Dini hari pagi ini Sheilla semakin sadar. Apa-apa yang keluar dari mulut Mathew memang tidak ada kata bercanda. Seperti beberapa jam sebelumnya, dia dibuat kewalahan karena melayani napsu sang suami. Walaupun tanpa diingatkan soal kandungan, pria itu tetap tidak perduli dan tetap melakukan apa yang hatinya mau.Jari telunjuk Sheilla terulur mengusap pelan hidung mancung milik Mathew. Sekilas Sheilla melirik jam, ternyata masih pukul tiga pagi. Tubuhnya memang lelah, tapi entah kenapa dia terbangun jam segini. Sedangkan Mathew ... wajahnya terlihat amat sangat damai. Apa dia sudah bermimpi jauh?Puas memandangi wajah suaminya tubuh Sheilla kembali terlentang, matanya menatap langit-langit atap kamar. Cukup lama Sheilla terdiam, setelah itu dia duduk. Niat hati ingin minum karena tenggorokannya kering, tetapi air di gelas sudah habis. Sheilla menghela napas, rasanya sangat enggan kalau turun ke bawah. Tapi kalau tidak ... mana sanggup kehausan sampai pagi?!Sheilla melirik Mathew bernia
"Kamu masih marah?""Lagipula, apa yang ha–oke, oke, Mama minta maaf."Lewat ekor mata Sheilla melirik ke arah depan, arah di mana sang mama tengah duduk santai. Saking santainya, wanita itu tetap melanjutkan makan makanan miliknya. Sheilla menghela napas, dia pun bingung dengan dirinya sendiri."Ini oleh-oleh buat kamu semua. Tapi tidak, ada untuk Mathew juga. Niatnya mau belikan untuk anakmu, tapi masih terlalu dini dan ... belum tahu jenis kelaminnya apa." Lagi, suara Daisy terdengar. "Nan–"BRAK!Belum selesai Daisy melanjutkan kata-katanya, dia sudah lebih dulu dibuat kaget oleh ulah Sheilla. Bukan menyahut atau mencela, tetapi gebrakan pada meja yang membuatnya kaget serta beberapa orang menoleh menatap keduanya."Astaga, Sheilla, kamu apa-apaan, sih? Mama sudah minta maaf, Mama mengaku salah. Memang tidak ada salahnya kamu telepon tanpa ada hal urgent." Tangan Daisy terulur, menarik pelan lengan Sheilla agar duduk kembali.Sheilla manut, tetapi kepalanya menggeleng membuat keni
Tiga bulan menjalani kehamilan mampu membuat Sheilla pengap. Masih terlalu dini memang, tapi entah kenapa rasa lelah sudah menghantui beberapa minggu belakangan. Walaupun begitu Sheilla masih bisa tersenyum karena pusat perhatian Mathew tertuju padanya. Jika kemarin-kemarin prioritasnya kantor, kali ini berbeda.Terkadang pula melihat perut yang tak lagi rata membuat Sheilla tidak menyangka. Ah, ternyata memang benar, kehamilannya itu asli.Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Jika biasanya Sheilla masih bergelut di dalam selimut, kali ini justru dia bagun lebih dulu daripada Mathew. Tubuhnya sudah wangi, sudah rapih pula walaupun tidak ada agenda ke luar rumah. Hampir sepuluh menit berlalu, tetapi Sheilla masih betah memandangi wajah Mathew. Pria itu masih terlelap damai karena semalam dia begadang mengerjakan kerjaannya.Tangan Sheilla terulur. Jari telunjuknya menoel pelan hidung mancung milik Mathew. Tak jarang Sheilla pun insecure kerena merasa suaminya itu lebih sempurna diba
"Kenapa menatapku seperti itu?""Kenapa? Kau keberatan? Tidak suka?"Sahutan sinis Sheilla membuat kekehan Mathew terkekeh. Bagi Mathew kesalnya Sheilla itu sangat menggemaskan. Saking menggemaskannya di ingin melemparnya ke tengah laut.Saat ini keduanya tengah duduk santai di ruang televisi. Eh, tidak, ralat! Yang duduk hanya Sheilla, sedangkan Mathew sudah merebahkan tubuh dengan paha Sheilla sebagai pengganti bantal. Dari bawah Mathew terus menatap wajah Sheilla. Sebenarnya Mathew menunggu Sheilla membahas soal Freya, tapi sampai detik ini istrinya masih bungkam.Ah, berbicara soal Freya. Pertemuan terakhir Mathew dengan Alexander sangatlah tidak enak. Akan tetapi, sampai sekarang mertuanya itu tidak mengadukan apapun kepada Sheilla. Padahal kalau pria itu nekat Mathew sudah punya seribu jawaban untuk menjelaskan."Nah, kau sendiri kenapa menatapku seperti itu? Apa wajahku terlihat seperti penculik?""Sedikit."Tak!Tanpa rasa kasihan satu sentilan mendarat di kening Mathew. Senti
"Mama, hari ini Mama menginap di sini tidak?""Tergantung. Kalau kalian mengizinkan, ten–""Aku mengizinkan dan akan memukul kalau ada yang keberatan!"Sahutan terakhir yang Sheilla lontarkan membuat Elena serta Mathew menoleh kompak. Kedua mata Mathew menyipit menatap sang istri. Memangnya siapa yang ingin mengutarakan keberatan? Bukan hanya Elena, Daisy pun jika sedang senggang sering menginap. Lebih dari itu Mathew terasa terbantu kalau sang mama menginap untuk menemani Sheilla saat dirinya bekerja.Elena tertawa menatap tingkah Sheilla yang menggemaskan. Ternyata umur benar-benar berbicara di sini. Semoga saja nanti Sheilla bisa berdamai dengan kedua buah hatinya."Kenapa menatapku seperti itu?" Sebelah alis Mathew terangkat menatap Sheilla. "Tidak ada alasan untukku melarang Mamahku sendiri untuk menginap. Jangankan menginap, tinggal di sini pun sangat boleh," lanjutnya.Tidak menjawab, Sheilla memilih memalingkan wajah semb
Setelah tragedy bertemu Jayden, lalu berujung bertemu sang ayah, Sheilla memang masih senantiasa mengikuti ke mana langkah Elena pergi. Rasa excited untuk membeli beberapa cemilan seketika sirna karena lagi-lagi Sheilla teringat sikap ayahnya yang … mungkin tidak akan pernah luluh. “Mama hampir selesai belanja, kamu jadinya mau beli apa? Bukannya tadi mau beli sesuatu?” tegur Elena membuat Sheilla menerjap, sadar dari lamunannya. Berhubung rasa malas sudah menyeruak di dalam hati, Sheilla menggelengkan kepalanya. Sheilla menghembuskan napasnya pelan, lalu bergeser memeluk lengan Elena. “Apa ayah benar-benar tidak akan menganggapku anak lagi?” Mendengar pertanyaan itu Elena tersenyum. Ternyata dugaannya sejak tadi benar, sang menantu gelisah karena memikirkan pertemuan tak enak dengan ayahnya. Tangan Elena terulur mengusap lembut pucuk kepala Sheilla. Sejujurnya, walaupun berubungan baik dengan Daisy, Elena tetap merasa ada yang kurang. Karena mau bagaimanapun statusnya dengan Alexan
“Bangunlah, ini sudah pagi. Semalam kau sudah melewati makan malam, sarapan pagi ini tidak boleh.”Bak alarm, tubu Sheilla langsung bergeliat mendengar suara tak asing di telinganya. Dikarenakan matanya masih mengantuk, tentu itu membuatnya sedikit terusik. Tidak ada niat untuk bangun, Sheilla justru menghempas tangan Mathew yang terus mengusap pipinya.“Kau ini kenapa sih?”“Aku masih mengantuk, Mathew, ingin tidur. Kau bisa sarapan sendiri tanpaku, lagipula ada Mama. Kalau ingin ke kantor, silahkan pergi, tubuhku tidak enak dari semalam, maka dari itu mau tidur saja.”Sejenak Mathew terdiam memandangi wajah Sheilla. Kedua mata istinya memang belum terbuka sama sekali, Mathew juga melihat wajahnya sedikit pucat. Tangan yang tadi dihempas kini menyentuh kening, dan rasa panaslah yang Mathew rasakan.“Demam,” guman Mathew. Tanpa mengatakan apapun lagi pria itu beranjak dari Kasur meninggalkan kamar.Kedua mata Sheilla sedikit terbuka, dia menatap samar tubuh Mathew yang kini hilang di
“Hal remeh seperti itu harus saya yang turun tangan? Lalu gunanya kamu menjadi sekretaris plus asisten gunanya apa? Belum ada satu hari saya absen dari kantor, apalagi sampai sebulan?”Tepat di ambang pintu langkah kaki Sheilla terhenti. Pintu memang sudah terbuka sedikit, akan tetapi saat mendengar suara itu Sheilla memilih diam sejenak. Nada marah serta sedikit bentakan itu memang bukan ditunjukan untuk dirinya, tetapi Sheilla bisa menyimpulkan jika lawan bicara suaminya adalah Victor.Saat ini Sheilla memang merasa jika tubuhnya sudah lebih enak, maka dari itu dia bisa bangkit dari tempat tidur menuju ruang kerja Mathew.“Saya tidak mau tahu, kamu wajib selesaikan semuanya. Saya tidak bisa ke kantor apapun alasannya, karna Sheilla masih sakit.”Mendengar itu senyum Sheilla tanpa sadar terbit. Tidak perduli suaminya masih asik menelepon, Sheilla kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruang kerja Mathew. Kedua tangan wanita itu terlipat di dada, langkahnya memelan, tatapannya
"Menjauh dan pergi dari hadapan saya.""Kasih saya waktu untuk bic–""NOW!"Bentakan tak terbantahkan itu menggema di ruang tamu. Akan tetapi walaupun begitu nyali Mathew tidak menciut. Walaupun hatinya sangat berat untuk ke sini dan bertemu Alexander, semua ini Mathew lakukan demi Sheilla yang akan melahirkan sore hari ini."Sheilla, putri anda, dia akan melahirkan sore ini. Persalinan normalnya batal karena ada beberapa kendala, maka dari itu dia harus melakukan caesar demi keselamatannya dan juga kedua anak kami. Sheilla ingin dan berharap anda datang. Setidaknya temuilah dia sebentar," ujar Mathew dengan penuh kesabaran. Untuk saat ini dia harus menghilangkan keegoisannya.Mendengar permintaan Mathew barusan Alexander tertawa. Masih dengan tatapan remehnya dia menjawab, "putri? Apa telinga saya tidak salah mendengar? Sejak dia ke luar dari rumah ini, dia resmi bukan putri saya! Dia sendiri yang mengambil keputusan itu, dan dia pula yang harus bertanggung jawab."Masih keras kepala
Hari masih terbilang masih pagi. Bagaimana tidak, matahari belum sepenuhnya terbit menyinari bumi. Tapi seperti biasa, Sheilla sudah terbangun karena tidurnya tidak nyenyak. Bahkan semalam Sheilla hanya bisa tidur satu jam paling lama. Posisi tidur yang serba salah, perut sakit, semua beradu menjadi satu. Andai bisa berteriak, mungkin mulutnya sudah menyuarakan kata nyarah puluhan kali.Sheilla menghembuskan napasnya perlahan. Sebelum beranjak dari tempat tidur wanita itu mengamati wajah suaminya yang masih terlelap. Mathew terlihat sangat damai, semalam juga dia ditemani pria itu begadang karena tidak bisa tidur. Maka dari itu Sheilla tidak ada niat membangunkan, biarkan saja suaminya tidur. Tangan Sheilla terulur mengusap pipi Mathew."Maaf ya kalau selama ini aku selalu ngerepotin. Makasih kamu masih mau memperjuangkan aku. Aku sadar belum bisa jadi istri yang baik, tapi akan selalu aku usahakan. Begitupun nanti, aku akan belajar jadi ibu yang baik untuk anak kita," ujar Sheilla pe
Setelah tiga hari berada di rumah sakit kini Sheilla sudah diperbolehkan untuk pulang. Selama di rumah sakit, Mathew lah yang setia menunggu serta merawat dengan tulus. Sheilla sendiri sampai detik ini masih bingung. Bingung ingin merespon apa. Mathew memang tidak membahas apapun soal kejadian di rumah ayahnya, tetapi tetap saja ada yang mengganjal.Infusan sudah dilepas, baju sudah ganti, kini Sheilla tinggal menunggu Mathew yang sedang mengurus administrasi serta mengambil obat. Sheilla turun dari tempat tidur, kakinya melangkah menuju jendela. Dari atas Sheilla bisa melihat kendaraan berlalu-lalang."Sudah bukan waktunya berfikir soal masalah kemarin. Itu sudah berlalu, sekarang fikirkan saja anak kita. Kau akan segera melahirkan, jadi jangan banyak fikiran. Aku di sini, bersamamu, selamanya. Iya, selamanya. Sudah aku bilang, apapun yang sudah menjadi milikku akan kembali pada tuannya. Sudahlah, lupakan ayahmu."Tubuh Sheilla berputar, dia menatap pria yang kini berdiri tepat ri de
"Jadi maksudnya ... ini semua?"Rasa kaget kini menyelimuti hati Daisy. Bukan hanya Daisy, tetapi Elena juga. Keduanya baru saja mendengar rekaman dari ponsel Mathew. Dalam rekaman itu sangat jelas disebut kaau dalang dari kekisruhan ini adalah Alexander."Iya, mantan suami anda.""Math, kamu serius?" Elena meraih tangan Mathew, menunggu jawaban detail dari mulut putranya sendiri.Bukan lagi rekaman, kini Mathew mengeluarkan kertas dari dalam sakunya. Kertas itu dia berikan kepada Elena agar kedua wanita di dekatnya membuka sendiri tanpa perlu dia jelaskan. Mathew sudah teramat lelah dengan semua drama ini, ingin rasanya dia cepat-cepat mengakhiri."Tapi saat ini Sheilla sedang menginap di rumah ayahnya. Mathew, kamu bisa hari ini juga jemput Sheilla. Mama akan dampingi kamu untuk ke sana. Ternyata semuanya benar. Ini semua ulah Alexander." Daisy berdecak tidak percaya. Padahal selama sebulan kebelakangan dia sudah menilai beda mantan suaminya itu.Akan tetapi semua dugaan baik Daisy
“Alexander!”“Alexander siapa yang kau maksud? Di dunia ini banyak nama Alexander. Maka dar—”“Alexander Harrvad Watson! Dia yang menyuruh saya untuk melakukan ini semua. Dia juga yang menyuruh serta membayar kalau saya berhasil menaruh bayi itu di depan rumah anda. Sungguh, apa yang saya katakana benar adanya. Tuan Alexander juga yang menyuruh saya pergi dari kota ini sebelum anda mencari tahu.”Mendengar itu Mathew sempat terdiam sesaat. Bukan kaget, justru yang ada di dalam hati Mathew diisi oleh kemarahan. Ternyata dugaannya beberapa hari ini benar adanya. Awalnya Mathew mengira dalang dibalik ini semua adalah Freya, tapi setelah berfikir ulang kecurigaan Mathew tertuju pada Alexander. Dan sial, ternyata semua benar adanya.“Sialan!” umpat Mathew.Semua informasi yang dia tunggu-tunggu sudah didapat. Tanpa mengatakan apapun Mathew berdiri meninggalkan wanita yang masih tersungkur di lantai. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan dia papasan dengan Arvel. Hanya dengan saling tata
“Sialan!”BRAK!Umpatan yang dibarengi gebrakan meja membuat Arvel dan juga Calvin terlonjak kaget. Boleh saja keduanya kaget, pasalnya mereka sedang fokus menatap layar laptop yang menampilkan beberapa video. Calvin melirik Arvel, pria itu yang tahu kode sang sahabat langsung mendelikkan bahu. Toh dia juga sama-sama tidak tahu.“Lagi-lagi mengibarkan bendera perang,” ujar Mathew lagi.Arvel beranjak dari kursi menghampiri Mathew. Tepukan kecil dia sematkan di pundak sahabatnya itu. “Ada apa lagi, Math? Semua hampir rampung, sabar sedikit apa tidak bisa?”Tanpa menjawab Mathew memberikan ponselnya kepada Arvel agar pria itu melihatnya sendiri. Sambil menunggu apa respon Arvel, Mathew menghabiskan minuman sodanya yang tinggal setengah. Rasa tidak sabar kini bersemayam di dalam hati Mathew. Ingin rasanya dia segera menutaskan masalah yang ada lalu membawa Sheilla ke dalam dekapannya.“Siapa yang menaikkan berita ini, Math? Kenapa bisa tercium media?” tanya Arvel tanpa mengalikan tatapan
“Apa kau benar-benar sudah lupa denganku? Hufft, menyedihkan sekali hidupmu, Sheilla.” Tanpa menghentikan acara nyemil Sheilla manatap laptop di depannya. Entah dari mana asalnya, yang jelas kini sebuah berita terpampang nyata di matanya. Awalnya Sheilla ingin melewati berita tersebut, tetapi saat tidak sengaja membuka isinya Sheilla terdiam dengan isi otak yang bercabang. “Sangat serasi,” guman Sheilla melihat beberapa foto di depannya. Bukan lagi menonton drama apalagi melihat foto artis. Akan tetapi, yang sedang Sheilla lihat adalah berita berisikan nama serta foto Mathew dengan Freya. Berita itu memang memuat soal pekerjaan mereka, tetapi tetap saja Sheilla merasa ada yang aneh dengan hatinya saat ini. Apakah … ini cemburu? Sheilla sadar sudah cukup lama dia menutup diri dan juga komunikasi dengan Mathew. Tapi dibalik itu, hubungan Sheilla dengan sang ayah mulai dekat. Saking dekatnya Sheilla beberapa kali sempat menginap walaupun endingnya dijemput paksa oleh Daisy. Entah dal
"Kapan hasil tes DNA-nya keluar, Math?""Kemungkinan 2 hari lagi, Mah. Selagi nunggu, aku sedang menyelidiki siapa dalang dari semua kekisruhan ini. Aku ingin semua cepat terungkap agar bisa menjemput Sheilla. Karna tidak lama lagi dia akan melahirkan."Elena mengangguk. Dia paham apa maksud perkataan putranya itu. Memang sudah dua minggu lebih menantunya pergi dari rumah ini. Dan selama itu juga Mathew tidak tinggal diam. Hanya saja bukti yang pria itu dapat belum sepenuhnya."Mama doakan apapun langkah yang sedang kamu jalani saat ini. Pesan Mama hanya satu, Math, jaga dirimu baik-baik. Sebisa mungkin hindari apapun yang akan membahayakan dirimu. Ingat, tugasmu sekarang membawa Sheilla pulang." Tangan Elena terulur mengusap lembut punggung putranya.Tidak mau munafik, Elena sangat kagum melihat bagaimana putranya menyelesaikan masalah. Pria itu tidak gegabah, tetapi melakukannya secara struktur. Dan itu membuat Elena teringat dengan ... Hannon–mantan suaminya. Dari sisi manapun kedu
"Mama, perut aku sakit."Baru Daisy ingin menutup pintu kamar, rintihan Sheilla terdengar. Maka dari itu dia mengurungkan niat lalu menghampiri Sheilla yang sudah terbalut selimut tebal. Tanpa perlu penjelasan Daisy tahu rasanya menjadi Sheilla saat ini. Semua akan terasa serba tidak enak.Daisy duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur mengusap kening Sheilla yang dipenuhi keringat. Suhu ruangan dingin, tetapi tidak berlaku untuk tubuh Sheilla."Mama, kenapa sakit sekali? Apa malam ini aku akan melahirkan? Benar-benar sakit!" Sheilla kembali berujar dengan suara gemetar. Kedua tangan di dalam selimut terkepal kuat merasakan sakit di perutnya.Daisy menggeleng seraya menjawab, "belum, belum waktunya kamu lahiran. Itu namanya kontraksi palsu, dan memang sering dan akan tetap terjadi sampai persalinan tiba. Tapi kalau memang sakitnya tidak bisa kamu tahan, kita bisa ke rumah sakit untuk priksa dan jaga-jaga. Tapi kalau kata Mama ya kontraksi palsu, dan pasti tidak perlu masuk rumah sakit