Rumah duka dipenuhi dengan pelayat. Warna hitam sebagai penanda tengah berkabung. Banyak orang berdatangan untuk menyampaikan duka mendalam.
Anyelira berdiri di antara para pelayat. Rekan jaksa dan orang-orang ternama beserta sanak saudara berjejer di depan sana. Dari belakang, ia hanya sekedar memandang dan turut melantunkan doa dalam hati.Selepas orang-orang pergi dari pemakaman, Anyelira mendekati pusara itu. Di atasnya tertulis Hendrik Anggara. Nama pamannya. Anyelira berjongkok di samping pusara. Tangannya bergerak mengelus nisan itu."Om, terima kasih. Terima kasih sudah merawat Lira menggantikan ayah dan ibu. Terima kasih sudah memberikan yang terbaik untuk Lira. Lira nggak tahu bagaimana balasnya--tapi Lira janji untuk menjadi jaksa yang baik. Lira nggak akan membuat nama Om malu. Lira ... Lira akan buat Om bangga." Air mata Lira mengalir tanpa diperintah. Punggungnya ditepuk oleh seseorang.Menoleh, bisa ia lihat Bambang berdiri di belakangnya. Lelaki itu setia menemaninya kala pemakaman sudah ditinggalkan oleh para pelayat.Anyelira tersenyum lemah. Ia kembali menoleh pada makam Hendrik. "Anyelira pamit dulu. Nanti Anyelira akan datang lagi. Membawa Ganesha ikut serta. Dia juga ingin melayat ke makam Om." Menghela napas berat, Anyelira kembali bersuara. "Om, kalau di sana Om ketemu sama ayah dan ibu--tolong beritahu mereka. Anyelira sudah bahagia. Jangan cemas. Dan berbahagialah di sana."Selepas itu, Anyelira berdiri. Bambang merangkul bahunya dan menepuk-nepuk kepalanya. Membawa Anyelira menuju mobil wanita itu. Di sana, anak dan istri Bambang sudah menunggu. Anyelira sengaja tidak membawa Ganesha karena cemas lelaki itu akan rewel dan memaksa ikut untuk di pemakaman. Sedangkan orang-orang banyak yang kurang nyaman dengan suaminya. Anyelira tahu ini tidak benar. Tapi untuk kali ini saja, Anyelira hanya ingin memberikan penghormatan terakhir tanpa mendapatkan kesinisan dari sekelilingnya yang mengenal suaminya."Siapa ini? Bukankah Anyelira Arsyana? Mana suami idiotmu itu? sengaja tak kau ajak, eh?"Langkah Anyelira dan Bambang berhentu seketika. Mereka kompak menoleh pada siapa yang datang. Seorang lelaki berkemeja hitam lengkap dengan celana dan sepatu pantofel warna senada. Tanpa menelisik lebih dalam, lelaki ini tentu saja baru datang dari pemakaman pamannya.Anyelira menipiskan bibirnya. Kesedihan yang membuncah berhelung dengan kemarahan. Ya, Anyelira mengenal pria itu. Sama sekali tidak asing dengan perawakannya. Pria yang dibencinya setengah mati dan membuatnya trauma dengan lelaki normal sepertinya.Erick Anggara.anak pertama pamannya. Sepupu Anyelira yang berbeda dua tahun lebih muda darinya. Sudah lama mereka tidak bertemu. Sebab sejak kejadian kala itu, Anyelira mencoba menjauh dari Erick dan memblokir akses lelaki itu menemuinya. Jikalau dirinya bermain ke rumah pamannya--Anyelira akan memilih waktu di mana Erick tengah berada jauh dari temapt tinggalnya."Erick Anggara. Lama tidak berjumpa.""Iya. Bukankah terakhir kali kita bertemu adalah ketika kau masih menjadi jaksa baru? Kau bahkan tidak mengundangku ke pernikahanmu. Kejam sekali."Erick menampilkan raut kesakitan. Terlihat begitu menjengkelkan di mata Anyelira. Bambang menepuk bahunya. Lelaki itu jelas menyuruhnya untuk bersabar."Lama tidak bertemu, Rick. Bagaimana kabarmu?" Bambang basa-basi. bersambut dengan kernyitan di alis Erick."Baik. Tentu saja. Setelah sekian lama, aku bisa pulang ke negara ini pada waktu yang lama.""Kalau begitu, nikmati waktumu. Kami akan segera pulang.""Kau tadi belum menjawab pertanyaanku, Anyelira. Di mana suamimu? Aku ingin menghajarnya karena telah berani merebutmu dariku."Mata Anyelira membelalak. "Aku memastikan kalian tidak akan bertemu, Sialan!"Anyelira berbalik. Melangkah cepat pada mobilnya. Bambang mengikuti dari belakang dengan langkah terburu. Mereka lantas pergi melewati Erick yang masih setia berdiri di tempat semula.Anyelira sebisa mungkin mengatur napasnya. Ia terlalu marah. Juga ... ingatan ingatan samar yang susah payah ia lupakan mencoba menyerbu kepalanya.***Ganesha nareswara menatao datar sema kejadian di depannya. Wajahnya tak menyiratkan apapun selain raut dingin dan juga ... bengis.Tangan Ganesha mengerat. Lelaki itu sebisa mungkin menahan emosinya kala melihat istrinya digandeng pria lain. Belum lagi lelaki sialan yang datang mengganggu. Ganesha bersumpah--jika dirinya tidak dalam keadaan berpura-pura abnormal, Ganesha pasti sudah melenyapkan mereka sedari awal ia melihat batang hidungnya."Tuan--""Ganesha. Bukankah aku sudah memveritahumu berkali-kali?"Saka terlihat menganggukkkan kepalanya. Ganesha tak tahu itu hanya sekadar respon untuk melindungi dirinya dari amarah Ganesha atau memang tidak mau berurusan panjang dengannya hanya karena sebuah nama. Ganesha tak peduli. Yang ia pedulikan sekarang hanyakah istrinya.Anyelira sudah memasuki mobil dan pergi dari sana.Hah!Menghela napas kasar, rasa-rasanya Ganesha ingin menyudahi sandiwara konyolnya. ia ingin mengakui segalanya pafa istrinya jikalay dirinya bukanlah lelaki idiot yang tidak bisa menjaganya dan diandalkan. Hanya saja, jika Ganesha melakukannya bukannya senang, Anyelira mungkin akan mengirim surat cerai kepadanya.Sialan!Mengapa pikiran wanita harus serumit itu sih?!"Tu--Ah, Ganesha. Apa kau mau ke pemakanan sekarang, orang-orang sudah pergi."Ganesha mengangguk. Pria itu keluar dari mobil bersama Saka di belakangnya. Sengaja memang Ganesha tidak merengek ingin ikut bersama Anyelira, dirinya memang memiliki rencana untuk datang secara pribadi dengan keadaan normal. bukan bersandiwara.Mata Ganesha melirik sekeliling, bahkan ajudan Hendrik yang semasa hidup selalu menjadi bayang-bayang lelaki itu, kini tidak menampakkan batang hidung mereka. Ganesha hanya menertawakan nasib buruk lelaki tua yang kini sudah menyandang status baru. mendiang.Iya, mendiang Paman Hendriknya.Ganesha tersenyum miring. tangannya menggenggam tanah kuburan itu dengan kuat."Hai, Om. Bagaimana menelan racun yang pernah kau berikan padaku? Enak?"Dulu. Ketika Anyelira pertama kali mengenalkan Ganesha pada satu-satunya keluarga perempuan itu yang masih tersisa—Om Hendrik memberikan racun pada Ganesha. Tentunya dengan kadar rendah yang mampu ditahan oleh tubuhnya.Sayangnya berkat itulah paman Anyelira menjadi menduga-duga siapa dirinya. sebab orang biasa pasti akan langsung muntah-muntah atau bahkan pingsan di tempat saat racun itu masuk ke dalam tubuh. Sayangnya, Ganesha adalah orang yang sudah berkali-kali melewati ambang kematian.“Aku terkesan dengan racun yang kau berikan. Maka dari itulah, aku mengembangkannya. Bukankah rasanya lebih menyegarkan—ah, bukan. lebih tepatnya mematikan.” Ganesha terbahak. “Aku senang kau menerimanya.”Ganesha menepuk-nepukkan kedua tanggannya. Menghapus noda tanah yang baru saja dipegang. “Beristirahtlah dengan tenang. Karena kau … pasti sangat menungguku di neraka, bukan?”Mengembangkan senyum jenaka, Ganesha mengedipkan sebelah matanya. Ia menertawakan nasih lelaki yang membencinya sedari aw
Anyelira tak tahu kapan tepatnya mereka tertidur semalam. Setelah menecritakan perihal mercusuar dan pelajaran Ganesha, mereka menghabiskan malam dengan manis. Anyelira menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Ia menatap suaminya yang masih meringkuk memeluknya. Wajah polos Ganesha ketika tertidur mampu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia merasa tindakannya tepat membawa Ganesha ke sini. Tanpa bersinggah di rumah terlebih dahulu. Selepas pertemuan singkat dengan Erick kemarin, Anyelira nyaris ketakutan dan ingin melarikam diri. Ingatan-ingatan kelam yang berusaha Anyelira kubur dalam-dalam nyatanya mampu menyeruak seolah semuanya dangkal. Anyelira tak suka ini. ia benci ketidak berdayaan dan segala hal tentang itu."Anye, kau sudah bangun? Ganesha masih mengantuk." Ganesha menggeliat dan merangkul perutnya erat. Dia menyerukkan wajahnya ke dada Anyelira yang tak ditutupi apapun. "Tidur lagi saja. Mataharinya saja belum nampak." Anyelira melirik jendela kamar yang setengah
"Anye, bangun! Ayo kita main ke pantai!" Ganesha menggoyangkan tubuh Anyelira. Membuat wanita itu menggeliat pelan. Anyelira mengerjapkan matanya dan tersenyum senang melihat Ganesha. "Tumben sekali kau bangun mendahuluiku?"Ganesha mengangguk antusias. "Ganesha sudah bangun sejak tadi.""Benarkah?"Selama mereka menikah, Ganesha bangun terlebih dahulu adalah sesuatu yang jarang. Bisa dihitung jari malah. Tapi setiap Ganesha membuka matanya terlebih dahulu, Anyelira selalu mengapresiasi itu. "Iya! Ayo kita ke pantai, Anye. Ganesha ingin buat istana pasir buat Lira!"Ganesha menarik-narik tangan Anyelira kembali. Anyelira hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Menurut untuk bangkit dan duduk di atas ranjang. Mereka keluar dari penginapan dan menuju pantai. Matahari sudah terbit cukup tinggi saat itu. Anyelira mengecek ponselnya. Memeriksa jam yang ternyata menunjukkan pukul delapan pagi. Pantas saja.G
"ANYEEE!!"Anyelira sedikit syock saat melihat kondisi Ganesha. Baju suaminya yang berwarna milo pudar basah bagian depannya. Bisa ia lihat mangkok yang sebelum berisi bakso kini tinggal kuahnya. itupun hanya bersisa sedikit. menatap sekeliling, Anyelira dapat melihat beberapa bakso kecil dan juga mie dan kuah di sekitar Ganesha.Lelaki itu berhambur ke dalam pelukannya. Anyelira mengusap-usap belakang kepala Ganesha untuk menenangkan. Matanya memicing awas kala menyadari kalau ini bukanlah kecelakaan. "Oh, situ kakaknya?" Seorang ibu-ibu maju ke depannya. Matanya menyorot tajam. Menelisik antara dirinya juga Ganesha. Tidak sopan!Anyelira menggeram tertahan. Berusaha menormalkan napasnya. Otaknya dengan cepat kira-kira, ia bisa menuntut kasus apa dari tingkah laku ibu-ibu ini?"Mbak, kalau punya saudara yang cacat begini, itu ya mbok dijagain. kasihan anak saya jadi nggak bisa makan karena risih sama orang itu!" decihnya.
“Bukankah aku sudah pernah bilang padamu untuk jangan jadi cengeng ketika berhadapan dengan orang lain, hm?” Anyelira mencoba berbicara pada Ganesha selepas mereka sudah tiba di penginapan kembali. Ia sibuk mengomel sembari mengambilkan baju ganti suaminya di koper. Napasnya masih memburu. Emosinya belum teredam sepenuhnya.“Nye, maafkan Ganesha. Ganesha tadi sudah marah sewaktu anak itu mengganggu Ganesha. Tapi … ibunya datang dan memarahi balik Ganesha. Ganesha jadi takut. Maafkan Ganesha, Nye. Maaf.”Mendengar itu, Anyelira hanya menghela napas panjang. Ia mengambil kaos lengan pendek berwarna putih gading. Ganesha mengangkat tangannya—meminta untuk dibantu ganti. Anyelira hanya memutar bola mata malas. Tangannya serontak memegang baju kotor Ganesha. Namun gerakannya berhenti kala menyadari satu hal. Lantas, ia menggelng cepat.Mulai sekarang, ia tidak boleh memanjakan Ganesha begitu saja. seperti halnya Ganesha yang harus belajar untuk bertindak sendiri apabila diganggu orang lai
“Anyeee!” Anyelira menoleh mendengar panggilan yang tak asing itu. benar saja, Ganesha sudah tidak jauh darinya. Dengan pakaian yang sudah bersih dan rapih.Ganesha berlarian mendekatinya. Hanya saja, mungkin lelaki itu agak kesusahan untuk melewati kerumunan. Anyelira menoleh pada anak itu. wajahnya masih pucat sekalipun air laut sudah berhasil dikeluarkan dari kerongkongannya. “Iya, tolong segera datang.” Anyelira mengakhiri pembicaraan. Ia memilih untuk berdiri. Hendak menyusul suaminya yang tengah kesusahan. Hanya saja, seblum sempat ia melangkah lebih jauh, tangannya sudah digenggam erat oleh seseorang. Anyelira menoleh. Itu ibu-ibu yang tadi. “Kenapa kau sudah mau pergi? Katamu kau akan memanggil ambulans? Mana?!” tanyanya putus asa.Anyelira mengembuskan napas pelan, “mereka dalam perjalanan.”“Lalu kenapa kau sudah mau pergi? Jangan pergi dulu. Tunggu ambulans datang!”Mengernyit tak suka, jujur saja, Anyelira masih jen
Malam itu, angin dari lait berembus begitu kencang. Menerbangkan dedaunan pohon kering di sekitar pantai hingga berjatuhan pada dua sejoli yang tengah berbincang serius.Cafe pinggiran itu nampak lumayan sepi. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Bukan waktu yang tepat juga tempat yang kurang memadai. Sebab lampu yang ada di sekitar hanyalah lampu neon dengan watt tak lebih dari angka lima.Sekalipun begitu, Saka masih bertahan. Menunggui dua manusia itu entah sedang dimabuk kasamaran tau justru pertikaian. Denab tak jarang tadi ia mendengar mereka bedebat. Hanya saja, mencuri dengar pedebatan mereka--Saka ragu, mereka adalah pasangan kekasih.Bagaimana ya?Perbincangannya tidak terdengar seperti saudara kembarnya Raka yang tengah bermesraan atau sesekali bertikaj dengan kekasihnya, Risa. Juga, bukan macam tuannya dengan istri beliau. Mereka ... malah seperti dirinya dan Risa yang hanya sekadar rekan."Aku mengerti kita putus asa. Tapi, apakah harus kita menemui perempuan itu?"
Ganesha mengernyit menatap ponselnya. Panggilan darurat yang hanya dibunyikan saat keadaan salah satu dari mereka benar-benar terdesak dan membutuhkan pertolongan. Lalu melihat kode namanya, membuat Ganesha panik dan nyaris meninggalkan kamar sesegera mungkin.Tapi tak semudah itu. Anyelira masih terjaga. Matanya mengamati ponsel dengan teliti setelah menyelesaikan panggilan dengan orang bernama Bambang itu. kini, bahkan ekspresi yang ditampilkan Anyelira lebih serius dari pada sebelum menerima telephon. Ganesha tak tahu dengan rinci apa pembahasan mereka. yang jelas, itu berhubungan dengan suatu kasus. Oh, bukan itu, Ganesha! Kau harus segera menyelamatkan rekanmu. Bagaimanapun ialah yang paling cepat menjangkau keberadaan Saka saat ini.“Anyee,” panggilnya. Seperti biasa dengan nada manja dan mendayu.Anyelira menolehkan kepalanya. Atensinya terpaku pada Ganesha. Membuat lelaki itu berhasil menarik kedua sudut bibirnya ke atas. “Ya, Gane? Kau terbangun?”Ganesha mengangguk lugu, “G