Sudah beberapa minggu berlalu pasca terror, kehidupan Sheilla kini dihantui rasa takut. Pasalnya, terror itu bukan hanya sekali, melainkan beberapa kali bahkan yang terakhir dua hari lalu. Targetnya masih sama, yaitu dirinya. Walaupun sudah sejauh ini, tetapi Mathew belum pernah memberikan jawaban sesuai keinginannya.Akibat terror itupula, kini di depan rumah banyak sekali yang menjaga. Bukan hanya itu, ke manapun Sheilla melangkah pasti ada Steven dan George bahkan tak jarang Arvel atau Calvin. Hal itu tentu membuat Sheilla sedikit stress akhir-akhir ini.“Sudah tahu situasi lagi tdak kondusif, lalu ke luar Cuma buat duduk di taman? Tidak berguna.”Lamunan Sheilla buyar. Pagi ini memang dia sedang berada di taman untuk sekedar berjalan. Awalnya Sheilla mengurungkan niat saat tahu yang mengantar adalah Arvel. Iya, Arvel, musuh bebuyutan Sheilla. Saat ini mereka hanya berdua, lebih dari itu Mathew teramat mempercayai pria menyebalkan itu.Sekilas Sheilla menoleh ke arah samping, arah
“Kau mau membawaku ke mana?”“Ke mana saja kau mau. Jadi, kau bisa sebut mau ke mana dan aku dengan senang hati mengantar.”“Kalau begitu putar balik mobilmu, kita ke kantor Mathew lagi.”“Oh, jelas, kalau itu tidak bisa.”Mendengar jawaban itu Freya menghembuskan napas kasarnya. Ada rasa ingin memukul plus menendang, namun Freya sadar kalau hal itu akan percuma. Lagipula entah mimpi apa dia semalam kalau hari ini akan bertemu Calvin. Karena sejak dulu, Freya memang menghindari pria di sampingnya.“Jadi, kita mau ke mana?”“AKU INGIN BERTEMU MATHEW, CALVIN!” sentak Freya dengan nada super tingginya. Teriakan melengking itu sontak membuat Calvin meringis sambil mengusap-usap telinganya.Beberapa saat keadaan hening karena Calvin tidak langsung menjawab. Pria itu memili
Berbagai usaha untuk meloloskan diri dari rumah sudah Sheilla upayakan. Akan tetapi, semuanya tetap sia-sia karena Sheilla harus berhadapan dengan lebih dari lima orang. Alhasil, mau tidak mau Sheilla pada akhirnya terkurung di dalam kamar. Dari jendela Sheilla melihat beberapa pria menjaga gerbang, bahkan ada yang terus memantau dirinya dari bawah.Sampai saat ini Sheilla masih penasaran dengan pesan tadi. Tidak ada nama pengirim, tetapi saat ditelepon nomernya tidak aktif. Sangat tidak mungkin kalau itu salah sambung karena sudah menyebutkan nama Mathew. Rasa gelisah Sheilla semakin menjadi-jadi, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada suaminya itu?Berubung otakknya sudah buntu, Sheilla memilih merebahkan tubuhnya di atas Kasur. Semakin bertambah usia kandungan, rasa lelah mulai menghampiri dengan intens. Lagi-lagi Sheilla tidak bisa membayangkan kalau sudah memasuki tujuh bulan.“Oh, ayolah, di mana ayah kalian?&r
“Jangan bilang kau benar-benar menaruh hati sama Maurena? Hey, aku bukan orang bodoh, aku ini sahabatmu. Jadi, gerak-gerikmu sudah kuhapal.” “Sahabat bodoh lebih tepatnya. Sudahlah, apa tidak ada pembahasan lain selain ini? Pembahasan yang lebih bermanfaat tentunya.” Calvin menggeleng dengan wajah polosnya. Walaupun memang benar pembahasan ini tidak penting, tetapi tetap saja bagi Calvin ini penting! Mau bagimanapun menyangkut kehidupan sahabatnya. Mata yang sudah sipit semakin menyipit saat Calvin memicingkan kedua matanya menatap Arvel. Susah sekali memang menebak tembok di sampingnya. “Aku pikIr tipemu sekelas Freya.” “Berisik!” “Tapi tidak salah, Maurena tetap cantik dan … seksi.” Arvel menoleh, menatap tajam Calvin. “Kau! Kau seharusnya juga mati seperti Nicholas dan hancur seperti Xavier!” Tawa Calvin tidak bisa lagi ditahan mendengar sahutan dari Arvel. Lama-lama pria di sampingnya mirip sekali anak TK yang merajuk minta gulali pada ibunya. Mendengar nama Nicholas dan jug
‘Semua selesai. Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang?’ “Urus sesuka hatimu. Tetap ingat jangan tinggalkan jejak sedikitpun.” Read. Seulas senyuman terbit di sudut bibir Mathew. Sheilla yang sejak tadi berdiri di depan cermin tak sengaja melihat itu sampai menyeritkan kening. Dalam rangka apa suaminya tersenyum sehabis membuka ponsel? Tubuh Sheilla berputar, kedua tangannya berdecak pinggang sambil terus melempar tatapan pada Mathew. “Wanita mana yang sukses menggodamu sampai tersenyum seperti itu?” Sadar pertanyaan itu ditunjukan untuk dirinya Mathew pun mengangkat kepalanya menatap Sheilla. Tatapan keduanya beradu, namun tak membuat Mathew memberikan klarifikasi. Sejujurnya Mathew enggan memberi tahu kabar ini pada Sheilla. Selain bukan ranahnya, Mathew juga tidak mau kalau Sheilla semakin berfikiran buruk. “Oh, tidak berani jawab rupanya. Okay, okay, tidak masalah.” “Untuk apa aku tergoda dengan teks kalau di depan mata ada yang lebih menantang dan mudah digapai?” Saat t
“Jika kau mau, aku akan temani. Kau ada di bawah tanganku, jadi aman,” tawar Arvel.Raut kaget menghiasi wajah cantik Maurena. Memastikan jika telinganya tidak salah mendengar, wanita itu sampai mengesampingkan rambut panjangnya. “Tadi … tadi kau bilang apa?”“Aku mau menemanimu menemui Mathew, Maurena. Jangan terlalu pede, ini semua aku lakukan untuk kedamaian hidup Mathew yang notabenya sahabatku. Jadi, kapan kau mau meluangkan waktu? Atau sekarang saja? Hari ini dia tidak ke kantor, otomatis ada di rumah.”“Eh?”Tubuh tegap Mathew merunduk, mendekatkan wajahnya ke arah Maurena. Susah sekali memang bicara baik-baik dengan manusia modelan Maurena. Baik salah, kasar lebih salah. Jarak wajah keduanya yang sangat dekat membuat Maurena salah tingkah. Saking salah tingkahnya dia ingin sekali menampar pipi Arvel dengan keras.&ldq
“Oh, jadi ini yang dimaksud acara keluarga?”“Mathew? Kenapa kau ada di sini?”Sebelah alis Mathew terangkat. Apa katanya tadi? Satu langkah Mathew maju, mendekatkan dirinya pada meja. “Memangnya mall ini milikmu pribadi sampai aku tidak boleh menginjakkan kaki di sini? Sombong sekali.”Telak.Dalam hati Arvel berdecak kesal mendengarnya. Bangunan mall ini sangat luas, tetapi kenapa bisa-bisanya dia dipertemukan oleh Mathew. Bukan perkara takut atau apapun, hanya saja Arvel tak siap mendapat serangan menyebalkan dari sahabatnya itu. sedangkan Maurena, gadis itu memilih diam sambil menundukan kepala.Kesialan model apa lagi ini? Kenapa harus langsung bertemu keduanya?Tanpa meminta persetujuan apa lagi izin, Mathew menarik dua kursi untuknya dan juga Sheilla. Sebetulnya dia tidak mempermasalahkan apapun termasuk keboongan Ar
Acara shopping baju bayi sudah. Kini Mathew dan Sheilla sedang berada di salah satu kafe. Sebetulnya Mathew ingin langsung pulang karena Gavin mengirim beberapa pekerjaan, tetapi di jalan Sheilla meminta mampir. Kalau sudah wanita itu yang meminta, mana bisa Mathew menolak? Karena apapun keinginan Sheilla, sebisa mungkin Mathew akan menuruti.Selagi menunggu pesanan datang tangan Sheilla asik memainkan rambut Mathew karena pria itu merebahkan kepala di pundaknya. Tidak biasa memang, bahkan Sheilla sempat terkejut. Tetapi setelah beberapa detik dia mulai terbiasa dan membiarkan saja. Toh kondisi kafe sedang sepi, sekalipun ramai tidak ada yang perduli.Satu tangan boleh memainkan tangan, tetapi tangan lainnya asik bermain ponsel. Menyadari beberapa saat tidak ada percakapan Sheilla pun meletakkan ponselnya di atas meja. Sekilas dia melirik Mathew sampai memiringkan wajah agar bisa melihat jelas.“Kenapa? Aku masih h