila diganggu orang lai
“Anyeee!” Anyelira menoleh mendengar panggilan yang tak asing itu. benar saja, Ganesha sudah tidak jauh darinya. Dengan pakaian yang sudah bersih dan rapih.Ganesha berlarian mendekatinya. Hanya saja, mungkin lelaki itu agak kesusahan untuk melewati kerumunan. Anyelira menoleh pada anak itu. wajahnya masih pucat sekalipun air laut sudah berhasil dikeluarkan dari kerongkongannya. “Iya, tolong segera datang.” Anyelira mengakhiri pembicaraan. Ia memilih untuk berdiri. Hendak menyusul suaminya yang tengah kesusahan. Hanya saja, seblum sempat ia melangkah lebih jauh, tangannya sudah digenggam erat oleh seseorang. Anyelira menoleh. Itu ibu-ibu yang tadi. “Kenapa kau sudah mau pergi? Katamu kau akan memanggil ambulans? Mana?!” tanyanya putus asa.Anyelira mengembuskan napas pelan, “mereka dalam perjalanan.”“Lalu kenapa kau sudah mau pergi? Jangan pergi dulu. Tunggu ambulans datang!”Mengernyit tak suka, jujur saja, Anyelira masih jen
Malam itu, angin dari lait berembus begitu kencang. Menerbangkan dedaunan pohon kering di sekitar pantai hingga berjatuhan pada dua sejoli yang tengah berbincang serius.Cafe pinggiran itu nampak lumayan sepi. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Bukan waktu yang tepat juga tempat yang kurang memadai. Sebab lampu yang ada di sekitar hanyalah lampu neon dengan watt tak lebih dari angka lima.Sekalipun begitu, Saka masih bertahan. Menunggui dua manusia itu entah sedang dimabuk kasamaran tau justru pertikaian. Denab tak jarang tadi ia mendengar mereka bedebat. Hanya saja, mencuri dengar pedebatan mereka--Saka ragu, mereka adalah pasangan kekasih.Bagaimana ya?Perbincangannya tidak terdengar seperti saudara kembarnya Raka yang tengah bermesraan atau sesekali bertikaj dengan kekasihnya, Risa. Juga, bukan macam tuannya dengan istri beliau. Mereka ... malah seperti dirinya dan Risa yang hanya sekadar rekan."Aku mengerti kita putus asa. Tapi, apakah harus kita menemui perempuan itu?"