Mendengar suara pintu terbuka kedua mata yang awalnya terbuka refleks menutup. Tidak ada lagi pergerakan, Sheilla diam layaknya orang tertidur pulas. Selain suara pintu, wangi parfum seketika memenuhi isi kamar. Sheilla tahu, Sheilla apal. Itu adalah parfum milik Mathew. Ah, memangnya jam berapa ini? Kenapa pria itu sudah pulang?Atau … kepulangannya ingin mencari Freya?“Kau tidur?” Mathew duduk di tepi ranjang, tangannya terulur mengusap pipi Sheilla lembut.Tidak ada jawaban dan reaksi. Mathew terus menatap wajah dan tubuh Sheilla secara keseluruhan. Mathew tidak lagi mengeluarkan suara, dia memilih merunduk lalu mengecup pipi Sheilla. Setelah itu Mathew bangkit berdiri, kembali ke luar dari kamar.Dalam hati sebetulnya Mathew tidak yakin kalau Sheilla benar-benar tidur. Akan tetapi, biarlah, Mathew tidak ingin mengganggu waktu istirahatnya. Satu per satu anak tangga kembali Mat
Sesuai dengan ajakan Mathew tadi, kini pasangan suami istri itu sudah tiba di salah satu restoran yang sudah disiapkan. Selama diperjalanan dari rumah menuju restoran Sheilla tak enti-hentinya bertanya tetntang apa penawaran yang akan suaminya itu berikan. Akan tetapi, selama diperjalanan itu pula Mathew tidak menjawab bahkan spoiler pun tidak ada.Sempat kesal, namun Sheilla berusaha untuk sabar.Saat memasuki restoran Sheilla dibuat terdiam karena suasana yang sepi tidak seperti restoran pada umumnya. Sejenak Sheilla mengentikan langkah, tangannya menarik lengan Mathew agar pria di sampingnya ikut berhenti. Tarikan Sheilla itu membuat Mathew menoleh menatap Sheilla.“Apa kau benar-benar tidak salah tempat, Math? Apa restoran ini buka?” tanya Sheilla sambil melihat keseliling. Memang ada beberapa pelayan, hanya saja tidak ada pengunjung selain mereka berdua.Tanpa ragu Mathew mengangguk
Menjalani hari-hari sebagai ibu hamil memang tidak pernah mudah. Walaupun sesekali mengeluh, menangis, tetapi jika difikir ulang semua hal itu tidak akan bisa mengubah apapun. maka dari itu, karena kebetulan Sheilla berada dalam lingkaran ibu hamil, dia merasakan semuanya. Sheilla memang menjalani kehamilannya sendiri, membawa perut sendiri. Tetapi di sampingnya selalu ada suami, dan kedua ibunya.Bersyukur? Tentu saja Sheilla bersyukur dalam hal itu.Saat ini usia kehamilan Sheilla genap memasuki usia delapan bulan, trimester ketiga, tahap dan perjalanan akhir dia akan mengandung. Kemarin ditemani Mathew dan juga Elena dia melakukan kontrol yang kesekian. Semua Nampak lega dan Bahagia mendengar kabar dari dokter jika kedua bayi di dalam kandungannya berkembang sangat baik. Hanya saja saat kontrol kemarin Sheilla mendapat wanti-wanti dari sang dokter karena tekanan darah yang lumayan tinggi.Tentu itu semua bukan t
“Aunty, di dalam sana pasti ada adik bayi, ya? Aunty cantik sekali.”Mendengar pujian itu Sheilla tersipu malu. Pasalnya pujian itu bukan berasal ari mulut Mathew tetapi dari seorang gadis kecil kisaran umur lima tahun. Entah bagaimana asalnya, saat dia sedang duduk istrirahat tiba-tiba saja anak itu datang sambil berlari. Wajahnya sangat ceria dan berseri membuat siapapun yang melihat akan ikut tersenyum.“Aku juga mau punya adik karna mamahku perutnya besar seperti Aunty. Kata mamah, di dalam perutnya ada adikku.”“Oh, ya? Di mana orang tuamu?”Gadis kecil berambut panjang itu menunjuk ke arah kanan. Suasana taman memang cukup ramai mengingat ini hari minggu. Kedua mata Sheilla menyipit mengikuti arah tunjuk anak tersebut. Walaupun tidak tahu pasti yang mana Sheilla tetap mengangguk mengiyakan.“Namamu siapa?” tanya Sheilla. Kedat
“Yakin bukan anakmu? Sebelum membantah coba kau ingat-ingat wanita mana yang kau pakai dan tentu … dijanjikan olehmu.”Mendengar perkataan dari mulut Arvel kening Mathew menyerit. Apa telinganya tidak salah mendengar sahabatnya bicara seperti itu? memang tidak sepenuhnya bisa disalahkan mengingat history hidupnya dulu, tetapi setelah mengenal sosok Sheilla jelas Mathew tidak pernah merasa mengundang wanita lain untuk melayani nafsunya.Terasa janggal, itulah yang ada di dalam benak Mathew saat ini.Malam ini Mathew cukup pusing setelah tadi pagi mengalami kejadian di laur nalar baginya. Sampai detik ini juga Mathew masih bertanya-tanya, bayi siapa yang berada di rumahnya?“Jawab, kenapa kau diam? Kau bilang dalam surat itu bayinya berusia dua bulan? Jika difikir secara logika, dalam kurun waktu dia hamil, itu kau sudah menikah dengan Sheilla. Dan satu lagi, kau melakukannya sebelum menikah. Masuk akal.” Arvel kembali berujar dengan santai. Apapun perkiraan yang ada di dalam kepalanya
"Tubuhmu panas sekali, mau ke rumah sakit?""Jangan dibiarkan karna saat ini ada dua janin yang sedang berusaha hidup di rahimmu, Sheilla."Sheilla menoleh, menatap sendu wanita yang kini duduk tepat di sampingnya. Bukan Elena, melainkan Daisy. Wanita itu baru datang karena permintaan Sheilla kepada Elena. Kedatangan Daisy tentu membuat wanita itu tahu jika di rumah ini ada seorang bayi. Sama seperti Sheilla, reaksi pertama Daisy sangat syok."Ekspektasi dalam kehidupanku selalu ketinggian ya, Mah? Dulu aku berharap punya keluarga sempurna, tapi semua patah. Sekarang, saat aku bertemu pria yang bisa menjadi segalanya, lagi-lagi ekspektasi aku dipahatin oleh keadaan. Aku tidak menyalahkan bayi itu, justru aku kesal dengan diri sendiri dan kehidupan."Mendengar pengakuan Sheilla hati Daisy seakan tercubit. Daisy akui putrinya memang bisa tertawa saat bersama Mathew. Dalam situasi ini tentu sebagai seorang ibu Daisy marah dan ... kecewa. Bagaimana tidak, pria yang sejak awal Daisy anggap
"Nelangsa banget nasib ibu hamil ini. Udah berapa hari ditinggal suami, Non? Tapi herannya masih bisa ketawa.""Aneh."Ejekan demi ejekan terus terlontar. Akan tetapi Sheilla tidak memperdulikan bahkan tidak membalas. Alih-alih menyahut, kalau sudah kepalang kesal, bantal yang akan melayang indah. Sheilla mendelik tajam, sang lawan bicara hanya terkekeh.Untung teman, jadi tidak ada kata baper di dalam hati Sheilla."Chelsea, kamu hari ini free atau ada kelas?" tanya seseorang dari ambang pintu."Hari ini aku libur, Tante. Ada apa memang?""Tante ada meeting di luar. Tidak lama, paling dua jam setelah itu pulang lagi. Tante titip Sheilla ya? Kalian kalau mau mau makan sudah ada di meja, makan saja."Chelsea mengangguk mengiyakan permintaan Daisy. Setelah berpamitan Daisy bergegas pergi dari dalam kamar. Semenjak Sheilla menginap pekerjaan Daisy memang banyak terpending karena dia mau mengurus sampai putrinya sembuh. Lebih dari itu, Daisy tidak merasa terbebani, justru bahagia.Setelah
"Aku ... aku tidak salah melihat, 'kan?""Ini benar-benar Ayah?"Masih dengan perasaan bingung tangan Sheilla terulur. Sedikit gemetar, tetapi jari telunjuknya mencoba menyentuh pelan pipi wajah pria di depannya.Terasa dan nyata.Ini bukan mimpi.Sheilla kembali menarik tangannya. Tatapannya kini beralih ke arah samping, arah di mana Daisy duduk. Tatapan keduanya beradu karena ternyata sejak tadi Daisy menyaksikan gerak-gerik interaksi keduanya. Sejauh ini tidak ada yang aneh, namun Daisy harus tetap waspada."Ayah mau menemuiku lagi? Bukankah Ayah pernah bilang, kalau aku ke luar dari rumah, aku bukan ... anak Ayah lagi.""Sayangnya darahku mengalir di dalam tubuhmu."Sheilla terkesingkap mendengar jawaban Alexander. Selain tutur kata yang sopan, nada bicara pria itu juga sangat ramah di telinga Sheilla. Mendapat kebahagiaan kecil seperti ini saja hatinya sudah porak-poranda. Apa ini jawaban atas doa-doanya?Alexander bangkit dari duduknya. Bukan pergi, pria itu berpindah duduk di s
"Menjauh dan pergi dari hadapan saya.""Kasih saya waktu untuk bic–""NOW!"Bentakan tak terbantahkan itu menggema di ruang tamu. Akan tetapi walaupun begitu nyali Mathew tidak menciut. Walaupun hatinya sangat berat untuk ke sini dan bertemu Alexander, semua ini Mathew lakukan demi Sheilla yang akan melahirkan sore hari ini."Sheilla, putri anda, dia akan melahirkan sore ini. Persalinan normalnya batal karena ada beberapa kendala, maka dari itu dia harus melakukan caesar demi keselamatannya dan juga kedua anak kami. Sheilla ingin dan berharap anda datang. Setidaknya temuilah dia sebentar," ujar Mathew dengan penuh kesabaran. Untuk saat ini dia harus menghilangkan keegoisannya.Mendengar permintaan Mathew barusan Alexander tertawa. Masih dengan tatapan remehnya dia menjawab, "putri? Apa telinga saya tidak salah mendengar? Sejak dia ke luar dari rumah ini, dia resmi bukan putri saya! Dia sendiri yang mengambil keputusan itu, dan dia pula yang harus bertanggung jawab."Masih keras kepala
Hari masih terbilang masih pagi. Bagaimana tidak, matahari belum sepenuhnya terbit menyinari bumi. Tapi seperti biasa, Sheilla sudah terbangun karena tidurnya tidak nyenyak. Bahkan semalam Sheilla hanya bisa tidur satu jam paling lama. Posisi tidur yang serba salah, perut sakit, semua beradu menjadi satu. Andai bisa berteriak, mungkin mulutnya sudah menyuarakan kata nyarah puluhan kali.Sheilla menghembuskan napasnya perlahan. Sebelum beranjak dari tempat tidur wanita itu mengamati wajah suaminya yang masih terlelap. Mathew terlihat sangat damai, semalam juga dia ditemani pria itu begadang karena tidak bisa tidur. Maka dari itu Sheilla tidak ada niat membangunkan, biarkan saja suaminya tidur. Tangan Sheilla terulur mengusap pipi Mathew."Maaf ya kalau selama ini aku selalu ngerepotin. Makasih kamu masih mau memperjuangkan aku. Aku sadar belum bisa jadi istri yang baik, tapi akan selalu aku usahakan. Begitupun nanti, aku akan belajar jadi ibu yang baik untuk anak kita," ujar Sheilla pe
Setelah tiga hari berada di rumah sakit kini Sheilla sudah diperbolehkan untuk pulang. Selama di rumah sakit, Mathew lah yang setia menunggu serta merawat dengan tulus. Sheilla sendiri sampai detik ini masih bingung. Bingung ingin merespon apa. Mathew memang tidak membahas apapun soal kejadian di rumah ayahnya, tetapi tetap saja ada yang mengganjal.Infusan sudah dilepas, baju sudah ganti, kini Sheilla tinggal menunggu Mathew yang sedang mengurus administrasi serta mengambil obat. Sheilla turun dari tempat tidur, kakinya melangkah menuju jendela. Dari atas Sheilla bisa melihat kendaraan berlalu-lalang."Sudah bukan waktunya berfikir soal masalah kemarin. Itu sudah berlalu, sekarang fikirkan saja anak kita. Kau akan segera melahirkan, jadi jangan banyak fikiran. Aku di sini, bersamamu, selamanya. Iya, selamanya. Sudah aku bilang, apapun yang sudah menjadi milikku akan kembali pada tuannya. Sudahlah, lupakan ayahmu."Tubuh Sheilla berputar, dia menatap pria yang kini berdiri tepat ri de
"Jadi maksudnya ... ini semua?"Rasa kaget kini menyelimuti hati Daisy. Bukan hanya Daisy, tetapi Elena juga. Keduanya baru saja mendengar rekaman dari ponsel Mathew. Dalam rekaman itu sangat jelas disebut kaau dalang dari kekisruhan ini adalah Alexander."Iya, mantan suami anda.""Math, kamu serius?" Elena meraih tangan Mathew, menunggu jawaban detail dari mulut putranya sendiri.Bukan lagi rekaman, kini Mathew mengeluarkan kertas dari dalam sakunya. Kertas itu dia berikan kepada Elena agar kedua wanita di dekatnya membuka sendiri tanpa perlu dia jelaskan. Mathew sudah teramat lelah dengan semua drama ini, ingin rasanya dia cepat-cepat mengakhiri."Tapi saat ini Sheilla sedang menginap di rumah ayahnya. Mathew, kamu bisa hari ini juga jemput Sheilla. Mama akan dampingi kamu untuk ke sana. Ternyata semuanya benar. Ini semua ulah Alexander." Daisy berdecak tidak percaya. Padahal selama sebulan kebelakangan dia sudah menilai beda mantan suaminya itu.Akan tetapi semua dugaan baik Daisy
“Alexander!”“Alexander siapa yang kau maksud? Di dunia ini banyak nama Alexander. Maka dar—”“Alexander Harrvad Watson! Dia yang menyuruh saya untuk melakukan ini semua. Dia juga yang menyuruh serta membayar kalau saya berhasil menaruh bayi itu di depan rumah anda. Sungguh, apa yang saya katakana benar adanya. Tuan Alexander juga yang menyuruh saya pergi dari kota ini sebelum anda mencari tahu.”Mendengar itu Mathew sempat terdiam sesaat. Bukan kaget, justru yang ada di dalam hati Mathew diisi oleh kemarahan. Ternyata dugaannya beberapa hari ini benar adanya. Awalnya Mathew mengira dalang dibalik ini semua adalah Freya, tapi setelah berfikir ulang kecurigaan Mathew tertuju pada Alexander. Dan sial, ternyata semua benar adanya.“Sialan!” umpat Mathew.Semua informasi yang dia tunggu-tunggu sudah didapat. Tanpa mengatakan apapun Mathew berdiri meninggalkan wanita yang masih tersungkur di lantai. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan dia papasan dengan Arvel. Hanya dengan saling tata
“Sialan!”BRAK!Umpatan yang dibarengi gebrakan meja membuat Arvel dan juga Calvin terlonjak kaget. Boleh saja keduanya kaget, pasalnya mereka sedang fokus menatap layar laptop yang menampilkan beberapa video. Calvin melirik Arvel, pria itu yang tahu kode sang sahabat langsung mendelikkan bahu. Toh dia juga sama-sama tidak tahu.“Lagi-lagi mengibarkan bendera perang,” ujar Mathew lagi.Arvel beranjak dari kursi menghampiri Mathew. Tepukan kecil dia sematkan di pundak sahabatnya itu. “Ada apa lagi, Math? Semua hampir rampung, sabar sedikit apa tidak bisa?”Tanpa menjawab Mathew memberikan ponselnya kepada Arvel agar pria itu melihatnya sendiri. Sambil menunggu apa respon Arvel, Mathew menghabiskan minuman sodanya yang tinggal setengah. Rasa tidak sabar kini bersemayam di dalam hati Mathew. Ingin rasanya dia segera menutaskan masalah yang ada lalu membawa Sheilla ke dalam dekapannya.“Siapa yang menaikkan berita ini, Math? Kenapa bisa tercium media?” tanya Arvel tanpa mengalikan tatapan
“Apa kau benar-benar sudah lupa denganku? Hufft, menyedihkan sekali hidupmu, Sheilla.” Tanpa menghentikan acara nyemil Sheilla manatap laptop di depannya. Entah dari mana asalnya, yang jelas kini sebuah berita terpampang nyata di matanya. Awalnya Sheilla ingin melewati berita tersebut, tetapi saat tidak sengaja membuka isinya Sheilla terdiam dengan isi otak yang bercabang. “Sangat serasi,” guman Sheilla melihat beberapa foto di depannya. Bukan lagi menonton drama apalagi melihat foto artis. Akan tetapi, yang sedang Sheilla lihat adalah berita berisikan nama serta foto Mathew dengan Freya. Berita itu memang memuat soal pekerjaan mereka, tetapi tetap saja Sheilla merasa ada yang aneh dengan hatinya saat ini. Apakah … ini cemburu? Sheilla sadar sudah cukup lama dia menutup diri dan juga komunikasi dengan Mathew. Tapi dibalik itu, hubungan Sheilla dengan sang ayah mulai dekat. Saking dekatnya Sheilla beberapa kali sempat menginap walaupun endingnya dijemput paksa oleh Daisy. Entah dal
"Kapan hasil tes DNA-nya keluar, Math?""Kemungkinan 2 hari lagi, Mah. Selagi nunggu, aku sedang menyelidiki siapa dalang dari semua kekisruhan ini. Aku ingin semua cepat terungkap agar bisa menjemput Sheilla. Karna tidak lama lagi dia akan melahirkan."Elena mengangguk. Dia paham apa maksud perkataan putranya itu. Memang sudah dua minggu lebih menantunya pergi dari rumah ini. Dan selama itu juga Mathew tidak tinggal diam. Hanya saja bukti yang pria itu dapat belum sepenuhnya."Mama doakan apapun langkah yang sedang kamu jalani saat ini. Pesan Mama hanya satu, Math, jaga dirimu baik-baik. Sebisa mungkin hindari apapun yang akan membahayakan dirimu. Ingat, tugasmu sekarang membawa Sheilla pulang." Tangan Elena terulur mengusap lembut punggung putranya.Tidak mau munafik, Elena sangat kagum melihat bagaimana putranya menyelesaikan masalah. Pria itu tidak gegabah, tetapi melakukannya secara struktur. Dan itu membuat Elena teringat dengan ... Hannon–mantan suaminya. Dari sisi manapun kedu
"Mama, perut aku sakit."Baru Daisy ingin menutup pintu kamar, rintihan Sheilla terdengar. Maka dari itu dia mengurungkan niat lalu menghampiri Sheilla yang sudah terbalut selimut tebal. Tanpa perlu penjelasan Daisy tahu rasanya menjadi Sheilla saat ini. Semua akan terasa serba tidak enak.Daisy duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur mengusap kening Sheilla yang dipenuhi keringat. Suhu ruangan dingin, tetapi tidak berlaku untuk tubuh Sheilla."Mama, kenapa sakit sekali? Apa malam ini aku akan melahirkan? Benar-benar sakit!" Sheilla kembali berujar dengan suara gemetar. Kedua tangan di dalam selimut terkepal kuat merasakan sakit di perutnya.Daisy menggeleng seraya menjawab, "belum, belum waktunya kamu lahiran. Itu namanya kontraksi palsu, dan memang sering dan akan tetap terjadi sampai persalinan tiba. Tapi kalau memang sakitnya tidak bisa kamu tahan, kita bisa ke rumah sakit untuk priksa dan jaga-jaga. Tapi kalau kata Mama ya kontraksi palsu, dan pasti tidak perlu masuk rumah sakit