“Hal remeh seperti itu harus saya yang turun tangan? Lalu gunanya kamu menjadi sekretaris plus asisten gunanya apa? Belum ada satu hari saya absen dari kantor, apalagi sampai sebulan?”Tepat di ambang pintu langkah kaki Sheilla terhenti. Pintu memang sudah terbuka sedikit, akan tetapi saat mendengar suara itu Sheilla memilih diam sejenak. Nada marah serta sedikit bentakan itu memang bukan ditunjukan untuk dirinya, tetapi Sheilla bisa menyimpulkan jika lawan bicara suaminya adalah Victor.Saat ini Sheilla memang merasa jika tubuhnya sudah lebih enak, maka dari itu dia bisa bangkit dari tempat tidur menuju ruang kerja Mathew.“Saya tidak mau tahu, kamu wajib selesaikan semuanya. Saya tidak bisa ke kantor apapun alasannya, karna Sheilla masih sakit.”Mendengar itu senyum Sheilla tanpa sadar terbit. Tidak perduli suaminya masih asik menelepon, Sheilla kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruang kerja Mathew. Kedua tangan wanita itu terlipat di dada, langkahnya memelan, tatapannya
“Kata Mama, di bawah ada Mamahmu.”“Apa baru datang?”“Pesan dua jam yang lalu, baru aku lihat.”“HAH?!”Mendengar pekikan itu tubuh Mathew berputar. Apa kata-katanya ada yang salah? Padahal yang dikatakan tadi memang menar adanya. Terlebih setelah permainan panas, Mathew tak langsung menyentuh ponsel. Walaupun banyak deretan pesan masuk, pesan dari Elena lah yang teratas karena dia pin-kan.Ditatap balik sang suami Sheilla hanya bisa menerjapkan matanya. Daisy datang memang bukan masalah besar, yang membuat Sheilla tercengang adalah … apa betul dirinya menghabiskan waktu dua jam di dalam ruangan ini? Kalau Elena sampai mengirim pesan, itu tandanya sang mertua tahu dia di dalam ruang kerja Mathew selama ini.Saat ini Sheilla memang masih beristirahat di sofa, sedangkan Mathew bersih-bersih bahkan tampak fresh.“Kau tidak sadar kalau kita bermain selama ini, ya?” tanya Mathew. Kedua alisnya terangkat, senyum penuh godaannya dia layangkan pada sang istri.Bukan lagi tersipu, Sheilla me
Sudah beberapa minggu berlalu pasca terror, kehidupan Sheilla kini dihantui rasa takut. Pasalnya, terror itu bukan hanya sekali, melainkan beberapa kali bahkan yang terakhir dua hari lalu. Targetnya masih sama, yaitu dirinya. Walaupun sudah sejauh ini, tetapi Mathew belum pernah memberikan jawaban sesuai keinginannya.Akibat terror itupula, kini di depan rumah banyak sekali yang menjaga. Bukan hanya itu, ke manapun Sheilla melangkah pasti ada Steven dan George bahkan tak jarang Arvel atau Calvin. Hal itu tentu membuat Sheilla sedikit stress akhir-akhir ini.“Sudah tahu situasi lagi tdak kondusif, lalu ke luar Cuma buat duduk di taman? Tidak berguna.”Lamunan Sheilla buyar. Pagi ini memang dia sedang berada di taman untuk sekedar berjalan. Awalnya Sheilla mengurungkan niat saat tahu yang mengantar adalah Arvel. Iya, Arvel, musuh bebuyutan Sheilla. Saat ini mereka hanya berdua, lebih dari itu Mathew teramat mempercayai pria menyebalkan itu.Sekilas Sheilla menoleh ke arah samping, arah
“Kau mau membawaku ke mana?”“Ke mana saja kau mau. Jadi, kau bisa sebut mau ke mana dan aku dengan senang hati mengantar.”“Kalau begitu putar balik mobilmu, kita ke kantor Mathew lagi.”“Oh, jelas, kalau itu tidak bisa.”Mendengar jawaban itu Freya menghembuskan napas kasarnya. Ada rasa ingin memukul plus menendang, namun Freya sadar kalau hal itu akan percuma. Lagipula entah mimpi apa dia semalam kalau hari ini akan bertemu Calvin. Karena sejak dulu, Freya memang menghindari pria di sampingnya.“Jadi, kita mau ke mana?”“AKU INGIN BERTEMU MATHEW, CALVIN!” sentak Freya dengan nada super tingginya. Teriakan melengking itu sontak membuat Calvin meringis sambil mengusap-usap telinganya.Beberapa saat keadaan hening karena Calvin tidak langsung menjawab. Pria itu memili
Berbagai usaha untuk meloloskan diri dari rumah sudah Sheilla upayakan. Akan tetapi, semuanya tetap sia-sia karena Sheilla harus berhadapan dengan lebih dari lima orang. Alhasil, mau tidak mau Sheilla pada akhirnya terkurung di dalam kamar. Dari jendela Sheilla melihat beberapa pria menjaga gerbang, bahkan ada yang terus memantau dirinya dari bawah.Sampai saat ini Sheilla masih penasaran dengan pesan tadi. Tidak ada nama pengirim, tetapi saat ditelepon nomernya tidak aktif. Sangat tidak mungkin kalau itu salah sambung karena sudah menyebutkan nama Mathew. Rasa gelisah Sheilla semakin menjadi-jadi, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada suaminya itu?Berubung otakknya sudah buntu, Sheilla memilih merebahkan tubuhnya di atas Kasur. Semakin bertambah usia kandungan, rasa lelah mulai menghampiri dengan intens. Lagi-lagi Sheilla tidak bisa membayangkan kalau sudah memasuki tujuh bulan.“Oh, ayolah, di mana ayah kalian?&r
“Jangan bilang kau benar-benar menaruh hati sama Maurena? Hey, aku bukan orang bodoh, aku ini sahabatmu. Jadi, gerak-gerikmu sudah kuhapal.” “Sahabat bodoh lebih tepatnya. Sudahlah, apa tidak ada pembahasan lain selain ini? Pembahasan yang lebih bermanfaat tentunya.” Calvin menggeleng dengan wajah polosnya. Walaupun memang benar pembahasan ini tidak penting, tetapi tetap saja bagi Calvin ini penting! Mau bagimanapun menyangkut kehidupan sahabatnya. Mata yang sudah sipit semakin menyipit saat Calvin memicingkan kedua matanya menatap Arvel. Susah sekali memang menebak tembok di sampingnya. “Aku pikIr tipemu sekelas Freya.” “Berisik!” “Tapi tidak salah, Maurena tetap cantik dan … seksi.” Arvel menoleh, menatap tajam Calvin. “Kau! Kau seharusnya juga mati seperti Nicholas dan hancur seperti Xavier!” Tawa Calvin tidak bisa lagi ditahan mendengar sahutan dari Arvel. Lama-lama pria di sampingnya mirip sekali anak TK yang merajuk minta gulali pada ibunya. Mendengar nama Nicholas dan jug
‘Semua selesai. Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang?’ “Urus sesuka hatimu. Tetap ingat jangan tinggalkan jejak sedikitpun.” Read. Seulas senyuman terbit di sudut bibir Mathew. Sheilla yang sejak tadi berdiri di depan cermin tak sengaja melihat itu sampai menyeritkan kening. Dalam rangka apa suaminya tersenyum sehabis membuka ponsel? Tubuh Sheilla berputar, kedua tangannya berdecak pinggang sambil terus melempar tatapan pada Mathew. “Wanita mana yang sukses menggodamu sampai tersenyum seperti itu?” Sadar pertanyaan itu ditunjukan untuk dirinya Mathew pun mengangkat kepalanya menatap Sheilla. Tatapan keduanya beradu, namun tak membuat Mathew memberikan klarifikasi. Sejujurnya Mathew enggan memberi tahu kabar ini pada Sheilla. Selain bukan ranahnya, Mathew juga tidak mau kalau Sheilla semakin berfikiran buruk. “Oh, tidak berani jawab rupanya. Okay, okay, tidak masalah.” “Untuk apa aku tergoda dengan teks kalau di depan mata ada yang lebih menantang dan mudah digapai?” Saat t
“Jika kau mau, aku akan temani. Kau ada di bawah tanganku, jadi aman,” tawar Arvel.Raut kaget menghiasi wajah cantik Maurena. Memastikan jika telinganya tidak salah mendengar, wanita itu sampai mengesampingkan rambut panjangnya. “Tadi … tadi kau bilang apa?”“Aku mau menemanimu menemui Mathew, Maurena. Jangan terlalu pede, ini semua aku lakukan untuk kedamaian hidup Mathew yang notabenya sahabatku. Jadi, kapan kau mau meluangkan waktu? Atau sekarang saja? Hari ini dia tidak ke kantor, otomatis ada di rumah.”“Eh?”Tubuh tegap Mathew merunduk, mendekatkan wajahnya ke arah Maurena. Susah sekali memang bicara baik-baik dengan manusia modelan Maurena. Baik salah, kasar lebih salah. Jarak wajah keduanya yang sangat dekat membuat Maurena salah tingkah. Saking salah tingkahnya dia ingin sekali menampar pipi Arvel dengan keras.&ldq