“Oh, jadi ini yang dimaksud acara keluarga?”
“Mathew? Kenapa kau ada di sini?”
Sebelah alis Mathew terangkat. Apa katanya tadi? Satu langkah Mathew maju, mendekatkan dirinya pada meja. “Memangnya mall ini milikmu pribadi sampai aku tidak boleh menginjakkan kaki di sini? Sombong sekali.”
Telak.
Dalam hati Arvel berdecak kesal mendengarnya. Bangunan mall ini sangat luas, tetapi kenapa bisa-bisanya dia dipertemukan oleh Mathew. Bukan perkara takut atau apapun, hanya saja Arvel tak siap mendapat serangan menyebalkan dari sahabatnya itu. sedangkan Maurena, gadis itu memilih diam sambil menundukan kepala.
Kesialan model apa lagi ini? Kenapa harus langsung bertemu keduanya?
Tanpa meminta persetujuan apa lagi izin, Mathew menarik dua kursi untuknya dan juga Sheilla. Sebetulnya dia tidak mempermasalahkan apapun termasuk keboongan Ar
Acara shopping baju bayi sudah. Kini Mathew dan Sheilla sedang berada di salah satu kafe. Sebetulnya Mathew ingin langsung pulang karena Gavin mengirim beberapa pekerjaan, tetapi di jalan Sheilla meminta mampir. Kalau sudah wanita itu yang meminta, mana bisa Mathew menolak? Karena apapun keinginan Sheilla, sebisa mungkin Mathew akan menuruti.Selagi menunggu pesanan datang tangan Sheilla asik memainkan rambut Mathew karena pria itu merebahkan kepala di pundaknya. Tidak biasa memang, bahkan Sheilla sempat terkejut. Tetapi setelah beberapa detik dia mulai terbiasa dan membiarkan saja. Toh kondisi kafe sedang sepi, sekalipun ramai tidak ada yang perduli.Satu tangan boleh memainkan tangan, tetapi tangan lainnya asik bermain ponsel. Menyadari beberapa saat tidak ada percakapan Sheilla pun meletakkan ponselnya di atas meja. Sekilas dia melirik Mathew sampai memiringkan wajah agar bisa melihat jelas.“Kenapa? Aku masih h
“Biasakan kalau datang bertamu ke rumah orang itu yang sopan, jangan seperti orang tidak berpendidikan.” “Cih! Memangnya kau berpendidikan? Biasakan berkaca sebelum bicara! Menyingkir, aku ingin masuk!” Sheilla menghembuskan napasnya kasar. Sejak tadi dia berusaha sabar, sopan, kalem, tetapi wanita di depannya sangat mirip ular yang halal untuk dipukul. Sheilla berdecak pinggang, tubuhnya sama sekali tidak merubah posisi berdirinya. Lagipula mau apa wanita itu masuk ke dalam rumahnya tanpa ada keperluan jelas? Freya menghentakkan kakinya kesal. Saking gemasnya dia menarik tangan Sheilla agar menyingkir dari depan pintu. Hari ini Freya sedang malas berdebat, dia hanya ingin menemui Mathew karena satu minggu belakangan ini mereka memang tidak bertemu dan berkomunikasi. Tarikan Freya membuat tubuh Sheilla bergeser. Namun saat wanita itu akan masuk, dengan cepat tangannya menarik rambut panjang Freya yang terurai indah. Freya berteriak kesakitan sedangkan tanpa rasa bersalahnya Sheilla
Mendengar suara pintu terbuka kedua mata yang awalnya terbuka refleks menutup. Tidak ada lagi pergerakan, Sheilla diam layaknya orang tertidur pulas. Selain suara pintu, wangi parfum seketika memenuhi isi kamar. Sheilla tahu, Sheilla apal. Itu adalah parfum milik Mathew. Ah, memangnya jam berapa ini? Kenapa pria itu sudah pulang?Atau … kepulangannya ingin mencari Freya?“Kau tidur?” Mathew duduk di tepi ranjang, tangannya terulur mengusap pipi Sheilla lembut.Tidak ada jawaban dan reaksi. Mathew terus menatap wajah dan tubuh Sheilla secara keseluruhan. Mathew tidak lagi mengeluarkan suara, dia memilih merunduk lalu mengecup pipi Sheilla. Setelah itu Mathew bangkit berdiri, kembali ke luar dari kamar.Dalam hati sebetulnya Mathew tidak yakin kalau Sheilla benar-benar tidur. Akan tetapi, biarlah, Mathew tidak ingin mengganggu waktu istirahatnya. Satu per satu anak tangga kembali Mat
Sesuai dengan ajakan Mathew tadi, kini pasangan suami istri itu sudah tiba di salah satu restoran yang sudah disiapkan. Selama diperjalanan dari rumah menuju restoran Sheilla tak enti-hentinya bertanya tetntang apa penawaran yang akan suaminya itu berikan. Akan tetapi, selama diperjalanan itu pula Mathew tidak menjawab bahkan spoiler pun tidak ada.Sempat kesal, namun Sheilla berusaha untuk sabar.Saat memasuki restoran Sheilla dibuat terdiam karena suasana yang sepi tidak seperti restoran pada umumnya. Sejenak Sheilla mengentikan langkah, tangannya menarik lengan Mathew agar pria di sampingnya ikut berhenti. Tarikan Sheilla itu membuat Mathew menoleh menatap Sheilla.“Apa kau benar-benar tidak salah tempat, Math? Apa restoran ini buka?” tanya Sheilla sambil melihat keseliling. Memang ada beberapa pelayan, hanya saja tidak ada pengunjung selain mereka berdua.Tanpa ragu Mathew mengangguk
Menjalani hari-hari sebagai ibu hamil memang tidak pernah mudah. Walaupun sesekali mengeluh, menangis, tetapi jika difikir ulang semua hal itu tidak akan bisa mengubah apapun. maka dari itu, karena kebetulan Sheilla berada dalam lingkaran ibu hamil, dia merasakan semuanya. Sheilla memang menjalani kehamilannya sendiri, membawa perut sendiri. Tetapi di sampingnya selalu ada suami, dan kedua ibunya.Bersyukur? Tentu saja Sheilla bersyukur dalam hal itu.Saat ini usia kehamilan Sheilla genap memasuki usia delapan bulan, trimester ketiga, tahap dan perjalanan akhir dia akan mengandung. Kemarin ditemani Mathew dan juga Elena dia melakukan kontrol yang kesekian. Semua Nampak lega dan Bahagia mendengar kabar dari dokter jika kedua bayi di dalam kandungannya berkembang sangat baik. Hanya saja saat kontrol kemarin Sheilla mendapat wanti-wanti dari sang dokter karena tekanan darah yang lumayan tinggi.Tentu itu semua bukan t
“Aunty, di dalam sana pasti ada adik bayi, ya? Aunty cantik sekali.”Mendengar pujian itu Sheilla tersipu malu. Pasalnya pujian itu bukan berasal ari mulut Mathew tetapi dari seorang gadis kecil kisaran umur lima tahun. Entah bagaimana asalnya, saat dia sedang duduk istrirahat tiba-tiba saja anak itu datang sambil berlari. Wajahnya sangat ceria dan berseri membuat siapapun yang melihat akan ikut tersenyum.“Aku juga mau punya adik karna mamahku perutnya besar seperti Aunty. Kata mamah, di dalam perutnya ada adikku.”“Oh, ya? Di mana orang tuamu?”Gadis kecil berambut panjang itu menunjuk ke arah kanan. Suasana taman memang cukup ramai mengingat ini hari minggu. Kedua mata Sheilla menyipit mengikuti arah tunjuk anak tersebut. Walaupun tidak tahu pasti yang mana Sheilla tetap mengangguk mengiyakan.“Namamu siapa?” tanya Sheilla. Kedat
“Yakin bukan anakmu? Sebelum membantah coba kau ingat-ingat wanita mana yang kau pakai dan tentu … dijanjikan olehmu.”Mendengar perkataan dari mulut Arvel kening Mathew menyerit. Apa telinganya tidak salah mendengar sahabatnya bicara seperti itu? memang tidak sepenuhnya bisa disalahkan mengingat history hidupnya dulu, tetapi setelah mengenal sosok Sheilla jelas Mathew tidak pernah merasa mengundang wanita lain untuk melayani nafsunya.Terasa janggal, itulah yang ada di dalam benak Mathew saat ini.Malam ini Mathew cukup pusing setelah tadi pagi mengalami kejadian di laur nalar baginya. Sampai detik ini juga Mathew masih bertanya-tanya, bayi siapa yang berada di rumahnya?“Jawab, kenapa kau diam? Kau bilang dalam surat itu bayinya berusia dua bulan? Jika difikir secara logika, dalam kurun waktu dia hamil, itu kau sudah menikah dengan Sheilla. Dan satu lagi, kau melakukannya sebelum menikah. Masuk akal.” Arvel kembali berujar dengan santai. Apapun perkiraan yang ada di dalam kepalanya
"Tubuhmu panas sekali, mau ke rumah sakit?""Jangan dibiarkan karna saat ini ada dua janin yang sedang berusaha hidup di rahimmu, Sheilla."Sheilla menoleh, menatap sendu wanita yang kini duduk tepat di sampingnya. Bukan Elena, melainkan Daisy. Wanita itu baru datang karena permintaan Sheilla kepada Elena. Kedatangan Daisy tentu membuat wanita itu tahu jika di rumah ini ada seorang bayi. Sama seperti Sheilla, reaksi pertama Daisy sangat syok."Ekspektasi dalam kehidupanku selalu ketinggian ya, Mah? Dulu aku berharap punya keluarga sempurna, tapi semua patah. Sekarang, saat aku bertemu pria yang bisa menjadi segalanya, lagi-lagi ekspektasi aku dipahatin oleh keadaan. Aku tidak menyalahkan bayi itu, justru aku kesal dengan diri sendiri dan kehidupan."Mendengar pengakuan Sheilla hati Daisy seakan tercubit. Daisy akui putrinya memang bisa tertawa saat bersama Mathew. Dalam situasi ini tentu sebagai seorang ibu Daisy marah dan ... kecewa. Bagaimana tidak, pria yang sejak awal Daisy anggap