Rania memindai pandangan nya pada mama Ani--wanita berambut hitam legam itu seperti tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Suasana mendadak canggung, Rania dan Devan terlihat bak orang yang belum pernah saling mengenal. Devan, pria itu menyeretkan langkah kaki, pria itu mendaratkan tubuh nya pada sebuah kursi. Tak ada yang saling berbicara. Rania, mati kutu--wanita itu tetap setia dengan diam nya, pada hal sebelum kedatangan Devan, Rania banyak bertanya, salah satu nya menanyakan bagaimana keadaan anak nya saat ini. Dan, hal itu sangat menarik perhatian mama Ani. Menurut nya---bagaimana pun, Devan dan Rania, perlu berbicara. "Deni, Akio, sebaik nya kita ke luar." Rania yang sedari tadi setia dengan diam nya--seketika mengangkat wajah, dan menatap sang Bunda, dengan tatapan protes. Rania tidak mau ditinggal sendiri bersama Devan. "Kami, hanya sebentar!" ujar mama Ani, meraih tangan Deni, memaksakan putra angkat nya itu untuk ke luar. Sudah mengambil beberapa langkah,
Ada bahagia, ada pula duka yang menyelimuti. Itulah gambaran hati seorang Devan Wijaya saat ini. Sempat gunda dengan gagal nya pernikahan dia dan Sarah, namun luka itu terbayarkan dengan lahir nya sang putra. Senyuman terus terukir di wajah Devan saat menatap wajah bayi nya yang dia abadikan dengan kamera ponsel. Ketika akan pulang ke rumah, Devan kembali menghampiri ruang NICU-pria itu meminta ijin pada petugas agar dapat melihat secara langsung anak laki-laki nya, dan tentu saja Devan tidak lupa memotret wajah anak nya. "Keponakan saya memang sangat tampan," ujar Deni tiba-tiba, dan perkatan dari Deni membuat Devan tercengang. Sebab, pria itu sama sekali tidak menyadari Deni yang telah duduk didekat nya. Menatap Deni dengan tidak suka, Devan menjauhkan ponsel nya dari pria itu. "Dia anakku!" Devan bersuara dengan tegas, terselip amarah dalam nada bicara pria itu. Deni cengengesan, sembari menggaruk tengkuk nya yang tidak gatal. Ucapan Devan membuat nya mati kutu. "He---he---he
Mimik wajah papa Akio berubah, amarah sudah menyelimuti wajah pria berdarah Jepang itu akan pertanyaan yang putri nya layangkan sebab itu mampu membangunkan emosi. Rahang nya mengeras, sorot mata papa Akio laksana belati yang siap membunuh. Dan, kemarahan pria itu mampu tertangkap oleh Sarah. "Kamu, masih berani bertanya tentang Devan setelah apa yang kamu lakukan. Papa sudah memperingatkan mu tentang hal ini, namun kamu tetap dengan keras kepala-mu, itu!" ujar papa Akio pelan, namun penuh penekanan. Kemarahan di dalam diri nya pada Sarah--kian meletu-letup. Kata-kata yang mengalir dari mulut sang ayah, laksana pisau--mampu mencabik-cabik hati hati Sarah. Wajah nya telah berubah mendung, bolamata Sarah sudah berkaca-kaca. "Aku, melakukan itu semua karena aku mencintainya, Paa---? Aku melakukan semua itu karena aku mencintai nya. Apakah, aku salah---?" Suara Sarah sudah berubah parau, air mata pun sudah bercucuran membasahi kedua pipi mulus wanita itu. Sarah kini terisak, menangis pi
Pernah menjalin hubungan sebagai suami-istri, namun suasana canggung begitu antara Devan dan juga Rania. Devan---, pria itu mencoba menggoda Rania, namun sang mantan istri hanya membisu, Rania nampak malu-malu.Bersama Devan membuat waktu terasa cepat untuk Rania. Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 10 malam."Sudah jam 10 malam. Namun, kenapa--mama belum juga kembali? Bukankah, tadi dia mengatakan hanya sebentar?" gumam Rania dalam hati, wanita bersurai hitam itu nampak berpikir. Mengalihkan pandangan nya pada Devan, Rania mendapati Devan yang begitu sibuk dengan gawai nya. Pria itu seperti nya sedang memeriksa sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan. Namun, sedetik kemudian terasa ada sesuatu yang mengganggu untuk Rania, Devan yang belum juga pulang. "Ini sudah jam 10 malam-tapi dia belum juga pulang," bathin Rania, yang masih setia melemparkan pandangan nya pada Devan. Namun Rania cepat-cepat memindai pandangan nya ke arah lain--saat mendapati pergerakan sang mantan. Devan
Senyum terus membingkai di wajah Dion--saat pria itu membawa langkah kaki nya menuju kamar rawat yang ditempati Rania. Mengayunkan langkah nya dengan ringan, Dion terlihat begitu bahagia. Namun---mendadak langkah kaki itu terjeda, saat mendapati kebersamaan kedua sosok yang tidak asing untuk nya. Rania dan Devan. Pasangan mantan-suami-istri itu tengah bersama, dengan Devan yang mendorong kursi roda yang diduduki Rania. Sakit, tentu saja dia rasakan--sebab Dion selama ini berharap banyak kalau Rania mau menerima cinta nya, dan kedua nya hidup bahagia bersama anak yang Rania kandung, Terus melemparkan pandangan nya pada kedua sosok itu, sampai tertelan oleh dinding ruangan. "Seperti nya aku datang bukan diwaktu yang tepat," gumam Dion, dan berbalik. Pria itumemutuskan untuk pulang, dia akan datang nanti. Beberapa menit melakukan perjalanan--Rania dan Devan akhir nya dapat tiba di ruangan, di mana bayi mereka berada. Berada di depan dinding kaca, sorot mata Rania terus tertuju pada
Esok hariSuara ketukkan membuat mama Ani yang tengah meletakkan menu ikan goreng di dalam salah satu rantang makanan seketika mengalihkan pandangan nya pada asal suara. "Apakah, ada orang yang ingin membeli bunga? Bukankah, aku sudah menulis di papan kalau toko ini akan ditutup beberapa hari ke depan?" gerutu mama Ani, wanita paruh baya itu nampak menahan kesal. Namun, bukan nya menghampir-ibu kandung dari Rania itu justru tetap melanjutkan kegiatan nya, dan memilih mengabaikan ketukkan pintu itu.Mama Ani telah kembali melanjutkan kegiatan nya. Namun, kali ini benar-benar telah melatih kesabaran nya. Sebab ketukkan yang diberi pada pintu rumah, bukan seperti sebuah ketukkan--namun seperti gedoran. Kesabaran mama Ani--akhir nya habis juga. Dengan kesal wanita paruh baya itu melepaskan kegiatan nya, dan menghampiri pintu rumah. Membuka pintu dengan asal, mama Ani bersiap akan melampiaskan emosinya. Namun,"Ka--." Sejenak mama Ani membeku, setelah mendapati sosok yang saat ini tengah
Beberapa menit melakukan perjalanan, akhir nya kendaraan yang dikemudikan papa Akio tiba disebuah restorant mewah. Tadi pagi lelaki paruh baya itu mendapat telepone dari kakek Darma, dan lelaki tua itu--meminta nya untuk bertemu. Setelah ke luar dari dalam mobil--papa Akio tak langsung membawa langkah kaki nya ke dalam restorant. Memijakkan kedua kaki nya, dengan melemparkan pandangan nya lurus pada bangunan di depan nya. Sekian lama menatap, akhir nya dengan hati yang berat papa Akio mantap membawa langkah kaki nya ke dalam. "Mari-Tuan, saya antar," ujar salah satu pelayan restorant, saat papa Akio menanyakan di mana keberadaan ruangan--yang di pesan kakek Darma. Suara pintu terbuka mengalihkan pandangan kakek Darma yang tengah sibuk dengan gawai milik nya, dan lelaki tua itu, mendapati kedatangan orang yang sudah membuat nya menunggu. "Maaf, sudah membuat anda--menunggu," ujar papa Akio, namun dengan bahasa tubuh yang kikuk. Saat ini papa Akio tengah menahan rasa malu yang ter
Mendapati kedatangan kakek Darma--betapa kaget nya Rania, dia mendadak tegang. Ingin rasa nya Rania menenggelam diri ke samudra yang paling dalam yang ada di muka ini, guna untuk bersembunyi dari seorang Darma Wijata. Namun, sayang nya--keinginan nya itu hanya bisa dipendam nya di dalam hati. Menunduk, Rania tidak berani menatap kakek Darma, namun diam-diam bola mata Rania terus memantau sepasang pantofel yang terus melangkah menghampiri nya. Tubuh Rania panas dingin, berkali-kali Rania menelan saliva nya. Hingga, akhir nya Rania mendapati sepasang pantofel milik kakek Darma yang berhenti dengan jarak yang tak jauh dari nya. Hening---Hening----Hening----Sunyi menyelimuti, membuat suasana di dalam ruangan mendadak horor. Kedatangan Darma Wijaya membawa atmosfer yang berbeda di dalam ruangan.Rania menggigit bibir bawah nya pelan, lidah nya terasa keluh--bahkan Rania tak berani mengeluarkan satu kata pun. Rania berperang dengan kata hati nya. Berusaha membunuh rasa takut, Rania akh