Devan membawah langkah kakinya masuk ke dalam ruangan, pria itu masuk tanpa ditemani Deni dan juga anak buahnya. Mengingat perbuatan kakeknya dimasa lalu--dengan apa yang dia lakukan pada keluarga milik Dion membuat emosi di dalam diri Devan ke luar. "Mau, sampai kapan-kau berdiri terus di sana?!" Devan yang tak kunjung menghampirinya--memaksa sang kakek untuk bersuara padanya. "Dia, cucuku-anak dari, anak mendiang anak laki-lakiku Adam, dan menantuku Ana," ujar kakek Darma yang memperkenalkan Devan pada rekan bisnisnya itu. Ada sebuah kebanggaan di wajah tua kakek Darma saat memperkenalkan Devan. "Anak dari Adam?" sahut pria paruh baya itu dengan air muka yang sedikit kaget, dan terus menatap pada Devan yang kini sudah mengayunkan langkah kakinya. "Devan-kenalkan ini pak Bima, dia adalah pemilik dari Malayka Group!" ujar kakek Darma, saat memperkenalkan Devan pada rekan bisnisnya itu. Devan tersenyum samar, dengan tetap memasang wajah datarnya--pria itu mengulurkan tangan.
Kenyataan yang baru dia tahu hari ini--sungguh mengguncangkan dunia seorang Devan Wijaya. Memory itu terhantar kembali pada kejadian beberapa tahun silam--yang meninggalkan luka begitu dalam untuknya hingga saat ini. FLAASBACK ONE "Selama ini aku sudah cukup bersabar, Mas! Aku berharap kau sadar dengan sendirinya, namun ternyata kau terus menjalin hubungan dengan mantan kekasihmu, itu!" Ibu kandung Devan, Mama Ana--yang saat itu duduk disebelah suaminya yang tengah menyetir, terus saja meluapkan rasa kecewanya. Airmata tak henti-hentinya menetes dari kedua pelupuk matanya. "Siapa suruh, kamu mau menerima perjodohan ini! Bukankah, sebelumnya kamu sudah mengetahui kalau aku telah memiliki wanita yang aku cinta. Tapi, kau tetap memaksakan diri untuk tetap menikah denganku!" Papa Adam, yang tengah menyetir--nampak tak berpengaruh sedikitpun dengan airmata sang istri. Pria itu justru menyalahkan wanita yang sudah memberikan dirinya satu orang anak itu. Devan hanya bisa menatap nanar, d
Matahari telah tersenyum-menatap indahnya dunia, membuka hari baru baru dan lembaran yang baru. Cahayanya menyinari seluruh bumi--mencuri masuk, hingga kilauan cahayanya mengenai kelopak mata yang masih setia tertutup itu.Rania mengerjap-ngerjapkan kedua kelopak mata--yang masih tertutup. Bergerak kian gelisah, saat cahaya kecil itu tak kunjung pergi.Tak lagi mampu menahan cahaya yang begitu menyilaukan--Rania akhirnya dengan terpaksa membuka kedua mata itu. Matanya telah terbuka, namun nyawa itu belum sepenuhnya terkumpul. Rania mengumpulkan nyawa yang masih tercerai-berai, dan kesadaran itu kembali datang. Menolehkan wajahnya cepat, panik dan juga gugup sontak memenuhi wajah Rania, Devan wajah Devan begitu dekat dengannya. Rania berkali-kali menelan salivanya, dia teramatn gugup setengah mati--bahkan Rania dapat merasakan tubuhnya berkeringat dingin.Rania masih tak memutuskan pandangannya sama sekali dari Devan, menatap---dan terus menatap. Hingga, bolamata itu langsung Rania k
Rania masih terus menatap pada Devan--menelisik begitu lama, gadis itu seolah tengah mencari jawaban akan rasa penasaran yang seketika timbul dalam dirinya. Bahkan bolamata Rania tak berkedip sama sekali saat menatap pria berstatus suaminya itu. Tatapan Rania penuh mengintimidasi. Ditatap seperti itu membuat Devan kian gugup, dan juga salah tingkah. "Kau melihatnya, juga?" Sekian detik membiarkan keheningan melanda dirinya dan Devan, mulut Rania akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang tentunya tak diinginkan Devan. Devan menyengir. Pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, namun semua itu hanyalah akal-akalannya saja untuk mengelabui Rania, agar tak menyadari perubahan bahasa tubuhnya. "Ha--ha---ha, bicara apa, aku ini. Aku hanya salah bicara. Bagaimana seorang kuli seperti aku, mampu melihat cucu Darma Wijaya," ujar Devan, dan diakhir ucapannya pria itu kembali terkekeh dan tentunya dalam hati, Devan berharap agar Rania dapat percaya dengan kebohongan yang dia katakan. "Oh
Devan berpaling. Tamparan keras yang Dion--berikan membuat wajahnya menoleh, terasa kaku dan juga kebas. Amarah telah memenuhi wajahnya. Rahangnya mengeras, giginya gemerlatuk--menahan emosi yang benar-benar telah membakar di dalam dirinya. Namun, Devan berusaha untuk membendung amarah--dan mengerti dengan keadaan Dion saat ini. Menyeringai, sorot mata Devan laksana pisau yang baru saja di asa. Sekian lama membiarkan keheningan melanda, dengan suasana yang begitu tegang, Devan akhirnya bersuara. "Aku akan mengembalikkan apa yang telah kakekku ambil!" Devan dingin Devan bersuara, berusaha menunjukkan sikap biasanya walaupun saat ini dadanya tengah bergejolak. Seringai rendah tercetak sempurna disudut bibir Dion--rahangnya mengeras, amarah itu semakin terlihat nyata di wajahnya pria itu, "Anda memang kehilangan kedua orangtua anda, namun anda tidak pernah merasakan penderitaan seperti yang saya dan adik saya lewati. Tidur di jalanan, menahan lapar, bahkan--." Dion menjeda ucapanny
"Mama serius? Mama pergi mencari Rania--dan orang-orang mengatakan kalau dia dan suaminya, sudah tidak tinggal di sana lagi?!" Rasty sangat terkejut setelah mendengar kalau sang Bunda pergi mencari Rania, namun lebih kaget lagi saat mengetahui kalau Rania ternyata sudah tidak tinggal lagi dikontrakkan lamanya. "Iya," sahut Mama Anita dengan masih memasang wajah juteknya, mengingat tujuan kedatangannya ke sana untuk memberikan pelajaran pada anak angkatnya itu--namun justru dirinya di sambut dengan kekecewaan. "Terus, ada yang tahu kalau mereka tinggal di mana?" tanya Rasty, setelah sepersekian detik. "Nggak. Atau, mungkin--." Mama Anita menjeda ucapannya, berbalik menatap Rasty dengan tatapan yang tak biasa--di mana kini wanita itu kini menatap ibunya dengan tatapan penasaran. "Atau, mungkin apa, Maa?!" tanya Rasty menuntut, wanita yang kandungannya telah memasuki usia 7 bulan itu menatap sang Bunda dengan raut wajah tidak sabaran. "Atau mungkin, karena mereka nggak sanggup bay
Ini-gila! Rania sama sekali tidak menyangkah kalau dirinya akan melakukan hal gila-itu, dan dalam dirinya Rania menyesali perbuatannya sendiri--gadis itu merutuki dirinya habis-habisan. Menundukkan--wajah itu sedalam mungkin, Rania tak berani menatap Devan. Rasanya dia ingin meminta pada Tuhan, agar diberikan kantong ajaib doraemon agar dia bisa menghilang sekarang juga. "Kenapa, aku mengecupnya? Kenapa, aku jadi segenit ini? Dia memang suamiku, tapi bukan kami menikah--tanpa cinta? Pasti saat ini Devan menganggap aku sebagai wanita murahan," gerutu Rania dalam hati. Rania masih setia menundukkan wajahnya, berharap Devan segera pergi dari depannya saat ini juga. Namun, walaupun setelah sekian detik lamanya keinginan itu tak kunjung terkabul. Larut dalam apa yang menjadi beban pikirannya, Rania dibuat kaget saat tiba-tiba saja tengkuknya tertarik. Rania mematung, dengan bolamata membulat penuh--bagai berada didimensi yang lain saat Devan menciumnya tiba-tiba. Rania tak melakukan ap
Terkatup rapat. Namun, sedetik kemudian bolamatanya bergerak kecil saat dengan sengaja mentari memberikan sedikit sinarnya mengenai mata cantik itu. Bergerak Resah, rasa kantuk yang masih menyerangnnya membuat Rania seolah enggan untuk bangun dari tidurnya. Rania kembali terlelap. Dia tak berkeinginan untuk bangun sama sekali. Telah kembali menemukan kenyamanan dalam tidurnya, namun lagi-lagi dengan sengaja matahari memberikan sinarnya dan hal itu sukses membuat Rania terusik Membuka kedua matanya berat. Pemandangan yang dia temukan--adalah langit-langit kamar yang terasa asing untuknya. Nyawa itu telah kembali terkumpul--Rania menyadari di mana dia kini. Dirinya bukan berada di kamar miliknya. Ingin bangun dari tidurnya, tersentak saat tak menemukan tubuhnya tak berbalut apa pun. Ingatan itu kembali dia hantarkan pada kejadian semalam, Rania membekap mulutnya kuat-kuat saat hampir saja dia menjerit-karena shyok menyadari dirinya dan Devan yang telah bercinta. "Kenapa, aku jadi