“Jika kau mau, aku akan temani. Kau ada di bawah tanganku, jadi aman,” tawar Arvel.Raut kaget menghiasi wajah cantik Maurena. Memastikan jika telinganya tidak salah mendengar, wanita itu sampai mengesampingkan rambut panjangnya. “Tadi … tadi kau bilang apa?”“Aku mau menemanimu menemui Mathew, Maurena. Jangan terlalu pede, ini semua aku lakukan untuk kedamaian hidup Mathew yang notabenya sahabatku. Jadi, kapan kau mau meluangkan waktu? Atau sekarang saja? Hari ini dia tidak ke kantor, otomatis ada di rumah.”“Eh?”Tubuh tegap Mathew merunduk, mendekatkan wajahnya ke arah Maurena. Susah sekali memang bicara baik-baik dengan manusia modelan Maurena. Baik salah, kasar lebih salah. Jarak wajah keduanya yang sangat dekat membuat Maurena salah tingkah. Saking salah tingkahnya dia ingin sekali menampar pipi Arvel dengan keras.&ldq
“Oh, jadi ini yang dimaksud acara keluarga?”“Mathew? Kenapa kau ada di sini?”Sebelah alis Mathew terangkat. Apa katanya tadi? Satu langkah Mathew maju, mendekatkan dirinya pada meja. “Memangnya mall ini milikmu pribadi sampai aku tidak boleh menginjakkan kaki di sini? Sombong sekali.”Telak.Dalam hati Arvel berdecak kesal mendengarnya. Bangunan mall ini sangat luas, tetapi kenapa bisa-bisanya dia dipertemukan oleh Mathew. Bukan perkara takut atau apapun, hanya saja Arvel tak siap mendapat serangan menyebalkan dari sahabatnya itu. sedangkan Maurena, gadis itu memilih diam sambil menundukan kepala.Kesialan model apa lagi ini? Kenapa harus langsung bertemu keduanya?Tanpa meminta persetujuan apa lagi izin, Mathew menarik dua kursi untuknya dan juga Sheilla. Sebetulnya dia tidak mempermasalahkan apapun termasuk keboongan Ar
Acara shopping baju bayi sudah. Kini Mathew dan Sheilla sedang berada di salah satu kafe. Sebetulnya Mathew ingin langsung pulang karena Gavin mengirim beberapa pekerjaan, tetapi di jalan Sheilla meminta mampir. Kalau sudah wanita itu yang meminta, mana bisa Mathew menolak? Karena apapun keinginan Sheilla, sebisa mungkin Mathew akan menuruti.Selagi menunggu pesanan datang tangan Sheilla asik memainkan rambut Mathew karena pria itu merebahkan kepala di pundaknya. Tidak biasa memang, bahkan Sheilla sempat terkejut. Tetapi setelah beberapa detik dia mulai terbiasa dan membiarkan saja. Toh kondisi kafe sedang sepi, sekalipun ramai tidak ada yang perduli.Satu tangan boleh memainkan tangan, tetapi tangan lainnya asik bermain ponsel. Menyadari beberapa saat tidak ada percakapan Sheilla pun meletakkan ponselnya di atas meja. Sekilas dia melirik Mathew sampai memiringkan wajah agar bisa melihat jelas.“Kenapa? Aku masih h
“Biasakan kalau datang bertamu ke rumah orang itu yang sopan, jangan seperti orang tidak berpendidikan.” “Cih! Memangnya kau berpendidikan? Biasakan berkaca sebelum bicara! Menyingkir, aku ingin masuk!” Sheilla menghembuskan napasnya kasar. Sejak tadi dia berusaha sabar, sopan, kalem, tetapi wanita di depannya sangat mirip ular yang halal untuk dipukul. Sheilla berdecak pinggang, tubuhnya sama sekali tidak merubah posisi berdirinya. Lagipula mau apa wanita itu masuk ke dalam rumahnya tanpa ada keperluan jelas? Freya menghentakkan kakinya kesal. Saking gemasnya dia menarik tangan Sheilla agar menyingkir dari depan pintu. Hari ini Freya sedang malas berdebat, dia hanya ingin menemui Mathew karena satu minggu belakangan ini mereka memang tidak bertemu dan berkomunikasi. Tarikan Freya membuat tubuh Sheilla bergeser. Namun saat wanita itu akan masuk, dengan cepat tangannya menarik rambut panjang Freya yang terurai indah. Freya berteriak kesakitan sedangkan tanpa rasa bersalahnya Sheilla
Mendengar suara pintu terbuka kedua mata yang awalnya terbuka refleks menutup. Tidak ada lagi pergerakan, Sheilla diam layaknya orang tertidur pulas. Selain suara pintu, wangi parfum seketika memenuhi isi kamar. Sheilla tahu, Sheilla apal. Itu adalah parfum milik Mathew. Ah, memangnya jam berapa ini? Kenapa pria itu sudah pulang?Atau … kepulangannya ingin mencari Freya?“Kau tidur?” Mathew duduk di tepi ranjang, tangannya terulur mengusap pipi Sheilla lembut.Tidak ada jawaban dan reaksi. Mathew terus menatap wajah dan tubuh Sheilla secara keseluruhan. Mathew tidak lagi mengeluarkan suara, dia memilih merunduk lalu mengecup pipi Sheilla. Setelah itu Mathew bangkit berdiri, kembali ke luar dari kamar.Dalam hati sebetulnya Mathew tidak yakin kalau Sheilla benar-benar tidur. Akan tetapi, biarlah, Mathew tidak ingin mengganggu waktu istirahatnya. Satu per satu anak tangga kembali Mat
Sesuai dengan ajakan Mathew tadi, kini pasangan suami istri itu sudah tiba di salah satu restoran yang sudah disiapkan. Selama diperjalanan dari rumah menuju restoran Sheilla tak enti-hentinya bertanya tetntang apa penawaran yang akan suaminya itu berikan. Akan tetapi, selama diperjalanan itu pula Mathew tidak menjawab bahkan spoiler pun tidak ada.Sempat kesal, namun Sheilla berusaha untuk sabar.Saat memasuki restoran Sheilla dibuat terdiam karena suasana yang sepi tidak seperti restoran pada umumnya. Sejenak Sheilla mengentikan langkah, tangannya menarik lengan Mathew agar pria di sampingnya ikut berhenti. Tarikan Sheilla itu membuat Mathew menoleh menatap Sheilla.“Apa kau benar-benar tidak salah tempat, Math? Apa restoran ini buka?” tanya Sheilla sambil melihat keseliling. Memang ada beberapa pelayan, hanya saja tidak ada pengunjung selain mereka berdua.Tanpa ragu Mathew mengangguk
Menjalani hari-hari sebagai ibu hamil memang tidak pernah mudah. Walaupun sesekali mengeluh, menangis, tetapi jika difikir ulang semua hal itu tidak akan bisa mengubah apapun. maka dari itu, karena kebetulan Sheilla berada dalam lingkaran ibu hamil, dia merasakan semuanya. Sheilla memang menjalani kehamilannya sendiri, membawa perut sendiri. Tetapi di sampingnya selalu ada suami, dan kedua ibunya.Bersyukur? Tentu saja Sheilla bersyukur dalam hal itu.Saat ini usia kehamilan Sheilla genap memasuki usia delapan bulan, trimester ketiga, tahap dan perjalanan akhir dia akan mengandung. Kemarin ditemani Mathew dan juga Elena dia melakukan kontrol yang kesekian. Semua Nampak lega dan Bahagia mendengar kabar dari dokter jika kedua bayi di dalam kandungannya berkembang sangat baik. Hanya saja saat kontrol kemarin Sheilla mendapat wanti-wanti dari sang dokter karena tekanan darah yang lumayan tinggi.Tentu itu semua bukan t
“Aunty, di dalam sana pasti ada adik bayi, ya? Aunty cantik sekali.”Mendengar pujian itu Sheilla tersipu malu. Pasalnya pujian itu bukan berasal ari mulut Mathew tetapi dari seorang gadis kecil kisaran umur lima tahun. Entah bagaimana asalnya, saat dia sedang duduk istrirahat tiba-tiba saja anak itu datang sambil berlari. Wajahnya sangat ceria dan berseri membuat siapapun yang melihat akan ikut tersenyum.“Aku juga mau punya adik karna mamahku perutnya besar seperti Aunty. Kata mamah, di dalam perutnya ada adikku.”“Oh, ya? Di mana orang tuamu?”Gadis kecil berambut panjang itu menunjuk ke arah kanan. Suasana taman memang cukup ramai mengingat ini hari minggu. Kedua mata Sheilla menyipit mengikuti arah tunjuk anak tersebut. Walaupun tidak tahu pasti yang mana Sheilla tetap mengangguk mengiyakan.“Namamu siapa?” tanya Sheilla. Kedat
"Menjauh dan pergi dari hadapan saya.""Kasih saya waktu untuk bic–""NOW!"Bentakan tak terbantahkan itu menggema di ruang tamu. Akan tetapi walaupun begitu nyali Mathew tidak menciut. Walaupun hatinya sangat berat untuk ke sini dan bertemu Alexander, semua ini Mathew lakukan demi Sheilla yang akan melahirkan sore hari ini."Sheilla, putri anda, dia akan melahirkan sore ini. Persalinan normalnya batal karena ada beberapa kendala, maka dari itu dia harus melakukan caesar demi keselamatannya dan juga kedua anak kami. Sheilla ingin dan berharap anda datang. Setidaknya temuilah dia sebentar," ujar Mathew dengan penuh kesabaran. Untuk saat ini dia harus menghilangkan keegoisannya.Mendengar permintaan Mathew barusan Alexander tertawa. Masih dengan tatapan remehnya dia menjawab, "putri? Apa telinga saya tidak salah mendengar? Sejak dia ke luar dari rumah ini, dia resmi bukan putri saya! Dia sendiri yang mengambil keputusan itu, dan dia pula yang harus bertanggung jawab."Masih keras kepala
Hari masih terbilang masih pagi. Bagaimana tidak, matahari belum sepenuhnya terbit menyinari bumi. Tapi seperti biasa, Sheilla sudah terbangun karena tidurnya tidak nyenyak. Bahkan semalam Sheilla hanya bisa tidur satu jam paling lama. Posisi tidur yang serba salah, perut sakit, semua beradu menjadi satu. Andai bisa berteriak, mungkin mulutnya sudah menyuarakan kata nyarah puluhan kali.Sheilla menghembuskan napasnya perlahan. Sebelum beranjak dari tempat tidur wanita itu mengamati wajah suaminya yang masih terlelap. Mathew terlihat sangat damai, semalam juga dia ditemani pria itu begadang karena tidak bisa tidur. Maka dari itu Sheilla tidak ada niat membangunkan, biarkan saja suaminya tidur. Tangan Sheilla terulur mengusap pipi Mathew."Maaf ya kalau selama ini aku selalu ngerepotin. Makasih kamu masih mau memperjuangkan aku. Aku sadar belum bisa jadi istri yang baik, tapi akan selalu aku usahakan. Begitupun nanti, aku akan belajar jadi ibu yang baik untuk anak kita," ujar Sheilla pe
Setelah tiga hari berada di rumah sakit kini Sheilla sudah diperbolehkan untuk pulang. Selama di rumah sakit, Mathew lah yang setia menunggu serta merawat dengan tulus. Sheilla sendiri sampai detik ini masih bingung. Bingung ingin merespon apa. Mathew memang tidak membahas apapun soal kejadian di rumah ayahnya, tetapi tetap saja ada yang mengganjal.Infusan sudah dilepas, baju sudah ganti, kini Sheilla tinggal menunggu Mathew yang sedang mengurus administrasi serta mengambil obat. Sheilla turun dari tempat tidur, kakinya melangkah menuju jendela. Dari atas Sheilla bisa melihat kendaraan berlalu-lalang."Sudah bukan waktunya berfikir soal masalah kemarin. Itu sudah berlalu, sekarang fikirkan saja anak kita. Kau akan segera melahirkan, jadi jangan banyak fikiran. Aku di sini, bersamamu, selamanya. Iya, selamanya. Sudah aku bilang, apapun yang sudah menjadi milikku akan kembali pada tuannya. Sudahlah, lupakan ayahmu."Tubuh Sheilla berputar, dia menatap pria yang kini berdiri tepat ri de
"Jadi maksudnya ... ini semua?"Rasa kaget kini menyelimuti hati Daisy. Bukan hanya Daisy, tetapi Elena juga. Keduanya baru saja mendengar rekaman dari ponsel Mathew. Dalam rekaman itu sangat jelas disebut kaau dalang dari kekisruhan ini adalah Alexander."Iya, mantan suami anda.""Math, kamu serius?" Elena meraih tangan Mathew, menunggu jawaban detail dari mulut putranya sendiri.Bukan lagi rekaman, kini Mathew mengeluarkan kertas dari dalam sakunya. Kertas itu dia berikan kepada Elena agar kedua wanita di dekatnya membuka sendiri tanpa perlu dia jelaskan. Mathew sudah teramat lelah dengan semua drama ini, ingin rasanya dia cepat-cepat mengakhiri."Tapi saat ini Sheilla sedang menginap di rumah ayahnya. Mathew, kamu bisa hari ini juga jemput Sheilla. Mama akan dampingi kamu untuk ke sana. Ternyata semuanya benar. Ini semua ulah Alexander." Daisy berdecak tidak percaya. Padahal selama sebulan kebelakangan dia sudah menilai beda mantan suaminya itu.Akan tetapi semua dugaan baik Daisy
“Alexander!”“Alexander siapa yang kau maksud? Di dunia ini banyak nama Alexander. Maka dar—”“Alexander Harrvad Watson! Dia yang menyuruh saya untuk melakukan ini semua. Dia juga yang menyuruh serta membayar kalau saya berhasil menaruh bayi itu di depan rumah anda. Sungguh, apa yang saya katakana benar adanya. Tuan Alexander juga yang menyuruh saya pergi dari kota ini sebelum anda mencari tahu.”Mendengar itu Mathew sempat terdiam sesaat. Bukan kaget, justru yang ada di dalam hati Mathew diisi oleh kemarahan. Ternyata dugaannya beberapa hari ini benar adanya. Awalnya Mathew mengira dalang dibalik ini semua adalah Freya, tapi setelah berfikir ulang kecurigaan Mathew tertuju pada Alexander. Dan sial, ternyata semua benar adanya.“Sialan!” umpat Mathew.Semua informasi yang dia tunggu-tunggu sudah didapat. Tanpa mengatakan apapun Mathew berdiri meninggalkan wanita yang masih tersungkur di lantai. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan dia papasan dengan Arvel. Hanya dengan saling tata
“Sialan!”BRAK!Umpatan yang dibarengi gebrakan meja membuat Arvel dan juga Calvin terlonjak kaget. Boleh saja keduanya kaget, pasalnya mereka sedang fokus menatap layar laptop yang menampilkan beberapa video. Calvin melirik Arvel, pria itu yang tahu kode sang sahabat langsung mendelikkan bahu. Toh dia juga sama-sama tidak tahu.“Lagi-lagi mengibarkan bendera perang,” ujar Mathew lagi.Arvel beranjak dari kursi menghampiri Mathew. Tepukan kecil dia sematkan di pundak sahabatnya itu. “Ada apa lagi, Math? Semua hampir rampung, sabar sedikit apa tidak bisa?”Tanpa menjawab Mathew memberikan ponselnya kepada Arvel agar pria itu melihatnya sendiri. Sambil menunggu apa respon Arvel, Mathew menghabiskan minuman sodanya yang tinggal setengah. Rasa tidak sabar kini bersemayam di dalam hati Mathew. Ingin rasanya dia segera menutaskan masalah yang ada lalu membawa Sheilla ke dalam dekapannya.“Siapa yang menaikkan berita ini, Math? Kenapa bisa tercium media?” tanya Arvel tanpa mengalikan tatapan
“Apa kau benar-benar sudah lupa denganku? Hufft, menyedihkan sekali hidupmu, Sheilla.” Tanpa menghentikan acara nyemil Sheilla manatap laptop di depannya. Entah dari mana asalnya, yang jelas kini sebuah berita terpampang nyata di matanya. Awalnya Sheilla ingin melewati berita tersebut, tetapi saat tidak sengaja membuka isinya Sheilla terdiam dengan isi otak yang bercabang. “Sangat serasi,” guman Sheilla melihat beberapa foto di depannya. Bukan lagi menonton drama apalagi melihat foto artis. Akan tetapi, yang sedang Sheilla lihat adalah berita berisikan nama serta foto Mathew dengan Freya. Berita itu memang memuat soal pekerjaan mereka, tetapi tetap saja Sheilla merasa ada yang aneh dengan hatinya saat ini. Apakah … ini cemburu? Sheilla sadar sudah cukup lama dia menutup diri dan juga komunikasi dengan Mathew. Tapi dibalik itu, hubungan Sheilla dengan sang ayah mulai dekat. Saking dekatnya Sheilla beberapa kali sempat menginap walaupun endingnya dijemput paksa oleh Daisy. Entah dal
"Kapan hasil tes DNA-nya keluar, Math?""Kemungkinan 2 hari lagi, Mah. Selagi nunggu, aku sedang menyelidiki siapa dalang dari semua kekisruhan ini. Aku ingin semua cepat terungkap agar bisa menjemput Sheilla. Karna tidak lama lagi dia akan melahirkan."Elena mengangguk. Dia paham apa maksud perkataan putranya itu. Memang sudah dua minggu lebih menantunya pergi dari rumah ini. Dan selama itu juga Mathew tidak tinggal diam. Hanya saja bukti yang pria itu dapat belum sepenuhnya."Mama doakan apapun langkah yang sedang kamu jalani saat ini. Pesan Mama hanya satu, Math, jaga dirimu baik-baik. Sebisa mungkin hindari apapun yang akan membahayakan dirimu. Ingat, tugasmu sekarang membawa Sheilla pulang." Tangan Elena terulur mengusap lembut punggung putranya.Tidak mau munafik, Elena sangat kagum melihat bagaimana putranya menyelesaikan masalah. Pria itu tidak gegabah, tetapi melakukannya secara struktur. Dan itu membuat Elena teringat dengan ... Hannon–mantan suaminya. Dari sisi manapun kedu
"Mama, perut aku sakit."Baru Daisy ingin menutup pintu kamar, rintihan Sheilla terdengar. Maka dari itu dia mengurungkan niat lalu menghampiri Sheilla yang sudah terbalut selimut tebal. Tanpa perlu penjelasan Daisy tahu rasanya menjadi Sheilla saat ini. Semua akan terasa serba tidak enak.Daisy duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur mengusap kening Sheilla yang dipenuhi keringat. Suhu ruangan dingin, tetapi tidak berlaku untuk tubuh Sheilla."Mama, kenapa sakit sekali? Apa malam ini aku akan melahirkan? Benar-benar sakit!" Sheilla kembali berujar dengan suara gemetar. Kedua tangan di dalam selimut terkepal kuat merasakan sakit di perutnya.Daisy menggeleng seraya menjawab, "belum, belum waktunya kamu lahiran. Itu namanya kontraksi palsu, dan memang sering dan akan tetap terjadi sampai persalinan tiba. Tapi kalau memang sakitnya tidak bisa kamu tahan, kita bisa ke rumah sakit untuk priksa dan jaga-jaga. Tapi kalau kata Mama ya kontraksi palsu, dan pasti tidak perlu masuk rumah sakit