Ada perasaan kaget, ada juga perasaan menggelitik yang terselip, Deni seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Seorang Devan Wijaya yang selalu mengutamakan harga diri di atas segalahnya, kini bersimpu--memohon cinta di depan wanita yang merupakan saudari nya. "Kasian juga Tuan Devan. Dia begitu mencintai Rania, namun--terpaksa harus berpisah akibat ulah kakek nya sendiri," gumam Deni, wajah pria itu telah berubah sendu, dia menatap iba pada Tuan nya itu. Sementara Devan, pria itu masih setia berlutut--memohon agar Rania mau kembali bersama nya. "Aku-mohon, Rania--kembalilah bersamaku. Setidak nya lakukanlah ini demi anak kita," ujar Devan dengan lirih, pria itu memelaskan wajah--menatap Rania dengan penuh harap. "Kita sudah bercerai-Devan, apakah kau lupa itu?! Lagi pula, kau dan Sarah akan menikah!" tukas Rania dengan nada penuh amarah, akan melangkah masuk ke dalam rumah, namun-cekalan tangan Devan menghentikan alunan langkah kaki wanita itu. "Tidak akan pernah a
Seperti tidak percaya dengan apa yang dia dengar--mimik wajah papa Akio berubah kaget setelah mendengar kalimat yang baru saja mengalir dari mulut anak perempuannya--Rania."Kau, ingin pergi dari sini?" tanya papa Akio yang kembali memastikan ucapan putrinya itu.Menunduk, Rania mengangguk pelan--berusaha menyembunyikan kesedihan di wajah. Dia benar-benar ingin pergi sejauh mungkin, dan memulai kehidupan yang baru bersama anak nya nanti."Katakan. Apakah, ini karena Devan?" tanya papa Akio setelah sekian detik lama nya, iris hitam pria Jepang itu begitu dalam dan tajam menatap Rania yang masih setia menundukkan wajah nya. Rania menengadah--manik hitam legam nya--begitu lekat-lekat menatap bola mata sipit papa Akio setelah mendengar pertanyaan yang baru saja dia layangkan. "Aku hanya ingin memulai kehidupan yang baru bersama anakku, itu saja!" Rania bersuara dengan tegas, sebisa mungkin dia menyembunyikan kesedihan di wajah.Papa Akio bergeming, sembari mendesahkan napas nya berat. S
Beberapa hari kemudianSebuah mobil mewah melaju pelan--memasuki pekarangan rumah yang ditempati Rania. Mendapati kondisi rumah yang dalam keadaan gelap, membuat mimik wajah Devan berubah seketika."Seperti nya Rania, tidak ada-Tuan," ujar Deni memberitahu, sembari menatap Tuan nya dari kaca spion dalam mobil.Devan bergeming--namun pandangan itu tetap tertuju pada kediaman sederhana yang berada di depan nya. Membuka pintu mobil, pria itu segera berlalu dari dalam. Melangkahkan kaki nya dengan pelan, dalam diri Devan telah dipenuhi berbagai tanda tanya. Rania sedang bepergian sebentar? Atau, kembali bersembunyi dari nya. "Apakah, dia pernah menghubungi mu sebelum nya?" tanya Devan tiba-tiba. "Saya dan Rania, terakhir berkomunikasi dua hari yang lalu.""Coba, kau hubungi dia!" titah Devan tegas, dan langsung di iyakan oleh pria itu. Melakukan panggilan ke luar pada Rania, namun--kekecewaan harus Deni terima sebab nomor telepone milik Rania tidak aktif. "Rania,
Berkali-kali Sarah menghapus jejak pena, saat jari-jari lentik itu menggoreskan di atas lembaran putih tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan. Suasana di dalam ruangan begitu khusuk, Sarah begitu fokus pada apa yang tengah dia lakukan, yaitu mendesain sebuah kalung yang akan dia luncurkan sebagai koleksi terbaru dari Sarah colection. Suara ketukkan menyapa pintu ruangan--Sarah yang tengah sibuk dengan kegiatan nya--seketika menengadah, dan membawa pandangan nya pada pintu ruangan. "Masuk---," ujar Sarah dengan setengah teriakkan, wanita itu kembali menunduk-menatap lembaran di atas meja. Suara pintu terbuka, Sarah mengangkat wajah dan mendapati kedatangan salah satu karyawan wanita nya. Wanita itu terperanjat, sebab karyawan nya datang dengan membawa sebuah bucket bunga mawar berwarna merah darah. "Dari Pak Devan?" tanya Sarah menebak, wanita cantik itu memperlambat setiap kata yang mengalir dari mulut nya. "Bukan Nona. Di sini tidak ada nama dari siapa pengirim nya," sahut
Hari ini adalah hari pernikahan seorang Devan Wijaya. Pernikahan kedua bagi Devan, namun yang pertama bagi Sarah. Tidak seperti pernikahan pertama nya yang ditutupi, dan tidak banyak orang yang mengetahuinya, kali ini berbeda. Hampir sebagian stasiun televisi menyiarkan pernikahan Sarah dan Devan yang dilangsungkan hari ini, dan pernikahan ini digelarkan secara meriah. Kediaman milik Rasty. "Papa----Mama-----," panggil Rasty dengan teriakkan, saat menonton sebuah berita di televisi pagi ini. "Ada apa, Rasty?" tanya mama Anita cepat, wajah itu nampak panik. "Iya, ada apa-Rasty? Apakah, ada sesuatu yang terjadi?" tanya papa Hendra--menatap putri nya dengan lamat-lamat. "Tuh!" ujar Sarah, sembari membuang pandangan nya ke arah televisi, dan apa yang wanita itu lakukan turut mengalihkan wajah kedua orang tua nya. "Devan, akan menikah hari ini?" gumam mama Anita. Terkejut, sembari memandang tidak percaya pada layar televisi. "Iya. Dia, akan menikahi tunangan nya hari ini," tut
Kenyataan yang mereka ketahui hari ini sungguh membuat Devan, dan kakek Darma shyok berat. Dan, kini kedua pria beda generasi itu sudah dalam perjalanan pulang kembali ke kediaman mereka, dengan Deni yang mengendarai kendaraan. Suasana tenang menyelimuti di dalam mobil, namun Devan dan kakek Darma masih tetap setia dengan diam nya. Deni, yang mendapati bagaimana kedua pria itu kini--sesekali mencuri pandang pada mereka lewat kaca spion dalam mobil. "Ternyata Tuhan masih sayang dengan Tuan muda Devan. Sebelum akad nikah berlangsung, dia membongkar semua kebusukan Nona Sarah. Dan, Tuan besar Darma--pasti sangat menyesal, juga malu yang teramat sangat sebab calon cucu menantu nya itu ternyata pernah hamil, dan juga menggugurkan bayi," gumam Deni dalam hati. Dalam keheningan, Deni terus melajukan kendaraan roda empat. Hingga, pria itu harus berhenti--saat menemukan lampu merah. Handphone milik Deni tiba-tiba berdering, dan itu mampu mengalihkan pandangan Devan dan juga kakek Darma yan
Apa yang terjadi hari ini-sama sekali tidak pernah disangkah oleh papa Akio. Bagaimana, mungkin-aib yang selama ini turut dia sembunyikan bisa terbongkar. Jujur. Saat ini dia teramat malu setengah mati, terutama pada keluarga Wijaya. Memijat pelipis nya yang terasa berdenyut, papa Akio hanya bergeming-dia masih shyok berat. Namun, pria itu terusik saat suara tangisan Sarah kembali kencang. Menghentikan apa yang tengah dia lakukan saat ini mimik wajah papa Akio telah berubah tegang, dia nampak marah. "Buat apa kamu menangis. Sebab, yang menjadi korban di sini adalah Devan, bukan kamu!" hardik papa Devan. Mama Winda yang sedari tadi berusaha menenangkan Sarah--seketika menghentikan kegiatan nya, dan melayangkan tatapan tajam nya pada sang suami. "Paa, Sarah ini lagi terkena musibah! Seharusnya kamu memberi nya semangat, bukan malah membuatnya sedih!" Nada suara Mama Akio sudah meninggi. "Musibah? Musibah seperti, apa-yang kau maksud?! Saat ini semua orang pasti tengah menggun
Ntah, apa yang ada di dalam pikiran seorang Akio Haruto. Bukan nya duduk di kursi yang berada di tempat lain, papa Akio justru mendaratkan tubuhnya pada kursi yang sama dengan mama Ani, dan dalam jarak yang begitu dekat. Sontak, mama Ani terperanjat dan segera memberi jarak dengan mantan suami nya itu. Dan, apa yang mama Ani lakukan membuat papa Akio seperti baru menyadari apa yang sudah dia lakukan, suasana mendadak canggung. "Maaf," cicit nya, wajah papa Akio telah memerah--akibat merasa malu dengan apa yang sudah dia lakukan. Dan, mendengar kata MAAF yang mengalir dari mulut papa Akio, mama Ani hanya menyambut nya dengan senyuman yang kikuk, wanita itu nampak salah tingkah. Suara pintu terbuka--mengalihkan perhatian ke empat sosok, dan mendapati ke luar nya seorang Dokter wanita. "Dokter, bagaimana keadaan anak perempuan saya-dan anak nya?" tanya mama Ani, dengan wajah tidak sabaran nya. "Iya-Dokter, bagaimana keadaan anak perempuan saya?" tanya papa Akio pula. Tak la