“Istriku, apa kamu akan bekerja sekarang? Sepagi ini?”
Seorang lelaki bergelayut manja pada pundak wanitanya. Dia memeluk erat bahu ramping itu. Menunjukkan bahwa tak ingin ditinggalkan. Di pagi buta di mana matahari bahkan belum keluar dari peraduannya.Wanita itu melepaskan rangkulan suaminya. Ia membalik dengan senyuman menawan. Lantas mengelus rambut lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Namun dengan tingkah yang nyaris sama seperti bocah.“Aku juga enggan untuk pergi sepagi ini. Tapi ada tugas yang mengharuskanku untuk turun tangan.”“Apakah tugas itu lebih penting dari Ganesha?” cicitnya memberenggut.Kemudian beranjak menuju ranjang di mana beberapa saat lalu mereka bergelut panas.“Ganesha, kamu tahu kalau dirimu adalah yang paling penting. Namun aku harus bekerja agar kamu tetap bisa main bersama teman-temanmu.” Ia berusaha memberikan pengertian pada suaminya.Tapi Ganesha masih saja cemberut.“Ganesha cukup hanya denganmu kok, Lira. Istriku. Ganesha cukup dengan istriku saja.”Ganesha memilin selimut. Tak mau balik memandang mata istrinya.Anyelira mengembuskan napas berat. Membujuk suaminya yang ngambek itu bukanlah hal mudah. Lelaki itu pasti akan terus merajuk sehari penuh apabila dia mengacuhkannya sekarang.“Ganesha, bagaimana kalau setelah aku pulang nanti, kita pergi ke play station? Katanya kamu mau naik kuda di sana?”“Beneran?”“Tentu saja.”“Janji?” Ganesha mengulurkan jari kelingkingnya pada Anyelira. Wanita itu membalas cepat lantas mengecup kening suaminya lembut.“Aku akan segera pulang. Dah!”Anyelira keluar dari rumahnya. Sesuai dugaan. Angin sejuk langsung menyapa ketika kakinya melewati batas pintu. Huh, di saat ini paling enak kalau tidur. Seharusnya dia mematikan ponselnya saja.Ah, itu tidak boleh. Sebagai jaksa, dia harus siap kapanpun ketika dibutuhkan. Sama seperti dokter, pasien datang di waktu yang tidak bisa diperkiraan.Begitupun jaksa, kasus kriminal pun terjadi tanpa tahu waktu yang tepat.Seperti saat ini, Anyelira harus ke tempat di mana suatu peristiwa kejahatan baru saja terjadi. Ia harus melihat dan menyimpulkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja benar.Barang-barang bercecer berantakan.Cambuk.Jejak darah.Sketsa anak terbaring.Hanya melihat itu, Lira sudah bisa memperkirakan bagaimana kejadian sesungguhnya.“Kau sudah datang?”Tak perlu menoleh pada asal suara itu. Anyelira terlalu menghapalnya. Bahkan dengan bunyi napas pria itu. Seratus persen ia mengenalinya. “Seperti yang kamu lihat. Apa kamu sudah mendapat laporan lengkapnya?”“Ya. Aku baru saja mendapatkannya. Apa kau mau memeriksanya sekarang?”“Melihat dari tempat kejadian perkara, aku sudah dapat kesimpulan.”“Seperti yang diduga. Kau selalu menakjubkan. Sepertinya kasus ini pun akan selesai dengan cepat.”Anyelira hanya tersenyum menanggapi. Ia lantas beranjak keluar dari rumah itu. Mengembuskan napas panjang, ia menghadap pada langit yang mulai berwarna. Matahari tengah menyembul secara perlahan. Bayangan penyiksaan anak kecil bergentayangan pada otaknya. Dan itu … membuatnya marah.“Kau kenapa, Lir?” tanyanya seraya berjalan beriringan pada wanita itu menuju mobil.Lira mengendikkan bahu. “Entahlah. Aku mulai muak dengan kasus seperti ini.”“Ah, aku mengerti. Tapi … mau bagaimana lagi, kau hanya jaksa penuntut umum biasa. Tak bisa memilih kasus semaumu.”“Haruskah aku pindah profesi?” tanyanya serius.Bambang menoyor kepala Lira gemas. Kadang wanita itu memang berpikiran gila. “Pindah profesi aja kalau mau.”“Aku serius lho.”“Nggak percaya. Paling sehari setelahnya lihat pencopet, langsung mau nuntut di pengadilan.”Lira memukul lengan Bambang keras. Kesal karena apa yang diucapkannya akurat. Lelaki itu begitu mengenalinya. Dari luar sampai dalam. Semua isi pikiran dan hatinya, mungkin bisa dikupas tuntas olehnya. Cih, Kepekaan yang mengganggu.“Tapi serius lho, Bam. Kebutuhanku sama Ganesha semakin banyak. Sepertinya aku perlu uang lebih.”Embusan napas kasar terdengar dari pria itu. Bambang menoleh pada sahabatnya prihatin. “Aku masih penasaran. Apa yang kamu lihat dari pria kekanakan itu? Padahal sampai sekarang begitu banyak lelaki normal yang menginginkanmu.”“Hanya perempuan yang mengerti kemauanku. Kamu bukan perempuan. Jadi jangan tanya-tanya lagi,” tegasnya lalu masuk ke dalam mobilnya. Bambang ikut menyusul. Anyelira memandang sengit. “Kenapa masuk?”“Nggak bawa mobil. Tadi Astrid yang nganter ke sini.”Astrid adalah nama istrinya. Perempuan yang telah resmi menjadi seorang ibu beberapa bulan lalu merupakan salah satu dari sedikit orang yang dekat dengannya. Orang yang harus melewati seleksi panjang untuk masuk pada list amannya.“Shh, nyusahin banget.” Ia mulai menstater mobilnya. Menginjak pedal gas untuk perlahan-lahan keluar dari area perumahan ini. Matahari sudah hampir sepenuhnya terbit. Mereka benar-benar asyik mengobrol tadi.“Lebih nyusahin suami kekanakanmu.”“Bisa diam nggak?”“Nggak. Ah, apa jangan-jangan suamimu itu normal?”Lira membuang muka. Enggan menjawab. Tanpa memberikan balasan pun Bambang pasti sudah mengerti. Suami yang nampak dewasa itu kenyataannya mengidap keterbelakangan mental. Fisiknya mungkin normal tapi tidak dengan jiwanya. Dia tak ubahnya anak kecil.Namun Lira tak peduli. Ia mencintainya. Makanya ia mau-mau saja bekerja sendirian dan mengurus suami yang sakit itu. Ia tidak terpaksa. Ia benar-benar suka dan menikmati hari-harinya dengan tenang. Setidaknya suami seperti itu … tak akan berani berbuat macam-macam padanya, kan?***“Langsung saja, Pak Gunawan. Kenapa Anda menyiksa anak Anda?” Lira menatap tajam lelaki paruh baya itu. Memberikan tekanan pada lawannya supaya segera menjawab dan tugasnya akan lebih cepat selesai.“Dia bukan anakku. Dia putri selingkuhan istriku. Jadi aku bebas untuk menyiksanya, kan?”Lira mengukir senyum sinis. “Kalau memang begitu, berarti putra bapak juga berhak untuk disiksa orang lain.”“Apa maksudmu?!” teriaknya marah. Sepertinya putranya adalah kata terlarang yang tidak seharsunya diucapkan oleh Lira.“Saya hanya mengembalikan kata-kata Anda. Apa salah?”Namun Lira bukanlah orang yang mudah gentar pada teriakan. Ia justru merasa menang telah memancing amarah lawannya.“Kita kembali pada pertanyaan sebelumnya. Apa motif Anda menyiksa putri Anda?”“Dia bukan putriku! Dia anak haram istriku bersama selingkuhannya.”Hah ….Sepertinya ini akan menjadi lama. Lira mencoba tersenyum tenang. Menyimpulkan dengan akurat maksud perkataan orang itu.Apabila terdakwa hanya jawab memutar, ia cuma perlu meluruskan bukan?“Anda menyiksanya karena dendam. Amarah yang tidak bisa Anda salurkan pada istri, Anda jadi berikan pada anak itu. Benar?”Gunawan tak membalas. Seakan memberikan penjelasan bahwa argument Lira cukup tepat. Rupanya masalah dendam masalalu. Ia sudah mendapatkan jawaban inti. Kini hanya tinggal mengurus sisanya dan segera mengajukan kasus ini ke pengadilan.“Apa mau kuberikan satu rahasia? Kamu hanya perlu mencabut tuntutan. Bisa, kan?”Anyelira terbahak mendengarnya. Apa-apaan ini? Orang itu hendak menyuapnya? Maaf-maaf saja. Anyelira adalah jaksa yang jujur. Ia patuh akan undang-undang Negara. Ia tak mungkin menyeleweng.“Terima kasih. Tapi saya menolak.” Ia berdiri. Hendak beranjak namun Gunawan kembali berceloteh.“Meskipun penawaran ini tentang kebenaran kematian orang tuamu?” Seringainya. “Kamu yakin bila kecelakaan itu hanya murni kecelakaan? Apa kamu sudah memeriksa mesin mobil?”“Rupanya Anda mulai berbicara ngawur karena ingin bebas. Maaf, saya tidak akan percaya pada omongan tanpa bukti.”Lira tersenyum dan meninggalkan ruang pemeriksaan itu. Polisi yang berjaga langsung masuk ke dalam ketika melihat dirinya ke luar. Menyeret Gunawan dan membawa lelaki itu menuju sel tahanan.Lira mengembuskan napas berat. Baru kali ini ia mendengar kasus orang tuanya dibicarakan kembali. Dari mana orang itu tahu mengenai orang tuanya? Padahal kasus itu sudah lama selesai.“Lira, kau nggak apa-apa? Bagaimana bisa orang itu tahu tentang kejadian itu? Terlebih … dia menyinggung mesin. Mungkin saja—““Bambang, aku nggak bisa percaya pada perkataan tanpa bukti.”Lira memotong kalimat Bambang cepat. Meminimalisir suara Bambang yang akan terus terdengar dengan segala kemungkinan yang segera terurai. Bambang itu manusia bermulut lebar. Mungkin keceriwisannya bisa mengalahkan emak-emak kompleks. Lira sampai heran, bagaimana Astrid begitu betah dengan lelaki ini?“Kau mau kembali pulang?”“Udah jam kerja. Banyak kasus yang harus kuselesaikan.”“Okay. Ah, iya. Aku juga mau melaporkan sesuatu.”“Kita bicarakan di kantor.”Dan mereka berjalan beriringan menuju mobil. Untuk kemudian tiba di tempat kerjanya. Yang berisi setumpuk kertas dan dokumen kasus-kasus. Lira sampai merasa pegal hanya dengan melihat tumpukan file-file itu.Huh, mudah-mudahan tidak lembur. Atau suaminya akan ngambek seharian penuh.“Ini adalah sampel racun yang ditenggak oleh dua korban terakhir. Racun ini baru ditemukan pertama kali dan sedang dalam proses penelitian oleh para dokter.”Bambang menyerahkan bungkusan berisi racun yang berhubungan dengan kasus mereka yang lain.“Baru ditemukan? Artinya, pelaku membuatnya sendiri?”“Sepertinya begitu. Jika memang benar, ini adalah temuan yang sangat menggemparkan.”“Persempit pencarian. Berikan data-data ahli farmasi. Kemungkinan pelakunya adalah salah satu dari mereka.”“Tapi bagaimana kalau pelaku berasal dari luar negeri?”“Kita hanya perlu mengecek panggilan internasional yang mencurigakan.”“Tapi kau tahu itu tidak mudah.”“Aku yakin kamu bisa.”Bambang berdecak kemudian kembali dengan langkah berat. Lira menggeleng lelah. Kadang kala, sikap Bambang dan Ganesha itu mirip.Drtt!Ponselnya bergetar. Lira mengangkatnya tanpa melihat. Menggumamkan kata sapaan sebelum kabar dari sana membuatnya terpekur.“Terdakwa Gunawan atas kasus kekerasan pada anak di bawah umur, telah meninggal dunia. Dugaan sementara akibat menenggak obat penenenang yang berlebih.” ****Hola, Zafa ada cerita baru nih. maaf ya untuk Frada belum bisa dilanjutkan. soon kalau Zafa senggang.“Sudah dibereskan?”Ganesha memainkan mobil-mobilannya dengan riang. Di sebelah kirinya tergeletak ponsel yang tengah terhubung dengan seseorang.“Sudah, Mas. Ada perintah lain lagi?”“Tidak. Tugasmu sudah cukup. Kembalilah.”“Baik, Mas.”Dan kini, tangan Ganesha meraih mainan yang lain. Berpura-pura memainkannya di depan kamera CCTV yang terpasang. Istrinya itu orang yang terlalu waspada. Dia memasang beberapa kamera pengawas diberbagai sudut rumah. Ganesha sampai harus berakting sepanjang hari. Untung saja tak ada penyadap, hingga dia masih bisa leluasa untuk mengatur pekerjaan gelapnya.“Istriku … kapan kamu kembali? Pasti sekarang tengah kebingungan ya? Maaf. Aku hanya menyingkirkan kecoak yang jorok.”Dan kemudian berlarian sembari tertawa girang. Akting sempurna yang bahkan mampu mengelabuhi wanita berintuisi tajam. Ya, dialah Ganesha Nareswara Jenggala. Suami tercinta dari sang jaksa cantik jelita.***“Bagaimana bisa seorang tersangka overdosis di lapas seperti ini? Dia baru m
“Terimakasih, Pak Seto. Nanti Ganesha jemput lagi, ya?” Ganesha melambaikan tangannya dengan riang. Tersenyum gembira sampai matanya tertutup sempurna.“Baik, Den. Kalau gitu, bapak pulang dulu, ya?”Pak Seto berajalan menjauhi suami majikannya. Hingga beberapa saat, lelaki paruh baya itu masih mengamati pria berperawakan jauh lebih muda darinya bertingkah konyol. “Kau datang lebih cepat hari ini.”Seorang pria gondrong berkacamta menghampiri Ganesha. Lelaki itu membawa secangkir kopi di tangan. Lantas memberikannya pada Ganesha.“Seperti yang kamu lihat. Aku sudah menerima laporan. Katanya Diki sudah selesai menjalankan tugasnya.”Ganesha meneguk kopi itu. Pahit. Namun ia menyukainya. Ia berjalan menuju ke dalam rumah yang berkedok menjadi tempat pembelajaran bagi orang-orang dengan keterbelakangan mental.“Begitulah. Hanya tugas seperti itu, dia pasti cepat menyelesaikan.”“Bagus, bagus.”Ganesha bertepuk tangan heboh. Sebagai bentuk pujian pada teman sekaligus bawahan. Lelaki itu
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Anyelira memarkirkan mobilnya pada halaman rumah elite yang digunakan sebagai tempat mengajar orang-orang berkebutuhan khusus. Ia kemudian keluar dari mobil, lantas berjalan menyusuri pelataran dan memasuki pintu rumah. Di dalam sana, ia mendapati suaminya yang tengah duduk menonton TV sendirian. Sepertinya teman-teman Ganesha sudah pulang terlebih dahulu.Pembelajaran di sekolah non-formal ini hanya sampai pukul dua belas siang. Tapi kadang kala banyak murid yang lebih memilih di sini sampai sore sebab tidak ada orang di rumah mereka. Begitu juga dengan Ganesha. Suaminya merengek meminta pulang sore karena Anyelira yang bekerja seharian penuh. Ganesha hanya akan jenuh apabila sendirian di rumah. Lebih baik di sini bersama teman-temannya.“Ganesha, kamu menonton apa?”Ganesha menoleh. Kemudian senyum cerianya terbit. “Anye! Istriku sudah datang!” Dia memeluk Anyelira erat. Teriakan hebohnya membuat seisi rumah berdatangan.Ah, Anyelira jadi mal
Anyelira keluar dari mobilnya. Meninggalkan Ganesha yang masih terduduk bingung di dalam mobil. Entahlah, wanita itu bahkan tidak berpikiran jernih dan membawa suamiku tak normalnya ikut serta ke tempat kejadian perkara. “Bagaimana kejadiannya?” tanyanya ketika sudah menemukan Bambang di depan pintu. Anyelira melangkahi garis pembatas polisi tanpa kesusahan. Wajahnya panik dengan air mata yang sudah menggenang.Bagi Anyelira Jaksa Ketua nyaris menggantikan sosok ayahnya yang telah tiada. Lelaki tua itu merupakan sahabat dekat ayahnya—hingga membuat Jaksa Ketua menganggapnya selayaknya putrinya sendiri. “Hei, tenanglah.” Bambang memeluk Anyelira. Berusaha menenangkan temannya. Anyelira memberontak. Saat ini dia tidak membutuhkan pelukan macam ini. dia hanya … perlu kejelasan. Mengapa dan bagaimana lalu juga siapa. Semuanya. Anyelira harus tahu semuanya!“Bagaimana bisa dia ditemukan meninggal? Om Hendrik tidak selemah itu hingga mudah dibunuh.”Anyelira juga seorang jaksa. Sebagai s
Rumah duka dipenuhi dengan pelayat. Warna hitam sebagai penanda tengah berkabung. Banyak orang berdatangan untuk menyampaikan duka mendalam. Anyelira berdiri di antara para pelayat. Rekan jaksa dan orang-orang ternama beserta sanak saudara berjejer di depan sana. Dari belakang, ia hanya sekedar memandang dan turut melantunkan doa dalam hati.Selepas orang-orang pergi dari pemakaman, Anyelira mendekati pusara itu. Di atasnya tertulis Hendrik Anggara. Nama pamannya. Anyelira berjongkok di samping pusara. Tangannya bergerak mengelus nisan itu."Om, terima kasih. Terima kasih sudah merawat Lira menggantikan ayah dan ibu. Terima kasih sudah memberikan yang terbaik untuk Lira. Lira nggak tahu bagaimana balasnya--tapi Lira janji untuk menjadi jaksa yang baik. Lira nggak akan membuat nama Om malu. Lira ... Lira akan buat Om bangga." Air mata Lira mengalir tanpa diperintah. Punggungnya ditepuk oleh seseorang.Menoleh, bisa ia lihat Bambang berdiri di belakangnya. Lelaki itu setia menemaninya
Dulu. Ketika Anyelira pertama kali mengenalkan Ganesha pada satu-satunya keluarga perempuan itu yang masih tersisa—Om Hendrik memberikan racun pada Ganesha. Tentunya dengan kadar rendah yang mampu ditahan oleh tubuhnya.Sayangnya berkat itulah paman Anyelira menjadi menduga-duga siapa dirinya. sebab orang biasa pasti akan langsung muntah-muntah atau bahkan pingsan di tempat saat racun itu masuk ke dalam tubuh. Sayangnya, Ganesha adalah orang yang sudah berkali-kali melewati ambang kematian.“Aku terkesan dengan racun yang kau berikan. Maka dari itulah, aku mengembangkannya. Bukankah rasanya lebih menyegarkan—ah, bukan. lebih tepatnya mematikan.” Ganesha terbahak. “Aku senang kau menerimanya.”Ganesha menepuk-nepukkan kedua tanggannya. Menghapus noda tanah yang baru saja dipegang. “Beristirahtlah dengan tenang. Karena kau … pasti sangat menungguku di neraka, bukan?”Mengembangkan senyum jenaka, Ganesha mengedipkan sebelah matanya. Ia menertawakan nasih lelaki yang membencinya sedari aw
Anyelira tak tahu kapan tepatnya mereka tertidur semalam. Setelah menecritakan perihal mercusuar dan pelajaran Ganesha, mereka menghabiskan malam dengan manis. Anyelira menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Ia menatap suaminya yang masih meringkuk memeluknya. Wajah polos Ganesha ketika tertidur mampu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia merasa tindakannya tepat membawa Ganesha ke sini. Tanpa bersinggah di rumah terlebih dahulu. Selepas pertemuan singkat dengan Erick kemarin, Anyelira nyaris ketakutan dan ingin melarikam diri. Ingatan-ingatan kelam yang berusaha Anyelira kubur dalam-dalam nyatanya mampu menyeruak seolah semuanya dangkal. Anyelira tak suka ini. ia benci ketidak berdayaan dan segala hal tentang itu."Anye, kau sudah bangun? Ganesha masih mengantuk." Ganesha menggeliat dan merangkul perutnya erat. Dia menyerukkan wajahnya ke dada Anyelira yang tak ditutupi apapun. "Tidur lagi saja. Mataharinya saja belum nampak." Anyelira melirik jendela kamar yang setengah
"Anye, bangun! Ayo kita main ke pantai!" Ganesha menggoyangkan tubuh Anyelira. Membuat wanita itu menggeliat pelan. Anyelira mengerjapkan matanya dan tersenyum senang melihat Ganesha. "Tumben sekali kau bangun mendahuluiku?"Ganesha mengangguk antusias. "Ganesha sudah bangun sejak tadi.""Benarkah?"Selama mereka menikah, Ganesha bangun terlebih dahulu adalah sesuatu yang jarang. Bisa dihitung jari malah. Tapi setiap Ganesha membuka matanya terlebih dahulu, Anyelira selalu mengapresiasi itu. "Iya! Ayo kita ke pantai, Anye. Ganesha ingin buat istana pasir buat Lira!"Ganesha menarik-narik tangan Anyelira kembali. Anyelira hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Menurut untuk bangkit dan duduk di atas ranjang. Mereka keluar dari penginapan dan menuju pantai. Matahari sudah terbit cukup tinggi saat itu. Anyelira mengecek ponselnya. Memeriksa jam yang ternyata menunjukkan pukul delapan pagi. Pantas saja.G