“Aunty, di dalam sana pasti ada adik bayi, ya? Aunty cantik sekali.”
Mendengar pujian itu Sheilla tersipu malu. Pasalnya pujian itu bukan berasal ari mulut Mathew tetapi dari seorang gadis kecil kisaran umur lima tahun. Entah bagaimana asalnya, saat dia sedang duduk istrirahat tiba-tiba saja anak itu datang sambil berlari. Wajahnya sangat ceria dan berseri membuat siapapun yang melihat akan ikut tersenyum.
“Aku juga mau punya adik karna mamahku perutnya besar seperti Aunty. Kata mamah, di dalam perutnya ada adikku.”
“Oh, ya? Di mana orang tuamu?”
Gadis kecil berambut panjang itu menunjuk ke arah kanan. Suasana taman memang cukup ramai mengingat ini hari minggu. Kedua mata Sheilla menyipit mengikuti arah tunjuk anak tersebut. Walaupun tidak tahu pasti yang mana Sheilla tetap mengangguk mengiyakan.
“Namamu siapa?” tanya Sheilla. Kedat
“Yakin bukan anakmu? Sebelum membantah coba kau ingat-ingat wanita mana yang kau pakai dan tentu … dijanjikan olehmu.”Mendengar perkataan dari mulut Arvel kening Mathew menyerit. Apa telinganya tidak salah mendengar sahabatnya bicara seperti itu? memang tidak sepenuhnya bisa disalahkan mengingat history hidupnya dulu, tetapi setelah mengenal sosok Sheilla jelas Mathew tidak pernah merasa mengundang wanita lain untuk melayani nafsunya.Terasa janggal, itulah yang ada di dalam benak Mathew saat ini.Malam ini Mathew cukup pusing setelah tadi pagi mengalami kejadian di laur nalar baginya. Sampai detik ini juga Mathew masih bertanya-tanya, bayi siapa yang berada di rumahnya?“Jawab, kenapa kau diam? Kau bilang dalam surat itu bayinya berusia dua bulan? Jika difikir secara logika, dalam kurun waktu dia hamil, itu kau sudah menikah dengan Sheilla. Dan satu lagi, kau melakukannya sebelum menikah. Masuk akal.” Arvel kembali berujar dengan santai. Apapun perkiraan yang ada di dalam kepalanya
"Tubuhmu panas sekali, mau ke rumah sakit?""Jangan dibiarkan karna saat ini ada dua janin yang sedang berusaha hidup di rahimmu, Sheilla."Sheilla menoleh, menatap sendu wanita yang kini duduk tepat di sampingnya. Bukan Elena, melainkan Daisy. Wanita itu baru datang karena permintaan Sheilla kepada Elena. Kedatangan Daisy tentu membuat wanita itu tahu jika di rumah ini ada seorang bayi. Sama seperti Sheilla, reaksi pertama Daisy sangat syok."Ekspektasi dalam kehidupanku selalu ketinggian ya, Mah? Dulu aku berharap punya keluarga sempurna, tapi semua patah. Sekarang, saat aku bertemu pria yang bisa menjadi segalanya, lagi-lagi ekspektasi aku dipahatin oleh keadaan. Aku tidak menyalahkan bayi itu, justru aku kesal dengan diri sendiri dan kehidupan."Mendengar pengakuan Sheilla hati Daisy seakan tercubit. Daisy akui putrinya memang bisa tertawa saat bersama Mathew. Dalam situasi ini tentu sebagai seorang ibu Daisy marah dan ... kecewa. Bagaimana tidak, pria yang sejak awal Daisy anggap
"Nelangsa banget nasib ibu hamil ini. Udah berapa hari ditinggal suami, Non? Tapi herannya masih bisa ketawa.""Aneh."Ejekan demi ejekan terus terlontar. Akan tetapi Sheilla tidak memperdulikan bahkan tidak membalas. Alih-alih menyahut, kalau sudah kepalang kesal, bantal yang akan melayang indah. Sheilla mendelik tajam, sang lawan bicara hanya terkekeh.Untung teman, jadi tidak ada kata baper di dalam hati Sheilla."Chelsea, kamu hari ini free atau ada kelas?" tanya seseorang dari ambang pintu."Hari ini aku libur, Tante. Ada apa memang?""Tante ada meeting di luar. Tidak lama, paling dua jam setelah itu pulang lagi. Tante titip Sheilla ya? Kalian kalau mau mau makan sudah ada di meja, makan saja."Chelsea mengangguk mengiyakan permintaan Daisy. Setelah berpamitan Daisy bergegas pergi dari dalam kamar. Semenjak Sheilla menginap pekerjaan Daisy memang banyak terpending karena dia mau mengurus sampai putrinya sembuh. Lebih dari itu, Daisy tidak merasa terbebani, justru bahagia.Setelah
"Aku ... aku tidak salah melihat, 'kan?""Ini benar-benar Ayah?"Masih dengan perasaan bingung tangan Sheilla terulur. Sedikit gemetar, tetapi jari telunjuknya mencoba menyentuh pelan pipi wajah pria di depannya.Terasa dan nyata.Ini bukan mimpi.Sheilla kembali menarik tangannya. Tatapannya kini beralih ke arah samping, arah di mana Daisy duduk. Tatapan keduanya beradu karena ternyata sejak tadi Daisy menyaksikan gerak-gerik interaksi keduanya. Sejauh ini tidak ada yang aneh, namun Daisy harus tetap waspada."Ayah mau menemuiku lagi? Bukankah Ayah pernah bilang, kalau aku ke luar dari rumah, aku bukan ... anak Ayah lagi.""Sayangnya darahku mengalir di dalam tubuhmu."Sheilla terkesingkap mendengar jawaban Alexander. Selain tutur kata yang sopan, nada bicara pria itu juga sangat ramah di telinga Sheilla. Mendapat kebahagiaan kecil seperti ini saja hatinya sudah porak-poranda. Apa ini jawaban atas doa-doanya?Alexander bangkit dari duduknya. Bukan pergi, pria itu berpindah duduk di s
"Mama, perut aku sakit."Baru Daisy ingin menutup pintu kamar, rintihan Sheilla terdengar. Maka dari itu dia mengurungkan niat lalu menghampiri Sheilla yang sudah terbalut selimut tebal. Tanpa perlu penjelasan Daisy tahu rasanya menjadi Sheilla saat ini. Semua akan terasa serba tidak enak.Daisy duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur mengusap kening Sheilla yang dipenuhi keringat. Suhu ruangan dingin, tetapi tidak berlaku untuk tubuh Sheilla."Mama, kenapa sakit sekali? Apa malam ini aku akan melahirkan? Benar-benar sakit!" Sheilla kembali berujar dengan suara gemetar. Kedua tangan di dalam selimut terkepal kuat merasakan sakit di perutnya.Daisy menggeleng seraya menjawab, "belum, belum waktunya kamu lahiran. Itu namanya kontraksi palsu, dan memang sering dan akan tetap terjadi sampai persalinan tiba. Tapi kalau memang sakitnya tidak bisa kamu tahan, kita bisa ke rumah sakit untuk priksa dan jaga-jaga. Tapi kalau kata Mama ya kontraksi palsu, dan pasti tidak perlu masuk rumah sakit
"Kapan hasil tes DNA-nya keluar, Math?""Kemungkinan 2 hari lagi, Mah. Selagi nunggu, aku sedang menyelidiki siapa dalang dari semua kekisruhan ini. Aku ingin semua cepat terungkap agar bisa menjemput Sheilla. Karna tidak lama lagi dia akan melahirkan."Elena mengangguk. Dia paham apa maksud perkataan putranya itu. Memang sudah dua minggu lebih menantunya pergi dari rumah ini. Dan selama itu juga Mathew tidak tinggal diam. Hanya saja bukti yang pria itu dapat belum sepenuhnya."Mama doakan apapun langkah yang sedang kamu jalani saat ini. Pesan Mama hanya satu, Math, jaga dirimu baik-baik. Sebisa mungkin hindari apapun yang akan membahayakan dirimu. Ingat, tugasmu sekarang membawa Sheilla pulang." Tangan Elena terulur mengusap lembut punggung putranya.Tidak mau munafik, Elena sangat kagum melihat bagaimana putranya menyelesaikan masalah. Pria itu tidak gegabah, tetapi melakukannya secara struktur. Dan itu membuat Elena teringat dengan ... Hannon–mantan suaminya. Dari sisi manapun kedu
“Apa kau benar-benar sudah lupa denganku? Hufft, menyedihkan sekali hidupmu, Sheilla.” Tanpa menghentikan acara nyemil Sheilla manatap laptop di depannya. Entah dari mana asalnya, yang jelas kini sebuah berita terpampang nyata di matanya. Awalnya Sheilla ingin melewati berita tersebut, tetapi saat tidak sengaja membuka isinya Sheilla terdiam dengan isi otak yang bercabang. “Sangat serasi,” guman Sheilla melihat beberapa foto di depannya. Bukan lagi menonton drama apalagi melihat foto artis. Akan tetapi, yang sedang Sheilla lihat adalah berita berisikan nama serta foto Mathew dengan Freya. Berita itu memang memuat soal pekerjaan mereka, tetapi tetap saja Sheilla merasa ada yang aneh dengan hatinya saat ini. Apakah … ini cemburu? Sheilla sadar sudah cukup lama dia menutup diri dan juga komunikasi dengan Mathew. Tapi dibalik itu, hubungan Sheilla dengan sang ayah mulai dekat. Saking dekatnya Sheilla beberapa kali sempat menginap walaupun endingnya dijemput paksa oleh Daisy. Entah dal
“Sialan!”BRAK!Umpatan yang dibarengi gebrakan meja membuat Arvel dan juga Calvin terlonjak kaget. Boleh saja keduanya kaget, pasalnya mereka sedang fokus menatap layar laptop yang menampilkan beberapa video. Calvin melirik Arvel, pria itu yang tahu kode sang sahabat langsung mendelikkan bahu. Toh dia juga sama-sama tidak tahu.“Lagi-lagi mengibarkan bendera perang,” ujar Mathew lagi.Arvel beranjak dari kursi menghampiri Mathew. Tepukan kecil dia sematkan di pundak sahabatnya itu. “Ada apa lagi, Math? Semua hampir rampung, sabar sedikit apa tidak bisa?”Tanpa menjawab Mathew memberikan ponselnya kepada Arvel agar pria itu melihatnya sendiri. Sambil menunggu apa respon Arvel, Mathew menghabiskan minuman sodanya yang tinggal setengah. Rasa tidak sabar kini bersemayam di dalam hati Mathew. Ingin rasanya dia segera menutaskan masalah yang ada lalu membawa Sheilla ke dalam dekapannya.“Siapa yang menaikkan berita ini, Math? Kenapa bisa tercium media?” tanya Arvel tanpa mengalikan tatapan