“Sudah dibereskan?”
Ganesha memainkan mobil-mobilannya dengan riang. Di sebelah kirinya tergeletak ponsel yang tengah terhubung dengan seseorang.“Sudah, Mas. Ada perintah lain lagi?”“Tidak. Tugasmu sudah cukup. Kembalilah.”“Baik, Mas.”Dan kini, tangan Ganesha meraih mainan yang lain. Berpura-pura memainkannya di depan kamera CCTV yang terpasang. Istrinya itu orang yang terlalu waspada. Dia memasang beberapa kamera pengawas diberbagai sudut rumah. Ganesha sampai harus berakting sepanjang hari. Untung saja tak ada penyadap, hingga dia masih bisa leluasa untuk mengatur pekerjaan gelapnya.“Istriku … kapan kamu kembali? Pasti sekarang tengah kebingungan ya? Maaf. Aku hanya menyingkirkan kecoak yang jorok.”Dan kemudian berlarian sembari tertawa girang. Akting sempurna yang bahkan mampu mengelabuhi wanita berintuisi tajam. Ya, dialah Ganesha Nareswara Jenggala. Suami tercinta dari sang jaksa cantik jelita.***“Bagaimana bisa seorang tersangka overdosis di lapas seperti ini? Dia baru masuk sel, apa kalian tidak memeriksanya dengan teliti?”Lira berteriak marah pada petugas yang berjaga. Ia tak habis pikir. Bagaimana obat itu bisa sampai ke tangan Gunawan? Padahal ia yakin, tidak ada tanda-tanda bahwa lelaki itu menyembunyikan barang di tubuhnya.Sial.Sekarang ia harus bagaimana? Tak bisa menuntut terdakwa di pengadilan itu sebuah hal yang teramat memalukan baginya. Menuntut vonis bagi pendosa adalah hobinya. Dan ketika hobi itu dirampas tiba-tiba, tentu saja dia menjadi kesal.“Maaf, Mbak. Kami kurang memeriksanya secara menyeluruh. Ternyata obat itu ada di sepatu yang dikenakan.”Lira memijit pelan pangkal hidungnya. Keningnya berlipat kala mendengar penjelasan dari salah satu petugas. Sekarang ia mengerti, kenapa Gunawan bisa sampai overdosis, jika obat itu terinjak kakinya dan menjadi bubuk, tentu lelaki itu akan asal menenggak tanpa tahu kadar yang seharusnya. Sekalipun ia menjadi lebih jengkel setelah mendengar alasan dari petugas.Hanya saja, sisi lain dalam hatinya menolak. Ada yang aneh. Jika benar obat itu disembunyikan pada sepatu, lelaki itu pasti berjalan dengan tidak normal untuk menjaga butiran-butiran pil. Namun, saat bertemu dengannya tadi, Gunawan berjalan biasa. Dia hanya digandeng oleh dua polisi itu pun hanya sebagai bentuk penjagaan. Bukan pertolongan kasar yang biasanya ia lihat.Kecuali, jika Gunawan lupa bahwa dia membawa obat itu. Tapi itu lucu. Fakta bahwa ia menyembunyikan obat jelaslah mengatakan bahwa itu penting. Mana mungkin seseorang akan melupakan hal penting yang selalu dijaga?Kenapa Lira merasa kematian Gunawan ini bukanlah hal wajar? Seperti seseorang tengah berusaha membungkamnya.Lira menuju kembali ke kantornya. Sebelum itu ia menghubungi Bambang untuk meminta data lengkap tersangka. Lira belum sempat membaca karena kasus itu masih baru dan ia tengah disibukkan dengan perkara lain.“Mana dokumen yang kuminta?” todongnya ketika sampai di ruangan kerja miliknya.“Sudah ada di mejamu. Map berwarna coklat.” Bambang memberitahu.Anyelira berdecak. “Semua map berwarna coklat, Bambang.”“Oh iya, iya. Suka lupa. Kalau gitu yang tulisannya Penganiayaan anak, 10 November.”Dan Bambang hanya terkekeh geli. Tertawa sendiri sampai terdiam sendiri. Hah, bekerja dengan terlalu serius itu nggak baik buat tubuh. Tapi sayang, sahabat sekaligus atasannya itu tak tahu dan tak mau tahu. Cih, punya sahabat yang workaholic ternyata begini menyusahkan.Dia harus siap sedia lembur kapan saja. Padahal anaknya masih kecil. Sebagai papa muda, Bambang tentu saja ingin segera pulang dan berkumpul dengan keluarga kecilnya.Anyelira mengambil map yang disebutkan. Terletak dibagian paling atas dengan nama terkait. Lira membuka dokumen itu. Melihat dan meneliti satu persatu. Dan … buntu. Tak ada apa-apa yang bisa membantunya. Data kesehatan tidak terlampir. Jadi … ia tak tahu. Apakah memang benar Gunawan itu suka meminum obat penenang atau itu hanya rekayasa seseorang.“Kamu yakin bila kecelakaan itu hanya murni kecelakaan? Apa kamu sudah memeriksa mesin mobil?”Ucapan itu kembali menghapiri ingatannya. Lira lantas melihat pekerjaan yang tertera.Profesi : Pengusaha Bengkel.Anyelira tersenyum sinis. Menyugar rambutnya dengan kalut. Ia menggeleng yakin. Menggigit bibir bawah dengan keras. Kenapa rasanya ini begitu aneh?Tidak. Ia adalah jaksa yang rasional dan hanya percaya pada bukti yang benar adanya. Gunawan hanya berkoar-koar tanpa bukti.Namun … kematiannya bukankah sebuah bukti?Shit!Lira benar-benar jengkel. Ia belum pernah seperti ini. Apa hanya karena lelaki itu menyinggung kasus orang tuanya hingga ia mulai percaya. Gila. Ini tidak seperti dirinya saja.Lira belum pernah seperti ini? Dan ia juga tak tahu mengapa seperti ini hanya karena mendengar sepatah kata dari pria bermulut besar. Hm, seharusnya tadi Lira sobek saja bibir tak berguna itu.Drrt! Drrt!Ponselnya bergetar. Nama Ganesha muncul di layar. Lira menaruh kembali dokumen itu. Lalu berjalan menuju jendela. Memandangi jalanan kota Jakarta yang padat. Wanita itu mengambil napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia harus meredakan amarahnya ketika hendak berbicara pada suami abnormalnya.“Istriku! Aku kangen,” rengekan terdengar ketika panggilan diterima.Lira tersenyum cerah. Rupanya mendengar suara nyaring itu bisa sedikit mengurangi stress-nya.“Aku tahu. Apa kamu sudah sarapan? Mbok Nah pasti sudah datang, kan?”“Aku sudah sarapan. Sama sereal. Tadi dibuatin sama Mbok Nah.”“Begitu?”“Iya.” Lira bisa membayangkan Ganesha yang mengangguk-angguk dengan semangat. Gemas sekali. “Lira, Istriku. Aku bosan di rumah. Aku berangkat ke sekolah lebih awal ya?”“Kamu ingin berangkat lebih awal?”“Iya. Karena tidak ada istriku, aku jadi bosan.”“Baiklah. Aku akan menelpon Pak Seto untuk segera menjemputmu. Kamu segera bersiap gih.”“Siap, istriku!”Dan bunyi benda terbanting terdengar. Lira memejamkan mata dan menjauhkan handphone dari jangkauan telinga karena kaget. Pasti ponsel itu dilemparkan begitu saja oleh suaminya. Sudah menjadi kebiasaan bagi Ganesha melemparkan barang yang dianggapnya tak penting lagi. Hingga kerap kali ia merasa rugi. Ia ingin memberikan lelaki itu wejangan panjang untuk menjaga barang-barangnya. Tapi ia tahu. Itu sia-sia. Jadi tak pernah melakukannya. Hanya nasehat-nasehat pendek yang kadang diingat, kadang tidak.“Dari rumah?” Lira memilih tak menjawab. Karena tahu, pertanyaan itu hanyalah sebuah kalimat basa-basi. Bambang pasti tahu kalau barusan adalah suaminya yang menelpon.Bambang menyodorkan dua bungkus roti selai coklat kepadanya. Lira menerima dengan semangat. Makanan favorit di kala sibuk seperti ini.“Lira, kau benar-benar tak berpikir untuk berselingkuh?”"Uhuk! Uhuk!” Lira tersedak karena pertanyaan sahabatnya barusahan. Orang itu sudah gila, ya? Bambang hanya menerbitkan senyum kemudian memberikan satu botol air mineral. Rupanya lelaki itu telah memperkirakan.“Kalau kau ingin selingkuh, aku mempunyai beberapa kandidat yang sempurna.”Lira tak menanggapi. Dan memilih mengutak-atik ponselnya. Ia menghubungi seseorang.“Astrid, Bambang bilang dia ingin selingkuh.”“Hei, jangan fitnah!”Lira tak menanggapi. Ia hanya melengos acuh menuju meja kerjanya. Meja yang selalu dipenuhi dengan kertas-kertas kasus. Eva mengembuskan napas jengah. Sebenarnya, kapan dokumen-dokumen bodoh itu akan hilang dari mejanya?“Tidak, Sayang. Lira hanya bercanda. Kau kan tahu bagaimana karakternya?”“….”“Maksudku dia sedang berusaha bercanda—“Bambang memandang ponselnya pedih. Panggilan yang diputus sepihak. Shh … ini semua berkat sahabatnya yang tidak punya hati. Lantas bagaimana kalau nanti malam jatahnya dikurangi?Awas saja. Lira akan menerima imbalannya. “Berikan aku catatan medis dan hasil otopsi terdakwa Gunawan. Tolong.”Bambang mengacuhkan. Kembali pada mejanya untuk kemudian berkutat dengan komputer. Lira mengambil napas. Inilah penyebab kenapa ia bisa krasan menikah dengan lelaki tak normal seperti Ganesha. Ya karena sahabatnya sendiri kadang waras, kadang tidak. Dan mirisnya orang itu sama sekali tak menyadari akan dirinya sendiri.Benar kata peribahasa. Serigala tak akan menyadari bahwa dirinya mengerikan. Dan itu berlaku juga pada sahabatnya.Pesan spark pada layar komputer berkedip. Rupanya Bambang mengirim pesan.Jelaskan pada Astrid, atau aku tidak akan membantumu!Cih, sebenarnya di sini yang atasan itu siapa sih?!“Terimakasih, Pak Seto. Nanti Ganesha jemput lagi, ya?” Ganesha melambaikan tangannya dengan riang. Tersenyum gembira sampai matanya tertutup sempurna.“Baik, Den. Kalau gitu, bapak pulang dulu, ya?”Pak Seto berajalan menjauhi suami majikannya. Hingga beberapa saat, lelaki paruh baya itu masih mengamati pria berperawakan jauh lebih muda darinya bertingkah konyol. “Kau datang lebih cepat hari ini.”Seorang pria gondrong berkacamta menghampiri Ganesha. Lelaki itu membawa secangkir kopi di tangan. Lantas memberikannya pada Ganesha.“Seperti yang kamu lihat. Aku sudah menerima laporan. Katanya Diki sudah selesai menjalankan tugasnya.”Ganesha meneguk kopi itu. Pahit. Namun ia menyukainya. Ia berjalan menuju ke dalam rumah yang berkedok menjadi tempat pembelajaran bagi orang-orang dengan keterbelakangan mental.“Begitulah. Hanya tugas seperti itu, dia pasti cepat menyelesaikan.”“Bagus, bagus.”Ganesha bertepuk tangan heboh. Sebagai bentuk pujian pada teman sekaligus bawahan. Lelaki itu
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Anyelira memarkirkan mobilnya pada halaman rumah elite yang digunakan sebagai tempat mengajar orang-orang berkebutuhan khusus. Ia kemudian keluar dari mobil, lantas berjalan menyusuri pelataran dan memasuki pintu rumah. Di dalam sana, ia mendapati suaminya yang tengah duduk menonton TV sendirian. Sepertinya teman-teman Ganesha sudah pulang terlebih dahulu.Pembelajaran di sekolah non-formal ini hanya sampai pukul dua belas siang. Tapi kadang kala banyak murid yang lebih memilih di sini sampai sore sebab tidak ada orang di rumah mereka. Begitu juga dengan Ganesha. Suaminya merengek meminta pulang sore karena Anyelira yang bekerja seharian penuh. Ganesha hanya akan jenuh apabila sendirian di rumah. Lebih baik di sini bersama teman-temannya.“Ganesha, kamu menonton apa?”Ganesha menoleh. Kemudian senyum cerianya terbit. “Anye! Istriku sudah datang!” Dia memeluk Anyelira erat. Teriakan hebohnya membuat seisi rumah berdatangan.Ah, Anyelira jadi mal
Anyelira keluar dari mobilnya. Meninggalkan Ganesha yang masih terduduk bingung di dalam mobil. Entahlah, wanita itu bahkan tidak berpikiran jernih dan membawa suamiku tak normalnya ikut serta ke tempat kejadian perkara. “Bagaimana kejadiannya?” tanyanya ketika sudah menemukan Bambang di depan pintu. Anyelira melangkahi garis pembatas polisi tanpa kesusahan. Wajahnya panik dengan air mata yang sudah menggenang.Bagi Anyelira Jaksa Ketua nyaris menggantikan sosok ayahnya yang telah tiada. Lelaki tua itu merupakan sahabat dekat ayahnya—hingga membuat Jaksa Ketua menganggapnya selayaknya putrinya sendiri. “Hei, tenanglah.” Bambang memeluk Anyelira. Berusaha menenangkan temannya. Anyelira memberontak. Saat ini dia tidak membutuhkan pelukan macam ini. dia hanya … perlu kejelasan. Mengapa dan bagaimana lalu juga siapa. Semuanya. Anyelira harus tahu semuanya!“Bagaimana bisa dia ditemukan meninggal? Om Hendrik tidak selemah itu hingga mudah dibunuh.”Anyelira juga seorang jaksa. Sebagai s
Rumah duka dipenuhi dengan pelayat. Warna hitam sebagai penanda tengah berkabung. Banyak orang berdatangan untuk menyampaikan duka mendalam. Anyelira berdiri di antara para pelayat. Rekan jaksa dan orang-orang ternama beserta sanak saudara berjejer di depan sana. Dari belakang, ia hanya sekedar memandang dan turut melantunkan doa dalam hati.Selepas orang-orang pergi dari pemakaman, Anyelira mendekati pusara itu. Di atasnya tertulis Hendrik Anggara. Nama pamannya. Anyelira berjongkok di samping pusara. Tangannya bergerak mengelus nisan itu."Om, terima kasih. Terima kasih sudah merawat Lira menggantikan ayah dan ibu. Terima kasih sudah memberikan yang terbaik untuk Lira. Lira nggak tahu bagaimana balasnya--tapi Lira janji untuk menjadi jaksa yang baik. Lira nggak akan membuat nama Om malu. Lira ... Lira akan buat Om bangga." Air mata Lira mengalir tanpa diperintah. Punggungnya ditepuk oleh seseorang.Menoleh, bisa ia lihat Bambang berdiri di belakangnya. Lelaki itu setia menemaninya
Dulu. Ketika Anyelira pertama kali mengenalkan Ganesha pada satu-satunya keluarga perempuan itu yang masih tersisa—Om Hendrik memberikan racun pada Ganesha. Tentunya dengan kadar rendah yang mampu ditahan oleh tubuhnya.Sayangnya berkat itulah paman Anyelira menjadi menduga-duga siapa dirinya. sebab orang biasa pasti akan langsung muntah-muntah atau bahkan pingsan di tempat saat racun itu masuk ke dalam tubuh. Sayangnya, Ganesha adalah orang yang sudah berkali-kali melewati ambang kematian.“Aku terkesan dengan racun yang kau berikan. Maka dari itulah, aku mengembangkannya. Bukankah rasanya lebih menyegarkan—ah, bukan. lebih tepatnya mematikan.” Ganesha terbahak. “Aku senang kau menerimanya.”Ganesha menepuk-nepukkan kedua tanggannya. Menghapus noda tanah yang baru saja dipegang. “Beristirahtlah dengan tenang. Karena kau … pasti sangat menungguku di neraka, bukan?”Mengembangkan senyum jenaka, Ganesha mengedipkan sebelah matanya. Ia menertawakan nasih lelaki yang membencinya sedari aw
Anyelira tak tahu kapan tepatnya mereka tertidur semalam. Setelah menecritakan perihal mercusuar dan pelajaran Ganesha, mereka menghabiskan malam dengan manis. Anyelira menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Ia menatap suaminya yang masih meringkuk memeluknya. Wajah polos Ganesha ketika tertidur mampu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia merasa tindakannya tepat membawa Ganesha ke sini. Tanpa bersinggah di rumah terlebih dahulu. Selepas pertemuan singkat dengan Erick kemarin, Anyelira nyaris ketakutan dan ingin melarikam diri. Ingatan-ingatan kelam yang berusaha Anyelira kubur dalam-dalam nyatanya mampu menyeruak seolah semuanya dangkal. Anyelira tak suka ini. ia benci ketidak berdayaan dan segala hal tentang itu."Anye, kau sudah bangun? Ganesha masih mengantuk." Ganesha menggeliat dan merangkul perutnya erat. Dia menyerukkan wajahnya ke dada Anyelira yang tak ditutupi apapun. "Tidur lagi saja. Mataharinya saja belum nampak." Anyelira melirik jendela kamar yang setengah
"Anye, bangun! Ayo kita main ke pantai!" Ganesha menggoyangkan tubuh Anyelira. Membuat wanita itu menggeliat pelan. Anyelira mengerjapkan matanya dan tersenyum senang melihat Ganesha. "Tumben sekali kau bangun mendahuluiku?"Ganesha mengangguk antusias. "Ganesha sudah bangun sejak tadi.""Benarkah?"Selama mereka menikah, Ganesha bangun terlebih dahulu adalah sesuatu yang jarang. Bisa dihitung jari malah. Tapi setiap Ganesha membuka matanya terlebih dahulu, Anyelira selalu mengapresiasi itu. "Iya! Ayo kita ke pantai, Anye. Ganesha ingin buat istana pasir buat Lira!"Ganesha menarik-narik tangan Anyelira kembali. Anyelira hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Menurut untuk bangkit dan duduk di atas ranjang. Mereka keluar dari penginapan dan menuju pantai. Matahari sudah terbit cukup tinggi saat itu. Anyelira mengecek ponselnya. Memeriksa jam yang ternyata menunjukkan pukul delapan pagi. Pantas saja.G
"ANYEEE!!"Anyelira sedikit syock saat melihat kondisi Ganesha. Baju suaminya yang berwarna milo pudar basah bagian depannya. Bisa ia lihat mangkok yang sebelum berisi bakso kini tinggal kuahnya. itupun hanya bersisa sedikit. menatap sekeliling, Anyelira dapat melihat beberapa bakso kecil dan juga mie dan kuah di sekitar Ganesha.Lelaki itu berhambur ke dalam pelukannya. Anyelira mengusap-usap belakang kepala Ganesha untuk menenangkan. Matanya memicing awas kala menyadari kalau ini bukanlah kecelakaan. "Oh, situ kakaknya?" Seorang ibu-ibu maju ke depannya. Matanya menyorot tajam. Menelisik antara dirinya juga Ganesha. Tidak sopan!Anyelira menggeram tertahan. Berusaha menormalkan napasnya. Otaknya dengan cepat kira-kira, ia bisa menuntut kasus apa dari tingkah laku ibu-ibu ini?"Mbak, kalau punya saudara yang cacat begini, itu ya mbok dijagain. kasihan anak saya jadi nggak bisa makan karena risih sama orang itu!" decihnya.