Berkali-kali Sarah menghapus jejak pena, saat jari-jari lentik itu menggoreskan di atas lembaran putih tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan. Suasana di dalam ruangan begitu khusuk, Sarah begitu fokus pada apa yang tengah dia lakukan, yaitu mendesain sebuah kalung yang akan dia luncurkan sebagai koleksi terbaru dari Sarah colection. Suara ketukkan menyapa pintu ruangan--Sarah yang tengah sibuk dengan kegiatan nya--seketika menengadah, dan membawa pandangan nya pada pintu ruangan. "Masuk---," ujar Sarah dengan setengah teriakkan, wanita itu kembali menunduk-menatap lembaran di atas meja. Suara pintu terbuka, Sarah mengangkat wajah dan mendapati kedatangan salah satu karyawan wanita nya. Wanita itu terperanjat, sebab karyawan nya datang dengan membawa sebuah bucket bunga mawar berwarna merah darah. "Dari Pak Devan?" tanya Sarah menebak, wanita cantik itu memperlambat setiap kata yang mengalir dari mulut nya. "Bukan Nona. Di sini tidak ada nama dari siapa pengirim nya," sahut
Hari ini adalah hari pernikahan seorang Devan Wijaya. Pernikahan kedua bagi Devan, namun yang pertama bagi Sarah. Tidak seperti pernikahan pertama nya yang ditutupi, dan tidak banyak orang yang mengetahuinya, kali ini berbeda. Hampir sebagian stasiun televisi menyiarkan pernikahan Sarah dan Devan yang dilangsungkan hari ini, dan pernikahan ini digelarkan secara meriah. Kediaman milik Rasty. "Papa----Mama-----," panggil Rasty dengan teriakkan, saat menonton sebuah berita di televisi pagi ini. "Ada apa, Rasty?" tanya mama Anita cepat, wajah itu nampak panik. "Iya, ada apa-Rasty? Apakah, ada sesuatu yang terjadi?" tanya papa Hendra--menatap putri nya dengan lamat-lamat. "Tuh!" ujar Sarah, sembari membuang pandangan nya ke arah televisi, dan apa yang wanita itu lakukan turut mengalihkan wajah kedua orang tua nya. "Devan, akan menikah hari ini?" gumam mama Anita. Terkejut, sembari memandang tidak percaya pada layar televisi. "Iya. Dia, akan menikahi tunangan nya hari ini," tut
Kenyataan yang mereka ketahui hari ini sungguh membuat Devan, dan kakek Darma shyok berat. Dan, kini kedua pria beda generasi itu sudah dalam perjalanan pulang kembali ke kediaman mereka, dengan Deni yang mengendarai kendaraan. Suasana tenang menyelimuti di dalam mobil, namun Devan dan kakek Darma masih tetap setia dengan diam nya. Deni, yang mendapati bagaimana kedua pria itu kini--sesekali mencuri pandang pada mereka lewat kaca spion dalam mobil. "Ternyata Tuhan masih sayang dengan Tuan muda Devan. Sebelum akad nikah berlangsung, dia membongkar semua kebusukan Nona Sarah. Dan, Tuan besar Darma--pasti sangat menyesal, juga malu yang teramat sangat sebab calon cucu menantu nya itu ternyata pernah hamil, dan juga menggugurkan bayi," gumam Deni dalam hati. Dalam keheningan, Deni terus melajukan kendaraan roda empat. Hingga, pria itu harus berhenti--saat menemukan lampu merah. Handphone milik Deni tiba-tiba berdering, dan itu mampu mengalihkan pandangan Devan dan juga kakek Darma yan
Apa yang terjadi hari ini-sama sekali tidak pernah disangkah oleh papa Akio. Bagaimana, mungkin-aib yang selama ini turut dia sembunyikan bisa terbongkar. Jujur. Saat ini dia teramat malu setengah mati, terutama pada keluarga Wijaya. Memijat pelipis nya yang terasa berdenyut, papa Akio hanya bergeming-dia masih shyok berat. Namun, pria itu terusik saat suara tangisan Sarah kembali kencang. Menghentikan apa yang tengah dia lakukan saat ini mimik wajah papa Akio telah berubah tegang, dia nampak marah. "Buat apa kamu menangis. Sebab, yang menjadi korban di sini adalah Devan, bukan kamu!" hardik papa Devan. Mama Winda yang sedari tadi berusaha menenangkan Sarah--seketika menghentikan kegiatan nya, dan melayangkan tatapan tajam nya pada sang suami. "Paa, Sarah ini lagi terkena musibah! Seharusnya kamu memberi nya semangat, bukan malah membuatnya sedih!" Nada suara Mama Akio sudah meninggi. "Musibah? Musibah seperti, apa-yang kau maksud?! Saat ini semua orang pasti tengah menggun
Ntah, apa yang ada di dalam pikiran seorang Akio Haruto. Bukan nya duduk di kursi yang berada di tempat lain, papa Akio justru mendaratkan tubuhnya pada kursi yang sama dengan mama Ani, dan dalam jarak yang begitu dekat. Sontak, mama Ani terperanjat dan segera memberi jarak dengan mantan suami nya itu. Dan, apa yang mama Ani lakukan membuat papa Akio seperti baru menyadari apa yang sudah dia lakukan, suasana mendadak canggung. "Maaf," cicit nya, wajah papa Akio telah memerah--akibat merasa malu dengan apa yang sudah dia lakukan. Dan, mendengar kata MAAF yang mengalir dari mulut papa Akio, mama Ani hanya menyambut nya dengan senyuman yang kikuk, wanita itu nampak salah tingkah. Suara pintu terbuka--mengalihkan perhatian ke empat sosok, dan mendapati ke luar nya seorang Dokter wanita. "Dokter, bagaimana keadaan anak perempuan saya-dan anak nya?" tanya mama Ani, dengan wajah tidak sabaran nya. "Iya-Dokter, bagaimana keadaan anak perempuan saya?" tanya papa Akio pula. Tak la
Rania memindai pandangan nya pada mama Ani--wanita berambut hitam legam itu seperti tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Suasana mendadak canggung, Rania dan Devan terlihat bak orang yang belum pernah saling mengenal. Devan, pria itu menyeretkan langkah kaki, pria itu mendaratkan tubuh nya pada sebuah kursi. Tak ada yang saling berbicara. Rania, mati kutu--wanita itu tetap setia dengan diam nya, pada hal sebelum kedatangan Devan, Rania banyak bertanya, salah satu nya menanyakan bagaimana keadaan anak nya saat ini. Dan, hal itu sangat menarik perhatian mama Ani. Menurut nya---bagaimana pun, Devan dan Rania, perlu berbicara. "Deni, Akio, sebaik nya kita ke luar." Rania yang sedari tadi setia dengan diam nya--seketika mengangkat wajah, dan menatap sang Bunda, dengan tatapan protes. Rania tidak mau ditinggal sendiri bersama Devan. "Kami, hanya sebentar!" ujar mama Ani, meraih tangan Deni, memaksakan putra angkat nya itu untuk ke luar. Sudah mengambil beberapa langkah,
Ada bahagia, ada pula duka yang menyelimuti. Itulah gambaran hati seorang Devan Wijaya saat ini. Sempat gunda dengan gagal nya pernikahan dia dan Sarah, namun luka itu terbayarkan dengan lahir nya sang putra. Senyuman terus terukir di wajah Devan saat menatap wajah bayi nya yang dia abadikan dengan kamera ponsel. Ketika akan pulang ke rumah, Devan kembali menghampiri ruang NICU-pria itu meminta ijin pada petugas agar dapat melihat secara langsung anak laki-laki nya, dan tentu saja Devan tidak lupa memotret wajah anak nya. "Keponakan saya memang sangat tampan," ujar Deni tiba-tiba, dan perkatan dari Deni membuat Devan tercengang. Sebab, pria itu sama sekali tidak menyadari Deni yang telah duduk didekat nya. Menatap Deni dengan tidak suka, Devan menjauhkan ponsel nya dari pria itu. "Dia anakku!" Devan bersuara dengan tegas, terselip amarah dalam nada bicara pria itu. Deni cengengesan, sembari menggaruk tengkuk nya yang tidak gatal. Ucapan Devan membuat nya mati kutu. "He---he---he
Mimik wajah papa Akio berubah, amarah sudah menyelimuti wajah pria berdarah Jepang itu akan pertanyaan yang putri nya layangkan sebab itu mampu membangunkan emosi. Rahang nya mengeras, sorot mata papa Akio laksana belati yang siap membunuh. Dan, kemarahan pria itu mampu tertangkap oleh Sarah. "Kamu, masih berani bertanya tentang Devan setelah apa yang kamu lakukan. Papa sudah memperingatkan mu tentang hal ini, namun kamu tetap dengan keras kepala-mu, itu!" ujar papa Akio pelan, namun penuh penekanan. Kemarahan di dalam diri nya pada Sarah--kian meletu-letup. Kata-kata yang mengalir dari mulut sang ayah, laksana pisau--mampu mencabik-cabik hati hati Sarah. Wajah nya telah berubah mendung, bolamata Sarah sudah berkaca-kaca. "Aku, melakukan itu semua karena aku mencintainya, Paa---? Aku melakukan semua itu karena aku mencintai nya. Apakah, aku salah---?" Suara Sarah sudah berubah parau, air mata pun sudah bercucuran membasahi kedua pipi mulus wanita itu. Sarah kini terisak, menangis pi